Bank Sentral dan Lingkungan Politik Ekon

Bank Sentral dan Lingkungan Politik
Ekonomi: Pengalaman Indonesia1
 

Fach ry Ali 2

Abs tract: A central bank should be perform ing in the political-econom y
arena that so often is in situation betw een conflict and harm ony . Because of
that, it's not surprising that w e often catch a fact that not only the m onetary policies are theoretically draw n w ith technical calculations in w hich it
w ould be m ore frequently evaluated politically , but also the authority of
political authoritarianism so often suspect the m otivation behind the m onetary policy , and hence tend to control it.
The experience of central bank in Indonesia under the transition from N ew
Order to Reform asi era could becom e the historical lesson for our state and
society .
Kata Ku n ci: Central bank, Authorianism , Conflict, Harm ony , Monetary
Ban k Se n tral, an tara Po litik d an Mo n e te r
Pertanyaan tentang apakah sebuah bank sentral m erupakan produk politik
atau sem ata-m ata m anifestasi dari keharusan kinerja m oneter yang ideal
terlalu panjang untuk didiskusikan. Fakta keseharian yang terlihat adalah
bahwa bank sentral berkinerja di atas pelataran (setting) yang lebih luas dari
yang secara teknikal dibayangkan. Keluasan jangkauan kinerja bank sentral

—yang m elam paui batas-batas teknikal m oneter— dapat kita lihat pada apa
yang dinyatakan Sylvia Maxfied: “A new nation acquires a flag, w rite a
national anthem , and constitutes a central bank.” 3 Mudah ditafsirkan bahwa kalim at Maxfied di atas m enggam barkan keberadaan dan peranan sebuah bank sentral yang berekspansi ke luar pagar kinerja m oneter secara tek-

                                                            
1 Tulisan ini merupakan revisi atas makalah yang disampaikan dalam “Diskusi Pakar
Peran dan Fungsi Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Perekonomian
Nasional”, Bank Indonesia, 31 Maret, 2010. Makalah ini pernah dipaparkan sebagai
Pidato Kunci (Keynote Speech) dalam Seminar “Membangun Peran Masyarakat dalam
Menjawab Tantangan Independensi Bank Sentral”, Center for Corporate Leadership
(CCL), Jakarta, 11 Februari, 2010.
2 Fachry Ali adalah Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha
(LSPEU Indonesia), lulusan UIN Syarif Hidayatullah Ciputat dan meraih MA dari
Department of History, Monash University Australia, menulis di berbagai media dan
jurnal. 
3 Sylvia Maxfied, Gatekeeper of Growth: The International Political Economy of Central
Banking in Developing Countries (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1997),
h. 3. 

3 0 I Konfrontasi


nikal. Akan tetapi pada saat yang bersam aan, untuk m em pertahankan keberadaannya yang “sejati”, sebuah bank sentral haruslah berkinerja dalam
sistem m oneter yang bisa dipertanggungjawabkan secara teknikal. Mengapa
dem ikian? Karena tindakan-tindakan yang diambil sebuah bank sentral
secara langsung mem pengaruhi tingkat suku bunga, jum lah kredit dan
pasokan uang. “Sem ua ini,” tulis Frederick Mishkin, “have direct im pacts
not only on financial m arkets but also on aggregate output and inflation.”4
Di atas pelataran yang luas —yang berpotensi m enstrukturkan hubungan
silih-berganti antara “konflik” dan “harm oni” aspek-aspek politik dan ekonom i-m oneter— inilah sebuah bank sentral harus berkinerja. Karena itu tidak
m engherankan jika acap kita pergoki sebuah kenyataan bahwa bukan saja
kebijakan-kebijakan m oneter yang secara teoritis diam bil dengan kalkulasi
teknikal lebih sering dievaluasi secara politik, m elainkan juga otoritas-otoritas politik secara intrinsik m encurigai m otif di balik kebijakan moneter itu,
dan karenanya cenderung untuk m engontrolnya.
Ban k Se n tral d an U an g
Ini sem ua terjadi karena m unculnya abad bank sentral yang m endom inasi
perekonom ian, terutam a di sektor finansial. Tetapi, untuk sampai pada
kesim pulan itu, kita harus m enengok sejarah “uang” secara lebih tipikal.
Mengapa tipikal? Karena “uang”, sebagai alat pertukaran, dalam konteks
sejarah, adalah sesuatu yang m enembus atau merembes batas-batas “kam ar”
aktivitas m anusia. Sebagaim ana di nyatakan sejarawan Perancis terkenal

