BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1. Deskripsi Pembelajaran Menulis Cerita Pendek pada Siswa Kelas XI MIA SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Tahun 2015 - KEMAMPUAN MENULIS TEKS CERITA PENDEK SISWA IPS KELAS XI SMA NEGERI 1 JERUKLEGI KABUPATEN CI

BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1. Deskripsi Pembelajaran Menulis Cerita Pendek pada Siswa Kelas XI MIA SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Tahun 2015 Penelitian yang mengangkat tema tentang menulis cerpen memang sudah ada

  yang meneliti sebelumya yaitu penulis meninjau penelitian yang dilakukan oleh Peng Zi Lin (2015) dari Universitas N egeri Yogyakarta yang berjudul “Deskripsi Pembelajaran Menulis Cerita Pendek pada Siswa Kelas XI MIA SMA BOPKRI 2 Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menulis cerita pendek pada siswa kelas XI MIA SMA BOPKRI 2 Yogyakarta dilaksanakan berdasarkan Kurikulum 2013, silabus pembelajaran Bahasa Indonesia kelas XI MIA, dan dilaksanakan sesuai RPP Bahasa Indonesia bahan ajar teks cerita pendek. Kendala yang dihadapi dalam pembelajaran menulis cerita pendek berupa (1) rendahnya kompetensi guru dalam menulis cerpen dan guru dalam membimbing siswa menulis cerita pendek, (2) rendahnya motivasi para siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis cerpen, (3) Kurikulum 2013 telah menempatkan materi menulis cerpen dengan alokasi waktu yang tersedia relatif kurang memadai.

  Cara mengatasi kendala tersebut adalah (1) para guru diberi pelatihan mengenai proses pembimbingan menulis cerpen sampai mereka memiliki kompetensi dalam membimbing menulis cerpen, (2) disediakan perangkat pembelajaran menulis cerpen yang sudah teruji tingkat efektivitasnya dan efesiensinya, (3) memberikan motivasi dan pencerahan kepada siswa tentang manfaat memiliki kemampuan menulis cerita pendek dalam kehidupan sehari-hari, (4) perlu peningkatan alokasi waktu pembelajaran menulis cerita pendek dalam kurikulum.

  5 Penelitian di atas memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Persamaannya adalah sama-sama mengambil tema atau materi tentang cerita pendek. Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menulis cerita pendek, sedangkan pada penelitian di atas mendeskripsikan tentang pembelajaran menulis cerita pendek. Waktu dan tempat penelitian di atas adalah SMA BOPKRI 2 Yogyakarta pada tahun 2015. Sementara itu, penelitian yang peneliti lakukan adalah di SMA Negeri 1 Jeruklegi Kabupaten Cilacap tahun 2017.

  2. Menulis Teks Cerita Pendek Berbantuan Media Gambar Berseri Siswa Kelas

  VII SMP Islam Khaira Ummah Padang Tahun 2015

  Skripsi yang berjudul Menulis Teks Cerita Pendek Berbantuan Media Gambar Berseri Siswa Kelas VII SMP Islam Khaira Ummah Padang

  ” oleh Trisna Helda dari STKIP PGRI Sumatera Barat. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan siswa dalam menulis dan mengembangkan cerita pendek dan kurangya media untuk mendukung siswa dalam proses pembelajaran menulis cerita pendek. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kemampuan menulis teks cerita pendek siswa kelsa VII SMP Islam Khaira Ummah Padang berbantuan media gambar berseri.

  Jenis penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Populasi penelitian adalah siswa kelas VII SMP Islam Khaira Ummah Padang yang terdaftar pada tahun ajaran 2015/2016, sebanyak 135 orang yang tersebar dalam 5 kelas. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 22 orang siswa yaitu siswa kelas

  VIIB. Data penelitian ini berupa hasil tes menulis teks cerita pendek siswa kelas VII

  SMP Islam Khaira Ummah Padang. Berdasarkan hasil penelitian kemampuan menulis teks cerita pendek siswa kelas VII SMP Islam Khaira Ummah Padang berbantuan media gambar berseri untuk keseluruhan dengan rata-rata hitung 83,71 tergolong baik berada pada rentangan 76-85%.

