PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

  PERBEDAAN SIK SIKAP REMAJA PEREMPUAN TERHA HADAP PERILAKU SEK EKSUAL DITINJAU DARI ADA TIDAK AKNYA KURIKULUM PE PENDIDIKAN SEKSUALITAS DI SEKO KOLAH SKRIPSI Diajuka ukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Me Program Studi Psikologi Disusun oleh: Ratih Prameswari R. 069114013 PROGRAM STU TUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOL OLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIV

IVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

  Yang membuatku selalu bersemangat menjalani kehidupan menjadi lebih baik lagi…

Yang selalu sabar menantiku menjadi seorang sarjana…maph pernah membuatmu

kecewa…semoga dengan ini bisa mengembalikan sedikit kebahagiaan yang pernah aku

ambil..dan aku janji akan menjadi lebih baik…mizz u Aco….

  Terimakasih atas supportnya….

  

Kalian paling oke deh,,buat berbagai macam kenakalan yang melatihku untuk menjadi

seorang yang sabar…sabar ngerjain skripsi…hehehe ! ! ! !

  

U’re my everything…selalu disampingku yaa melawan musuh-musuh yang gak

penting…luph u honey" " " " " " " " # # # #

  

Kakakku yang bawel banget dengan pertanyaan2 yang menyebalkan “kapan lulus dik?”

bosen yooooo…ki wes lulus,,,puas?!hehehe

  

PERBEDAAN SIKAP REMAJA PEREMPUAN TERHADAP

PERILAKU SEKSUAL DITINJAU DARI ADA TIDAKNYA

KURIKULUM PENDIDIKAN SEKSUALITAS DI SEKOLAH

Ratih Prameswari Rintaningrum

  

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk menguji perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara

remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja

perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Sikap terhadap

perilaku seksual terdiri dari 3 komponen yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Hipotesis dalam

penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di

sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan yang tidak

memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian berjumlah 131 yang terdiri dari 66

siswi di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan 65 siswi di sekolah yang

tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian merupakan remaja akhir

berusia antara 11-19 tahun. Penelitian ini menggunakan skala sikap terhadap perilaku seksual yang

disusun oleh peneliti. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan Independent sample t-test diperoleh

nilai t sebesar -0,799 dengan probabilitas 0,426 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa

hipotesis tidak terbukti, bahwa tidak terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara

remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja

perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Namun, berdasarkan

tinjauan tiap komponen sikap, pada komponen kognitif terdapat perbedaan yang signifikan antara

remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja

perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dengan nilai t sebesar

  • 0,342 dengan probabilitas 0,001 (p<0,05). Kata kunci: sikap, perilaku seksual, kurikulum pendidikan seksualitas

  

THE DIFFERENCE OF ATTITUDES OF FEMALE ADOLESCENT

TOWARDS SEXUAL BEHAVIOR OBSERVED FROM THE AVAILABILITY

AND NON AVAILABILITY OF SEXUAL EDUCATIONAL CURRICULUM

AT SCHOOL

Ratih Prameswari Rintaningrum

ABSTRACT

  The aim of this research is to examine the difference of attitudes towards sexual behavior

between female adolescent that have sexual educational curriculum and female adolescent that

have no sexual educational curriculum at school. There are 3 component of attitudes toward

sexual behavior : Affective, Cognitive and Conative. The hypothesis of this research is that there

are differences of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual

educational curriculum at school and those that have not. There are 131 persons as subjects of

this research that consist of 66 students that have sexual educational curriculum at school and 65

students that have not. The subjects are female adolescent between 11 years to 19 years of ages.

This research uses the attitude scale towards sexual behavior that is compiled by the researcher.

Based on the hypothesis using the Independent sample t-test, it is found that the t value is -0,799

with 0,426 (p>0,05) of probability. The result shows that the hypothesis is not valid, that there are

no differences attitude towards sexual behavior between female adolescent that have sexual

educational curriculum at school and those that have not. But, based on each component attitude

observation, researcher find that in cognitive component there are significant differences of

attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational

curriculum at school and those that have not with the t value of -0,342 and 0,001(p<0,05) of

probability.

