PENGGUNAAN MEDIA KOMIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS NASKAH DRAMA SISWA KELAS XI IPS 4 SMA NEGERI 8 BANDAR LAMPUNG

(1)

KEMAMPUAN MENULIS NASKAH DRAMA SISWA KELAS XI IPS 4 SMA NEGERI 8 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012-2013

Oleh

SRIANA EABELLA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar MAGISTER PENDIDIKAN

Pada

Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

THE USE OF COMICS AS A MEDIUM FOR IMPROVING

PLAY SCRIPT WRITING ABILITY OF THE 11TH GRADE STUDENTS OF IPS 4 AT SMAN 8 BANDAR LAMPUNG

By Sriana Ezabella

Writing a play script is a creative process. The learning of play script writing, based on the fact so far, at SMAN 8 Bandar Lampung has not been fully optimized and students only got an average score of 45.34%. Comics can be used as a medium for learning on how to write a play script since most people love them and they have much in common with play scripts. The purposes of this research were to improve the learning process of students’ play script writing as well as to increase the learning outcome of play script writing through the medium of comics of the students of SMAN 8 Bandar Lampung.

This research is a kind of classroom action research (CAR). The phases of the action research include planning, action, observation, and reflection. The data were taken in the form of teacher and students’ activities during the learning process as well as the data in the form of students’ competence in play script writing through the medium of comics.

The findings show that students’ activity and competence in play script writing improve in each cycle. The students’ competence in writing a play script in cycle I was 57% on average, in cycle II 61.32% on average, and in cycle III 74.1% with a Minimum Mastery Criterion of 71. The students’ activity in cycle I was 63.14% on average, in cycle II it became 70%, and it reached 81.29% in cycle III. Based on the data obtained, it is concluded that the use of the medium of comics can improve students’ competence in play script writing of SMAN 8 Bandar Lampung.


(3)

PENGGUNAAN MEDIA KOMIK UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN MENULIS NASKAH DRAMA SISWA KELAS XI IPS 4 SMA NEGERI 8 BANDAR LAMPUNG

Oleh Sriana Ezabella

Menulis naskah drama merupakan proses kreatif. Melihat fakta selama ini, pembelajaran menulis naskah drama di SMA Negeri 8 Bandar Lampung belum sepenuhnya optimal dan hanya memperoleh nilai rata-rata 45,34%. Pemilihan komik sebagai media dalam pembelajaran menulis naskah drama dengan alasan-alasan tertentu, salah satunya karena komik banyak penggemarnya,dan komik mempunyai kesamaan dengan naskah drama.Bagaimana proses pembelajaran dengan menggunakan media komik untuk meningkatkan kemampuan menulis naskah drama siswa SMA Negeri 8 Bandar Lampung kelas XI IPS 4 tahun ajaran 2012-2013? Tujuannya adalah meningkatkan hasil belajar menulis naskah drama dan memperbaiki proses pembelajaran.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Tahapan-tahapan penelitian tindakan meliputi: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Data yang diambil berupa aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran, dan juga data kompetensi siswa dalam menulis naskah drama dengan menggunakan media komik.

Kemampuan menulis naskah drama siswa dengan menggunakan media komik mengalami peningkatan pada setiap siklusnya, demikian juga dengan aktivitas siswa mengalami peningkatan. Pada siklus I kompetensi siswa dalam menulis naskah drama rata-rata 57% dan pada siklus II menjadi 61.32 % selanjutnya pada siklus III mencapai 74,1 % sedangkan KKM 71. Aktivitas siswa pada siklus I rata-rata 63,14 % meningkat pada siklus II menjadi 70%, dan pada siklus III menjadi 81,29%. Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan penggunaan media komik dapat meningkatkan kompetensi menulis naskah drama siswa SMA N 8 Bandar lampung.