  Penelitian di atas memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Persamaannya adalah sama-sama mengambil tema atau materi tentang kemampuan siswa dalam menulis cerita pendek. Perbedaannya adalah objek penelitian peneliti melakukan penelitian di Sekolah Menengah Atas (SMA), sedangkan pada penelitian di atas dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Waktu dan tempat penelitian di atas adalah SMP Islam Khaira Ummah Padangtahun ajaran 2015. Sementara itu, penelitian yang peneliti lakukan adalah di SMA Negeri 1 Jeruklegi Kabupaten Cilacap tahun 2017.

B. Menulis Cerita Pendek

  Menurut Nurjamal dan Warta Sumirat (2010: 68) menulis merupakan sebuah proses kreatif menuangkan gagasan dalam bentuk bahasa tulis untuk tujuan, misalnya memberi tahu, meyakinkan, dan menghibur. Dari beberapa pengertian menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis adalah suatu kecakapan yang dimiliki setiap individu dalam menuangkan ide, gagasan ataupun perasaan dalam bahasa yang jelas, ekspresif, mudah dibaca, dan dipahami oleh orang lain.

  Nurgiyantoro (2010: 23) mengatakan bahwa unsur-unsur cerita pendek meliputi unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung unsur tersebut mempengaruhi karya sastra tersebut. Sedangkan unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, diantaranya adalah tema, alur/plot, tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang.

1. Menulis

  Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan (Depdiknas, 2007: 742). Menurut Poerwadarminta (2007: 1304-1305), menulis adalah membuat huruf (angka, dsb), dengan pena (pensil, kapur, dsb), melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan, menggambar, melukis, dan membatik (kain). Tarigan (2008: 22) mengatakan bahwa menulis merupakan kegiatan menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang- lambang grafik itu. Kegiatan menulis juga disebut sebagai suatu kemampuan seseorang untuk mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan, dan pengalaman- pengalaman kehidupannya dalam bahasa tulis yang jelas, ekpresif, mudah dibaca, dan dipahami oleh orang lain.

  Sumardjo (2007: 75) mengemukakan bahwa menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan. Saat menulis banyak yang melakukannya secara spontan tetapi ada juga yang berkali-kali mengadakan koreksi dan penulisan kembali. Menulis adalah menuangkan gagasan, pengalaman, pengetahuan, perasaan, dalam bentuk tertulis dengan tujuan untuk dikomunikasikan kepada orang banyak (Sadono, dkk, 2010:12). Menurut Nurjamal dan Warta Sumirat (2010: 68) menulis merupakan sebuah proses kreatif menuangkan gagasan dalam bentuk bahasa tulis untuk tujuan, misalnya memberi tahu, meyakinkan, dan menghibur. Dari beberapa pengertian menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis adalah suatu kecakapan yang dimiliki setiap individu dalam menuangkan ide, gagasan ataupun perasaan dalam bahasa yang jelas, ekspresif, mudah dibaca, dan dipahami oleh orang lain.

a. Kriteria Penilaian Menulis Cerita Pendek

  Dari kegiatan menulis yang dilakukan oleh penulis tidak semua hasil tulisan merupakan tulisan yang baik. Dalam kegiatan menulis ada ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang penulis. Hasil tulisan yang dibuat oleh penulis dapat dikatagorikan berkualitas apabila dibuat berdasarkan ketentuan menulis. Ada beberapa indikator penilaian kemampuan menulis karangan dengan mengembangkan pendapat Nurgiyantoro (2013: 439) yaitu: 1) kesesuaian judul dengan isi, 2) kesesuaian isi, 3) kesesuaian isi, 4) koherensi, 5) ejaan, 6) keefektifan kalimat.

1) Kesesuaian judul dengan isi

  Judul Merupakan perincian atau jabaran dari topik yang diberikan untuk bahasan atau karangan. Kesesuaian judul dengan isi dapat dikategorikan sebagai bagian dari kualitas sebuah tulisan. Karangan atau teks yang judulnya sesuai dengan isi cerita mempunyai kualitas yang baik. Judul teks biasanya mencerminkan isi cerita karena judul dapat menggambarkan isi dari sebuah cerita di dalam teks. Bentuk judul yang menarik membuat pembaca penasaran. Dengan demikian, judul yang dibuat harus sesuai dengan isi cerita di dalam teks karena judul adalah cerminan dari isi sehingga judul harus sesuai dengan isi.

