BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.) 2.1.5 Klasifikasi Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.) - UJI DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aeromonas hydrophila GPl-04 SECARA IN-VITR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.)

  2.1.5 Klasifikasi Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.) Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tanaman jahe yaitu sebagai berikut.

  Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Classis : Liliopsida Subclassis : Zingiberidae Ordo : Zingiberales Familia : Zingiberaceae Genus : Zingiber Species : Zingiber officinale Roxb.

  2.1.6 Deskripsi Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.)

  Tanaman jahe memiliki daun yang sempit dengan panjang 15-23 cm, lebar 8-15 mm, tangkai daunnya berambut dengan panjang 2 mm sampai dengan 4 mm.

  Bentuk lidah daun memanjang, tidak berambut, panjang 7,5 mm sampai dengan 1 cm, seludang agak berambut. Tangkai bunga hampir tidak berambut, panjangnya 25 cm, ibu tangkai daun (rachis) berambut jarang, sisik pada tangkai terdapat 5 buah sampai dengan 7 buah, berbentuk lanset, letaknya berdekatan atau rapat,hampir tidak berambut, panjang sisik 3-5 cm. Daun pelindung berbentuk bundar telur terbalik, bulat pada ujungnya, tidak berambut, berwarna hijau cerah,

  6 panjang 2,5 cm, lebar 1 cm sampai dengan 1,25 cm. Mahkota bunga berbentuk tabung, panjang tabung 2-2,5 cm, helainnya agak sempit berbentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5 cm sampai 2,5 cm, lebar 2 mm sampai dengan 3,5 mm, bibir (labellum) berbintik-bintik berwarna putih kekuningan.

  Kepala sari berwarna ungu dengan panjang 9 mm. Rimpang jahe jika dipotong berwarna kekuningan (Backer & Van Den Brink, 1968).

  Jahe memiliki akar berbentuk akar serabut dengan warna putih kotor. Rimpang tebal agak melebar, tumbuh bercabang-cabang. Warna rimpang kuning pucat. Bagian dalam berserat agak kasar, warna kuning muda dengan bagian ujung berwarna merah muda. Buah jahe berbentuk bulat hingga bulat panjang, berwarna coklat sedang bijinya berbentuk bulat dengan warna hitam (Ramadhan, 2013).

2.1.7 Varietas Jahe (Zingiber officinale Roxb.)

  Berdasarkan warna rimpang, bentuk, ukuran rimpang, dan aromanya, dikenal tiga varietas jahe, yakni jahe putih besar atau jahe gajah, jahe putih kecil atau jahe emprit, dan jahe merah. Jahe putih besar dikenal dengan sebutan jahe badak atau jahe gajah. Jahe gajah memiliki rimpang yang lebih besar jika dibandingkan dengan varietas jahe lainnya dan cenderung gemuk. Jahe gajah memiliki aroma yang kurang tajam dan kurang pedas. Jahe gajah memiliki rimpang yang berwarna putih dan juga kekuningan. Jahe gajah adalah jahe yang paling disukai di pasaran internasional. Jahe gajah biasanya banyak digunakan dalam produksi permen jahe, jelly, sirup jahe, dan bir atau anggur jahe (Ramadhan, 2013).

  Jahe emprit mempunyai ukuran rimpang yang relatif kecil, bentuknya agak pipih, berwarna putih sampai kuning, seratnya bertekstur lembut, aromanya agak tajam, dan rasanya pedas. Jahe ini sering digunakan sebagai bumbu masakan terutama untuk konsumsi pasar lokal dan juga bahan baku obat-obatan (Santoso, 1994).

  Jahe merah merupakan jahe yang dipercaya memiliki banyak khasiat dan digunakan sebagai obat-obatan. Jahe merah sering digunakan sebagai obat dan juga suplemen tambahan. Rimpang jahe merah biasanya berukuran kecil jika dibandingkan dengan lainnya. Jahe merah memiliki rimpang yang berwarna merah atau jingga dan oleh masyarakat sudah dikenal lama sebagai bahan obat. Jahe merah memiliki serat yang lebih besar jika dibandingkan dengan lainnya (Depkes RI, 1978).