  The key words : attitude, sexual behavior, sexual educational curriculum.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Perbedaan Sikap Remaja Perempuan Terhadap Perilaku Seksual ditinjau dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah” ini hingga terselesaikan. Penulis menyadari proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih atas segala bantuan kepada:

  1. Dr. Ch. Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

  2. Ratri Sunar, S.Psi.,M.Psi selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  3. Tanti Arini, S.Psi.,M.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

  4. C. Siswa Widyatmoko, S.Psi.,M.Psi, sebagai dosen pembimbing skripsi dan Mbak Haksi yang ikut membimbing dan mengarahkan dalam proses penyusunan skripsi hingga selesai.

  5. Dra. Sunu, Dra. Tyas, selaku guru Bimbingan Konseling di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Terimakasih atas kerjasama yang menyenangkan ini.

  6. Victoria Rez Naryanti, S.Psi, selaku guru Bimbingan Konseling di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta.

  7. Semua siswa-siswi kelas XI SMA Bopkri 1 Yogyakarta dan siswi kelas XII SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Terimakasih atas kesediaan teman-teman dalam mengisi kuisionernya…

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................. iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................... v ABSTRAK ..................................................................................................... vi ABSTRACT ................................................................................................... vii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................... viii KATA PENGANTAR .................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................. xi DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii

  BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................... 10 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 10 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 10

  1. Manfaat Teoritis ............................................................................. 10

  2. Manfaat Praktis .............................................................................. 10

  BAB II. LANDASAN TEORI ........................................................................ 11 A. Remaja ................................................................................................ 11

  1. Pengertian Remaja ......................................................................... 11

  2. Karakteristik Remaja ..................................................................... 11

  A. Jenis Penelitian .................................................................................... 35

  1. Reliabilitas .................................................................................... 39

  F. Pengujian Alat Ukur ............................................................................ 39

  E. Metode dan Alat Pengumpul Data ....................................................... 37

  D. Subyek Penelitian ................................................................................ 36

  C. Definisi Operasional ............................................................................ 35

  B. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................ 35

  BAB. III METODE PENELITIAN ................................................................. 35

  B. Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ........................... 13

  Jenis Pendidikan Seksualitas .......................................................... 22 2. Kebijakan dan Praktek Pendidikan Seksualitas di Sekolah .............. 23 D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ditinjau dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah ........................................................................................... 27 E. Hipotesis .............................................................................................. 33

  Pendidikan Seksualitas di Sekolah ....................................................... 21 1.

  4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual .............................................................. 17 C.

  3. Bentuk – bentuk Perilaku Seksual .................................................. 15

  2. Struktur Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ........ 14

  1. Pengertian Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual .... 13

  2. Validitas ........................................................................................ 40

  3. Seleksi Item ................................................................................... 40

  G. Uji Asumsi .......................................................................................... 43

  1. Uji Normalitas ............................................................................... 43

  2. Uji Homogenitas ............................................................................ 43

  H. Metode Analisis Data .......................................................................... 43

  BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 45 A. Persiapan Penelitian ............................................................................ 45 1. Orientasi Kancah Penelitian ........................................................... 45 2. Uji Coba Alat Ukur ....................................................................... 50 3. Perijinan Penelitian ........................................................................ 51 B. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 52 C. Hasil Penelitian ................................................................................... 54 1. Deskripsi Subyek Penelitian .......................................................... 54 2. Deskripsi Data Penelitian ............................................................... 55 3. Deskripsi Data tiap Komponen Sikap ............................................ 58

  4. Uji Asumsi .................................................................................... 63

  a. Uji Normalitas ......................................................................... 63

  b. Uji Homogenitas ...................................................................... 64

  5. Uji Hipotesis ................................................................................. 64

  6. Uji t pada tiap Komponen Sikap .................................................... 65

  a. Afektif ..................................................................................... 65

  b. Kognitif ................................................................................... 66

  c. Konatif .................................................................................... 67

  D. Pembahasan ........................................................................................ 67

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 74 A. Kesimpulan ......................................................................................... 74 B. Saran ................................................................................................... 74

