PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR REKSA D (1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR REKSA DANA
DITINJAU DARI KETENTUAN PASAR MODAL DAN ARBITRASE
DALAM SENGKETA PASAR MODAL

A. Latar Belakang
Pasar modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional
sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi
masyarakat1 luas, tidak hanya usaha/pemodal besar namun termasuk usaha/pemodal
menengah dan usaha/pemodal kecil dalam rangka pengembangan usahanya,
sehingga dengan demikian pasar modal dapat meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
(ekonomi) rakyat. Hal ini adalah sejalan dengan amanat ketentuan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945 Perubahan ketiga dan Perubahan keempat2.
Pasar modal sebagai salah satu sumber alternatif pembiayaan dapat dimanfaatkan
oleh perusahaan atau perorangan untuk memenuhi kebutuhan dana. Walaupun telah
ada lembaga perbankan, namun karena proses pemberian kredit oleh lembaga
perbankan menggunakan prosedur, mekanisme, dan instrumen yang lebih kompleks 3,
1

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal , LN No. 64 Tahun 1995, TLN No.3608,
konsideran huruf (b), Hlm. I-1.
2

Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat, LN No. 13 Tahun 2006
dan LN. No. 14 Tahun 2006, Pasal 33 berbunyi:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara;
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat;
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang”.
3

Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2008, hlm. 259.

1

2


sehingga tidak mudah bagi suatu perusahaan atau perorangan untuk mendapatkan
pinjaman dari bank.
Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan
Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek, berdasarkan
ketentuan Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar
Modal (“UUPM”).
Dengan berbagai kegiatan (bisnis) yang ada di pasar modal selain mendapat
keuntungan, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan resiko dan juga akan
menimbulkan adanya perbedaan pendapat yang pada akhirnya akan menimbulkan
berbagai sengketa antara para pihak.
Sebagaimana sengketa perdata pada umumnya, sengketa (perdata di bidang)
pasar modal juga terkait dengan adanya Wanprestasi (ingkar janji) atau Perbuatan
Melawan Hukum.
Wanprestasi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)
pada ketentuan

Pasal 12434 jo. 12385 KUH Perdata timbul dari persetujuan

(agreement), dan hak menuntut ganti rugi dalam Wanprestasi timbul dari Pasal 1243


4
KUH Perdata, [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 27,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1995, Pasal 1243, berbunyi:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya atau jika sesuatu harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
5

Ibid., Pasal 1238, berbunyi:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus
diaanggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

3

Jo. Pasal 1238 Jo. Pasal 12396 KUH Perdata, yang pada prinsipnya membutuhkan
pernyataan lalai (somasi).
Salah satu pihak dapat dikategorikan/dikualifikasikan telah Wanprestasi apabila7:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang telah dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak dilakukannya.
Menurut ketentuan Pasal 13658 KUH Perdata bahwa Perbuatan Melawan Hukum
adalah tindakan dari pihak yang melakukan pelanggaran terhadap suatu
ketentuan/aturan hukum (undang-undang) yang berakibat merugikan orang lain.
Perbuatan Melawan Hukum menurut ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata timbul
akibat perbuatan orang. Hak menuntut ganti rugi karena Perbuatan Melawan
Hukum9 tidak perlu somasi, oleh karena Perbuatan Melawan Hukum tidak
mengandung unsur “janji”10. Kapan saja terjadi Perbuatan Melawan Hukum, pihak
yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi.
6

Ibid., Pasal 1239, berbunyi:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tiidak berbuat sesuatu, apabila si berutang
tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan
penggantian biaya, rugi dan bunga”.
7


R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan kedelapanbelas, Jakarta: Intermasa, 2001, hlm. 45.
8

Op.cit., Pasal 1365, berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
9

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2003,
hlm. 117, menyatakan: “Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan
hukum diperlukan antara lain empat syarat sebagai berikut:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
2. Bertentangan dengan hak subyektif orang lain.
3. Bertentangan dengan kesusilaan.
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian”.
10

R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, cet. Ke-7, Bandung:Sumur Bandung, hlm. 8.

4


Sejalan dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, terkait dengan tuntutan atas
terjadinya Perbuatan Melawan Hukum dalam sengketa pasar modal, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 111 UUPM, setiap pihak yang menderita kerugian
sebagai akibat dari pelanggaran atas UUPM dan/atau peraturan pelaksanaannya
dapat menuntut ganti rugi, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pihak
lain yang memiliki tuntutan yang serupa, terhadap pihak atau pihak-pihak yang
bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
Sama halnya dengan sengketa lainnya, sengketa pasar modal dapat terjadi setiap
saat karena akibat timbulnya keadaan yang sekilas tampak tidak berarti dan kecil
sehingga terabaikan dan biasanya muncul secara tiba-tiba dan tidak disangka-sangka,
atau dapat terjadi tanpa diperhitungkan sebelumnya11. Sengketa atau konflik adalah
bagian dari irama kehidupan yang selalu ada dan sangat mungkin terjadi serta tidak
dapat dihindarkan. Sengketa atau konflik harus diatasi atau diselesaikan. Secara
tradisional, sebelum ada badan peradilan dalam sistem ketatanegaraan modern,
masyarakat membentuk atau menciptakan sarana penyelesaian sengketa sendiri,
yang secara bertahap dilembagakan melalui rapat-rapat komunitas tertentu.
Yurisdiksinya mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat baik yang bersifat
hubungan antara anggota dan pemuka masyarakat, atau juga antara sesama anggota
masyarakat sendiri. Sistem ketatanegaraan modern mengangkat kebutuhan akan

sistem penyelesaian perkara ini ke tingkat yang lebih canggih dan profesional,

11

H. Priyatna Abdurrasid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, edisi kedua, Jakarta: PT.
Fikahati Aneska, 2011, hlm. 31.

