BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan, Pidana, dan Pemidanaan 1. Tindak Pidana Pembunuhan - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan

BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan, Pidana, dan Pemidanaan 1. Tindak Pidana Pembunuhan a. Pengertian Pembunuhan Perkembangan kehidupan dalam suatu masyarakat serta pengaruh

  kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan iptek hingga pembangunan menimbulkan banyak perubahan dan bahkan menimbulkan culture

  

shock, yang sedikit banyaknya membawa dampak bagi pergaulan dan

  perkembangan masyarakat itu sendiri. Berkembangnya kehidupan dalam suatu masyarakat dapat membawa dampak positif namun ada juga yang menimbulkan berbagai masalah sosial.

  Munculnya masalah sosial diiringi oleh semakin sulitnya kehidupan manusia. Mendorong orang bertingkah laku dengan melanggar norma – norma yang berlaku dan berbuat sekehendak dirinya untuk mencapai kepentingannya pribadi. Keadaan tersebut bagi individu – individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku, salah satunya adalah dengan melakukan tindak pidana pembunuhan. Membunuh tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa saja, seseorang yang masih dikategorikan masih anak – anak pun bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun secara tidak sadar.

  Menurut KUHP, Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dewasa ini seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut, dari uraian diatas bahwa tindak pembunuhan itu merupakan suatu delik material.

   Dalam kamus besar bahasa indonesia pengertian pembunuhan adalah:

  “Pembunuhan adalah proses, perbuatan, atau cara membunuh (menghilangkan, menghabisi, mencabut nyawa)” Menurut Black Law Dictionary pembunuhan adalah Tindakan yang melanggar hukum positif oleh orang lain dengan sengaja berniat jahat baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

2. Pidana

  Pemahaman tentang Pemidanaan dan tujuan pemidanaan perlu dikemukakan mengingat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini menyangkut tentang pemidanaan. Maka haruslah terlebih dahulu dipahami hakekat dan pengertian pidana itu sendiri. Penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana untuk pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian

   pidana dan hukuman pidana. Beberapa sarjana telah memberikan penjelasan tentang hakekat dan

  

  pidana mengandung unsur – unsur atau ciri sebagai berikut ; a.

  Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat – akibat lain yang tidak menyenangkan; b.

  Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan ( oleh yang berwenang ); c.

  Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang – undang.

  Selanjutnya menurut Alf Ross sebagaimana dikutip oleh Muladi dan

  

Barda Nawawi Ariefconcept of punishment” bertolak pada dua syarat atau

  

  tujuan, yaitu : a.

  Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan.

  b.

  Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.

  Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang – undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh 29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana, alumni, Bandung, undang – undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan

   Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya

  merupakan suatu nestapa diantaranya menurut Hulsman, yang menyatakan bahwa, Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik

  

(conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian

  yang dialami atau perbaikan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan

  

  antar sesama manusia Menurut Sudarto mengatakan bahwa, “perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena itu istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau

   penjatuhan pidana oleh hakim”.

34 Jimly Asshiddiqie salah satu sarjana yang mengatakan dirinya

  mengikuti pendapat Sudarto dan beliau menggunakan istilah pidana bukan “hukuman” ataupun “hukuman pidana”. Menurut Jan Remmelink, pemidanaan 31 Satochid Kartanegara, 1954-1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana

  II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, hlm 24 32 33 Ibid, hlm 9 P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidan Material Bagian Umum, Binacipta, adalah pegenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang

   Dapat disimpulkan bahwa pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk

  menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan maupun pelanggaran.

  a.

  Kejahatan (rechtsdelict) Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindak pidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP

  pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP) b.

  Pelanggaran (wetsdelict) Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang- undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP)

3. Teori dan Tujuan Pemidanaan a.

  Teori pemidanaan

   Teori pemidanaan dapat digolongkan dalam empat golongan teori , yakni:

  1. Teori Pembalasan atau teori Imbalan atau teori Absolut. melakukan suatu tindak pidana, maka terhadap pelaku pidana mutlak harus diadakan pembalasan berupa pidana dengan tidak mempersoalkan akibat pemidanaan bagi terpidana.