  1. Bagi Sekolah .................................................................................. 74

  2. Bagi Penelitian Selanjutnya ............................................................ 75 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 76 LAMPIRAN ................................................................................................... 83

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Blue Print Skala Uji Coba Sikap terhadap Perilaku Seksual ............... 38 Tabel 2. Alternatif Jawaban Skala Sikap ......................................................... 39 Tabel 3. Item gugur dan Item yang dapat dipakai ............................................ 41 Tabel 4. Perbedaan Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan

  Seksualitas dan Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas ....................................................................... 49

  Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas ...................................................................... 52

  Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas .................................................... 52

  Tabel 7. Persentase Subyek berdasarkan Jenis Sekolah ................................... 54 Tabel 8. Presentase Subyek berdasarkan Kelas ................................................ 55 Tabel 9. Kategorisasi Sikap berdasarkan Perbandingan Mean Empiris dan Mean Teoritis ............................................................................. 57 Tabel 10. Hasil Kategorisasi Sikap terhadap Perilaku Seksual ......................... 57 Tabel 11. Kategorisasi Komponen Afektif terhadap Perilaku Seksual ............. 59 Tabel 12. Hasil Kategorisasi Komponen Afektif terhadap Perilaku Seksual .... 59 Tabel 13. Kategorisasi Komponen Kognitif terhadap Perilaku Seksual ............ 60 Tabel 14. Hasil Kategorisasi Komponen Kognitif terhadap Perilaku Seksual ... 61 Tabel 15. Kategorisasi Komponen Konatif terhadap Perilaku Seksual ............. 62 Tabel 16. Hasil Kategorisasi Komponen Konatif terhadap Perilaku Seksual .... 62 Tabel 17. Hasil Uji Normalitas ....................................................................... 63

  Tabel 18. Hasil Uji Homogenitas .................................................................... 64 Tabel 19. Hasil Uji Hipotesis ......................................................................... 65 Tabel 20. Hasil Uji t pada Komponen Afektif ................................................. 65 Tabel 21. Hasil Uji t pada Komponen Kognitif ............................................... 66 Tabel 22. Hasil Uji t pada Komponen Konatif ................................................. 67

  

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN 1 : Skala Uji Coba Sikap terhadap Perilaku Seksual ................... 84 LAMPIRAN 2 : Uji Reliabilitas Skala ............................................................ 91 LAMPIRAN 3 : Skala Penelitian Sikap terhadap Perilaku Seksual .................. 98 LAMPIRAN 4 : Uji Normalitas ...................................................................... 104 LAMPIRAN 5 : Uji Homogenitas dan Uji Hipotesis ........................................ 107 LAMPIRAN 6 : Uji t tiap Komponen Sikap ..................................................... 109 LAMPIRAN 7 : Verbatim Hasil Wawancara ................................................... 113 LAMPIRAN 8 : Surat Keterangan Penelitian dari Sekolah .............................. 122

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku seksual di kalangan remaja perlu mendapatkan perhatian dari

  berbagai pihak (Listyawati & Suprayoga, 2007). Hal ini disebabkan semakin banyaknya kasus perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja di berbagai negara. Pada tahun 2008-2009, Albania Demographic and Health Survey (2010) menemukan sekitar 36% remaja berusia 15-24 tahun telah melakukan hubungan seksual beresiko. Di Afrika Selatan, pada tahun 2003 tercatat 48% remaja berusia 15-18 tahun dan 90% berusia 20-24 tahun telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah (Pettifor dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh PKBI DIY pada tahun 2006 menyebutkan bahwa terdapat 60 kasus pelajar di bawah usia 16 tahun telah melakukan perilaku seksual sebelum menikah. Begitu pula Indonesia Young Adult Reproductive Health (2008) pada tahun 2007 menemukan sekitar 44% remaja Indonesia berusia 15- 24 tahun, dan penelitian yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2008 menunjukkan bahwa 63% remaja di kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Angka kasus perilaku seksual di kalangan remaja yang tinggi diiringi dengan rendahnya penggunaan alat kontrasepsi di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia (Kennedy dkk., 2011; Welling dkk., 2006).