5

bahkan

mendeklarasikan

keindependensian

lembaga

penyelesaian

sengketa


termaksud12.
Penyelesaian sengketa bisnis khususnya dalam pasar modal, penggunaan metode
penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah
menjadi pilihan bagi para pihak yang bersengketa.
APS adalah lembaga penyelesaian sengketa atau pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 10 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase & APS”).
Salah satu lembaga yang menyediakan APS adalah Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI) yang mengkhususkan diri pada sengketa perdata di bidang
Pasar Modal13. BAPMI dikenal sebagai sebuah lembaga yang lahir karena
karakteristik industri pasar modal, BAPMI merupakan lembaga yang dibentuk untuk
menyelesaikan persengketaan yang muncul antara sesama pelaku pasar (modal), baik
persengketaan yang muncul karena aktivitas transaksi efek maupun persengketaan
antara investor dangan vendor atau penyedia jasa yang terlibat dalam industri ini.
Apalagi persengketaan antara investor dangan penyedia jasa oleh sebab adanya
perjanjian yang terkait dengan investasi dan transaksi di pasar modal.
Penunjukkan BAPMI sebagai forum yang dipilih dalam penyelesaian (tiap)

sengketa di pasar modal memang bukan tanpa sebab. Pasalnya pergerakan industri di
12
Achmad Zen Umar Purba, BAPMI dan Penyelesaian Sengketa
http://www.bapmi.org/in/ref_articles1.php> diunduh tanggal 27 April 2015.

Pasar

Modal,

<

13

Felix
O.
Soebagjo,
Bentuk-bentuk
Alternatif
Penyelesaian
http://www.bapmi.org/in/ref_articles7.php> diunduh tanggal 16 Oktober 2015.


Sengketa,

<

6

bidang pasar modal ini serba cepat. Kalau memilih bentuk penyelesaian lewat jalur
pengadilan yang ada hampir pasti memerlukan waktu yang sangat lama dan faktor
tersebut merupakan salah satu alasan bagi industri pasar modal untuk memilih
BAPMI sebagai lembaga penyelesaian sengketa di bidang pasar modal. Bagi pelaku
industri (baca: pelaku pasar) ini sebelum membentuk kerjasama dan perjanjian
dengan pihak lain harus memastikan dulu forum yang akan dipilih dalam
menyelesaikan sengketa, terlebih lagi setelah beberapa pengaduan yang masuk ke
lembaga ini ternyata tidak bisa ditindaklanjuti disebabkan para pihak dalam
klausul perjanjian tidak menyangka bila terjadi persengketaan akan diselesaikan
melalui BAPMI14.
BAPMI tidak melakukan pembatasan kewenangan arbitrase(nya) antara pekara
Wanprestasi dan perkara Perbuatan Melawan Hukum sepanjang di antara para pihak
terdapat hubungan hukum tertentu dan telah mengadakan perjanjian arbitrase, dan

yang dipersengketakan itu mengenai sengketa di bidang pasar modal dan/atau yang
berkaitan dengan pasar modal, sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa,
persengketaan tersebut dapat diupayakan dengan perdamaian dan antara para pihak
terikat perjanjian arbitrase.15

14
Klausula
Penyelesaian
Sengketa
Melalui
Arbitrase
http://www.bapmi.org/in/ref_articles13.php> diunduh tanggal 27 April 201.

Pasar

Modal,

<

15

Peraturan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia No.: 04/BAPMI/12.2014 Tentang Peraturan
Dan Acara Arbitrase, Edisi 2015, Pasal 2 Angka (2), berbunyi:
“Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase BAPMI harus memenuhi semua kriteria tersebut
di bawah ini:
(a) merupakan sengketa di bidang Pasar Modal dan/atau yang berkaitan dengan PasarModal;
(b) sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh Pihak yang bersengketa;
(c) persengketaan tersebut dapat diupayakan dengan perdamaian;
(d) antara para pihak terikat Perjanjian Arbitrase.

7

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa16. Sedangkan klausula arbitrase itu sendiri adalah suatu klausula
dalam perjanjian antara para pihak (selaku para contracting parties) yang membuat,
dan yang menandatangani, serta yang mencantumkan adanya kesepakatan untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul antara para pihak melalui proses arbitrase17.
Klausula arbitrase meniadakan kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa
dan mengadili sengketa. Pengadilan negeri tetap harus menghormati adanya
kewenangan yang dimiliki lembaga arbitrase dengan tidak memeriksa dan mengadili
sengketa yang mengandung klausula arbitrase, sedangkan Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa”, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU Arbitrase &
APS.
Lebih lanjut Pasal 2 UU Arbitrase & APS menegaskan bahwa UUPM mengatur
penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan
hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian Arbitrase yang secara tegas
menyaratkan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang
mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
16

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
LN No. 138 tahun 1999, TLN No. 3872, Pasal 1 Angka (3).
17
Klausula
Arbitrase,
, diunduh pada tanggal 29 September 2015.