(4)

(5)

(6)

(7)

Halaman

ABSTRAK………. I

HALAMAN JUDUL ...……...……….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN…..……… iv

LEMBAR PERNYATAAN... v

SURAT PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ……… vii

PERSEMBAHAN... viii

MOTTO... ix

SANWACANA... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GRAFIK……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 7

1.3 Tujuan Penelitian ………... 8

1.4 Manfaat Penelitian ………. 8

1.5 Definisi Operasional. ………. 9

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Media Pembelajaran... 10

2.1.1 Fungsi Media Pembelajaran………... 11

2.1.2 Jenis Media Pembelajaran……….. 15

2.1.3 Pemilihan Media Pembelajaran……….. 21

2.2 Selayang Pandang Komik ……… 23

2.2.1 Komik sebagai Karya Sastra ... 25

2.2.2 Istilah- Istilah untuk Komik ……... 27

2.2.3 Pengertian Komik... 28

2.2.4 Pemanfaatan Komik dalam Dunia Pendidikan... 32

2.2.5 Jenis-Jenis Komik... 35

2.2.6 Kelebihan Media Komik...………...……….. 36


(8)

2.3.2 Fungsi dan Tujuan Menulis... 39

2.3.3 Diksi dan Pilihan Kata 40 2.3.4 Cara Membuat Judul dalam Tulisan 41 2.4 Hakikat Drama...……… 42

2.4.1 Unsur- Unsur Drama... 43

2.4.2 Jenis- Jenis Drama ... 47

2.4.3 Menulis Naskah Drama... 51

2.4.3 Aspek Positif Drama... 53

2.4.4 Aspek Pendidikan dalam Drama……….. 55

BABIII METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian...……… 57

3.2 Setting Penelitian ……….. 59

3.2.1 Tempat Penelitian………. 59

3.2.2 Waktu Penelitian……… 59

3.2.3 Subjek dan Objek Penelitian………. 60

3.3 Teknik Pengumpulan Data ……… 61

3.4 Teknik Analisis Data……….. 63

3.5 Instrumen Pengumpulan Data……… 64

3.6 Kriteria Keberhasilan Tindakan ……… 70

3.7 Prosedur Penelitian………. 71

3.7.1 Pratindakan/ Prasiklus……….... 71

3.7.2 Skenario Pembelajaran……….. 76

3.7.2.1 Eksplorasi………. 76

3.7.2.2 Elaborasi……….. 77

3.7.2.3 Konfirmasi………. 77

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Sekolah ……… 79

4.1.1 Sejarah Singkat SMA N 8 Bandar lampung…………... 79

4.1.2 Profil Sekolah………... 80

4.2 Hasil Penelitian………. 84

4.2.1 Kegiatan Pratindakan……….. 85

4.2.1.1 Refleksi Awal Permasalahan Pembelajaran……. 85

4.2.1.2 Kompetensi Menulis Naskah Drama……… 86

4.2.1.3 Aktivitas Belajar Siswa……… 88


(9)

4.2.2.3 Pengamatan pembelajaran……….. 96

4.2.2.4 Refleksi……….. 97

4.2.3 Hasil Siklus I……….. 97

4.2.3.1 Perencanaan……… 97

4.2.3.2 Pelaksanaan……… 97

4.2.3.3 Hasil Siklus I Menulis Naskah Drama Menggunakan Media Komik………... 98

4.2.3.4 Hasil Siklus I Menulis Naskah Drama per Aspek………... 100

4.2.3.5 Aktivitas Siswa pada Siklus I………. 101

4.2.3.6 Pengamatan………. 102

4.2.3.7 Refleksi……… 104

4.2.3.8 Kelebihan dan Kelemahan Siklus I………. 107

4.2.4 Deskripsi Hasil Penelitian Siklus II……….. 108

4.2.5 Hasil Siklus II……… 116

2.4.5.1 Hasil Siklus II Menulis Naskah Drama Menggunakan Media Komik………. 117

2.4.5.2 Hasil Siklus II Menulis Naskah Drama per Aspek………. 119

2.4.5.3 Aktivitas Siswa pada Siklus II……… 121

2.4.5.4 Kelebihan dan Kelemahan Siklus II………….. 125

4.2.6 Deskripsi Hasil Penelitian Siklus III……… 127

4.2.7 Hasil Siklus III……….. 136

4.2.7.1 Hasil Siklus III Kompetensi Menulis Naskah Drama menggunakan Media Komik……… 138

4.2.7.2 Hasil Siklus III Kompetensi Menulis Naskah Drama per Aspek………. 140

4.2.7.3 Aktivitas Siswa pada Siklus III……… 142

4.3 Pembahasan Penelitian………... 145

4.3.1 Perencanaan Pelaksanaan Tindakan………. 146

4.3.2 Proses Pelaksanaan pembelajaran………. 148

4.3.3 Proses Evaluasi Pembelajaran………... 151

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan... 159

5.1.1 Perencanaan Pembelajaran Menggunakan Media

Komik untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Naskah Drama... 5.1.2 Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Naskah Drama