  Banyaknya kasus perilaku seksual di kalangan remaja menimbulkan dampak dari berbagai segi. Dilihat dari segi fisik, dampak yang ditimbulkan seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), terjangkit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) (Hargreaves dkk., 2007; Guttmacher, 2006).

  Di Indonesia, berdasarkan data survei yang dilakukan PKBI Sulawesi Utara pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kasus remaja perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebanyak 254 orang meningkat menjadi 454 orang pada tahun 2011 (ANTARAnews, 27 Maret 2012). Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa angka persalinan usia remaja melonjak dari 50 kasus pada tahun 2010 menjadi 235 kasus pada tahun 2011. Remaja perempuan yang belum mampu bertanggung jawab sebagai orangtua, mereka memilih untuk melakukan aborsi (Coleman, 2006). Angka kasus aborsi di Indonesia relatif tinggi sekitar 2,5 juta per tahun (Harian Jogja, 18 April 2012). Data yang diperoleh dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI pada tahun 2011, menunjukkan jumlah penderita HIV sebanyak 21.031 orang dan penderita AIDS sebanyak 4.162 orang. Menurut survei yang dilakukan Indonesia Young Adult Reproduktive Health (IYARH) menemukan bahwa penyakit menular seksual (PMS) lebih banyak diderita oleh perempuan (sekitar 40%) dibanding laki- laki (hanya sekitar 3%) pada tahun 2007.

  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku seksual dapat membawa dampak yang negatif dari segi psikologis, seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) cenderung menimbulkan berbagai masalah seperti rendah, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang (Omar dkk., 2010; Raatikainen dkk., 2006). Remaja perempuan yang memilih untuk menjadi orangtua cenderung keluar dari sekolah, kurang memiliki kesempatan untuk bekerja, berada pada level sosioekonomik yang rendah, menjadi orangtua tunggal, dan kurang memiliki pilihan untuk mengubah kehidupannya dari kemiskinan (Omar dkk., 2010; Pallito & Murillo, 2008). Aborsi yang dilakukan remaja perempuan cenderung memiliki hubungan dengan gangguan mental seperti post traumatis stress, dan kecemasan sosial (Ross dkk., 2006). Penyakit menular seksual (PMS) yang diderita oleh remaja perempuan juga cenderung berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan stres (Ethier dkk., 2006). Depresi lebih rentan diderita oleh perempuan dibanding laki-laki dan episode depresi lebih banyak pada masa remaja dan dewasa (Essau dkk., 2010).

  Perilaku seksual remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi dan seksualnya menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang masalah seksualitas (Buhi & Goodson, 2007; Santrock, 2007). Selain itu, remaja yang memiliki harga diri yang rendah dan depresi cenderung melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang beresiko (Ethier dkk., 2006; Lee dkk., 2009; Shrier dkk., 2012). Remaja yang memiliki sikap positif terhadap perilaku seksual sebelum menikah cenderung melakukan hubungan seksual (Buhi & Goodson, 2007; IYARH, 2008). Faktor eksternal yang terlarang, alkohol, dan rokok cenderung menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual (Boislard & Poulin, 2011; Madkour dkk., 2010; Shrier dkk., 2012). Selain itu, konflik orangtua-anak dan kurangnya pengawasan orangtua menyebabkan remaja memiliki kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman lawan jenis (Boislard & Poulin, 2011). Ditambah lagi, mudahnya remaja mengakses informasi mengenai seksualitas dari berbagai media seperti internet, video porno, dan majalah cenderung meningkatkan keinginan remaja untuk berhubungan seksual (L’Engle, 2006; Lou dkk., 2012). Remaja yang memiliki teman yang pernah melakukan hubungan seksual cenderung memiliki minat untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Buhi & Goodson, 2007).

