BAB III KETENTUAN HUKUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMERDEKAAN BURUH 3.1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 3.2.1. Pengertian Tindak Pidana - SANKSI PIDANA BAGI PENGUSAHA YANG MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Repository - UNAIR REPOSITORY
- Menurut Moeljatno bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (saksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
- Menurut Pompe, pengetian tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma
- Menurut E. Utrecht, pengertian tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa sebuah perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalikan (natalen
- – negatif) , maupun 34 Moeljatno, Asas
- – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 59. (selanjutnya
- – Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adi Bakti, Bandung, 1997, hlm.182.
34 BAB III KETENTUAN HUKUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMERDEKAAN BURUH 3.1.
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 3.2.1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana atau perbuatan pidana yang dalam bahasa Belanda “strafbaar feit” yang memiliki arti sama. Beberapa pendapat para ahli hukum pidana mengenai arti dari tindak / perbuatan pidana antara lain:
34
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan seorang pelaku, dimanapun penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
35
Moeljanto I) 35 P.A.F. Lamintang, Dasar akitbatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan
36 itu).
- Menurut Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
37 mampu bertanggung jawab.
- Menurut Van Hamel merumuskan strafbaar faith adalah kelakuan orang
(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan
38 kesalahan.
3.2.2. Unsur – Unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljanto, bahwa pada hakikatnya setiap perbuatan pidana
39
memiliki unsur
- – unsur sebagai berikut: a) Kelakuan dan akibat.
Dalam hal kelakuan dan akibat merupakan unsur lahiriah (fakta) yang berarti perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya.
b) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.
36 37 www.hukumsumberhukum.com/2014/2006/apa-itu-pengetian-tindak-pidana.html#_ 38 Moeljatno I, op.cit, hlm. 6. 39 Ibid.
Ibid. hlm. 64-70.
Mengenai hal ikhwal yang mana oleh Van Hamel dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku. Selain itu, keadaan tertentu yang menyertai perbuatan merupakan unsur tambahan yang bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup.
c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Keadaan tambahan yang dimaksud di atas yaitu suatu keadaan dimana setelah para pelaku pidana melakukan perbuatan tertentu setelah terjadi tindak pidana yang menimbulkan kerugikan bagi orang lain, sehingga ada atau tidaknya keadaan tambahan dalam suatu tindak pidana, pelaku tetap dijatuhi sanksi pidana. Tetapi dengan adanya keadaan tambahan maka dapat memberatkan ancaman pidana bagi pelakunya.
d) Melawan hukum yang objektif.
Dalam unsur melawan hukum yang objektif merujuk kepada perbuatan atau keadaan lahiriah.
e) Melawan hukum yang Subjektif.
Keadaan subyektif yaitu dalam batin terdakwa apakah terdakwa benar - benar ingin melakukan suatu tindakan pidana atau tidak. Dalam teori unsur melawan hukum yang demikian ini dinamakan subjektif onrechtselement yaitu, unsur melawan hukum yang subyektif.
3.2.3. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana
Membahas mengenai tindak pidana maka akan membahas juga mengenai pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana karena pada
40
tindak pidana hanya merujuk pada dilarangnya suatu perbuatan. Asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah tidak dipidana jika tidak ada
41 kesalahan (Geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sist rea).
Tetapi menurut Moeljanto, meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana karena orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia
42 punya waktu melaksanakan perbuatan pidana.
Selain itu, pertanggungjawaban dalam hukum pidana selalu berhubungan dengan kemampuan untuk bertanggung jawab (toerekeningsvarbaarheid). Dalam hal kemampuan bertanggung jawab harus
43
ada: 1) Kemapuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum (faktor akal atau
intelektual factor );
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi (factor khendak atau volitional factor).
40 Dwidja Priyanto, Kebijakan Legisalasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana 41 Koorporasi di Indonesia ,CV. Utama, Bandung, 2004, hlm.30. 42 Moeljatno I, op.cit, hlm.165. 43 Moeljatno I, op.cit, hlm. 167-169.
Moeljatno I, op.cit, hlm. 178.
3.2. Peraturan Mengenai Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Buruh 3.2.1. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Hak - hak buruh dikaitkan dengan kemerdekaan maka dilihat adanya persamaan antara hak dan kemerdekaan karena sebelum kemerdekaan Republik Indonesia terlihat jelas bahwa terjadi pelanggaran terhadap hak
- – hak buruh atau pekerja oleh para penjajah yang ada di Negara Republik Indonesia, namun setelah masa penjajahan tepatnya pada masa Kemerdekaan Republik Indonesia, para Buruh mendapatkan kembali hak
- – haknya untuk hidup layak, mendapatkan upah layak, menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul serta terbebas dari perbudakan. Maka dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan buruh merupakan hak- hak yang dimiliki oleh para pekerja atau buruh.
Oleh karena itu, apabila hak-hak buruh tidak dipenuhi maka kemerdekaan buruh tidak dapat terwujud. Sehingga pemerintah membuat Undang
- – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan untuk mengatur hubungan antara pekerja atau buruh dengan pemberi kerja atau pengusaha serta
- – hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berisi mengenai ketentuan khusus yang mengatur Pada pasal 183 sampai 189 mengenai ketentuan
- – pidana serta pada pasal 190 mengenai sanksi administratif dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Ketentuan pidana dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
a. Pasal 183
(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
b. Pasal 184 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
c. Pasal 185 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal
90 ayat (1), Pasal 139, Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
d. Pasal 186 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
e. Pasal 187 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. f. Pasal 188 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
g. Pasal 189 Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.