  2. Teori Relatieve atau Teori Tujuan Teori tujuan membenarkan pemidanaan (rechtsvaardigen), pada tujuan pemidanaan, yakni untuk mencegah terjadinya kejahatan

  (nepeccetur). Dengan adanya ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat yang bersangkutan atau untuk prevensi umum.

  3. Teori Gabungan Teori ini mendasarkan pemidanaan pada perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, karena kedua teori tersebut bila berdiri sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai kelemahan 4.

  Teori Negatif (Negativisme).

  Teori ini dipelopori oleh Hazelwinkel-Suringa mengatakan, bahwa kejahatan tidak boleh dilawan, dan musuh jangan dibenci karena hanya Tuhan yang paling berhak untuk mempidana pada mahluk-mahluknya.

  b.

  Tujuan Pemidanaan Pidana sebagai suatu reaksi yang sah atas perbuatan yang melanggar hukum, namun di dunia diterapkan berbeda – beda atas dasar konteks hukum, agama, pendidikan, moral, alam, dan lain – lain. Atas dasar kenyataan tersebut, diungkapkan oleh H.L.A Hart, bahwa pidana didalamnya harus: a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi – konsekuensi lain

  b. Dikenakan pada seseorang yang benar – benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c. Dikenakan berhubung satu tindak pidana yang melanggar ketentuan umum; d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

  e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana

   tersebut.

  Pandangan – pandangan tentang tujuan pemidanaan sesungguhnya tidak lepas dan erat kaitanya dengan perkembangan teori – teori pemidanaan. Secara tradisional, teori – teori pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori,

   yaitu Teori Retributive (pembalasan) dan Teori Relative (tujuan).

39 Karl O. Christianse menyatakan bahwa ada kedua pandangan

  konseptual diatas masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni ; a.

  Pandangan Retributif (Retributive View) Tujuan pemidanaan menurut pandangan ini antara lain 1.

  Tujuan pidana adalah semata – mata untuk pembalasan

  37 38 Muladi, lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hlm 21-23 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,

  2. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak ada untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Kesalahan merupakan satu – satunya syarat untuk adanya pidan; 4.

  Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan sipelanggar; 5. Pidana melihat ke belakang. Merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, medidik atau memasyarakatkan sipelanggar.

  b.

  Pandangan utilitarian (utilitarian view).

  Tujuan pidana menurut pandangana ini antaralain; 1.

  Tujuan Pidana adalah pencegahan; 2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat; 3. Hanya pelanggaran – pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada sipelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah kejahatan;

  5. Pidana melihat ke muka, dan dapat mengandung unsur – unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masayarakat. Pada satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.

  Pandangan ini dikatakan berorientasi kedepan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).

  Tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi

  

(retribution) . Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa

  pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang- orang lain melakukan kejahatan.

4. Jenis – Jenis Sanksi Pidana

  Pasal 10 KUHP mengatur jenis pidana yang terdiri dari lima Pidana Pokok

  

  dan tiga pidana tambahan, yaitu : c.

  Pidana Pokok, yang terdiri dari : 6.

  Pidana Mati Pidana Mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, yang hanya diancamkan pada kejahatan yang terkejam. Pidana mati dianggap pidana yang paling tua, setua umur manusia, sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam penggunanaanya. Menurut KUHP warisan belanda, ada 9 (sembilan) tindak pidana yang dapat

  

  dikenakan pidana mati yaitu; a. 40 Pasal 104 (makar terhadap Presiden dan wakil presiden)

  Aruan Sakidjo, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum b.

  Pasal 111 ayat 2 ( Membujuk negara asing bermusushan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)

  Pasal 124 ayat 1 (membantu musuh waktu perang) d. Pasal 124 bis ( menyebabkan atau memudahkan huru – hara) e. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut) f.

  Pasal 340 ( Pembunuhan berencana) g. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan mati atau luka berat) h.

  Pasal 444 (pembajakan dilaut pesisir dan disungai yang mengakibatkan kematian) i.