  Ada berbagai faktor yang dapat mencegah dan mengurangi perilaku seksual di kalangan remaja khususnya remaja perempuan. Di lingkungan keluarga, beberapa faktor tersebut seperti komunikasi yang baik antara orangtua dan anak mengenai seksualitas (Buhi & Goodson, 2007; Jerman & Constantine, 2010; Madkour dkk., 2010), harapan orangtua yang besar dalam pendidikan anaknya, dan pesan moral orangtua pada anak perempuannya untuk menghindari perilaku seksual (Gilliam dkk., 2007). Secara personal, remaja perempuan yang bertahan untuk tidak terpengaruh dengan ajakan pasangan dan teman serta memiliki kontrol diri untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan pasangan cenderung memiliki hubungan positif dengan penundaan dalam melakukan berbagai perilaku seksual (Gilliam dkk., 2007).

  Remaja perempuan yang bersikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung memiliki efek positif dalam menghindari perilaku seksual (Kirby dkk., 2007). Sikap remaja terhadap perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh budaya di tempat tinggal individu (Kirby dkk, 2007). Budaya barat yang individulistik dan budaya timur yang kolektivistik dapat mempengaruhi sikap remaja terhadap perilaku seksual sebelum menikah. Menurut penelitian Kuota dan Tolma (2008), keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual.

  Sikap merupakan salah satu mediator pendidikan seksualitas dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja. Tanpa faktor mediator, pendidikan seksualitas tidak dapat secara spesifik menjelaskan bagaimana dan mengapa program tersebut dapat mempengaruhi perilaku. Pendidikan seksualitas di sekolah juga memiliki efek yang positif pada perilaku seksual remaja perempuan, yaitu bagi remaja perempuan yang masih virgin berguna untuk mendorong penundaan hubungan seksual dan bagi remaja perempuan yang aktif secara seksual berguna untuk mendorong pemakaian alat kontrasepsi dan tidak diinginkan (KTD), PMS, dan HIV/AIDS (Chin., 2012; Kirby dkk., 2007; Kohler dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Mueller dkk., 2008; Rijsdijk dkk., 2011).

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linberg dan Zimet (2012) menemukan bahwa pendidikan seksualitas memiliki hubungan dengan penundaan hubungan seksual pertama untuk laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pendidikan seksualitas berguna bagi sekelompok remaja yang melakukan hubungan seksual agar terhindar dari penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak diinginkan dengan menggunakan alat kontrasepsi dan pengontrol kelahiran (Mueller dkk., 2008).

  Pendidikan seksualitas di sekolah dibedakan menjadi dua, yaitu pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif.

  Pendidikan seksualitas abstinence bertujuan untuk mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara menunda perilaku seksual hingga menikah (Chin dkk., 2012; Kohler dkk., 2008). Pendidikan seksualitas komprehensif bertujuan untuk mengurang resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara mencegah terjadinya perilaku seksual ataupun mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual (PMS) dengan menggunakan alat kontrasepsi dan metode pengontrolan kelahiran (Chin dkk., 2012;Gelperin dkk., 2004; Kabiru & Orpinas, 2009; Kohler dkk., 2008).

  Pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas materi yang disusun dalam kurikulum tertentu yang dirancang oleh pihak sekolah dan melalui materi yang diberikan berdasarkan kurikulum nasional.

  Di Indonesia, ada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan ada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus. Pada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, semua materi seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara terstruktur oleh guru Bimbingan Konseling selama 1 tahun ajaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus, materi seputar seksualitas, kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara acak melalui pelajaran Agama dan Biologi sesuai dengan materi pada buku pelajaran yang dipakai. Pendidikan seksualitas diberikan berdasarkan kurikulum nasional. Dengan tidak adanya kurikulum khusus untuk materi pendidikan seksualitas, maka tidak terdapat standar yang sama dalam pemberian materi pendidikan seksualitas. Pendidikan seksualitas yang diberikan sangat bergantung pada kecocokan materi pendidikan seksualitas dengan materi utama pada pelajaran Agama dan Biologi, nilai personal yang dimiliki oleh masing-masing guru pengampu mata pelajaran, dan ketersediaan waktu dalam silabus mata pelajaran tersebut.