  2) Kesesuaian isi

  Kesesuaian isi atau sering disebut juga dengan ruang lingkup isi. Isi merupakan bagian terpenting di dalam sebuah karangan atau teks. Isi yang ada di dalam teks menjadi fokus utama di dalam membuat cerita karena isi akan menentukan jalan cerita. Isi cerita dapat berupa apa saja tidak harus kehidupan seseorang. Setiap cerita memiliki ketentuan atau kriteria tersendiri yang menjadi ciri khas dari teks tersebut. Indikator yang harus ada di dalam isi cerita harus sesuai dengan teks yang akan dibuat. Indikator tersebut berupa cerpen berasal dari kehidupan sehari-hari atau diambil dari pengalaman pribadi, dalam cerpen tokoh yang digambarkan mengalami konflik hingga pada penyelesaiannya, kemudian kesan yang ditinggalkan cerpen sangat mendalam hingga pembaca ikut merasakannya, selanjutnya hanya ada satu kejadian yang diceritakan, dan alur cerita tunggal dan lurus.

  3) Urutan struktur teks

  Struktur teks merupakan organisasi atau penyajian isi. Struktur adalah perangkat hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain (Keraf, 2004: 60).

  Setiap teks mempunyai struktur yang membuat teks mempunyai urutan cerita yang mudah dipahami oleh pembaca. Struktur teks selalu disajikan urut sehingga isi cerita menjadi lebih jelas karena struktur membentuk jalannya cerita di dalam teks. Struktur teks biasanya diawali dengan latar belakang masalah, konflik, penyelesaian dan kesimpulan. Struktur ini membantu pembaca dalam memahami isi cerita sehingga pembaca memahami isi cerita dan alur secara jelas dan runtut.

  Suherli, dkk (2017: 125) struktur cerita pendek merupakan rangkaian cerita yang membentuk cerpen itu sendiri. Dengan demikian, struktur cerpen tidak lain berupa unsur alur, yakni berupa jalinan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat ataupun secara kronologis. Secara umum jalan cerita terbagi kedalam bagian- bagian berikut. Pertama, pengenalan situasi cerita (exposition, orientation). Dalam

  bagian ini pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antar tokoh. Kedua, pengungkapan peristiwa (complication). Bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan bagian masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.

  Ketiga , menuju pada adanya konflik (rising action). Terjadi peningkatan

  perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. Keempat, puncak konflik (turning

  

point ). Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Ini bagian cerita yang paling besar

dan mendebarkan. Pada bagian ini ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya.

  Misalnya, apakah dia kemudian berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.

  , penyelesaian (ending atau coda). Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi

  Kelima

  penjelasan tentang sikap ataupun nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula cerpen yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir ceritanya dibiarkan menggantung tanpa ada penyelesaian.

4) Koherensi

  Koherensi adalah suatu rangkaian yang saling bertalian dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis (Mulyana, 2005: 31). Menurut Keraf (2004: 84) koherensi adalah hubungan timbal balik antara kalimat-kalimat yang membina alenia itu dan mudah dipahami. Pembaca dengan mudah mengikuti jalan pikiran penulis, tanpa merasa bahwa ada sesuatu yang menghambat atau semacam jurang pemisah antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya. Sebuah teks yang bagus setiap paragraf saling berhubungan sehingga membentuk makna yang mudah dipahami oleh pembaca. Koherensi dalam teks biasanya membentuk sebuah cerita yang menarik dan bermakna karena dalam setiap paragraf terdapat gagasan yang saling terkait.

  Keterkaitan antar paragraf dalam cerita atau teks membentuk makna cerita yang akan memperjelas tujuan penulis. Dengan demikian, koherensi dibutuhkan dalam menulis sebuah teks karena dengan adanya koherensi cerita menjadi lebih jelas dan bermakna.