  Pasal 479 k ayat 2 (kejahatan penerbangan) j. Pasal 479 ayat 2 (kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan)

  7. Pidana Penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang dikenal juga dengan pidana pencabutan kemerdekaan. Didalam KUHP, jenis pidana ini digolongkan pidana pokok. Pada umumnya hukuman penjara

  

  dijalani dalam suatu ruangaan tertentu. Pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada narapidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing narapidana agar bertobat, mendidik agar menjadi anggota masyarakat yang baik.

  8. Pidana Kurungan Sama halnya dengan pidana penjara pidana kurungan juga merupakan pembatasan kebebasan bergerak dari seornag terpidan yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan tata tertib lembaga pemasyarakatan. Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok

   ataupun sebagai pengganti pidana denda.

  9. Pidana Denda Hukum pidana Indonesia yang pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan pada orang dewasa saja. Pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sehingga pidana denda dapat dipandang sebagai bentuk pidana

   pokok yang ringan.

  10. Pidana Tutupan (berdasarkan Undang – Undang RI No. 46 Tahun 1946) Berdasarkan Pasal 2 UU RI No 46. Tahun 1946 menyatakan, a.

  Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.

  b.

  Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya. Selanjutnya, Pasal 4 menyatakan bahwa, semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman tutupan, jika peraturan – peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang

   hukuman tutupan.

  d.

  Pidana Tambahan, yang terdiri dari : 4.

  Pencabutan Hak – hak tertentu 5. 44 Perampasan Barang – barang tertentu dan atau tagihan

  Ibid, hlm 113

  6. Pengumuman Putusan Hakim sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama – sama dengan pidana tambahan lainnya.

B. Pidana Bersyarat di Indonesia 1.

  Pengertian Pidana Bersyarat Selain sanksi Pidana yang terdapat pada Pasal 10 KUHP, terdapat juga sistem penjatuhan hukuman lain yaitu, Pidana Bersayarat. Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana melainkan suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat – syarat tertentu.

  Pengertian Pidana bersyarat dikemukakan oleh beberapa ahli hukum antara lain, yaitu:

   a.

  Muladi Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat – syarat umum dan syarat – syarat khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili berwenang untuk mengadakan perubahan syarat – syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat – syarat tersebut. Pidana bersyarat merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.

  

  b. , sebagaimana yang dikutip oleh Marlina dikatakan P.A.F. Lamintang

  Pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaanya oleh hakim telah digantungkan pada syarat – syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya.

   c.

  R. Soesilo Pidana bersyarat yang biasa disebut perturan tentang “hukum dengan pejanjian” atau “hukum dengan bersyarat” atau “hukum dengan janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada.

  Selain mengenai pengertian pidana bersyarat diatas, Soesilo juga berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat – syarat) yang telah ditentukan kepadanya.

2. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia a.

   Pengaturan Pidana Bersyarat Berdasarkan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).

  Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum Pidana Belanda dan kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan 47 Marlina, Op Cit, hlm 135 lembaga – lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat.

   Massachusetts pada tahun 1878, dengan nama probation. Selanjutnya

  perkembangan ini diikuti juga oleh Inggris. Di Eropa daratan, setelah melalui perbedaan – perbedaan pandangan yang cukup tajam diantara para sarjana, telah diterima bentuk penundaan pidana bersyarat, yakni di Perancis pada tahun 1891 dan di Belgia pada tahun 1888. Menurut K. Poklewski : 174, sebagai mana yang dikutip oleh Muladi; Lembaga ini merupakan penundaan pelaksanaan pidana daripada merupakan penundaan penjatuhan pidana, seperti sistem probation.

  Perbedaan lain dengan sistem probation, bahwa lembaga penundaan pidana bersyarat ini sama sekali tidak mensyaratkan adanya pengawasan atau bantuan

   kepada terpidana, sebagai mana sistem probation.