  Menurut Kirby dkk (2007), adanya kurikulum pendidikan seksualitas mempengaruhi keefektifan pemberian materi seksualitas. Kurikulum meliputi proses pengembangan kurikulum, isi kurikulum, dan implementasi dari kurikulum tersebut. Isi kurikulum terdiri terdiri dari aktivitas dalam proses guru. Kurikulum pendidikan seksualitas yang efektif dapat meningkatkan pengetahuan mengenai resiko dari perilaku seksual seperti HIV/AIDS, PMS, dan kehamilan (termasuk metode pencegahannya), meningkatkan penerimaan terhadap resiko tersebut, mampu mengubah sikap seseorang, mempengaruhi

  self efficacy untuk menolak perilaku seksual yang tidak diinginkan,

  meningkatkan self efficacy untuk menggunakan kondom, meningkatkan motivasi untuk menjauhi perilaku seksual, dan meningkatkan komunikasi dengan orangtua tentang masalah seksualitas.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Cheng (2009) terlihat bahwa remaja perempuan yang memiliki pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung terhadap perilaku seksual. Remaja perempuan yang memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung melakukan penundaan hubungan seksual (Buhi & Goodson, 2007; Kirby dkk., 2007).

  Di Indonesia, pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh pendidikan seksualitas terhadap sikap remaja pada perilaku seksual pranikah (Yuniarti, 2007). Subyek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 14 - 17 tahun di salah satu SMK. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan. Sebelum dan sesudah diberikan pendidikan seksualitas, sikap terhadap perilaku seksual pranikah hanya sedikit mengalami perubahan. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan pendidikan seksualitas yang diberikan peneliti tidak memiliki pengaruh pada sikap terhadap perilaku seksual pranikah remaja antara lain penyampaian materi mahasiswa dan tidak memiliki kemampuan dalam mengajar khususnya masalah seputar seksualitas. Selain itu, metode pendidikan seksualitas yang diberikan hanya presentasi dan diskusi antara peneliti dan siswa. Penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian review yang dilakukan oleh Kirby dkk (2007) bahwa pendidikan seksualitas yang efektif diberikan berdasarkan kurikulum tertentu di sekolah sehingga pendidikan seksualitas yang diberikan di penelitian tersebut tidak memiliki pengaruh pada sikap. Selain itu, pendidikan seksualitas seharusnya diberikan oleh pengajar yang memiliki karakteristik tertentu seperti tertarik mengajar tentang seksualitas, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan siswa, dan memiliki kemampuan mengajar yang baik sesuai dengan materi. Pengajar yang kurang memahami materi sebaiknya dilatih terlebih dahulu sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada remaja (UNESCO, 2009).

  Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah. Hal ini dilatarbelakangi oleh

  review Kirby dkk (2007) yang mengungkapkan bahwa adanya kurikulum

  pendidikan seksualitas mempengaruhi keefektifan pemberian materi seksualitas sehingga mampu mengubah sikap seseorang. Peneliti memilih subyek remaja perempuan karena dampak perilaku seksual yang dirasakan oleh remaja perempuan lebih banyak dibanding remaja laki-laki. Sikap yang dimiliki remaja perempuan sebagai salah satu faktor protektif dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak perilaku seksual di kalangan remaja.

  B. Rumusan Masalah

  Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas ?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan literatur untuk penelitian selanjutnya yang relevan khususnya dalam bidang psikologi pendidikan mengenai seksualitas.

  2. Manfaat Praktis

  Bagi sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, hasil penelitian ini sebagai bahan evaluasi keefektifan pendidikan seksualitas di sekolah khususnya dalam hal sikap remaja terhadap perilaku seksual. Bagi sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan perlu tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah.

BAB II LANDASAN TEORI A. Remaja

  1. Pengertian Remaja

  Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa yang meliputi perubahan dalam fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia dkk, 2006). Perubahan biologis mencakup terjadinya perkembangan fungsi seksual, perubahan kognitif meliputi terbentuknya proses berpikir abstrak, dan perubahan psikososial mengarah pada kemandirian (Santrock, 2007). Pada masa remaja, seseorang dituntut untuk meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan mulai mempelajari pola perilaku dan sikap baru (Hurlock, 1980).