Fernand Braudel, daya rem bes alat tukar itu terjadi karena “[m ]oney every w here contrives to insert itself into all econom ic and social relationships.”
Sifat dan peran yang tak m engenal tapal batas ini telah m enyebabkan “uang”
bukan saja faktor yang m endinamisasikan aktivitas kehidupan m anusia,
m elainkan juga elusive —sukar dim engerti. Maka tak m engherankan jika
Braudel memberikan penilaian yang begitu khusus terhadap sifat dan peran
“uang” terhadap m anusia:
“Although it is an ancient fact of life, or rather an ancient technique,
m oney has never ceased to surprise hum anity. It seem s m ysterious and
disturbing. In the first place, it must have seemed com plicated in itself,
for the m onetary econom y that goes with m oney was nowhere fully
developed, even in a country like France in the sixteenth and seventeenth
centuries, or indeed in the eighteenth. It only m ade its way into certain

                                                            
4 Frederick S. Mishkin, The Economics of Money, Banking and Financial Markets (Massachussetts: Addison-Wesley, 1997), Fifth Edition, h. 389. 

Volume I, No. 2, July 2012 I 3 1

regions and certain sectors, and continued to disturb the others.”5
Untuk memberikan konteks atas daya kejut “uang” di atas, layak kita ikuti

penjelasan Braudel lebih lanjut. Yakni bahwa hal yang m engejutkan itu
bukanlah terletak pada wujud fisik “uang” itu sendiri, m elainkan pada apa
pengaruh yang dibawakannya. Apa itu yang dibawakannya? Braudel
m enjawab: “Keragam an yang tajam dalam harga-harga bahan-bahan pokok;
hubungan-hubungan tak terperikan di m ana m anusia tidak lagi m engenal
baik dirinya m aupun adatnya dan nilai-nilai lam anya. Karyanya m enjadi
kom oditas, dan dirinya sendiri adalah “barang”. Menekankan contoh yang
lebih kongkret, Braudel m enggunakan kata-kata Noël du Fail yang berceloteh di hadapan para petani tua Breton pada 1548, yang m engungkapkan
keheranan dan kebingungan m ereka. J ika ada kekurangan di rum ah- rum ah
para petani, itu adalah karena, ujar Noël du Fail:
“[c]hickens and goslings are hardly allowed to come to perfection before
they are taken to sell (to the town m arket of course) for m oney to be given
either to the lawyer or the doctor (people [formerly] alm ost unknown), to
the one in return for dealing harshly with his neighbour, disinheriting
him , having him put in prison; to the other for curing him of a fever,
ordering him to be bled (which thank God I have never tried) or for a
clyster; all of which our late Tiphaine La Bloye of fond mem ory (a bone
setter) cured, without so m uch m umbling, fumbling and antidotes and
alm ost for a Paternoster.”6
Dan Noël du Fail melanjutkan. “Tetapi sekarang mereka telah memindahkan

dari kota ke kam pung-kam pung kita rem pah-rem pah dan dan gula-gula
yang berm acam -m acam , m ulai dari lada hingga gula berlapis bawang
(sugar-coated leeks) yang sam a sekali tidak dikenal nenek-m oyang kita.
Akan tetapi tanpa itu perjam uan resm i di m asa kini m enjadi ham bar, tidak
rapi dan tidak m egah. Atas ucapan saya itu, seorang pendengar m enyela,
‘engkau benar kawan, dan rasa-rasanya saya berada dalam dunia baru.”7
Kom entar kebingungan sem acam ini, m enurut Braudel dapat ditem ukan di
seluruh Eropa pada m asa itu. Sebab, lanjut Braudel: “[a]ny society based on
an ancient structure w hich opens its doors to m oney sooner or later loses its
acquired equilibria and liberates forces that can never afterw ards be
adequately controlled. The new form of interchange disturbs the old order,
benefits a few previleged individuals and hurts every one else. Every society

                                                            
5 Fernand Braudel, The Structure of Everyday Life: The Limits of the Possible, terjemahan
dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris oleh Siân Reynold (Berkeley, Los Angeles:
University of California Press, 1992), h. 436. 
6 Fernand Braudel, The Structure of Everyday Life, h. 436. 
7
Fernand Braudel, The Structure of Everyday Life, h. 437.