5) Ejaan

  Ejaan digunakan dalam tata tulisan agar tulisan mengandung makna dan mudah dipahami. Ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis- menulis yang distandarisasikan, yang lazimnya mempunyai 3 aspek yakni aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad, aspek morfologis yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis, aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca (Kridalaksana, 2001: 48). Menurut Aziez dan Rahmat (2009: 70) ejaan adalah cara, aturan, kaidah melambangkan bunyi-bunyi bahasa dengan tanda yang disebut aksara, bunyi bahasa yang disebut fonem, dan semua huruf di dalam suatu bahasa disebut abjad. Susanti (2014: 28) mengemukakan bahwa ejaan merupakan kaidah yang harus dipatuhi oleh pemakai bahasa demi keteraturan dan keseragaman bentuk, terutama dalam bahasa tulis. Keteraturan bentuk akan berimplikasi pada ketepatan dan kejelasan makna Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ejaan adalah cara, aturan, penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang harus dipatuhi oleh pemakai bahasa demi keteraturan dan keseragaman bentuk terutama dalam bahasa tulis.

6) Keefektifan kalimat

  Mulyati (2015: 52) mengatakan bahwa Kalimat yang efektif adalah kalimat yang mengungkapkan pikiran atau gagasan yang disampaikan sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh orang lain. sesuai kaidah bahasa, jelas dan mudah dipahami. Pada dasanya, sebuah kalimat dapat dibentuk oleh klausa yang terdiri dari subjek dan predukat dengan penambahan objek, pelengkap maupun keterangan yang diakhiri dengan tanda baca titik, tanya, atau seru. Kalimat efektif pada penulisannya tidak boros kata dan bertele-tele. Susunan kalimat yang ditulis ringkas dan pasti agar orang yang membaca mudah menangkap gagasan yang ditulis. Dalam sebuah kalimat akan selalu membutuhkan subjek dan predikat karena subjek dan predikat adalah unsur penyusun kalimat.

  Subjek merupakan fungsi sintaksis terpenting kedua setelah predikat (Alwi dkk, 2003: 327). Subjek adalah unsur kalimat yang menunjukkan pelaku sedangkan predikat adalah bagian kalimat yang memberitahukan objek atau subjek dalam keadaan bagaimana. Predikat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen subjek disebelah kiri (Alwi dkk, 2003: 326). Jadi dapat disimpulkan bahwa subjek dan predikat akan selalu melekat di dalam kalimat. Oleh sebab itu, kalimat yang baik adalah kalimat yang di dalamnya mengandung subjek dan predikat. Dengan demikian, subjek dan predikat merupakan unsur utama pembentuk kalimat.

2. Teks Cerpen

  Cerpen kebanyakan diketahui oleh orang sebagai cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya melihat bentuk fisiknya saja belum tentu ditetapkan sebagai cerpen.

  Ada beberapa cerita pendek tetapi bukan cerpen. Misalnya: Fabel (cerita pendek dan sederhana dengan tokoh-tokoh binatang), Parabel (cerita yang pendek dan sederhana yang mengandung ibarat atau hikmat sebagai pedoman hidup) (Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2007: 585) cerita rakyat, dan anekdot. Ruang lingkup yang dungkapkan cerita pendek adalah sebagian kecil dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. Cerita pendek hanya memusatkan perhatian pada tokoh utama dan permasalahannya yang paling menonjol yang menjadi pokok cerita. Untuk mengetahui lebih dalam tentang cerpen terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan cerpen, yakni a. pengertian cerpen, struktur teks cerpen, dan unsur pembangun cerpen.

a. Pengertian Cerpen

  Menurut Sumardjo (2007: 203), cerita pendek adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya. Pengarang cerpen hanya ingin mengemukakan suatu hal secara tajam. Inilah sebabnya dalam cerpen amat dituntut ekonomi bahasa. Segalanya harus terseleksi secara ketat, agar apa yang hendak dikemukakan sampai pada pembacanya secara tajam. Ketajaman inilah tujuan penulisan cerita pendek. Ada tiga jenis cerpen, yakni cerita pendek, cerita pendek yang pendek (di Indonesia terdiri dari satu halaman atau setengah halaman), cerita pendek (4-15 halaman folio), dan cerita pendek panjang (20-30 halaman). Ini bukan sesuatu ukuran yang mutlak. Semua jumlah halaman dan kepanjangan hanyalah sekedar ukuran, yang penting bahwa cerpen membatasi diri pada satu efek saja.