8

Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan
Kehakiman”) disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan
atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau
perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Sebelumnya yang dipakai
sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad
1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227) 18.
Mekanisme arbitrase dapat mengurangi resiko yang biasanya muncul dalam
proses berlitigasi di pengadilan, antara lain: resiko waktu, reputasi dan biaya. Pada
umumnya berperkara melalui arbitrase lebih cepat selesai daripada pengadilan, dan
tahapan untuk mencapai keputusan akhir dan mengikat para pihak dapat diukur dan
diprediksi sehingga segala akibatnya terhadap kegiatan ekonomi bisa diantisipasi.
Berlainan dengan persidangan pengadilan yang bersifat terbuka bagi publik, proses
arbitrase dan mediasi sangat menjaga kerahasiaan (tertutup) karena bagi pelaku
bisnis reputasi merupakan faktor yang harus dijaga untuk meningkat kredibilitas dan
kepercayaan, jangan sampai persengketaan komersial menjadi sorotan publik apalagi
bila dimanfaatkan oleh pihak lain untuk pemberitaan negatif. Faktor biaya dalam
18

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Op.cit., Penjelasan alinea ke-2 s.d. ke-3.

9

arbitrase dapat diukur jauh-jauh hari karena jenis dan jumlah biaya yang akan
dikeluarkan transparan, sedangkan pada proses di pengadilan ada banyak faktor yang
tak terduga yang dapat membangkrutkan pihak yang berperkara19.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak terlihat adanya
pembatasan kewenangan arbitrase antara perkara Wanprestasi dan perkara Perbuatan
Melawan Hukum sepanjang diantara para pihak terdapat hubungan hukum tertentu
dan telah mengadakan perjanjian arbitrase, dan yang dipersengketakan itu mengenai
perdagangan yang mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak dan persengketaan tersebut dapat
diupayakan dengan perdamaian.
Oleh karena itu (majelis) arbitrase 20 berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan salah satu
pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, sebagaimana (majelis) arbitrase
berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata atas dasar cidera janji.
Keragu-raguan terhadap kewenangan arbitrase memeriksa dan mengadili Perbuatan
Melawan Hukum lebih berdasarkan pada praktek lama padahal UU Arbitrase & APS
sebenarnya sudah membuat kepastian.
Pada umumnya dalam suatu klausula arbitrase terdapat kalimat "segala
perselisihan" atau "any disputes" pada awal kalimat dari klausula arbitrase tersebut.
Makna dari kalimat ini adalah setiap perselisihan yang timbul yang terjadi diantara

19
Indra Safitri, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Kepastian & Perlindungan Hukum, <
http://www.bapmi.org/in/ref_articles12.php> diunduh tanggal 16 Oktober 2015.
20

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Op.cit., Pasal 1 Angka (1).

10

para pihak akan diselesaikan dalam forum arbitrase tanpa membedakan Wanprestasi
dan Perbuatan Melawan Hukum.
Perlu dan penting untuk diketahui juga, petunjuk Mahkamah Agung R.I. dalam
bidang perdata berkaitan dengan persoalan teknis yudisial dalam Rakernas Denpasar,
September 2005, menyatakan: “Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk
mengadili

suatu

perkara

yang

para

pihaknya

terikat

dalam

Perjanjian

Arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan Perbuatan Melawan
Hukum”. Rakernas tersebut secara persisnya diselenggarakan pada tanggal 18-22
September 2005, dan petunjuk Mahkamah Agung R.I. tersebut telah dikutip dalam
putusan Hakim PN, setidaknya oleh Majelis Hakim PN Bekasi dalam perkara
perdata No. 268/Pdt/G/2010/PN.Bks dalam Putusan Sela tanggal 27 Juli 2011.
Adanya klausula arbitrase, memberikan kewenangan kepada arbitrase untuk
memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak. Seperti
dalam ketentuan Pasal 321 UU Arbitrase & APS dan ketentuan Pasal 1122 UU
Arbitrase & APS yang menjelaskan bahwa adanya klausula arbitrase meniadakan
kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadili sengketa.
Pengadilan negeri tetap harus menghormati adanya kewenangan yang dimiliki
lembaga arbitrase dengan tidak memeriksa dan mengadili sengketa yang
mengandung klausula arbitrase.
21
Ibid., Pasal 3 berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikatdalam perjanjian arbitrase”.
22

Ibid., Pasal 11 berbunyi:
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengjukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini”.

11

Sisi lain yang tidak kalah penting adalah aspek perlindungan hukum di dalam
arbitrase dan mediasi. Klausula arbitrase tidak dapat diubah secara sepihak oleh
pihak lainnya termasuk oleh hakim sekali pun. Kemudian keputusan yang dihasilkan
oleh para arbiter adalah mengikat dan dapat dieksekusi, kesepakatan damai yang
dicapai dalam mediasi pun adalah mengikat bagi para pihak. Hal itu berarti bahwa
apa yang dilakukan di dalam proses hukum arbitrase dan mediasi memiliki aspek
perlindungan hukum yang kuat23.
Perlindungan hukum merupakan segala sesuatu yang mengatur dan menentukan
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang melakukan hubungan hukum,
sehingga kepentingan dari masing-masing pihak yang melakukan hubungan hukum
tersebut dapat dilindungi24.
Majelis arbitrase BAPMI Perkara No.Reg.: BAPMI-005/ARB-04/II/2012 pada
tanggal 20 Juli 2012 telah membacakan Putusan Sela No.Reg.: BAPMI-005/ARB04/II/2012 dalam perkara antara PT. Asuransi Bumi Putera Muda 1967, PT. Asuransi
Bumi Asih Jaya, Dana Pensiun Mitra Krakatau, Dana Pensiun Pegawai
Muhammadiyah Malang, Sdri. Febe Linggawati selaku Para Pemohon melawan PT.
Bank CIMB Niaga Tbk., selaku Termohon I dan PT. Falcon Asia Resources
Management selaku Termohon II dan Majelis Arbitrase BAPMI telah memutuskan
dalam Putusan Sela tersebut bahwa Para Pemohon selaku Pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana selaku (para) investor mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
arbitrase, atas dasar antara Para Pemohon dengan Termohon I dan Termohon II telah
terikat oleh klausula arbitrase sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 24 Ayat (2)
23