2.1.8 Budidaya Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.)

  Tanaman jahe terdapat di seluruh Indonesia ditanam di kebun dan pekarangan. Tumbuh di tempat terbuka sampai di tempat yang agak kenaungan, pada tanah latosal ataupun andosal terutama yang mengandung bahan organik tinggi. Umumnya ditanam di tanah ringan atau tanah yang mudah diolah seperti tanah lempung berdebu, lempung berliat, dan liat berpasir. Tumbuh pada ketinggian tempat sampai 900 meter atau lebih di atas permukaan laut, umumnya ditanam pada ketinggian tempat antara 200 m sampai dengan 600 m di atas permukaan laut (Depkes RI, 1978).

  Tanaman diperbanyak dengan rimpang. Rimpang yang akan digunakan sebagai bibit dipotong dengan ukuran 3-7 cm dan setidaknya mengandung 3 mata tunas. Stek rimpang yang dipakai dari tanaman yang sudah berumur 10 bulan atau 12 bulan. Dalam penanaman stek rimpang 5-7,5 cm umumnya dengan cara membuat alur-alur sepanjang tanah yang akan ditanami. Tunas-tunas jahe akan keluar dari dalam tanah 2 minggu sampai 2 bulan setelah ditanam. Pemeliharan terhadap tanaman jahe terdiri dari menyiang, membumbun, mencabut, membakar tanaman yang terserang penyakit, dan memupuk. Pemanenan rimpang dapat dilakukan pada umur 9 bulan sampai dengan 12 bulan setelah tanam. Panenan pada umur 6 bulan biasanya dilakukan untuk keperluan bahan pembuatan manisan. Panenan tua pada umur 9 sampai 12 bulan dilakukan bila tanaman mulai mengering seluruhnya sampai sudah rebah rumpun-rumpunnya (Depkes RI, 1978).

2.2 Metabolit sekunder

  Sejumlah tanaman menghasilkan senyawa metabolit sekunder yaitu senyawa organik yang tidak berperan langsung dalam pertumbuhan dan perkembangan, tetapi diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman biasanya digunakan untuk perlindungan dari herbivora atau mikroba patogen. Selain itu, metabolit sekunder juga memiliki fungsi lain, yakni sebagai penyokong misalnya lignin dan untuk menarik serangga pollinator contohnya antosianin. Ada tiga golongan utama metabolit sekunder, yakni terpen, senyawa fenolik, dan senyawa mengandung nitrogen (Taiz & Zeiger, 2002).

  Terpen atau terpenoid merupakan kelompok terbesar dari senyawa metabolit sekunder. Semua kelompok terpenoid memiliki satuan rumus bangun lima-karbon (unit isoprena). Semua terpenoid berasal dari molekul isoprena dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C

  5 . Ada

  lima subkelas utama pada kelompok terpenoid, yakni monoterpen, sesquiterpen, diterpen, triterpen, dan polyterpen. Monoterpen tersusun dari 2 unit isopren (C

  10 ),

  sesquiterpen tersusun dari 3 unit isopren (C ), diterpen tersusun dari 4 unit

  15

  isopren (C

  20 ). Triterpen tersusun dari 6 unit isopren (C 30 ) dan polyterpen tersusun

  lebih dari 8 unit isopren. Secara kimia, senyawa terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Kadang-kadang minyak atsiri berada di dalam sel kelenjar khusus yakni pada permukaan daun, sedangkan karetonoid terutama berhubungan dengan kloroplast di dalam daun dan kromoplast di dalam daun bunga. Terpenoid biasanya diekstraksi dari jaringan suatu tumbuhan dengan memakai pelarut seperti eter minyak bumi, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan dengan kromatografi pada silika gel memakai pelarut tersebut. Minyak atsiri merupakan bagian utama terpenoid dan biasanya minyak atsiri menyebabkan wangi, harum, atau bau yang khas pada banyak tumbuhan (Harborne, 1987).

  Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah ditemukan pada lebih dari 90 tanaman. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat yang bersifat seperti sabun. Jika senyawa ini dikocok dalam air akan menimbulkan busa dan pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin dapat berperan sebagai racun untuk ikan dan biasanya tumbuhan yang mengandung saponin dimanfaatkan sebagai racun ikan.

  Saponin juga bekerja sebagai anti mikroba (Robinson, 1995).

  Senyawa fenolik meliputi berbagai senyawa dari tumbuhan yang memiliki ciri sama, yakni memiliki cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air, karena umumnya senyawa ini berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel tumbuhan. Senyawa fenol pada tumbuhan dapat menimbulkan gangguan besar karena kemampuannya dalam membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Apabila kandungan sel tumbuhan bercampur dan membran menjadi rusak selama proses isolasi, senyawa fenol cepat sekali membentuk kompleks dengan protein sehingga mengakibatkan sering terjadinya hambatan terhadap kerja enzim pada ekstrak tumbuhan kasar. Beberapa ribu senyawa fenol di alam telah diketahui strukturnya, beberapa senyawa yang tergolong fenol adalah flavonoid, fenilpropanoid, kuinon, lignin, melanin, dan tanin (Harborne, 1987).

  Flavonoid merupakan polifenol yang dapat digambarkan sebagai deretan C -C -C yang artinya terdiri atas 15 atom karbon dan tersusun sebagai 2 cincin

  6

  3

  6

  benzene yang dihubungkan dengan rantai alifatik tiga karbon. Kelas-kelas yang ada dalam golongan flavonoid dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan. Efek flavonoid terhadap organisme sangat banyak macamnya dan biasanya tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh tumbuhan bahkan fungi. Flavonoid terdapat pada bagian vegetatif maupun bunga. Sebagai pigmen bunga, flavonoid berperan dalam menarik serangga. Flavonoid juga dimungkinkan memiliki peran dalam pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, sebagai antivirus, dan antimikroba. Senyawa dari golongan flavonoid banyak yang larut dalam air terutama bentuk glikosidanya sehingga sering berada pada ekstrak air tumbuhan. Flavonoid juga dapat diekstraksi dengan baik menggunakan pelarut metanol, etanol, atau aseton (Robinson,1995).

  Tanin terdapat luas dalam jaringan yang berpembuluh. Dalam industri, tanin adalah senyawa dari tumbuhan yang memiliki kemampuan menyamak yakni mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit hewan yang siap pakai karena kemampuannya dalam menyambungkan protein. Pada sebagian besar tumbuhan yang mengandung tanin, tumbuhan akan dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya sepat. Selain itu, tanin juga berfungsi sebagai antimikroba (Harborne, 1987).

  Kelas terbesar dari senyawa yang mengandung nitrogen dalam tumbuhan adalah alkaloid. Sekitar 550 alkaloid sudah diketahui dan merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa tumbuhan. Alkaloid juga dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh. Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi suatu tumbuhan memakai air yang diasamkan yang melarutkan alkaloid sebagai garam atau bahan tumbuhan dapat dibasakan menggunakan natrium karbonat dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform dan eter (Harborne, 1987)

2.3 Kandungan Jahe

  Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa jahe memiliki sifat antimikroba. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe terdiri dari golongan fenol, flavonoid, terpenoid, minyak atsiri dan diduga merupakan golongan senyawa metabolit sekunder bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan mikroba perusak pangan (Purwani, 2011).

  Berdasarkan bentuk, warna, dan ukuran rimpang dikenal tiga jenis jahe, yakni jahe merah, jahe putih besar, dan jahe putih kecil atau jahe emprit. Ketiga jenis jahe tersebut mengandung pati, minyak atsiri, serat, sejumlah protein, vitamin, mineral, dan enzim proteolitik yang disebut zingibain. Jahe merah memiliki kandungan pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%), dan ekstrak yang larut dalam alkohol (9,93%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan jahe emprit (41,48%, 3,5 % dan 7,29%) dan jahe gajah (44,25%, 2,5% dan 5,81%) (Hernani & Winarti, 2012).