Dengan Menggunakan Media Komik... 5.1.3 Evaluasi Pembelajaran Menulis Naskah Drama

dengan Menggunakan Media Komik... 5.1.4 Peningkatan Nilai Kemampuan Menulis Naskah

159 161 162


(10)

5.2.1 Saran untuk Siswa ... 5.2.2 Saran untuk Guru... 5.2.3 Saran untuk Sekolah...

163 164 164

DAFTAR PUSTAKA ……….. 165

LAMPIRAN ………. 168


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Melihat fakta selama ini, pembelajaran menulis naskah drama di SMA Negeri 8 Bandar Lampung belum sepenuhnya optimal. Siswa hanya menulis ulang naskah yang pernah ada tanpa muncul ide-ide baru. Tidak munculnya ide-ide baru dalam penulisan naskah drama membuat pembelajaran menulis naskah drama hanya monoton dan menjadikan siswa tidak kreatif. Apabila diambil rata-rata nilai dalam penulisan naskah drama maka tidak sampai 50% siswa yang tuntas menulis

naskah drama atau hanya sebesar 45,34 % dengan kategori kurang, sedangkan KKM untuk tahun ini adalah 71.

Peningkatan nilai KKM setiap tahunnya memungkinkan siswa yang tidak tuntas dalam menulis naskah drama akan semakin banyak dibandingkan tahun

sebelumnya. Oleh karena itu, perlu adanya pemecahan masalah dari terhambatnya pembelajaran menulis naskah drama di sekolah agar tujuan dan manfaat

pembelajaran sastra tercapai.

Kendala yang selama ini dihadapi oleh guru dan siswa SMA Negeri 8 Bandar Lampung dalam proses pembelajaran antara lain adalah materi yang disampaikan hanya terbatas pada sumber buku yang ada di perpustakaan atau buku pegangan


(12)

guru, dan Lembar Kerja Siswa (LKS), strategi pembelajaran menulis naskah drama tampaknya monoton tidak adanya variasi strategi pembelajaran di kelas. Kurangnya motivasi serta tidak adanya model untuk dijadikan contoh bagi siswa-siswa yang sudah mempunyai minat menulis khususnya menulis naskah drama. Kurang tertariknya siswa dalam menulis naskah drama dan minimnya

pengetahuan tentang bagaimana cara menulis naskah drama.

Kesulitan itu pun dipengaruhi oleh pengajaran guru yang masih bersifat konvensional. Guru belum menggunakan media pembelajaran yang mampu melibatkan siswa dalam pembelajaran. Hal inilah yang menjadikan pembelajaran menulis naskah kurang diminati dan mengakibatkan nilai dalam menulis naskah drama rendah .

Pembelajaran menulis naskah drama, memang tidak bisa dielakkan begitu saja karena dalam standar isi menuntut siswa tidak hanya memahami atau membaca, tetapi siswa dituntut untuk memproduksi atau menciptakan naskah drama. Hal ini, dapat kita lihat dalam Standar Komptensi (SK) 16 tentang Menulis Naskah Drama dan Kompetensi Dasar (KD) 16.1 Mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog naskah drama. Kompetensi Dasar (KD) 16.2 Menarasikan pengalaman manusia dalam bentuk adegan dan latar pada naskah drama.

Sesuai dengan standar isi kurikulum, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia meliputi empat keterampilan berbahasa. Pembelajaran tersebut meliputi kegiatan atau kemampuan menyimak atau mendengar, berbicara, menulis, dan membaca. Menulis merupakan kegiatan yang paling kompleks dan produktif. Oleh karena itu, untuk keterampilan menulis, ketiga keterampilan di bawahnya haruslah saling


(13)

mendukung. Keterampilan menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Dengan keterampilan menulis, seseorang dapat mengungkapkan ide, pikiran, perasaan, dan

kemampuaannya kepada orang lain melalui tulisan.