  Sehubungan dengan gambaran diatas, sistem probation menurut sistem Amerika Serikat dan Inggris dilakukan dalam dua fase. Pada fase pertama pelaku tindak pidana hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan dalam suatu masa percobaan. Bila ternyata dalam masa percobaan yang bersangkutan tidak berhasil memperbaiki kelakuannya maka pada fase kedua ia dipidana. Sebaliknya bilamana yang bersangkutan berhasil memperbaiki kelakuannya maka fase kedua tidak perlu dijalani. Selama menjalani masa percobaan ia dibantu dan diawasi oleh

  probation officers.

  Adapun yang berlaku di Perancis dan Belgia menujukkan perkembangan yang berbeda. Dimana pada fase pertama pelaku tindak pidana dipidana, tetapi pelaksanaan pidananya ditunda dan untuk itu ditentukan suatu masa percobaan. Bilamana selama masa percobaan terpidana ternyatakan melakukan pelanggaran percobaan ini terpidana tidak dibantu oleh pekerja – pekerja sosial yang

  

  Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172.

  Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan. Berkaitan dengan penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu

  

  terdapat penerapan sanksi pidana lain yang di luar LP, yaitu: a.

  Pelepasan bersyarat b.

  Bimbingan lebih lanjut c. Proses asimilasi/ integrasi d.

  Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau orang tua/ wali

   Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat pada:

  51 52 Ibid, hlm 65 – 66 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal. 190. Pasal 14a KUHP Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.

  2. Kecuali dalam perkara pendapatan (penghasilan) dan gadai negara, maka hakim mempunyai kuasa itu juga, apabila dijatuhkan pidana denda, tetapi hanya jika ternyata kepadanya, bahwa bayaran denda itu atau rampasan yang diperintahkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan besar bagi orang yang dipidana itu. Untuk melakukan ayat ini maka kejahatan dan pelanggaran tentang candu hanyalah dipandang sebagai kejahatan dan pelanggaran tentang pendapatan negara, apabila tentang ini telah ditentukan, bahwa dalam hal menjatuhkan pidana denda tiada berlaku apa yang ditentukan dalam Pasal 30, ayat (2).

3. Apabila hakim tak menentukan lain, maka perintah tentang pidana pokok, mengenai juga hukuman tambahan yang dijatuhkan.

  4. Perintah itu hanya diberikan, kalau sesudah pemeriksaan yang teliti hakim yakin, bahwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup atas hal menetapi syarat umum, yaitu bahwa orang yang dipidana itu tak akan melakukan tindak pidana dan atas hal menetapi syarat khusus, jika sekiranya diadakan syarat itu.

  5. Dalam putusan yang memberi perintah yang tersebut dalam ayat pertama itu, diterangkan pula sebab-sebabnya atau hal ihwal yang menjadi alasan putusan itu.

Pasal 14b KUHP 1. Dalam perkara kejahatan dan pelanggara yang diterangkan dalam Pasal

  492, 504, 505, 506 dan 536, maka percobaan itu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-lamanya dua tahun.

  2. Masa percobaan itu mulai, segera putusan itu sudah menjadi tetap dan diberitahukan kepada orang yang dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang.

3. Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu

  Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut : 1. Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu dalam waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu. Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu.

3. Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik.

  Pasal 14d 1. Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai negeri yang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari diperintahkan akan menjalankannya.

  2. Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik Indonesia atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada seorang pegawai negeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu.

  Pasal 14e KUHP Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal 14d, maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan atau waktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selama- lamanya dapat ditentukan untuk masa percobaan itu.

  Pasal 14f KUHP 1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal yang di atas, maka sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang diterangkan dalam ayat pertama Pasal 14d, hakim yang mula-mula memberi putusan dapat memerintahkan supaya putusan itu dijalankan., atau menentukan supaya orang yang dipidana itu ditegur atas namanya, yaitu jika dalam masa percobaan itu orang tersebut melakukan tindak pidana dan karena itu dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi, atau jika masa percobaan itu orang tersebut dipidana menurut putusan yang tak dapat percobaan itu mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur. Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, kecuali jika sebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana tersebut dituntut karena melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi. Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Pasal 14a sampai Pasal 14f

  KUHP tentang pidana bersyarat, sebagai berikut: a.

  Pidana bersyarat dapat diterapkan jika Hakim menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun atau kurungan tidak termasuk kurungan pengganti.

  b.