  Rasa pedas dari jahe segar berasal dari kelompok senyawa gingerol yaitu senyawa turunan fenol. Rasa pedas pada jahe kering berasal dari senyawa shogaol yang merupakan hasil dehidrasi dari gingerol. Gingerol tidak stabil dengan adanya panas dan suhu tinggi sehingga akan berubah menjadi shogaol. Karakteristik bau dan aroma jahe berasal dari campuran senyawa zingeron, shogaol serta minyak atsiri dengan kisaran 1-3% dalam jahe segar. Kepedasan pada jahe diakibatkan karena adanya turunan senyawa non volatil fenilpropanoid seperti gingerol dan shogaol (Hernani & Winarti, 2012).

  Jahe kering mempunyai kadar air 7-12%, minyak atsiri 1-3%, oleoresin 5- 10%, pati 50-55%, sejumlah kecil protein, dan serat lemak sampai 70%. Aroma jahe sangat tergantung pada kandungan minyak atsirinya (1-3%). Adanya variasi komponen kimia dalam minyak atsiri jahe bukan saja dikarenakan varietasnya tetapi juga kondisi iklim, musim, geografi lingkungan, tingkat ketuaan, adaptasi metabolit dari tanaman, kondisi destilasi, dan bagian yang dianalisa (Wang et al., 2009).

  Beberapa senyawa yang ada pada jahe termasuk gingerol, shogaol, dan zingeron memberikan efek antiinflamasi, antioksidan, analgesik, antikarsinogenik, dan kardiotonik. Gingerol juga memiliki aktivitas sebagai antibakteri untuk mulut dan gusi. Ekstrak etanol dan ekstrak kloroform jahe dapat menghambat berbagai bakteri seperti Kleibsella pneumoniae, Salmonella thyphimurium, Bacillus cereus,

  Entrecoccus fecalis, Staphylococcus aureus tetapi tidak memberikan efek terhadap E.coli, Pseudomonas sureginosa, dan S.epidermidis (Nalbantsoy, 2008).

2.4 BAKTERI Aeromonas hydrophila

  2.4.1 Klasifikasi Aeromonas hydrophila Berikut ini adalah klasifikasi Aeromonas hydrophila (Holt et al., 1994).

  Filum : Protophyta Classis : Schizomycetes Ordo : Pseudomonadales Familia : Vibrionaceae Genus : Aeromonas Species : Aeromonas hydrophila

  2.4.2 Karakteristik Aeromonas hydrophila

  Bakteri Aeromonas termasuk ordo pseudomonadales dan terdiri dari tiga spesies utama yaitu A. punctata, A. hydrophila, dan A. liquiefacieus. Bakteri Aeromonas umumnya hidup di air tawar, terutama yang mengandung bahan organik tinggi (Afrianto & Liviawaty, 1992). merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang dengan

  A. hydrophila

  ukuran panjang sekitar 1,0-3,5 m, bersifat fakultatif anaerob, kemoorganotrof, fermentatif, sitokrom oksidase positif, dan bersifat motil (Frerichs & Robert, 1978). Bakteri A. hydrophila tidak memiliki kapsul maupun spora. Koloni berbentuk bulat, tepi rata, cembung, dan berwarna kuning keputih-putihan, atau krem (Post, 1983; Sarono et al., 1993).

  Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri yang sering menyerang dan menginfeksi ikan. Pada umumnya bakteri A. hydrophila dapat menginfeksi secara luas pada hewan termasuk mamalia tetapi yang banyak diketahui dapat menyebabkan penyakit pada ikan air tawar yang dibudidayakan. Bakteri A.

  hydrophila bersifat patogen opportunistik sehingga selalu ada di air dan hidup

  berdampingan dengan organisme air. Bakteri A. hydrophila menyebabkan penyakit MAS (Motile Aeromonas hydrophila) dan dapat menginfeksi ikan terutama pada kondisi stress atau bergabung dengan patogen lainnya sebagai penginfeksi sekunder (Harikrishanan & Balasundaram, 2005).