Dari keempat keterampilan tersebut, menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling “dihindari” oleh siswa. Hal itu dikarenakan keterampilan menulis membuat siswa bosan dan sulit menuangkan ide mereka dalam tulisannya. Salah satu materi yang dianggap sulit dalam pembelajaran menulis adalah menulis naskah drama. Pernyataan ini sesuai dengan hasil observasi di SMA Negeri 8 Bandar Lampung, yang didapati siswa memiliki kesulitan dalam menulis naskah drama, terutama dalam menentukan tema; menciptakan dialog antar tokoh dan mengembangkan jalan cerita. Data ini didapatkan dari hasil pembelajaran menulis naskah drama selama ini, siswa selalu mendapat nilai di bawah nilai KKM 71 dan hanya beberapa siswa saja yang mendapat nilai sesuai KKM . Siswa selalu

mengulang naskah drama yang pernah mereka dapat tanpa berusaha untuk menciptakan naskah-naskah yang baru. Ide yang diharapkan muncul dalam menulis naskah drama ternyata tidak ada. Menulis naskah drama hanya dipandang pelajaran yang tidak sulit dan membosankan.

Selama ini asumsi menulis naskah drama dimata sebagian siswa merupakan sebuah pelajaran yang sulit dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain. Asumsi itu memang benar karena menulis naskah drama membutuhkan proses kreatif dan keterampilan menulis untuk dapat merangsang penonton maupun


(14)

pemain. Sebuah naskah drama yang baik dapat menghasilkan drama yang bermutu.

Proses kreatif adalah suatu proses bagaimana sebuah gagasan lahir dan diciptakan oleh seorang penulis menjadi sebuah karya tulis. Misalnya, bagaimana muncul inspirasi tulisan. Lalu bagaimana inspirasi itu mengendap dalam pikiran penulis dan bagaimana inspirasi itu dituangkan dalam tulisan (Komaidi, 2011: 5). Melalui pembelajaran menulis naskah drama diharapkan siswa mempunyai nilai kreatif dan menghayati setiap pengalamannya.

Penulisan naskah drama merupakan suatu proses yang utuh, yang mempunyai keseluruhan. Ada unsur- unsur fundamental dalam naskah antara lain 1)

penciptaan latar (creating setting); 2) penciptaan tokoh yang hidup (freshing out characters); 3) penciptaan konflik- konflik (working with conflicts); penulisan adegan; dan secara keseluruhan disusun ke dalam sebuah skenario (Komaidi, 2011: 188). Jadi menulis naskah drama adalah menulis tiap adegan secara rinci. Pembelajaraan menulis naskah drama harus berpusat pada siswa. Fokus

kegiatannya adalah bagaimana melibatkan siswa secara aktif di dalam proses pembelajaran dan bagaimana menumbuhkembangkan daya kreatif dalam diri siswa. Oleh sebab itu, perlu diupayakan agar siswa terlibat secara aktif dan kegiatan pembelajaran tidak membosankan. Salah satu caranya yaitu dengan menggunakan media pengajaran.

Media tidak lagi hanya dipandang sebagai alat bantu belaka bagi guru untuk mengajar, tetapi lebih sebagai alat penyalur pesan dan pemberi pesan ke penerima pesan. Sebagai pembawa pesan, media tidak hanya digunakan oleh guru tetapi


(15)

yang lebih penting lagi dapat pula digunakan oleh siswa. seperti yang akan peneliti gunakan pada penelitian ini, yaitu menggunakan media komik.

Penggunaan media komik dimaksudkan untuk membantu proses belajar- mengajar guna mencapai tujuan pengajaran. Penggunaan media komik dalam pembelajaran menulis naskah drama dengan alasan-alasan tertentu. Media komik dapat menarik perhatian siswa, sehingga dapat memunculkan motivasi pada diri siswa. Komik yang terdiri dari gambar-gambar akan menjadikan variasi dan motivasi siswa dalam kegiatan belajar- mengajar. Antusiasme siswa untuk membeli komik dapat dimanfaatkan peneliti untuk dijadikan media pembelajaran di sekolah.

Perkembangan komik yang semakin pesat dapat dimanfaatkan sebagai variasi pemilihan komik yang cerdas. Komik mudah didapatkan dan saat ini komik sedang banyak penggemarnya. Hingga kini masyarakat masih menikmati komik sebagai salah satu bacaan favorit , lihat koran Kompas,27 Januari 2013 hal 13. Terdapat tiga komponen pembentuk komik yang dapat membantu siswa dalam menulis naskah drama, yaitu gambar, teks, dan urutan atau alur. Gambar yang membentuk adegan dalam komik dapat membantu siswa untuk menentukan adegan-adegan, siswa dapat membayangkan dengan mudah adegan-adegan yang akan dipilih dalam naskah drama yang ditulis. Gambar-gambar yang ada dalam komik pun dapat diadaptasi ke dalam bentuk kramagung atau wawancang. Teks pada komik berbentuk dialog-dialog antar tokoh serta latar ataupun petunjuk laku. Teks ini membantu siswa untuk menentukan dialog-dialog antartokoh dan

pengembangannya. Teks pada komik yang mengilustrasikan latar dapat dijadikan sebagai acuan pemunculan latar pada naskah drama. Urutan peristiwa yang


(16)

terdapat dalam komik dapat dijadikan sebagai patokan alur dalam menulis naskah drama.