3 2 I Konfrontasi

has to turn over a new leaf under the im pact.”8
Sem ua ini menunjukkan sebuah perubahan dahsyat didalam m asyarakat
akibat dari penggunaan “uang” sebagai substansi lahirnya hubungan-hubungan yang bersifat im personal dan kom ersial. Kalim at Braudel tentang
m asyarakat lam a yang kehilangan keseim bangan (loses its equilibria) di atas
sejalan dengan deskripsi Heilbroner tentang kem erosotan sistem feodalism e
akibat gejala yang sam a:
“Feodalism as a legal, political and social organization had to give way to
another form of society with a very different set of laws, customs and
political institutions.”9
Tentu, yang dim aksudkan dengan paragraf Heilbroner ini adalah sebuah
penggambaran tentang lahirnya m asyarakat dengan sistem pasar atau
m asyarakat kapitalis. Namun, sebagaimana akan kita lihat di bawah, sem ua
itu erat terkait dengan dinam ika yang tumbuh karena penggunaan “uang”
sebagai alat tukar bersifat im personal. Pada akhirnya, “uang” telah mendorong terjadinya revolusi hubungan-hubungan sosial-ekonom i dan politik
m anusia —yang mem aksa m asyarakat, seperti dinyatakan Braudel di akhir
paragraf di atas, m embuka lem baran kehidupan baru agar m am pu m enyesuaikan diri atas pengaruh yang dilahirkannya. Dalam kenyataan sejarah,
satu atau dua abad setelah m asa deskripsi Braudel itu, sistem keuangan

bukan saja telah merevolusikan m asyarakat, m elainkan m erevolusikan
dirinya sendiri yang, pada akhirnya, secara tak terelakkan, m erevolusikan
dunia.
Ini semua berkaitan pada usaha menciptakan dana pendukung bagi
Vereenigde Nederlansche Geoctroy eerde Oostindische Com pagnie (VOC)
pada 160 2. VOC ini pada esensinya adalah am algam asi seluruh perusahaan
pelayaran Belanda yang —oleh the Dutch State-General, yaitu parlem en Uni
Propinsi (United Provinces) Belanda— dianggap tidak efisien. Lepas dari
konteks em osional dalam sejarah Indonesia, kelahiran VOC ini m enandai
lahirnya inovasi dalam sistem keuangan: joint stock, yaitu sebuah usaha
kolektif m endanai sebuah korporasi dengan cara pem belian saham . Yang
terjadi, seperti dinyatakan Ferguson, adalah duyunan anggota m asyarakat
(m ulai dari pedagang, artisan, bahkan para budak) berlomba m em peroleh
saham VOC. Di Am sterdam sendiri, terdapat sebanyak 1.143 pembeli saham
atau investor di m ana 80 orang di antaranya membeli saham lebih dari

                                                            
8

Fernand Braudel, The Structure of Everyday Life, h. 437. 

Robert L. Heilbroner, The Making of Economic Society (Englewood Cliff, NJ:
Prentice-Hall, Inc.,1962), h. 69. 
9

Volume I, No. 2, July 2012 I 3 3

10 .0 0 0 gulden dan sebanyak 445 orang m em iliki saham kurang dari 10 0 0
gulden. Hasilnya adalah 6,45 juta gulden yang mem buat VOC “[m ]uch the
biggest corporation of the era.”10
Inovasi finansial ini bukan saja telah menggunakan prinsip lim ited liability
di dalam sistem korporasi, di m ana kerugian pem egang saham hanya
terbatas pada m odal yang diinvestasikan, atau pem bayaran dividen (walau
untuk pertam a kalinya pada 1612, m asih dalam bentuk natura, yaitu
rem pah-rem pah), m elainkan juga mendorong lahirnya joint-stock com pany
dan pasar m odal (stock m arket) sekaligus, seperti dicatat Ferguson:
“No sooner had the first publicly owned corporation com e into existence
with the first ever intial public offering of shares, than a secondary
m arket sprang up to allow these share to be bought and sold. It proved to
be a rem arkably liquid m arket.”11
Tingginya tingkat likuiditas ini terjadi karena pada 160 7 saja, sepertiga