Op.cit., < http://www.bapmi.org/in/ref_articles12.php> diunduh tanggal 27 April 2015.

24

Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2008, hlm. 135.

12

Kontrak Investasi Kolektif (“KIK”), meskipun Para Pemohon selaku Pemegang Unit
Reksa Dana bukan pihak yang membuat dan yang bukan menandatangani (nonsignatory party) (klausula arbitrase dalam) KIK, yang dibuat dan ditandatangani
oleh dan antara Termohon I selaku bank kustodian dengan Termohon II selaku
manajer investasi.
Majelis Arbitrase BAPMI dalam perkara tersebut makin menguatkan kedudukan
Para Pemohon (sebagai pihak), meskipun Para Pemohon selaku Pemegang Unit
Reksa Dana selaku (para) investor bukan pihak yang membuat dan yang bukan
menandatangani (non-signatory party) (klausula arbitrase dalam) KIK berdasarkan
Putusan Arbitrase Perkara No.Reg.: BAPMI-005/ARB-04/II/2012 tanggal 29 April
2013 dengan menolak eksepsi Termohon I dan Putusan Arbitrase Perkara No.Reg.:
BAPMI-005/ARB-04/II/2012 tanggal 29 April 2013 tersebut telah didaftarkan ke
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 15 Mei 2013 dengan
nomor registrasi perkara No. 08/ARB/HKM/2013/ PN.JAK.SEL.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang Para Pemohon selaku Pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana selaku (para) investor reksa dana yang tidak ikut membuat dan
menandatangani klausula arbitrase dalam KIK yang dibuat dan ditandatangani oleh
Termohon I dan Termohon II, mempunyai kapasitas untuk mengajukan permohonan
arbitrase atau tidak. Hal tersebut perlu dibuktikan untuk menghindari permohonan
arbitrase oleh Para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima oleh
majelis arbitrase, sehingga penulis tertarik untuk meneliti perlindungan hukum bagi
investor reksa dana ditinjau dari ketentuan pasar modal dan arbitrase dalam sengketa
pasar modal terkait dengan penerapan klausula arbitrase KIK pada sengketa (di

13

bidang) pasar modal dan asas(-asas) apa saja yang diterapkan oleh majelis arbitrase
yang menjadi latar belakang dalam merumuskan pertimbangan hukum majelis
arbitrase dalam putusan permohonan arbitrase.
Oleh karena itu terkait dengan uraian tersebut di atas maka penulis dalam
penelitian ini mengambil judul penelitian “Perlindungan Hukum Bagi Investor
Reksa Dana Ditinjau Dari Ketentuan Pasar Modal dan Arbitrase Dalam Sengketa
Pasar Modal”.
Sepanjang pengetahuan penulis dan berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan,
belum ada kajian secara khusus di bidang ilmu hukum mengenai “Perlindungan
Hukum Bagi Investor Reksa Dana Ditinjau Dari Ketentuan Pasar Modal dan
Arbitrase Dalam Sengketa Pasar Modal”. Namun penulis menemukan ada dua tesis
di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, khususnya di Program Magister
Hukum, yang memiliki tema yang serupa, terkait dengan sengketa pasar modal dan
klausula arbitrase, yakni berturut-turut dengan judul “Optimalisasi Peran Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal
Dikaitkan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK07/2015 Tahun 2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Jasa Keuangan” ditulis oleh Christy Natalia S. dengan NPM No.:
110120100034, sedangkan yang dan terkait dengan klausula arbitrase yaitu dengan
judul “Tinjauan Terhadap Pelaksanaa Klausula Arbitrase Sebagai Pilihan Forum
Dalam Perjanjian Usaha Patungan Dihubungkan Dengan U.U. Tahun 2007 Tentang

14

Penanaman Modal” ditulis oleh Yuni Lahima Santi dengan NPM No.:
110620070056.

B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dan untuk membatasi ruang
lingkup tesis ini, maka penulis merumuskan beberapa identifikasi masalah dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan klausula arbitrase KIK dapat mengikat investor reksa dana
selaku non-signatory party, yang tidak membuat dan tidak menandatangani
(klausula arbitrase) KIK?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi investor reksa dana ditinjau dari ketentuan
pasar modal dan arbitrase dalam sengketa pasar modal?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk meningkatkan pemahaman dan pengembangan wawasan tentang studi
hukum, khususnya mengenai perlindungan hukum bagi investor reksa dana
ditinjau dari ketentuan pasar modal dan arbitrase dalam sengketa pasar modal
terkait dengan penerapan klausula arbitrase KIK pada sengketa (di bidang) pasar
modal yang mengikat investor reksa dana selaku non-signatory party, yang tidak
membuat dan tidak menandatangani (klausula arbitrase) KIK.
2. Untuk