  Menurut Hurlock (2004), batasan usia remaja antara 13 sampai 18 tahun. Batasan usia remaja yang dikemukakan oleh Sawyer dkk (2012) adalah 11-19 tahun.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja antara 11-19 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial.

  2. Karakteristik Remaja

  Secara umum, karakteristik remaja menurut Santrock (2007) adalah sebagai berikut: a. Remaja berada pada masa pubertas yang mendorong remaja laki-laki dan perempuan untuk menyesuaikan diri dengan perilaku maskulin dan feminim.

  b. Pemikiran remaja berada pada tahap operasional formal. Remaja memiliki kemampuan untuk berpikir lebih abstrak, idealis, dan logis.

  c. Pada masa remaja, muncul ketertarikan pada hal seputar seksualitas.

  d. Pada masa remaja, pengaruh teman sebaya lebih besar dibanding dengan keluarga. Hal ini mempengaruhi remaja dalam tingkah laku, sikap, minat, dan penampilan.

  e. Pada masa remaja, konflik dengan orangtua yang berlangsung secara terus menerus berkaitan dengan masalah-masalah seksual remaja sebagai akibat kurangnya pengawasan orangtua.

  f. Pada masa remaja terjadi proses belajar untuk mengelola perasaan- perasaan seksual sepeti gairah seksual dan perasaan tertarik dengan lawan jenis, mengembangkan bentuk intimasi yang baru dengan lawan jenis, dan mempelajari keterampilan dalam mengatur perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan.

  g. Pada masa remaja terjadi peningkatan emosi negatif dan emosi yang berubah-ubah. Remaja laki-laki memiliki kadar androgen yang tinggi berkaitan dengan masalah agresivitas, sedangkan pada remaja perempuan memiliki kadar estrogen yang tinggi berkaitan dengan depresi. h. Remaja memperlihatkan bentuk egosentrisme dimana mereka memandang dirinya sebagai sosok yang unik. Hal ini mendorong remaja mengambil resiko dari perilaku seksual. Dalam keadaan emosi, dorongan seksual remaja dapat membatasi kemampuannya dalam mengambil keputusan.

B. Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

1. Pengertian Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

  Myers (2012) mendefinisikan sikap sebagai reaksi evaluatif yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan terhadap sesuatu dan berakar pada kepercayaan dan muncul dalam perasaan dan kehendak untuk bertindak. Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan yang mendukung atau memihak (favorable) dan perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap suatu obyek (Berkowitz, 1972 dalam Azwar, 2010). Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan dalam hal perasaan (afeksi)), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar (Azwar, 2010). Sikap juga didefinisikan sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi secara konsisten (Ahmadi dkk, 1991).

  Sikap terhadap perilaku seksual adalah kecenderungan reaksi atau negatif yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan, perasaan, dan tindakannya terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

2. Struktur Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

  Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang (Mann dalam Azwar, 2010; Sears, Freedman, & Peplau, 1985; Ahmadi, 1991), yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

  a. Kognitif berupa sesuatu yang dipercaya, dipikirkan, dan diketahui oleh individu yang berjenis kelamin perempuan yang berusia 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

  b. Afektif merupakan perasaan individu yang berjenis kelamin perempuan berusia antara 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Komponen afektif meliputi perasaan suka (positif) dan perasaan tidak suka (negatif). Pada umumnya reaksi emosional ini ditentukan oleh kepercayaan yang dimiliki seseorang.

  c. Konatif merupakan kecenderungan individu yang berjenis kelamin perempuan berusia antara 11-19 tahun untuk bertindak terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Komponen ini dapat dipengaruhi oleh kepercayaan dan perasaan yang dimiliki individu tersebut.

3. Bentuk – bentuk Perilaku seksual

  Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Sedangkan menurut Rathus (2008), perilaku seksual dengan pasangan adalah segala aktivitas tubuh dalam kaitannya dengan ekspresi erotik. Perilaku seksual dibagi menjadi dua yaitu perilaku seksual yang sehat dan aman, dan perilaku seksual beresiko. Perilaku seksual yang sehat dan aman adalah perilaku seksual yang tidak menimbulkan dampak negatif seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual dengan cara memakai alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang dapat menimbulkan dampak seperti kehamilan yang tidak diinginkan, dan penyakit menular seksual tanpa memakai alat kontrasepsi saat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Chin dkk., 2012).