saham VOC telah berpindah tangan dari pem ilik semula. Sebagai akibatnya,
terutam a karena penjualan saham VOC berlangsung dengan tingkat frekuensi yang tinggi, jenis perdagangan finansial baru pun m uncul: forw ard
m arket atau futures —pem belian dewasa ini untuk pengantaran barang di
kem udian hari. Walau pada m ulanya pasar m odal ini berlangsung di tem pat
terbuka, tetapi karena kian lam a kian ram ai, pada 160 8 proses transaksi
diselenggarakan di tem pat tertutup di Rokin, yang tak terlalu jauh dari Balai
Kota. Dengan bentuk ruang bersegi em pat (quadrangle), sederet tiang
penopang atap (colonnades) dan sebuah m enara jam , lahirlah sebuah pasar
m odal pertam a di dunia —m eski, kata Ferguson, mirip sekolah Oxford abad
pertengahan.
Apa yang penting kita catat di sini adalah bahwa pasar saham pertam a di
dunia itu m em erlukan lem baga keuangan yang menyelenggarakan sirkulasi
“uang” secara sistem atis ke tem pat-tem pat yang produktif. Maka, m enjadi
tak m engherankan jika Am sterdam Exchange Bank lahir pada saat yang
sam a (160 9). Mengapa dem ikian? Karena, jawab Ferguson, sebuah pasar
m odal “[c]annot readily function w ithout an effetive m onetary sy stem .”
Maka, sekali bankir Belanda m enerim a saham -saham VOC sebagai agunan
untuk pinjam an, hubungan antara pasar saham dengan aliran pasokan
kredit m ulai terbentuk. Langkah berikutnya mengalir dengan begitu saja:
bank m ulai m em injam kan “uang” sehingga saham -saham bisa dibeli dengan

kredit. Dan Ferguson m encatat: “Com pany , bourse and bank provided the

                                                            
10 Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (London:
Penguin Books), h. 129-130. 
11 Niall Ferguson, The Ascent of Money, h. 132. 

3 4 I Konfrontasi

triangular foundation for a new kind of econom y .”12
A new kind of econom y (bentuk baru ekonom i) ini, antara lain, adalah
sebuah sistem pertukaran barang dan jasa yang bukan saja didasarkan pada
sistem pasar, tetapi juga bersifat ekspansif. Di sini aliran m odal berim igrasi,
m elintasi tapal batas negara-bangsa dan benua. Ciri tipikal sistem ekonomi
ini adalah bahwa m odal tidak lagi berasal dari sum ber tunggal, m elainkan
beragam dan, yang lebih penting —seperti terlihat dalam kasus VOC di
atas— tidak berasal dari m iliknya sendiri. Dalam ciri yang semacam inilah
kita bisa menyebutnya sebagai banking econom y, sebuah sistem perekonom ian di mana arus utam a sirkulasi m odal lebih berbentuk kredit dan di
atur oleh sebuah lembaga yang im personal, yakni bank. Rumusan ini
tam paknya cocok dengan identifikasi “sederhana” Walter Bagehot yang,

pada 1870 -an m enulis: “The distinctive function of the banker, says Ricardo,
‘begin as soon as he uses the m oney of others.”13 Maka, yang sesungguhnya
kita bicarakan di sini adalah ekonom i finansial abad perbankan.
Pada abad-abad ini kita melihat adanya perpaduan antara Belanda dengan
Inggris, apa yang disebut Ferguson sebagai Anglo-Dutch m erger. Tam paknya, yang dim aksudkan dengan frase ini adalah m igrasi sistem finansial
Belanda ke Inggris:
“In particular, the Anglo-Dutch m erger of 1688 introduced the British to
a number of crucial financial institutions that the Dutch had pioneered.
In 1694 the Bank of England was founded to m anage the governm ent’s
borrowings as well as the national currency, sim ilar (though not identical)
to the successful of Am sterdam Wisselbank founded eighty-five years
before. London was also able to im port the Dutch system of a national
public debt, funded through a Stock Exchange, where long-term bonds
could easily be bought and sold.” 14
Tepat pada saat itu, yaitu pada 1688, Inggris memang sedang m engalam i
revolusi finansial. Revolusi ini berjalan seiring dengan kem unculan birokrasi
Inggris yang dikelola secara lebih profesional, dibandingkan dengan negaranegara Eropa lainnya. Dan salah satu tonggak revolusi finansial tersebut —
yang m enyebabkan Inggris jauh lebih siap dalam mem biayai peperangan—
adalah sistem perpajakan yang dibangun secara efektif dan efisien.15 Ga-