  Masa percobaan paling lama tiga tahun terhadap tindak pidana yang disebut dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP, sedangkan tindak pidana lainnya paling lama dua tahun, dihitung sejak putusan menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana, sedangkan masa penahanan yang sah tidak diperhitungkan ke dalam masa percobaan.

  c.

  Hakim, di samping menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan mengulangi lagi tindak pidana, dapat juga menetapkan syarat khusus, seperti terpidana diperintahkan membayar ganti rugi kepada korban.

  d.

  Jaksa adalah pejabat yang mengawasi agar syarat-syarat terpenuhi, dan Hakim dapat memerintahkan lembaga yang berbentuk badan hukum, lembaga sosial, untuk memberikan bantuan kepada terpidana agar e.

  Lamanya waktu berlakunya syarat-syarat khusus dapat diubah atas usul dan dapat memperpanjang masa percobaan satu kali, dengan ketentuan paling lama setengah dari masa percobaan yang telah ditetapkan f. Hakim dapat memerintahkan pidana penjara untuk melaksanakan, dalam hal terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bersifat tetap, atau jika salah satu syarat tidak terpenuhi, ataupun kaena penjatuhan pidana sebelum masa percobaan dimulai.

  g.

  Perintah melaksanakan pidana tidak dapat dilakukan apabila masa percobaan telah habis, kecuali sebelum amasa percobaan habis terpidana dituntut atas tindak pidana yang dilakukan pada masa percobaan dan dijatuhi pidana yang menjadi tetap, maka Hakim dalam waktu dua bulan setelah putusan, dapat memerintahkan terpidana melaksanakan pidana.

  Pasal 14a ayat (4) KUHP dikatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan hanyalah apabila hakim menyelidiki dengan teliti lalu mendapat keyakinan bahwa akan diadakan pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang umum, yaitu bahwa terhukum tidak akan melakukan perbuatan pidana dan tidak akan melanggar syarat-syarat yang khusus, jika hal ini diadakan.

  Selanjutnya ayat penghabisan dari Pasal 14a mengharuskan pada hakim supaya di dalam putusannya menyatakan keadaan atau alasan mengapa dijatuhkan penghukuman. Perlu diingat bahwa dalam pidana bersyarat ini pidana yang dijatuhkan adalah pasti, cuma saja pidana yang dijatuhkan itu tidak akan dijalankan jika dipenuhi syarat-syarat yang tertentu. Dan sebaliknya pidana tetap Hal yang mendukung dapat dijatuhkan pidana bersyarat adalah, Pertama dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun. Apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan pidana yang dilakukan itu adalah terlalu berat, maka sebenarnya pidana bersyarat tidaklah mungkin lagi dijatuhkan. Kedua, pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika dikenakan pidana kurungan.

  Dalam hal ini tidaklah termasuk pidana kurungan pengganti denda, sebab kemungkinan untuk dikenakan pidana bersyarat tidak selayaknya jika dihubungkan dengan pidana pengganti, melainkan dengan pidana pokok. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan. Ini memang tidak perlu, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun. Pidana bersyarat dapat dikenakan pada pidana denda, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terhukum.

  Berdasarkan penjabaran dari Pasal – Pasal KUHP diatas oleh Muladi, sebagaimana yang dikutip oleh Marlina, disimpulkan menjadi persyaratan dapat

  

  dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain: a.

  Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut, tetap pada pidana yang bahwa pidana bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim tersebut memiliki hak untuk memberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam Pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain: 1.

  Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan terpidana

  2. Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan Negara

3. Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan.

  b.

  Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan.

  c.

  Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa. Beberapa hal yang dikemukakan di atas adalah menyangkut persyaratan dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat.

  Selain itu juga perlu diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti (Pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepada terpidana sesuai dengan tata aturan hukum yang sah. Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu mempertimbangkan pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang

  

  terbukti berbuat, antara lain: a.

  Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku b. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun) c.

  Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang d.

  Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar e.

  Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar f.

  Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya g.

  Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya i. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi j.

  Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain k.

  Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar, baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya l.

  Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non – institusional m.

  Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga n. Tindak pidana terjadi karena kealpaan o. Terdakwa sudah sangat tua p. Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa q.

  Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan Selain mengatur mengenai Pidana bersyarat terhadap orang dewasa, KUH

  Pidana juga memuat beberapa pasal yang mengatur mengenai penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa, yaitu Pasal 45, dan pasal 46.

  Pasal 45 KUH Pidana; Dalam hal penuntutan pidan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan; Memerintahkan supaya si tersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatannya merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal – Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karen melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap; Atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

  Pasal 46 KUH Pidana;

  1. Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau dikemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal diatas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.

  2. Aturan untuk melaksanakan ayat 1 Pasal ini ditetapkan dengan Undang – undang.

  Apabila hakim dalam keputusannya memerintahkan agar anak yang melakukan tindak pidana diserahkan kepada pemerintah, maka anak tersebut ditempatkan di rumah pendidikan negara. Hal tersebut dilakukan agar anak dapat menerima pendidikan dari pemerintah. Cara lain apabila, anak oleh perintah hakim diserahkan kepada seorang tertentu, badan hukum, yayasan atau lembaga pendidikan. Dalam hal apabila hakim memerintahkan anak yang bersalah diserahkan kepada pemerintah atau dengan cara lain yaitu menyerahkan anak kepada seorang tertentu, badan hukum, yayasan atau lembaga amal, maka hal ini dilaksanakan samapai dengan batas waktu anak itu mencapai usia delapan belas tahun.

  Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat di atas, maka Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana bersyarat tersebut antara lain: a.

  Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut b.

  Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat- akibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat d.

  Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna e.

  Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana f.

  Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus), g. Perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.

  Dari penjabaran Pasal – Pasal mengenai pengturan pidana bersyarat dalam KUHP hanya berlaku jika kejahatan yang dilakukan si terpidana tidak lebih dari satu tahun kurungan, jadi jika hakim sudah menilai bahwa perbuatan terpidana tergolong berat maka pidana bersyarat tidak dapat lagi dijatuhkan kepada terpidana. Pertimbangan menegenai berat tidaknya perbuatan terdakwa dalam penjatuhan pidana bersyarat, berhubungan dengan rasa pemenuhan keadilan, sebab jika dilihat penerapan pidana bersyarat ini tidaklah berat sebab, pidana penjara yang harusnya dijalani si terpidana di ganti dengan bentuk lain, misalnya anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan kepada keluarga, dan tetap dalam pengawasan jaksa. Jadi memang selayaknya pidana bersyarat hanya dijatuhkan untuk tindak pidana yang ringan – ringan saja. Khusus untuk terpidana anak KUHP mengatur agar anak diserahkan kepada orang tua, namun tidak diatur lebih lanjut apa bentuk tanggungjawab lebih lanjut yang bisa dikenakan kepada terpidana anak sebagai pengganti hukumannya. Seolah – olah anak hanya dimaafkan begitu saja, diserahkan kepada orang tuanya, tidak dihukum, hanya disyaratkan untuk tidak melakukan perbuatan pidana lain selama masa percobaannya. Dengan demikian bagaimana anak bisa belajar bahwa apa pelayanan sosial, atau bentuk kegiatan lain yang positif yang mengajarkan anak untuk berubah menjadi lebih positif dan bertanggungjawab atas tiap tindakannya, sehingga kelak dia bisa terhindar dari perbuatan pidana lain.

b. Pengaturan Pidana Bersyarat Berdasarkan Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

  Undang – undang nomor 3 tahun 1997 mengatur tentang penuntutan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Dalam undang undang ini dimuat dengan jelas mengenai tindakan dari penegak hukum dalam menghadapi perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Ketentuan pidana dalam undang – undang nomor 3 tahun 1997 yaitu;

  Pasal 23

  1. Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

  2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah;

  a. Pidana penjara;

  b. Pidana Kurungan;

  c. Pidana Denda;

  d. Pidana pengawasan

  3. Selain pidan pokok sebagaimana dimaksud ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang – barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi.