  Dalam penelitian ini, pengertian perilaku seksual adalah segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Menurut Rathus (2008), bentuk-bentuk perilaku seksual meliputi :

  a. Foreplay Foreplay terdiri dari cuddling, kissing, petting, dan stimulasi oral genital . b. Ciuman Ciuman terdiri dari dua jenis, yaitu simple kissing dan deep kissing . Simple kissing terjadi ketika ciuman dengan mulut tertutup.

  Sedangkan deep kissing terjadi ketika pasangan mencium dengan membuka mulut dan lidah saling bertemu di dalam mulut.

  c. Sentuhan Menyentuh bagian tubuh yang sensitif dengan tangan atau bagian tubuh lainnya yang dapat menimbulkan rangsangan.

  d. Stimulasi oral genital Stimulasi oral genital adalah perilaku seksual yang menekankan pemberian stimulus genital oleh mulut. Pemberian stimulasi genital oleh mulut biasanya dilakukan sebelum pasangan melakukan hubungan seksual. Oral genital pada alat kelamin laki-laki disebut

  fellatio , sedangkan memberi stimulasi pada alat kelamin perempuan dengan mulut atau lidah disebut cunnilingus.

  e. Sexual intercourse Sexual intercourse terdiri dari dua jenis yaitu vaginal intercourse dan anal intercourse. Vaginal intercourse adalah hubungan seksual dengan masuknya penis ke lubang vagina.

  Sedangkan anal intercourse adalah hubungan seksual dengan masuknya penis ke lubang anal.

  Menurut Sarwono (2010), perilaku seksual dilakukan secara seksual tersebut adalah dari yang belum berpengalaman, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, saling meraba bagian tubuh di luar pakaian, saling meraba bagian tubuh di dalam pakaian, saling menempelkan alat kelamin, dan berhubungan seksual.

  Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk perilaku seksual yang digunakan yaitu memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir, cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan anal

  intercourse . Alasan menggunakan bentuk- bentuk perilaku seksual di

  atas karena penelitian ini mengukur perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.

4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual

  a. Pengalaman seksual sebelumnya Remaja yang memiliki pengalaman seksual cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman seksual (Kabiru & Orpinas, 2009).

  b. Sikap teman sebaya terhadap perilaku seksual Remaja akan lebih memilih teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya. Remaja memiliki kebutuhan sosial dasar berupa kebutuhan kelekatan, penerimaan sosial, keintiman, dan hubungan seksual dengan lawan jenis. Menurut Sullivan, teman sebaya

  (dalam Santrock, 2007). Dibanding kelompok remaja laki-laki, kelompok remaja perempuan cenderung memiliki hubungan yang erat satu sama lain (Grave dkk., 2011). Hal ini mempengaruhi remaja dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laflin, Wang, dan Barry (2008), menemukan bahwa remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang sama dengan teman sebayanya. Ketika teman sebaya memiliki sikap yang tidak mendukung perilaku seksual maka remaja perempuan cenderung untuk memiliki sikap yang sama, dan begitu pula dengan sebaliknya.

  c. Budaya kolektivistik Keluarga yang tinggal di kebudayaan kolektivistik cenderung menganut aliran konservatif yang menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu. Perilaku seksual sebelum menikah dianggap hal yang memalukan dan keluarga lebih memperhatikan nama baik (Kuota & Tolma, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sridawruang, Crozier, dan Pfeil (2010), menemukan adanya standar ganda pada keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik. Keluarga memperlakukan remaja perempuan dan remaja laki-laki secara berbeda. Standar ganda ini muncul akibat penilaian dari masyarakat terhadap anak perempuan dan anak laki- laki ketika mereka telah melakukan perilaku seksual sebelum menikah dan terjadi resiko dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang kurang mendukung perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap yang permisif atau mendukung perilaku seksual.