                                                            
12

Niall Ferguson, The Ascent of Money, h. 133. 
Walter Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market (New York, et-al:
John Wiley and Sons, Inc., 1999), h. 21. Buku ini terbit pertama kali pada 1873.
14 Niall Ferguson, Empire: How Britain Made The Modern World (London: Penguin
Books,2003), h. 23.
15 Tentang hal ini, lihat John Brewer, The Sinews of Power: War, Money and the English
State, 1688-1788 (New York: Alfred A. Konf, 1989). 
13

Volume I, No. 2, July 2012 I 3 5

bungan sistem perpajakan yang efektif dan efisien serta revolusi sistem finansial yang m enciptakan kem ungkinan terjadinya akum ulasi m odal besarbesaran dan m enjadikan Inggris sebagai pusat modal dunia. Dalam konteks
inilah, sebuah bank sentral m em ainkan peran yang crucial.
Sebagaim ana dinyatakan Ferguson dalam paragraf yang baru kita lihat di
atas, the Bank of England, bank sentral Inggris, didirikan pada 1694 dengan
tujuan pengelola keuangan negara baik dalam bentuk pinjam an m aupun
dari sum ber-sum ber lainnya. Tetapi hal terpenting di sini adalah pem berian
hak istim ewa kepada Bank of England pada 1697 sebagai exclusive banking
yang m engukuhkan dirinya m em punyai hak exclusive trading —dengan
im balan bahwa bank sentral tersebut sewaktu-waktu harus siap m em bantu
keuangan pem erintah Inggris.16 Maka tak m engherankan kem udian jika the
Bank of England bertindak sebagai “pem im pin industri perbankan” Inggris:
“raja” dari bank-bank lainnya:
“For, while the general banking business of the country increased rapidly,
the bank whether in London or the provinces kept a constantly dim inishing proportion to their reserves in cash. They got into habit of keeping by them little m ore than “till m oney” i.e. enough to m eet the ordinary
dem ands of their customers for cash to pay wages, and for other retail
transactions. ... The real reserve was left at the Bank of England.”17
Di sini kita m elihat m uara dari proses kinerja “uang”, sebagai alat tukar,
yang im personal dan merevolusikan diri ke dalam sistem finansial inovatif
—dalam berbagai bentuk jenis dan kelembagaan— adalah pendirian dan
perkem bangan peranan bank sentral. Tidak m engherankan, jumlah bank
sentral bertam bah dengan kian berkem bangnya perekonom ian uang. Data
yang diperlihatkan J uliette Healey menyatakan bahwa sejak 1870 hingga
1990 , jum lah bank sentral bertam bah m enjadi 180 buah.18 Tetapi yang
terpenting kita lihat adalah bahwa proses kinerja “uang” yang berm uara
kepadalahirnya bank sentral di berbagai negara-bangsa tak pernah luput
dari keterbenturannya dengan aspek-aspek sosial-ekonom i dan politik,
sesuatu yang secara teknikal tak berhubungan dengannya.

                                                            
16

Alfred Marshall, Money, Credit, and Commerce (New York: Promotheus Books,
2003), h. 414. Buku ini terbit pertama kalinya di London pada 1923. 
17 Alfred Marshall, Money, Credit, h. 136. 
18 Juliette Healey, “Financial Stability and the Central Bank: International Evidence”, dalam Richard A. Brealy, et-al, Financial Stability and Central Banks (London and
New York: Routledge, 2001), h. 19-98. 
3 6 I Konfrontasi