meningkatkan

pemahaman

dan

pengembangan

wawasan

yang

menyangkut pertumbuhan dan perekembangan ilmu hukum bisnis, khususnya di

15

bidang hukum pasar modal mengenai perlindungan hukum bagi investor reksa
dana ditinjau dari ketentuan pasar modal dan arbitrase dalam sengketa pasar
modal terkait dengan penerapan klausula arbitrase KIK pada sengketa (di
bidang) pasar modal yang mengikat investor reksa dana selaku non-signatory
party, yang tidak membuat dan tidak menandatangani (klausula arbitrase) KIK
terhadap tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh manajer investasi dan/atau
bank custodian, khususnya dalam Putusan Arbitrase Perkara No.Reg.: BAPMI005/ARB-04/II/2012 tanggal 29 April 2013.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis (Keilmuan)
Secara teoritis penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi
perkembangan ilmu hukum mengenai putusan tentang arbitrase terkait dengan
perlindungan hukum bagi investor reksa dana ditinjau dari ketentuan pasar modal
dan arbitrase dalam sengketa pasar modal terkait dengan penerapan klausula
arbitrase KIK pada sengketa (di bidang) pasar modal yang mengikat investor
reksa dana selaku non-signatory party, yang tidak membuat dan tidak
menandatangani (klausula arbitrase) KIK terhadap tindakan wanprestasi yang
dilakukan oleh manajer investasi dan/atau bank kustodian.
2. Kegunaan Praktis (Guna Laksana)
Diharapkan penelitian ini dapat berguna:

16

a. bagi para arbiter yang menangani perkara tentang arbitrase pasar modal
sebagai bahan pertimbangan dalam memutus suatu perkara yang hampir
sama.
b. sebagai bahan bacaan bagi masyarakat untuk menambah wawasan tentang
perlindungan hukum bagi investor reksa dana ditinjau dari ketentuan pasar
modal dan arbitrase dalam sengketa pasar modal terkait dengan penerapan
klausula arbitrase KIK pada sengketa (di bidang) pasar modal yang mengikat
investor reksa dana selaku non-signatory party, yang tidak membuat dan
tidak

menandatangani

(klausula

arbitrase)

KIK

terhadap

tindakan

wanprestasi yang dilakukan oleh manajer investasi dan/atau bank kustodian.

E. Kerangka Pemikiran
Menurut hukum perjanjian (di) Indonesia seseorang bebas untuk membuat
perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya, bebas menentukan isi dan
syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak. Hukum perjanjian
memberikan jurisdikasi atas prinsip tersebut sesuai dengan asas kebebasan
berkontrak yang tercermin dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata25.
Kebebasan bagi para pihak dalam menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian,
dengan bentuk tertentu atau tidak dapat dilakukan sepanjang perjanjian tersebut
dibuat secara sah, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata26.
25

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., Pasal 1338, berbunyi: ”Semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
26

1.
2.
3.
4.

Ibid., Pasal 1320, berbunyi: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu;
suatu sebab yang hal.”

17

Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330
KUH Perdata27. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas
untuk memilih pihak yang diinginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak
tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUH
Perdata28, ditentukan bahwa andaikata pun seseorang membuat perjanjian dengan
pihak yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak
cakap.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut, R.
Subekti, menyatakan29:
“bahwa dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah
berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja), dan perjanjian itu
mengikat seperti undang-undang”.
Asas kebebasan berkontrak merupakan implementasi sistem terbuka yang
dianut dalam hukum perjanjian. Menurut sistem ini, setiap orang boleh mengadakan
perjanjian baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur oleh undang-undang,
namun demikian para pihak juga harus memperhatikan larangan sebagaimana yang
dimaksud pada ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata30 terkait dengan ketentuan bahwa
27

Ibid., Pasal 1330, berbunyi:
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1. orang-orang yang belum dewasa;
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu”.
28

Ibid., pasal 1331, berbunyi: “Karena itu orang-orang yang didalam pasal yang lalu dinyatakan tak
cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikataan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal
dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang”.
29
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Ibid., hlm. 15.
30

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., Pasal 1337, berbunyi: “Suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau

18

para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang
dilarang oleh undang-undang .
Kesepakatan (Belanda “toesteming”, Inggris “agreement” atau “asent”, atau
“consensus”) harus mencerminkan kehendak untuk mengikatkan diri (intention to
be legally bored)31. Kehendak untuk mengikatkan diri cuma terdapat dalam dunia
bisnis karena dalam dunia bisnis terdapat anggapan suatu persetujuan tercakup
kehendak untuk mengikatkan diri.
Para pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak. Dalam hukum perjanjian prinsip disebut
“asas kekuatan mengikat” (pacta sun servanda).
Hukum yang dipilih oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase harus dihormati
dan ditegakkan. Apa yang dipilih oleh para pihak, waktu mereka mengadakan
kontrak dan persetujuan menyelesaikan sengketa perselisihan dengan melalui
arbitrase harus dihormati32.
Sebagaimana yang diketahui bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa 33. Sedangkan klausula
arbitrase itu sendiri adalah suatu klausula dalam perjanjian antara para pihak (selaku
para contracting parties) yang membuat, dan yang mendandatangani, serta yang

ketertiban umum.”
31

Vollmarr HFA, Pengantar Studi Hukum Perdata, jilid II, cet. I, Jakarta: Rajawali, hlm. 146.
Sudargo Gautama, “Hukum Manakah yang Harus dipakai Dalam Perkara Arbitrase Dagang
Internasional”, Majalah Hukum & Pembangunan, No. 2 Tahun ke-XIII, Maret 1983, hlm. 155.
32

33

Op.cit., Pasal 1 Angka (3).