  4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Selain pidana Pokok dan pidana tambahan diatas juga ada diatur mengenai

  Pidana Bersyarat terhadap anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 29;

  1. Pidana bersyarat dijatuhkan oleh hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.

  2. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.

  4. Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.

  5. Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek dari masa pidana bersyarat bagi syarat umum.

  6. Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 paling lama 3 (tiga) tahun.

  7. Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan dan pembimbingan kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.

  8. Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai pemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.

  9. Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah. Undang – Undang Nomor 3 tahun 1997 ini sebenarnya sudah di cabut dan diganti dengan Undang – Undang Nomor 11 tahun 2012. Pencabutan Undang – Undang dianggap perlu karena Undang – Undang Nomor 3 tahun 1997 dianggap sudah tidak mampu lagi mengikuti perkembangan hukum dan gejala sosial dimasyarakat, serta tidak mampu lagi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Khususnya dalam hal pidana bersyarat, undang – undang ini lebih banyak mengatur mengenai penerapan pidana bersyarat itu sendiri jika pidana bersyarat sudah menjadi vonis hakim, tapi tidak menunjukkan pelanggaran atau kenakalan anak yang bagaimana yang dapat dijatuhi pidana besyarat, apakah semua jenis kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan anak dapat dijatuhi pidana bersyarat.

c. Pengaturan Berdasarkan Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

  Seiring dengan perkembangan dalam tata kehidupan masyarakat, maka sistem peradilan pada anak yang melakukan tindak pidana, yang sebelumnya Namun pada perkembangannya dirasa tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terlebih khusus pada anak. Maka dibentuklah Undang – undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sistem peradilan Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

  Bab V Undang – undang tentang Sistem Peradilan Anak memuat tentang pidana dan tindakan yang diterapkan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Pasal 71 Undang – undang ini menjelaskan mengenai pidana apa saja yang dapat dijatuhkan kepada seorang anak.;

Pasal 71; 1. Pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. Pidana Peringatan b. Pidana dengan Bersyarat c. Pembinaan diluar lembaga d. Pelayanan Masyarakat e. Pengawasan f. Pelatihan Kerja g. Pembinaan dalam Lembaga, dan h. Penjara 2. Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat 3. Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

4. Pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak.

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

  Pidana dengan syarat dapat diterapkan kepada anak dengan dengan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat, sedangkan syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.

  Dalam menjalani pidana bersyarat, seorang anak akan diawasi oleh penuntut umum seperti yang diatur dalam Pasal 73 ayat (7): “Selama menjalani masa pidana dengan syarat, penuntut umum melakukan pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar anak menepati persyaratan yang ditetapkan”. Undang – Undang nomor 11 tahun 2012, sebagai pengganti dari Undang –

  Undang sebelumnya, dalam hal pengaturan Pidana terhadap anak sudah lebih baik. Maksudnya Undang – Undang ini sudah lebih memperhatikan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

  Selain itu juga memperhatikan dampak penjatuhan pidana terhadap anak. Hakim dalam undang – undang ini dituntut untuk lebih memperhatikan harkat dan martabat anak, meskipun anak berstatus sebagi terdakwa. Pidana yang dijatuhkan hakim juga harus memberikan pelajaran terhadap anak, dengan memberikan tanggungjawab berupa pelatihan kerja kepada anak, atau berupa penyuluhan psikologis terhadap anak sehingga anak tidak hanya dijatuhi pidana bersyarat dan dikembalikan kepada orangtuanya begitu saja tanpa melakukan suatu bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya.

d. Pengaturan Berdasrkan Rancangan Undang – undang Kitab

  Rancangan Undang-undang Hukum Pidana menggunakan istilah pidana pengawasan untuk menggantikan istilah pidana bersyarat ini. Adapun tentang pidana Pengawasan sebagaimana diatur dalam RUU – KUHP 2012, yakni;

  Pasal 77 RUU KUHP “Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.”

  Pasal 78 RUU KUHP

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 2 23

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

0 9 21

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33

BAB III ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT PENERAPAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan Nomor 227Pid.Sus2013PN.Bi) A. Posisi Kasus - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat T

0 0 42