  Kurniawan dan Sutardi (2012: 59) berpendapat bahwa cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur.

  Nurgiyantoro (2010: 10) mengemukakan bahwa cerpen sesuai dengan namanya cerita yang pendek. Akan tetapi, beberapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Panjang pendek cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali, berkisar 500-an kata, ada cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long

  

short story ), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Dari

  beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah rangkaian perstiwa yang terjalin menjadi satu yang ceritanya pendek. Berdasarkan uraian tentang cerpen yang disampaikan tersebut, dapat diketahui bahwa cerpen adalah bentuk cerita yang dibaca habis sekali duduk dengan memiliki satu konflik saja.

b. Struktur Teks Cerpen

  Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang produktif dan mengasah keterampilan siswa dalam menuangkan gagasan menjadi sebuah paragraf. Menurut Suherli, dkk (2017: 125) struktur cerita pendek merupakan rangkaian cerita yang membentuk cerpen itu sendiri. Dengan demikian, struktur cerpen tidak lain berupa unsur alur, yakni berupa jalinan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat ataupun secara kronologis. Secara umum jalan cerita terbagi kedalam bagian-bagian berikut. Pertama, pengenalan situasi cerita (exposition, orientation). Dalam bagian ini pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antar tokoh.

  

Kedua , pengungkapan peristiwa (complication). Bagian ini disajikan peristiwa awal

  yang menimbulkan bagian masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.

  Ketiga , menuju pada adanya konflik (rising action). Terjadi peningkatan

  perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. Keempat, puncak konflik (turning

  

point ). Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Ini bagian cerita yang paling besar

dan mendebarkan. Pada bagian ini ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya.

  Misalnya, apakah dia kemudian berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.

  

Kelima , penyelesaian (ending atau coda). Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi

  penjelasan tentang sikap ataupun nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula cerpen yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir ceritanya dibiarkan menggantung tanpa ada penyelesaian.

c. Unsur Pembangun Cerpen

  Sebuah cerita pendek memiliki unsur-unsur yang saling mengaitkan sehingga membentuk kesatuan dalam cerita. Menurut Nurgiyantoro (2010: 23) unsur-unsur tersebut meliputi unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung unsur tersebut mempengaruhi karya sastra tersebut. Sedangkan unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, diantaranya adalah tema, alur/plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat.

  Berikut ini adalah pemaparan mengenai unsur-unsur pembangun cerita pendek berupa: 1) tema, 2) alur/ plot, 3) tokoh dan penokohan, 4) latar, 5) sudut pandang, dan 6) amanat.

1) Tema

  Stanton (2012: 36-37) mengemukakan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam pengalaman manusia. Sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, dis-ilusi, atau bahkan usia tua. Sayuti (2000: 187) mengatakan bahwa tema merupakan makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Makna yang dilepaskan oleh suatu cerita atau makna yang ditemukan dalam suatu cerita. Ia merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita secara keseluruhan, bukan sebagian dari suatu cerita yang dapat dipisahkan.

  Menurut Nurgiyantoro (2010: 68) tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Pokok persoalan memang bisa menentukan penting tidaknya sebuah cerpen. Sumardjo (2007:146) berpendapat bahwa tema atau pokok persoalan dalam cerpen memang hanya salah satu unsur saja, bukan segala-segalanya.

  Menurut Kusmayadi (2010:19), tema adalah pokok permasalahan sebuah cerita, makna cerita, gagasan pokok, atau dasar cerita. Istilah tema sering disamakan pengertiannya dengan topik, padahal kedua istilah ini memiliki pengertian yang berbeda. Topik dalam suatu karya adalah pokok pembicaraan, sedangkan tema adalah gagasan sentral, yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui karya fiksi. Tema suatu cerita biasanya bersifat tersirat (tersebunyi) dan dapat dipahami setelah membaca keseluruhan cerita. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah aspek atau unsur cerita yang menggambarkan setiap kejadian, dan merupakan makna cerita.