  Bakteri A. hydrophila dalam budidaya ikan air tawar sering menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian tinggi (80-100%) dalam waktu singkat yakni 1-2 minggu. Gejala penyakit yang ditimbulkan seperti halnya penyakit bakteri Gram negatif Septicemia antara lain inflamasi dan lesi pada mulut insang, hemorphagik pada sirip tubuh, mata menonjol, perut kembung, ginjal membengkak, dan usus berisi mucus berwarna kekuningan (Kamiso, 2004).

  A. hydrophila mempunyai sifat biokimia, genetik, serologi, dan fenotip yang beragam. Kemampuan A. hydrophila menimbulkan penyakit cukup tinggi.

  Tingkat keganasan yang diukur dengan LD cukup bervariasi, yaitu berkisar

  50

  4

  6

  antara 10 -10 sel/ml. Akibat dari penyakit MAS adalah adanya ulser yang berbentuk bulat atau tidak teratur dan berwarna merah keabu-abuan, inflamasi,dan erosi didalam rongga dan sekitar mulut seperti redmouth disease. Selain itu, terjadi hemorraghik pada sirip serta mata membengkak dan menonjol (Sarono et

  ., 1993).

  al

2.4.3 Patogenitas Aeromonas hydrophila

  A. hydrophila yang patogen diduga memproduksi faktor-faktor eksotoksin

  dan endotoksin yang sangat berpengaruh pada patogenitas bakteri ini. Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang nantinya disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa spesies bakteri tertentu baik Gram positif maupun Gram negatif, yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri Gram negatif. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida. Lipopolisakarida merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar bakteri Gram negatif (Rahman, 2008).

  A. hydrophila memproduksi eksotoksin berupa hemolisin, protease, elastase, lipase, sitotoksin, enterotoksin, gelatinase, kaseinase, lechithinase, dan leucocidin.

  Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisiskan sel-sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya. Protease adalah enzim proteolitik yang berfungsi untuk melawan pertahanan tubuh inang untuk berkembangnya penyakit dan mengambil persediaan nutrient inang untuk berkembang biak (Rahman, 2008).

2.5 Antibiotik Pembanding

  Antibiotik yang sering digunakan oleh para petani ikan dan digunakan sebagai antibiotik pembanding adalah kloramfenikol. Antibiotik adalah suatu substansi yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dalam jumlah sangat kecil dapat menghambat pertumbuhan jasad renik lainnya. Contoh antibiotik adalah penisilin yang pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming, penemuan penisilin membuka jalan bagi penemuan dan produksi komersial berbagai antibiotik lainnya. Antibiotik sekarang ini merupakan senyawa kimia yang utama yang digunakan untuk mengobati suatu penyakit menular (Pelczar, 1988).

  Antibiotik adalah substansi yang dapat menghambat pertumbuhan organisme lain yang berasal dari mikroorganisme. Namun sekarang ini, istilah antibiotik bukan hanya terbatas demikian melainkan semua substansi yang diketahui memiliki kemampuan untuk menghalangi pertumbuhan organisme lain khususnya mikroorganisme (Pratiwi, 2008).

  Kloramfenikol memiliki rumus molekul C

  11 H

  12 C

  12 N

  2 O 5 dan berbentuk

  hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih sampai kelabu atau putih kekuningan, tidak berbau, rasanya sangat pahit, dalam larutan asam lemah, dan mantap. Larut dalam lebih kurang 400 bagian air dalam 2,5 bagian etanol 95% dan dalam 7 bagian propilenglikol serta sukar larut dalam kloroform dan eter. Dikenal berbagai macam kloramfenikol yakni kapsul kloramfenikol, salep mata kloramfenikol, salep kloramfenikol, kloramfenikol palmitat, dan suspensi kloramfenikol palmitat (Farmakope, 1979).

  Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan struktur sederhana sehingga mudah dibuat secara sintetik jika dibandingkan dengan mengisolasinya dari

  Streptomyces. Antibiotik ini memberikan efek dengan cara bereaksi pada sub unit

  50S ribosom dan menghalangi aktivitas enzim peptidiltransferase. Enzim ini berfungsi untuk membentuk ikatan peptida antara asam amino baru yang masih melekat pada tRNA dengan asam amino terakhir yang sedang berkembang. sebagai akibatnya sintesis protein bakteri akan terhenti seketika (Pratiwi, 2008).

  Semakin tinggi penggunaan antibiotik, semakin tinggi pula tekanan selektif proses evolusi dan proliferasi strain mikroorganisme yang bersifat resisten. Resistensi mikroorganisme dapat dibedakan menjadi resistensi primer atau bawaan, resistensi sekunder atau dapatan, dan resistensi episomal. Resistensi primer merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini misalnya dapat disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga secara alami mikroorganisme dapat menguraikan antibiotik. Mekanisme resistensi sekunder diperoleh akibat kontak dengan agen antimikroba dalam waktu yang lama dengan frekuensi yang tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme. Resistensi episomal disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom (Pratiwi, 2008).

  Resistensi kloramfenikol mayoritas disebabkan oleh adanya enzim yang menambahkan gugus asetil ke dalam antibiotik. Kloramfenikol yang terasetilasi tidak akan dapat terikat pada subunit 50s ribosom bakteri, sehingga tidak mampu menghambat sintesis protein. Mayoritas bakteri yang resisten terhadap kloramfenikol memiliki plasmid dengan sebuah gen yang mengkode kloramfenikol asetiltransferase. Enzim ini menginaktivasi kloramfenikol yang telah melewati membran plasma dan memasuki sel. Kloramfenikol asetiltransferase diproduksi secara terus menerus oleh mayoritas bakteri Gram negatif, tetapi pada Staphylococcus aureus, sintesis enzim ini diinduksi oleh kloramfenikol (Pratiwi, 2008).

2.6 Uji Aktivitas Antibakteri

  Uji aktivitas antibakteri digunakan untuk mengetahui tingkat aktivitas suatu senyawa antimikroba. Beberapa macam metode uji aktivitas antibakteri atau uji antimikroba menurut Pratiwi (2008), adalah sebagai berikut.

  1. Metode Difusi

  a. Metode disk diffusion untuk menentukan aktivitas antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih mengiindikasi adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media Agar.

  b.

  

E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitor

Concentration ) atau KHM (Kadar Hambat Minimum) yaitu konsentrasi

  minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media Agar yang telah ditanami mikrooganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

  c.

  

Ditch-plate technique agen antimikroba diletakkan pada parit yang dibuat

dengan cara memotong media Agar dalam cawan petri.

  d.

  

Gradient-plate technique menggunakan konsentrasi agen antimikroba

  bervariasi. Media Agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran dituang pada petri dalam posisi miring dan nutrisi kedua dituang diatasnya.

  Diinkubasi selama 24 jam, mikroba uji digoreskan pada arah mulai konsentrasi tinggi hingga rendah.

  2. Metode Dilusi

  a. Metode dilusi cair (Broth Dilution) digunakan untuk mengukur MIC dan MBC (Minimum Baktericidal Consentration). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar konsentrasi terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai MIC. Larutan yang dianggap sebagai MIC selanjutnya dikultur ulang pada medium cair dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai MBC.

  b. Metode dilusi padat, metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat. Keuntungan menggunakan metode ini adalah, satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.

2.7 Metode Ekstraksi

  Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati, atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan larutan penyari (Depkes RI, 2000).

  Beberapa metode ekstraksi menurut Departemen Kesehatan RI (2000), antara lain.

  a. Maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari (pelarut) dengan beberapa kali pengocokan atau penggadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang terus menerus. Remaserasi berarti dilakukan penggulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

  Maserasi digunakan untuk mengekstraksi simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, etanol-air, atau pelarut lainnya. Pada maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi di luar butir simplisia, dengan proses pengadukan maka tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dan larutan di luar sel (Depkes RI, 1968).

  b. Infundasi merupakan proses ekstraksi yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati.

  Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstrak simplisia dengan

  o

  air pada suhu 90 C selama 15 menit. Ekstraksi dengan cara ini menghasilkan ekstrak yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, ekstrak yang diperoleh tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. o

  c. Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama yakni lebih dari 30 C dan temperatur sampai titik didih air.

  d. Digesti merupakan maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu

  o o

  menggunakan pemanasan lemah yaitu pada suhu 40 -50

  C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan.

  e. Perkolasi merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatut ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak). Perkolasi dilakukan dengan alat yang disebut perkolator dan menghasilkan ekstrak yang disebut perkolat.

  f. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru dan umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  g. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

  h. Destilasi uap merupakan ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dengan bahan segar dengan uap air, berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dan fase uap air dari ketel secara kontinu, sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran

  (senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian. Pada destilasi uap, simplisia benar-benar tidak tercelup ke air yang mendidih namun dilewati uap air sehingga kandungan menguap ikut terdestilisasi. i. Ekstraksi berkesinambungan merupakan proses ekstraksi yang dilakukan berulang kali dengan pelarut yang berbeda atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berturutan beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi.

2.8 Kromatografi Lapis Tipis

  Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal).

  Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

  Fase diam atau lapisan penjerap yang paling sering digunakan adalah silika gel. Silika gel dan alumunium oksida memiliki kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya. Fase gerak atau pelarut pengembang adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler (Stahl, 1985).

  Pengembangan adalah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal, yaitu jarak antara garis awal dan garis depan adalah 100 mm. Dalam KLT selain larutan cuplikan selalu ada suatu campuran pembanding yang dikromatografi pada waktu bersamaan (Stahl, 1985).

  Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa warna pada kromatogram. Deteksi senyawa yang sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek. Deteksi dengan pereaksi semprot juga dapat dilakukan atau menggunakan deteksi biologi (Stahl, 1985).

Dokumen yang terkait

Investigasi Agensia Hayati untuk Pengendalian Penyakit Bercak Daun (Phyllosticta zingiberi) pada Tanaman Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc.)

4 43 114

BIOAKTIVITAS EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE (Zingiber officinale Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN BEBERAPA BAKTERI

0 2 22

BIOAKTIVITAS EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE (Zingiber officinale Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN BEBERAPA BAKTERI

1 5 22

BIOAKTIVITAS EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE (Zingiber officinale Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN BEBERAPA BAKTERI

1 5 22

Efek Kombinasi Minyak Atsiri Bangle (Zingiber purpureum Roxb.) dan Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum) sebagai Antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

3 22 101

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Formulasi Sediaan Gel dan Krim dari Ekstrak Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe)”.

0 0 13

PENGARUH KOMBINASI NISIN DENGAN MINYAK ATSIRI JAHE MERAH (Zingiber officinale var. rubrum), JAHE EMPRIT (Zingiber officinale var. roscoe) DAN JAHE GAJAH (Zingiber officinale var. officinale) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN MIKROBIA PEMBUSUK DAN PATOGEN - UNS

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jahe Gajah (Zingiber officinale var. officinale) - PERBANDINGAN POTENSI AKTIVITAS ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI JAHE GAJAH ( Zingiber officinale var. officinale ) DESA TETEL PURBALINGGA DARI HASIL PENYULINGAN DAN EKSTRAKSI TERHADA

1 2 16

OPTIMASI FORMULA GRANUL INSTAN EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale Roxb.) DENGAN KOMBINASI LAKTOSA DAN SUKROSA MENGGUNAKAN METODE SIMPLEX LATTICE DESIGN - repository perpustakaan

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jahe (Zingiber officinale Roxb.) 1. Klasifikasi Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.) - OPTIMASI FORMULA GRANUL INSTAN EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale Roxb.) DENGAN KOMBINASI LAKTOSA DAN SUKROSA MENGGUNAKAN METODE SIMPLEX L

0 0 10