19

mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul
antara para pihak melalui proses arbitrase34.
Klausula arbitrase harus dirumuskan secara jelas, tidak perlu panjang atau rumit.
Klausula yang jelas, lengkap dan terperinci35. Klausula arbitrase merupakan
kesepakatan dalam pilihan-pilihan para pihak dalam memilih jenis-jenis sengketa
yang dapat diselesaikan secara arbitrase, metode dalam pemilihan arbiter, prosedur
arbitrase, aturan-aturan arbitrase yang harus diikuti, tempat arbitrase dan hukum
subtantif yang berlaku bagi sengketa.
Memang benar, prinsip yang diatur dalam ketentuan Pasal 1340 ayat (1) KUH
Perdata menyatakan:
“perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”.
Asas ini dikenal dengan istilah “contracterende party” (contracting party) yang
mengandung pengertian bahwa setiap perjanjian hanya berlaku dan mengikat kepada
para pihak yang membuat perjanjian itu. Tidak berlaku serta tidak mengikat kepada
pihak ketiga, karena pihak ketiga itu bukan terlibat sebagai pihak dalam pembuatan
perjanjian itu36.
Akan tetapi ketentuan Pasal 1340 ayat (2) KUH Perdata membuka kemungkinan
suatu perjanjian berlaku dan mengikat pihak ketiga berdasarkan ketentuan Pasal
1317 KUH Perdata37, yang berbunyi sebagai berikut:
“Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat
memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam
pasal 1317”.
Ada pun, Pasal 1317 KUH Perdata tersebut berbunyi:
“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna
kepentingan seorang pihak ketiga apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh
34

Loc.cit.

35

89

Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2000, hlm.

36
M. Yahya Harahap,”Pendapat Tertulis Ahli (Affidafit) Dalam Perkara No.Reg.: BAPMI-005/ARB04/II/2012 di BAPMI pada tanggal17 Desember2012”, hlm. 6.
37

Ibid., hlm 7.

20

seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang diberikan kepada seorang
lain, memuat suatu syarat yang disepakati itu.
Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menolaknya
kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendak
mempergunakannya”.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata Jo. Pasal 1340 ayat (2)
KUH Perdata, dapat dikemukakan bahwa para pihak yang membuat dan
mendandatangani perjanjian (contracting party) diperbolehkan menetapkan suatu
janji guna kepentingan pihak ketiga yang tidak ikut terlibat dalam pembuatan
perjanjian dan para pihak yang menyepakati janji (contracting party) untuk
kepentingan pihak ketiga tidak boleh menarik kembali (irrevocable) apabila pihak
ketiga tersebut telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya38. Oleh sebab
itu, klausula arbitrase KIK yang tidak lagi semata-mata hanya mengikat para pihak
yang membuat dan menandatangani klausula arbitrase selaku contracting party pada
KIK, sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.
Dengan memperhatikan Pasal 1317 KUH Perdata Jo. Pasal 1340 ayat (2) KUH
Perdata, maka ketentuan klausula arbitrase dalam KIK tidak hanya memiliki
kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuat dan menandatangani KIK yang
dalam hal ini adalah manajer investasi dan bank kustodian, namun juga mengikat
Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana selaku investor reksa dana selaku nonsignatory party, yang tidak membuat dan tidak menandatangani (klausula arbitrase)
KIK. Penerapan Pasal 1317 KUH Perdata Jo. Pasal 1340 ayat (2) KUH Perdata ini
sejalan dengan penjelasan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf (b) UUPM yang
menyatakan bahwa KIK adalah kontrak antara manajer investasi dan bank kustodian
38

Ibid., hlm 8.

21

yang mengikat pemegang unit penyertaan di mana manajer investasi diberi
wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan bank kustodian diberi
wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif.
Penerapan Pasal 1317 KUH Perdata Jo. Pasal 1340 ayat (2) KUH Perdata ini
sejalan dengan penjelasan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf (b) UUPM merupakan
bentuk perlidungan hukum terkait dengan penerapan klausula arbitrase KIK terhadap
investor selaku Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana, yang tidak membuat dan
tidak menandatangani (klausula arbitrase) KIK, yang memberikan hak atau
kekuasaan (baca: berwenang) sehingga investor memiliki legal standing untuk dapat
menggugat melalui BAPMI terhadap manajer investasi dan/atau bank kustodian
yang melakukan tindakan Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum.
Menurut Pasal 3 UUPM, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (dahulu BAPEPAM dan
LK) (pun) menjalankan dan memiliki fungsi membina, mengatur, dan mengawasi
kegiatan pasar modal yang bertujuan menciptakan kegiatan pasar modal yang wajar,
efesien, dan melindungi pemodal dan masyarakat. Tindakan konkrit dari OJK
dalam melakukan perlindungan hukum terhadap investor tercermin dalam atau
berdasarkan Pasal 2 Peraturan OJK No.: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang disebutkan bahwa dalam perlindungan
konsumen OJK menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan,
kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen dan penanganan pengaduan
serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Perlindungan hukum terkait dengan penerapan klausula arbitrase KIK terhadap
investor reksa dana tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan serta harus diikuti

22

dengan adanya (proses) penegakan hukum, mengingat penegakan hukum yang baik
dan transparan akan menciptakan pasar modal yang lebih efesien, nilai ekuitas yang
tinggi, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat39.
Penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan40. Keinginan-keinginan
hukum adalah sesuatu yang bersifat normatif (das sollen), sedangkan kenyataan
(hukum) bersifat praktis (das sein).