2) Alur (plot)

  Menurut Sayuti (2000: 46-53) plot memiliki sejumlah kaidah, yaitu

  

plausibilitas (kemasukakalan), surprise (kejutan), suspense (ketegangan), unity

  (keutuhan). Rangkaian cerita disusun secara masuk akal. Meskipun masuk akal di sini tetap dalam kerangka fiksi. Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri. Nurgiyantoro (2010: 113) mengemukakan bahwa penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan.

  Stanton (2012: 26) mengakatan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala variabel pengubah dalam dirinya. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa dalam suatu cerita yang disusun secara sistematis.

  Berikut ini akan diuraikan struktur alur berdasarkan tahapannya (Nurgiyantoro, 2010: 142-146) berupa : a) tahap awal, b) tahap tengah, c) tahap akhir.

  a) Tahap Awal

  Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Ia misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian, dan lain-lain, yang pada garis besarnya berupa deskripsi setting. Selain itu, tahap awal juga dipergunakan untuk pengenalan tokoh-tokoh cerita. (Nurgiyantoro, 2010: 142).

  b) Tahap Tengah

  Nurgiyantoro (2010: 145) mengatakan bahwa tahap tengah cerita dapat juga disebut tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin menegang. Konflik dibedakan menjadi dua, yaitu konflik internal dan konflik eksteral. Konflik internal yang terjadi dalam diri tokoh. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antartokoh cerita, antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis, atau pada keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah ini klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi. Menurut Stanton (2012: 32), ketika konflik terasa intens sehingga

  

ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan

  kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan („terselesaikan‟, bukan „ditentukan‟). Jadi pada tahap tengah konflik sudah dimunculkan dan merupakan bagian klimaks.

c) Tahap Akhir

  Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini misalnya berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 145-146). Menurut Stanton (2012: 27) pada bagaian akhir, meraka (tokoh) akan dimunculkan kembali sehingga dapat menyempurnakan bingkai yang telah direncanakan sebelumnya. Jadi, pada tahap akhir merupakan bagian dari peleraian dan tokoh akan dimunculkan kembali.

3) Tokoh dan Penokohan

  Nurgiyantoro (2010: 165 ) mengemukakan bahwa, istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, perilaku, watak, perwatakan, dan karakter. Mengarah pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter, dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.

  Wiyatmi (2006: 30) berpendapat bahwa tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Tokoh utama, menurut Sayuti (2009: 106) dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (a) tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema; (b) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain; dan (c) tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

  Menurut Nurgiyantoro (2010: 194-199) secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya yaitu berupa pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan menjadi dua teknik, yaitu teknik ekspositoris (teknik analitis) dan teknik dramatik.

  a) Teknik ekspositoris (teknik analitis)

  Teknik ekspositoris atau yang sering disebut sebagai teknik analitis, merupakan teknik dengan pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak terbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi dirinya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan ciri fisiknya (Nurgiyantoro, 2010: 195).

  b) Teknik dramatik

  Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip yang ditampilkan pada drama yang dilakukan secara tidak langsung, artinya pengarang tidak mendiskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan dirinya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal yaitu kata, maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Untuk memahami kedirian seorang tokoh apalagi yang tergolong tokoh kompleks pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri. Pembaca tidak hanya bersifat pasif melainkan terdorong melibatkan diri secara aktif, kreatif, dan imajinatif (Nurgiyantoro, 2010: 198-199). Menurut Nurgiyantoro (2010: 201-2010) dalam teknik dramatik penggambaran tokohnya dapat dilakukan dengan sejumlah teknik berupa: (1) teknik percakapan, (2) teknik tingkah laku, (3) teknik pikiran dan perasaan, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik reaksi tokoh, (6) teknik reaksi tokoh lain, (7) teknik pelukisan latar, dan (8) teknik pelukisan fisik.