Di samping itu, terdapat juga ketentuan mengenai sanksi administratif dalam Pasal 190 Undang
- – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran; b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
3.2.2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Hak berorganisasi merupakan salah satu dari hak yang dimiliki para buruh, yang telah diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam ketentuan pasal tersebut diatur mengenai siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ; d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Apabila pengusaha melanggar kententuan Pasal 28 dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berbunyi :
1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Oleh karena adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat melindungi hak buruh untuk berorganisasi atau berserikat dari pemutusan hubungan kerja, intimidasi, upah tidak dibayar maupun kampanye anti serikat pekerja/serikat buruh yang dilakukan oleh pengusaha. Selain itu, pengusaha tidak lagi dapat menghalangi maupun memaksa para buruh/ pekerja untuk tidak melakukan kegiatan organisasi atau berserikat.
3.3. Pengingkaran Terhadap Pesangon Pemutusan Hubungan Kerja
Istilah pesangon atau biasa disebut uang pesangon tentu saja sudah tidak asing lagi dalam dunia perekonomian, pesangon sendiri dapat diartikan sebagai uang yang diberikan sebagai bekal kepada karyawan (pekerja atau buruh)
44 yang diberhentikan dari pekerjaan dalam rangka pengurangan tenaga kerja. 44 Pembayaran pesangon biasanya bukanlah hukuman yang dijatuhkan kepada http://kbbi.web.id/pesangon majikan karena tindakan yang salah, tetapi pembayaran uangan sebagai tambahan atas upah atau gaji yang menjadi hak pekerja semata
- – mata karena pekerja
45
diberhentikan setelah bekerja pada majikan itu selama waktu tertentu. Dalam hal pengikaran terhadap pesangon dapat ditinjau dari salah satu kasus yait
46 yang beritanya sebagai berikut:
BINTAN (HK) - Nasib malang menimpa Sunarto (45), asisten Chief Engenering hotel berbintang lima, Bintan Lagoon Resort, Lagoi, sudah mengabdi selama 17 tahun di hotel internasional tersebut harus mengakhiri karirnya secara pahit. Ia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara tidak hormat dan tidak mendapat pesangon. Sunarto di PHK berawal dari penemuan sebuah ponsel yang rusak, dianggap manajemen perusahaan telah melakukan penggelapan serta mencemarkan nama baik perusahan, akhirnya ia di PHK.
"Ponsel itu saya temukan dalam keadaan kumal dan tidak aktif. Saat itu tidak ada yang merasa kehilangan dan diperbaiki, namun setelah mengetahui dari manajemen ponsel itu milik warga negara asing maka langsung saya kembalikan kepada chief security. Tapi malah di PHK," ujar Sunarto dengan nada sedih, Rabu (12/6).
Ia menjelaskan, penemuan ponsel iPod itu ditemukannya sekitar bulan Maret 2013 lalu. Setelah diperbaiki dan ponsel tersebut aktif lantas WNA pemiliknya melacak keberadaan ponsel dan disampaikan kepada manajemen. 45 Karena mendapatkan informasi tersebut, lantas ponsel tersebut langsung 46 Lanny Ramli,,Op.cit, hlm.36.
http://www.haluankepri.com/bintan/47852-17-tahun-kerja-di-phk-tanpa-pesangon.html dikembalikan melalui Maridan, Chief Security Bintan Lagoon. "Manajemen menganggap ada penggelapan dan pencemaran nama baik sehingga dijadikan alasan untuk membrikan sanksi serta keluarnya surat PHK dua minggu kemudian," terangnya.
Surat PHK yang dikeluarkan oleh manajemen Hotel Bintan Lagoon Resort, Senin (10/6), menyebutkan Sunarto telah melakukan pelanggaran berat.
Sehingga seluruh hak karyawan seperti pesangon dan hak lainnya, tidak diberikan. Sunarto berharap kepada manajemen Bintan Lagoon dapat memberikan hak- haknya selaku karyawan yang sudah di PHK, sebagaimana Undang-undang dan peraturan yang berlaku. Sementara itu Raja Bambang Sutikno, HRD Bintan Lagoon secara terpisah melalui ponselnya mengatakan dirinya tidak bisa memberikan keterangan. "Berhubungan dengan masalah itu, saya no comment," jawabnya singkat.(rof)
Maka dilihat dari kasus diatas bahwa Sunarto merupakan salah satu contoh Pemutusan Hubungan kerja tanpa pesangon. Dalam penyelesaiannya dapat dilakukan melalui penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial.
Dalam Undang-Undang ini diatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat dilakukan dengan cara:
1. Biparti
Perundingan antara pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
(Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004)
2. Konsiliasi Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselishan antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. (Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004)
3. Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Dalam hal ini, apabila dalam penyelesaian perselisihan buruh melalui pengadilan hubungan industrial dan putusan pengadilan bahwa Sunarto terbukti melakukan pengelapan dan pencemaran nama baik Hotel Bintan Lagoon Resort maka Hotel Bintan Lagoon Resort harus membayar uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (4) dan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
- – perjanjian kerja bersama. (Pasal 158 ayat (1) juncto Pasal 158 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003).
Pasal 156 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003. Terkait Sunarto tidak terbukti melakukan penggelapan dan pencemaran nama baik Hotel Bintan Lagoon Resort, Sunarto bias menuntut balik kepada Hotel Bintan Lagoon Resort atas pencemaran nama baik dengan dasar hukum Pasal 310 ayat (1) KUHP yaitu Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang dengan menuduh sesuatu halyang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
47
rupiah. Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan
48 perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.
47 48 Moeljanto II, Op.cit, hlm. 114.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatan-yang-
termasuk-pencemaran-nama-baik