Sedangkan penegakan hukum (law

enforcement) secara leksikal berdasarkan Black’s Law Dictionary adalah “The act of
putting something such as law into effect; the execution of a law; the carrying out of
mandate or command”. Kedua pengertian penegakan hukum ini menggambarkan
antara das sollen dan das sein seiring dan selaras (harmoni). Penegakan hukum itu
sendiri (akan) dapat membawa pada suatu kepastian hukum.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan
yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan
beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya
aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum41.
39
Emmy Yuhasarie, Prosiding-Kredit Sindikasi dan Restrukturisasi, Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum Jakarta, 2004. Hlm. xxii.
40

Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Yogyakarta: Genta Publishing,
2009, hlm. 24.
41

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hlm.158.

23

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu42.
Dengan adanya penegakan hukum, maka (dengan sendirinya) dapat menjamin
adanya kepastian hukum khususnya bagi investor reksa dana selaku non-signatory
party, yang tidak membuat dan tidak menandatangani (klausula arbitrase) KIK dalam
sengketa (di bidang) pasar modal, sehingga kepentingan hukumnya terlindungi.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif, yang hanya mempergunakan sumber-sumber data sekunder saja yaitu
peraturan perundang-undangan, teori hukum-teori hukum dan pendapat-pendapat
para sarjana hukum terkemuka43.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan yaitu deskriptif analitis. Deskriptif,
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia.
Keadaaan atau gejala-gejala lainnya44. Hal ini dilakukan utuk menggambarkan
42

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti,
1999, hlm.23.
43

Op.cit., hlm. 10.
Soerjono Soekanto, Pengantar Peneliitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1984, hlm.10
44

24

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan teori hukumteori hukum dalam praktik pelaksanaannya yang menyangkut permasalahan yang
diteliti, kemudian menganalisis mengenai penerapan hukum terkait dengan
dengan perlindungan hukum bagi investor reksa dana selaku non-signatory party
yang tidak menandatangani (klausula arbitrase) KIK dikaitkan dengan penerapan
klausula arbitrase pada sengketa pasar modal.
3. Tahap Penelitian
Penelitian yang (akan) dilakukan oleh peneliti meliputi tahapan-tahapan sebagai
berikut:
a. Penelitian kepustakaan yaitu mencari data sekunder yang terdiri dari:
1)

Bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, antara
lain:
a) Undang-Undang Dasar 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal;
d) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa;
e) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman;
f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011Tentang Otoritas Jasa Keuangan;
g) Peraturan

Badan

Arbitrase

Pasar

Modal

Indonesia

No.:

04/BAPMI/12.2014 Tentang Peraturan Dan Acara Arbitrase, Edisi 2015;

25

h) Putusan Arbitrase Badan Pasar Modal Indonesia Perkara No.Reg.:
BAPMI-005/ARB-04/II/2012;
i) Makalah-makalah, skripsi, tesis, disertasi, artikel-artikel berkaitan dengan
putusan-putusan arbitrase
j) Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian.
2) Bahan-bahan hukum sekunder, berupa buku-buku, literatur-literatur dan
dokumen-dokumen yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas.
3) Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan primer dan bahan sekunder yang dapat digunakan untuk
menunjang penelitian yang akan dilakukan misalnya:
a) Kamus Hukum;
b) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
c) Kamus Bahasa Inggris (Black Law’s Dictionary).
b. Penelitian lapangan, yaitu penelitian yang (akan) dilakukan untuk
mendapatkan data primer sebagai data penunjang data sekunder di BAPMI.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian yang ada dikumpulkan oleh peneliti dengan teknik sebagai
berikut:
a. Studi kepustakaan, yaitu melaksanakan penelitian terhadap dokumendokumen yang erat kaitannya dengan klausula arbitrase, guna mendapatkan
landasan teoritis dan memperoleh informa dalam bentuik ketentuan formal
dan data sekunder melalui bahan pustaka yang ada;

26

b. Wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab untuk memperoleh data
primer secara langsung pada instansi terkait. Responden dalam wawancara
dilakukan terhadap Wakil Sekretaris Jenderal BAPMI dan ahli (arbitrase).
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
kualitatif yaitu penelitian yang bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada
sebagai norma hukum positif. Kemudian data-data hasil penelitian lapangan
diinventarisasi dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara
kualitatif yaitu dalam penarikan kesimpulan yang tidak menggunakan rumusanrumusan matematis.
Data yang (akan) dianalisis dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
sebagai berikut:
a. Memperoleh Putusan Arbitrase Perkara No.Reg.: BAPMI-005/ARB04/II/2012;
b. Mempelajari kronologis serta pertimbangan hukum oleh majelis arbitrase
BAPMI dalam memutuskan perkara berdasarkan hukum positif yang berlaku;
c. Menganalisa pertimbangan hukum majelis arbitrase dalam Putusan Arbitrase
Perkara No.Reg.: BAPMI-005/ARB-04/II/2012 terkait dengan penerapan
klausula arbitrase KIK yang dapat memberikan perlindungan hukum
terhadap investor reksa dana, meskipun investor reksa dana merupakan
pihak yang tidak membuat dan menandatangani (klausula arbitrase) KIK;
d. Menarik

kesimpulan

berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan

hukum

tersebut yang menentukan keberlakukan kalusula arbitrase KIK terhadap

27

pihak yang tidak membuat dan menandatangani klausula arbitrase (selaku
non-signatory party) dapat (menjadi pihak untuk) mengajukan Permohonan
Arbitrase khususnya arbitrase pasar modal.
6. Lokasi Penelitian
a. Data sekunder diperoleh dari:
1) Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Bandung;
2) Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran Bandung;
3) Perpustakaan Program Magister Kenotariatan Universitas Padjadjaran
Bandung.
b.