  Sayuti (2000: 90-111) metode dramatis atau dengan cara tidak langsung adalah pelukisan tokoh secara tidak langsung. Ada tiga macam pelukisan tidak langsung terhadap kualitas tokoh, yaitu (1) teknik pemberian nama (naming), (2) teknik cakapan, (3) teknik pemikiran tokoh, (4) teknik stream of consciousness atau arus kesadaran, (5) teknik pelukisan perasaan tokoh, (6) perbuatan tokoh, (7) teknik sikap tokoh, (8) pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh lain, (9) pelukisan fisik, (10) pelukisan latar. Dari pemaparan di atas teknik dramatik merupakan teknik penggambaran sifat tokoh secara tidak langsung. Penggambaran tokoh dapat dilihat melalui teknik percakapan, teknik perbuatan, teknik pemikiran, teknik perasaan, teknik pandangan tokoh lain, pelukisan latar, dan pelukisan fisik.

4) Latar (Setting)

  Stanton (2012: 35) mengemukakan bahwa latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita semesta yang berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa yang sedang berlangsung. Menurut Sayuti (2000: 127), latar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis, di lokasi mana peristiwa itu terjadi, seperti di pedesaan, perkotaan, atau latar tempat lainnya. Latar waktu berkaitan dengan masalah jam, hari, tanggal, bulan, tahun, maupun historis. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

  Ariadinata (2007: 94-95) menyebutkan bahwa latar (setting) menunjukkan sebuah lokasi “tempat kejadian” sebuah peristiwa tengah berlangsung. Dalam sebuah cerpen, latar menunjukkan tempat, waktu, kebiasaan-kebiasaan setempat, dan kejadian sejumlah tokoh rekaan tengah bermain di dalamnya, digambarkan dalam bentuk deskripsi yang tepat dengan bahasa. Menuliskan latar dalam sebuah cerpen membutuhkan pengetahuan yang dalam dan teramat cermat tentang peristiwa yang hendak diceritakan. Kelalaian sedikit saja dalam penulisan latar akan melahirkan kejanggalan-kejanggalan yang mempengaruhi mutu karya yang kita tulis. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar adalah waktu dan tempat yang melingkupi sebuah cerita. Latar waktu dan tempat juga berkaitan dengan kondisi sosial serta histori pada saat cerpen tersebut dibuat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa latar adalah lingkungan atau lokasi yang melingkupi sebuah peritstiwa.

5) Sudut Pandang (point of view)

  Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang memandang siapa yang bercerita di dalam cerita itu atau sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Sudut pandang ini berfungsi melebur atau menggabungkan tema dengan fakta cerita (Jabrohim dkk, 2001: 116-117). Menurut Kusmayadi (2010:26) pada saat menceritakan pengalamanmu sendiri, hakikatnya kamu menjadikan diri sebagai pusat cerita. Pusat pengisahan dalam cerita disebut juga sudut pandang.

  Menurut Stanton (2012: 53-54) sudut pandang terbagi menjadi empat yaitu pada „orang pertama-utama‟, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri, pada „orang pertama-sampingan‟, cerita dituturkan oleh salah satu karakter bukan utama (sampingan), pada „orang ketiga-terbatas‟, pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Dan p ada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir.

  Dari pengertian beberapa para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pandang pengarang bercerita dan menjadikan diri seorang tokoh menjadi pusat cerita.

6) Amanat

  Menurut Suherli, dkk (2017: 119) amanat merupakan ajaran atau pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. Amanat dalam cerpen umumnya bersifat tersirat, disembunyikan oleh pengarangnya di balik peristiwa-peristiwa yang membentuk isi cerita. Kehadiran amanat pada umumnya tidak bisa lepas dari tema cerita. Dalam sebuah karya sasatra terdapat pesan moral, jenis dan wujud pesan moral yang terdapat pada karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interes pengarang yang bersangkutan.