Po litik-Eko n o m i Ban k In d o n e s ia
Pada hem at saya, hanya dalam konteks inilah kita lebih bisa m em aham i
secara lebih kom prehensif lingkungan politik-ekonom i Bank Indonesia
sebagai bank sentral negeri “Nyiur Melam bai” ini. Bank sentral Indonesia
m em ang bukan produk Revolusi Nasional 1945-1949, seperti halnya Bank
Negara Indonesia (BNI). Akan tetapi tidak bisa dinafikkan bahwa kelahirannya pada 1952 adalah sebuah produk politik —karena perasaan nasionalism e
m asyarakat baru m erdeka m eningkat dan m endorong terjadinya nasionalisasi De J avasche Bank milik Belanda.19 Karena itu, kendati harus bekerja
secara teknikal, kehadiran Bank Indonesia m em punyai m isi sosial-politik.
Beberapa di antara m isi sosial-politik itu terletak pada budaya “uang” dan
struktur kapital m asyarakat Indonesia. Dari segi budaya, tidak bisa disangkal bahwa masyarakat Indonesia yang baru m erdeka pada esensinya m asih
sangat terbelakang. J ika dibandingkan dengan pengalam an masyarakat
Belanda yang pada abad ke-17, seperti telah kita lihat di atas, telah m engem bangkan sistem inovatif dalam sektor finansial, yaitu joint stock, hingga
pertengahan abad ke-20 , yakni 3 abad kem udian, m asyarakat Indonesia
m asih m engalam i financial shallow ing (rendahnya budaya m enggunakan
uang sebagai aktivitas ekonom i) 20 Berbagai studi m emang mem perlihatkan
betapa terbelakangnya m asyarakat Indonesia dalam m em perlakukan “uang”.
Munculnya berbagai m itos tentang “uang”, bahkan hingga hari ini, untuk
sebagian m endukung dugaan di atas.
Sebagian lainnya adalah karena kebanggaan akan identitas Indonesia yang
baru m erdeka. Bagaim anapun juga harus kita akui, sejarah “uang” di Nusantara ini tidak berjalan lurus. Selain jenis-jenis “uang” tradisional, sistem
m oneter kita didominasi dalam waktu yang cukup lam a oleh alat pembayaran kolonial Belanda. Sejak 1942, “uang” yang berlaku di tengah m asyarakat adalah yang diciptakan J epang. Maka tak m engherankan, ketika ORI
(Oeang Repoeblik Indonesia) dicetak pada 1945, setelah J epang m enyerah
kepada Tentara Sekutu, tidak secara otom atis diterim a di tengah-tengah
m asyarakat.21 Dalam spekulasi saya, terutam a karena Belanda kembali m enduduki ham pir sebagian besar wilayah Indonesia pada 1945-49, “uang” kolo-

                                                            
19 Tentang sejarah Bank Indonesia, lihat M. Dawam Rahardjo, et.al, Bank Indonesia
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1996) 
20 Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Umar Juoro dan Musfihin Dahlan, The Politics of
Central Bank: The Position of Bank Indonesia Governor in Defending Independence (Jakarta:
LSPEU Indonesia, 2003). 
21 Drs. Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1958) (Jakarta:
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991), h. 69. 

Volume I, No. 2, July 2012 I 3 7

nial Hindia Belanda kem bali dipergunakan.
Dalam situasi inilah keabsahan atau legitim asi kem erdekaan Indonesia di
hadapan rakyat ditentukan oleh apakah “uang” yang dicetak secara resm i
digunakan oleh penduduk Indonesia atau tidak. Hal inilah yang disuarakan
Gubernur Bank Indonesia pertam a Sjafruddin Prawiranegara:
“It was exactly am ong the “underdeveloped” and prim itive society like
Indonesians that thrust in the country’s currency becam e a barom eter of
people’s confidence in the government and a measuring stick of governm ent’s authority on the people. The lesser the people trust in the official
currency the lesser the government’s authority on the people, and the
lesser the possibility of the goverm ent to carry out its duty as norm al.22
Dengan melihat ini, menjadi jelas bagi kita bahwa bank sentral di Indonesia
tidak berdiri terasing dari m asalah-m asalah sosial-politik. Bahkan di dalam
beberapa hal, jika ucapan Sjafruddin Prawiranegara diatas ditelitidengan
seksam a, peranan politik bank sentralm enjadisesuatu yang crucial. Sem entara dari segi kekuatan politik, m iliter dan profesionalism e negara dan
bangsa Indonesia yang baru m erdeka masih harus diuji, “uang” hasil cetakannya diterim a secara penuh oleh m asyarakat. Hal ini m engindikasikan —
seperti tersirat dalam ucapan Sjaruddin di atas— penerim aan dan pengakuan politik dari rakyat atas kehadiran Indonesia sebagai sebuah negara
yang m erdeka.
Ringkasnya, keberadaan bank sentral secara struktural akan selalu terkait
dengan politik, secara langsung atau tidak. Namun dem ikian, terutam a
karena bukan lem baga politik, m aka bank sentral tidak m ungkin bertindak
sebagai inisiator dalam kebijakan-kebijakan non-m oneter. Melainkan, sebagai pihak yang dipengaruhi. Dalam arti kata lain, di dalam konteks politik,
bank sentral bukanlah subyek, m elainkan obyek yang secara terus-m enerus
berpotensi mengalam i proses subordinasi. Contoh paling fatal dan ironis
dari proses subordinasi ini adalah ketika pada 1960 -an Bank Indonesia,
sebagai bank sentral, dilebur menjadi bagian dari BNI. Ini dengan jelas
dapat kita lihat dari deskripsi Widigdo Sukarm an:
“Pada 1964, atas dasar pertim bangan politik untuk m em perm udah kom ando di bidang perbankan, pem erintah m enetapkan kebijakan m engintegrasikan seluruh bank-bank pem erintah ke dalam suatu bank dengan
nam a Bank Negara Indonesia. Prakarsa pengintegrasian bank pem erintah ini diusulkan oleh J usuf Muda Dalam , Menteri Bank Sentral/ Gubernur Bank Indonesia dan disetujui oleh Presiden Soekarno. Ide dasarnya
adalah menjadikan perbankan sebagai “alat revolusi” dengan m otto