Pengumpulan data di lapangan dilakukan di BAPMI, Indonesia Stock
Exchange Building, Tower I, 28th Floor, Suite 2805, Jalan Jenderal Sudirman
Kaveling 52-53, Jakarta 12190.

H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini terdiri atas lima bab dengan penyajian akan
diuraikan dibawah ini:
BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang Pendahuluan yang membahas dan menguraikan latar
belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REKSA DANA DALAM KEGIATAN
PASAR MODAL DAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM
SENGKETA PASAR MODAL
Bab ini berisi (i) pembahasan mengenai pasar modal, reksa dana dalam kegiatan
pasar modal, pengertian reksa dana, pelaku, lembaga, profesi penunjang,
proskpektus, KIK, asas-asas dalam reksa dana, sengketa pasar modal, BAPMI, dan
(ii) perjanjian pada umumnya, asas-asas dalam hukum perjanjian, arbitrase, klausula
arbitrase, klausula arbitrase pasar modal.

BAB

III

PENERAPAN

KLAUSULA

ARBITRASE

DAN

ASAS

KEPRIBADIAN DALAM KIK YANG MENGIKAT INVESTOR
REKSA DANA
Bab ini berisi pembahasan penerapan klausula arbitrase dan asas kepribadian
dalam KIK yang mengikat investor reksa dana, para pihak dalam KIK (manajer
investasi, bank kustodian dan investor), wanprestasi, klausula arbitrase dan
penyelesaian sengketa pasar modal.

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR REKSA DANA
DALAM

PENERAPAN

KLAUSULA

ARBITRASE

PADA

SENGKETA PASAR MODAL
Bab ini berisi mengenai perlindungan hukum bagi investor reksa dana dalam
penerapan klausula arbitrase pada sengketa pasar modal, perlindungan hukum bagi

29

investor pasar modal, perlindungan hukum bagi investor terhadap tindakan manajer
investasi dan/atau bank kustodian yang wanprestasi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai penutup maka dalam Bab ini akan disampaikan kesimpulan-kesimpulan
yang berhasil didapat dari pembahasan yang telah dilakukan dan saran-saran yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap permasalahan yang berhubungan
pertimbangan putusan majelis arbitrase BAPMI dalam perkara-perkara pasar modal.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG REKSA DANA
DALAM KEGIATAN PASAR MODAL DAN KLAUSULA ARBITRASE
DALAM SENGKETA PASAR MODAL

30

A. Pasar Modal
1. Pengertian Pasar Modal
Dalam tatanan dunia yang modern sekarang ini, untuk mengetahui tingkat
kemajuan ekonomi suatu negara, salah satunya dapat dilihat dari (kegiatan) pasar
modal dalam negara itu. Oleh sebab, pasar modal merupakan elemen penting dan
tolok ukur kemajuan perekonomian suaru negara45.
Pasar modal selain dapat mengetahui kondisi-kondisi perusahaan yang listing,
juga dapat mencerminkan perekonomian suatu negara46 dengan melihat angka indeks
dari pasar modal negara itu sendiri.
Pasar modal dalam suatu negara diperlukan sebagai alternatif pembiayaan dari
lembaga keuangan, baik lembaga keuangan yang berbentuk bank atau pun lembaga
keuangan non bank. Pasar modal merupkana suatu wadah untuk mempertemukan
antara investor dengan pihak emiten atau perusahaan yang melakukan penawaran
umum dalam rangka mencukupi dana yang dibutuhkannya47, baik untuk ekspansi
usaha, revitalisasi peralatan industrinya mau pun untuk pelunasan hutang.
Penawaran umum harus dilakukan oleh perusahaan yang membutuhkan dana
dari pasar modal. Penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek oleh (suatu)
perusahaan atau yang dalam (istilah) pasar modal disebut sebagai emiten, untik
menjual efek kepada masyarakat. Efek yang akan dijual oleh emiten dapat berupa:

45

Iswi Haryani dan R. Serfianto D.P., Buku Pintar Hukum Bisnis Pasar Modal, Jakarta: visimedia,
2010, hlm. 1.
46
Ibid.
47
Irfan Iskandar, Pengantan Hukum Pasar Modal Bidang Kustodian, Jakarta: Djambatan, 2001,
hlm. 5.

31

surat pengakuan (h)utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti
utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif serta berjangka waktu atas efek48.
Pengertian pasasr modal secara umum adalah suatu sistem keuangan yang
terorganisasi, termasuk di dalamnya adalah bank-bank komersial dan semua lembaga
perantara di bidang keuangan, serta keseluatuah sura-surat berharga yang beredar49.
Pasar modal secara sederhana adalah berangkat dari pengetian ”pasar” sebagai
tempat pertemuan antara penjual dengan pembeli untuk melakukan transaksi