  Kusmayadi (2009:32), amanat adalah merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Amanat dapat disampaikan secara tersirat (implisit). Melalui tingkah laku tokoh menjelang cerita berikut. Selain itu, amanat dapat pula disampaikan secara tersurat (eksplimsit) melalui seruan, saran, peringatan, anjuran, atau nasehat, yang disampaikan secara langsung ditengah cerita. Dari beberapa pengerian tersebut dapat disimpulkan bahwa amanag adalah pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.Dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat biasanya bersifat tersirat (implisit) dan tersurat (eksplinsit).

d. Hubungan antara Struktur Cerpen dengan Unsur Intrinsik Cerpen

  Struktur cerpen dengan unsur intrinsik cerpen memiliki kesamaan makna yang berbeda hanya pada istilahnya. Struktur cerpen yang meliputi: exposition, orientation,

  

complication , rising action, turning point, ending atau coda. Kemudian unsur intrinsik

  cerpen berupa : tema, alur/ plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat. Hubungan antara struktur cerpen dengan unsur intrninsik cerpen sebagai berikut:

  1. Exposition dalam unsur intrinsik sama dengan tema, tokoh dan penokohan, orientation dalam unsur intrinsik sama dengan latar.

  Menurut Suherli, dkk (2017: 125) exposition adalah bagian ini pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antar tokoh. Sayuti (2000:

  187) mengatakan bahwa tema merupakan makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Makna yang dilepaskan oleh suatu cerita atau makna yang ditemukan dalam suatu cerita. Ia merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita secara keseluruhan, bukan sebagian dari suatu cerita yang dapat dipisahkan. Wiyatmi (2006: 30) berpendapat bahwa tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Jadi exposition jika terdapat dalam unsur intrinsik merupakan tema dan penokohan.

  Sedangkan orientation adalah struktur pembangun cerita pendek yang berkaitan dengan waktu, suasana, maupun tempat yang berkaitan dengan cerpen tersebut.

  Stanton (2012: 35) mengemukakan bahwa latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita semesta yang berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa yang sedang berlangsung. Menurut Suherli, dkk (2017: 125) orientation merupakan pengenalan situasi. Jadi, dalam unsur intrinsik cerpen orientation merupakan latar.

  2. Complication atau pengungkapan peristiwa dalam unsur intrinsik sama dengan alur.

  Complication

  bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan bagian masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya (Suherli,, dkk, 2017: 125). Nurgiyantoro (2010: 113) mengemukakan bahwa penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan

  3. Rising action atau menuju adanya konflik dalam unsur intrinsik sama dengan alur dan sudut pandang.

  Rising action terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun

  keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh (Suherli, dkk, 2017: 125). Menurut Sayuti (2000: 46-53) plot memiliki sejumlah kaidah, yaitu plausibilitas (kemasukakalan), surprise (kejutan), suspense (ketegangan), unity (keutuhan). Rangkaian cerita disusun secara masuk akal. Meskipun masuk akal di sini tetap dalam kerangka fiksi. Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri.

  Menurut Kusmayadi (2010:26) pada saat menceritakan pengalamanmu sendiri, hakikatnya kamu menjadikan diri sebagai pusat cerita. Pusat pengisahan dalam cerita disebut juga sudut pandang.

  4. Turning point atau puncak konflik dalam unsur intrinsik masuk kategori alur.

  Menurut Suherli, dkk (2017: 125) turning point bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Ini bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya. Misalnya, apakah dia kemudian berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal. Nurgiyantoro (2010: 113) mengemukakan bahwa penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan.

  5. Ending atau coda dalam unsur intrinsik cerpen sama dengan amanat.

  Ending atau coda sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang

  sikap ataupun nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula cerpen yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir ceritanya dibiarkan menggantung tanpa ada penyelesaian (Suherli, dkk, 2017: 125). Kusmayadi (2009:32), amanat adalah merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Amanat dapat disampaikan secara tersirat (implisit). Melalui tingkah laku tokoh menjelang cerita berikut. Selain itu, amanat dapat pula disampaikan secara tersurat (eksplimsit) melalui seruan, saran, peringatan, anjuran, atau nasehat, yang disampaikan secara langsung ditengah cerita.

  Dari beberapa pengerian tersebut dapat disimpulkan bahwa amanag adalah pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Jadi, ending atau coda terdapat kesamaan dari unsur intrinsik yaitu amanat hanya berbeda istilah saja.