                                                            
22

Dikutip Fachry Ali, et-al, The Politics of Central Bank, h. 7.

3 8 I Konfrontasi

“Bank Berjuang” di bawah pim pinan “Pem im pin Besar Revolusi”.23
Kasus ini bukan saja m engindikasikan ketakberdayaan bank sentral atas
tekanan politik, m elainkan juga m em perlihatkan kecenderungan struktural
otoritas politik untuk mengontrolnya. Dan kontrol yang sem acam ini tidak
berhenti ketika rezim berganti. Di bawah Orde Baru (1996-1998), bank
sentral tetap berada di bawah pengaruh politik pem bangunan. Di sini, harus
diakui bahwa pengaruh politik tersebut lebih bersifat “teknokratis”, dalam
arti subordinasi bank sentral ditujukan untuk m enciptakan efek pembangunan ekonom i yang relatif terukur.
Nam un dem ikian, seperti disayangkan Anwar Nasution, kebijakan sem acam
ini telah m em perkecil ruang m anuver bank sentral untuk bertindak sebagai
penjaga stabilitas m oneter —sebagai- m ana m em ang telah m enjadi tugas
pokok bank sentral di m anapun.24 Dalam arti kata lain, apa yang dim aksudkan m anuver tersebut mengandung gagasan kebutuhan independensi sebuah bank sentral.
Hanya di masa Presiden BJ Habibie (1998-1999), cita-cita yang bersifat
teknokratik ini terealisir.25 Akan tetapi, harus cepat-cepat kita nyatakan di
sini bahwa independensi tersebut lebih m erupakan sebuah kreasi politik.
Dalam arti bahwa keruntuhan rezim Orde Baru telah m em ungkinkan
penguasa politik yang menggantikannya m engubah langgam cengkram an
politik atas bank sentral. Sepanjang otoritas politik berpegang teguh kepada
gagasan tersebut, sepanjang itu pula independensi bank sentral bisa dipertahankan. Pernyataan ini dengan sangat jelas terbukti di m asa kepresidenan Abdurrahm an Wahid (1999-20 0 1). J auh dari kesadaran tentang strategisnya m em pertahankan independensi bank sentral, Presiden Abdurrahm an
Wahid telah berusaha m elangkahi seluruh bangunan Undang-undang Bank
Indonesia dengan m enggunakan otoritas politik yang dim ilikinya untuk
m elakukan intervensi ke dalam susunan anggota gubernur bank sentral.
Dengan m enyatakan ini, saya ingin m enyam paikan pendapat bahwa secara
struktural bank sentral di Indonesia akan selalu terkait atau terbawa ke
dalam arus besar pergolakan politik. Reform asi politik yang berlangsung
sejak 1998 hingga kini, secara teoritis, adalah sebuah proses konsolidasi

                                                            
23 Widigdo Sukarman, “Liberalisasi: Telaah Politik-Ekonomi Perbankan Masa Orde
Baru”, disertasi doktor, Program Studi Ilmu-ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu-ilmu
Sosial, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2003, h. 115. 
24 Anwar Nasution, Financial Institutions and Policies in Indonesia (Singapore: ISEAS,
1983). 
25 Seluruh kisah tentang proses penciptaan independensi bank sentral Indonesia
dapat dilihat dalam Fachry Ali, et-al, The Politics of Central Bank. 

Volume I, No. 2, July 2012 I 3 9

sistem dem okrasi. Tetapi secara substansial adalah pem encaran kekuasaan
secara tidak sistem atis dari istana ke wilayah-wilayah yang kian m enjauh
dari “pusat kekuasaan” —yang secara konvensional kita paham i. Im plikasi
paling nyata dari pem encaran kekuasaan ini adalah rekrutm en calon-calon
pem egang otoritas politik tidak lagi melalui kontestasi lam a: “kepiawaian
teknokratis”. Melainkan, m elalui kontestasi publik. Ini berarti bahwa proses
seleksi tersebut berlangsung dalam struktur yang longgar, karena m ereka
yang tam pil ke atas panggung kekuasaan lebih didasarkan pada kem am puan
m em bujuk massa. Dan m assa yang pada um um nya tidak berhasrat kepada
gagasan-gagasan yang bersifat teknokratik, cenderung m em ilih m ereka yang
dianggap populer.
Proses seleksi pem im pin politik yang sem acam inilah yang m enyebabkan
bank sentral m engalam i “alienasi”. Sifat kinerjanya yang sepenuhnya bertum pu pada segi-segi teknikal-m oneter bukan saja “m em bosankan” dilihat
dari konteks m assa, m elainkan juga terlalu rum it untuk dicerna. Akibatnya
adalah bank sentral hanya m am pu mengkom unikasikan diri kepada khalayak terbatas: kaum profesional dan para pengusaha yang m erasakan langsung pengaruh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh bank sentral. Sementara para politisi, yang kini mem punyai otoritas politik, tenggelam dalam
kalkulasi kekuasaan bersiklus lim a tahunan, dan karena itu tidak sem pat
m em buat perenungan jangka panjang. Padahal kita tahu, habitat yang sehat
bagi bank sentral yang independen terletak pada keterjam inannya berkinerja
dalam jangka panjang. ***

4 0 I Konfrontasi

Biblio grafi:
A. Brealy, Richard, et-al, Financial Stability and Central Banks (London and
New York: Routledge, 20 0 1).
Ali, Fachry, Effendy, Bahtiar, J uoro, Um ar dan Dahlan, Musfihin, The
Politics of Central Bank: The Position of Bank Indonesia Governor in
Defending Independence (J akarta: LSPEU Indonesia, 20 0 3).
Bagehot, Walter, Lom bard Street: A Description of the Money Market (New
York, et-al: J ohn Wiley and Sons, Inc., 1999).
Beng To, Oey, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, J ilid I (1945-1958)
(J akarta: Lem baga Pengem bangan Perbankan Indonesia, 1991).
Braudel, Fernand, The Structure of Every day Life: The Lim its of the
Possible, terjem ahan dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris
oleh Sian Reynold (Berkeley, Los Angeles: University of California
Press, 1992).
Brewer, J ohn, The Sinew s of Pow er: W ar, Money and the English State,
1688-1788 (New York: Alfred A. Konf, 1989).
Ferguson, Niall, Em pire: How Britain Made The Modern W orld (London:
Penguin Books,20 0 3).
Ferguson, Niall, The Ascent of Money : A Financial History of the W orld
(London: Penguin Books).
L. Heilbroner, Robert, The Making of Econom ic Society (Englewood Cliff,
NJ : Prentice-Hall, Inc.,1962).
Marshall, Alfred, Money , Credit, and Com m erce (New York: Prom otheus
Books, 20 0 3).
Maxfied, Sylvia, Gatekeeper of Grow th: The International Political Econom y of Central Banking in Developing Countries (Princeton, New
J ersey: Princeton University Press, 1997).
Nasution, Anwar, Financial Institutions and
(Singapore: ISEAS, 1983).

Policies in

Indonesia

Rahardjo, M. Dawam , et.al, Bank Indonesia dalam Lintasan Sejarah (J akarta: LP3ES, 1996)
S. Mishkin, Frederick, The Econom ics of Money , Banking and Financial
Markets (Massachussetts: Addison-Wesley, 1997), Fifth Edition.
Sukarm an, Widigdo, “Liberalisasi: Telaah Politik-Ekonom i Perbankan Masa
Orde Baru”, disertasi doktor, Program Studi Ilm u-ilm u Sosial dan
Politik, J urusan Ilm u-ilmu Sosial, Program Pasca Sarjana, Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, 20 0 3.
Volume I, No. 2, July 2012 I 4 1

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2