Peneliti berharap dengan menggunakan media komik, siswa dapat memunculkan ide kreatifnya dalam menulis naskah drama sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Dengan menggunakan media komik, siswa mempunyai pengalaman pembelajaran yang bervariasi sehingga pembelajaran menulis naskah drama tidak monoton.

Prinsip penggunaan media pembelajaran dalam buku Sumiati (2007: 170) adalah media pembelajaran hendaknya mendorong kreativitas siswa, dan memberi kesempatan siswa untuk bereksprerimen dan bereksplorasi (menemukan sendiri). Prinsip tersebut ada pada media komik.

Media komik yang selama ini hanya dianggap karya yang kurang diperhatikan dan mempunyai nilai negatif dapat bermanfaat bagi pembelajaran menulis naskah drama. Komik memperhatikan faktor keindahan (estetika) dengan bentuk dan warna yang menarik sehingga menarik perhatian siswa. Komik melalui

gambarnya dapat mengatasi batasan ruang dan waktu karena tidak semua benda, objek, atau peristiwa dapat dibawa ke kelas, dan tidak semua anak dibawa keobjek/peristiwa tersebut. Komik memiliki imajinasi yang tinggi baik peristiwa maupun gambarnya. Melalui tokoh pahlawan dalam komik, nilai-nilai kebaikan mudah diinjeksi kepada pembaca muda secara “ngepop” (Kompas, Minggu 27 Januari 2013).


(17)

Dalam buku yang berjudul “Teater Asyik Asyik Teater” Jusmar (2010: 8)

mengatakan bahwa bahan untuk menulis naskah drama bisa berasal dari peristiwa sehari-hari, dongeng, komik, cuplikan film, karya fiksi (cerpen, cuplikan novel) atau cuplikan adegan dalam suatu lakon, atau sebuah lakon utuh. Alasan-alasan tersebutlah mengapa komik dipakai sebagai media pembelajaran menulis naskah drama. Penggunaan media komik tersebut dimaksudkan untuk mengatasi

kesulitan siswa SMA Negeri 8 Bandar Lampung dalam menulis naskah drama .

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan menjadi fokus penelitian sebagai berikur

1. Bagaimana perencanaan pembelajaran dengan menggunakan media komik untuk meningkatkan kemampuan menulis naskah drama siswa SMA Negeri 8 Bandar Lampung kelas XI IPS 4 tahun ajaran 2012-2013? 2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media komik

untuk meningkatkan kemampuan menulis naskah drama siswa SMA Negeri 8 Bandar Lampung kelas XI IPS 4 tahun ajaran 2012-2013? 3. Bagaimana evaluasi pembelajaran dengan menggunakan media komik

untuk meningkatkan kemampuan menulis naskah drama siswa SMA Negeri 8 Bandar Lampung kelas XI IPS 4 tahun ajaran 2012-2013?


(18)

1.3Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan memperbaiki proses dan meningkatkan hasil pembelajaran menulis naskah drama siswa di SMA Negeri 8 Bandar Lampung.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan

1. Mendeskripsikan perbaikan proses pembelajaran menulis naskah drama siswa kelas XI IPS 4 SMA Negeri 8 Bandar Lampung.

2. Mendeskripsikan peningkatan hasil belajar menulis naskah drama dengan menggunakan media komik siswa kelas XI IPS 4 SMA Negeri 8 Bandar Lampung

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Malalui penelitian ini, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih kaya dengan berbagai media yang digunakan dalam pembelajaran yang telah teruji proses dan melalui sebuah penelitian.

1.4.2 Manfaat Praktis

Bagi pengajar memberikan alternatif media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya dalam penulisan naskah drama serta meningkatkan kompetensi guru mengatasi masalah dalam hal pembelajaran menulis naskah drama.


(19)

Bagi siswa memunculkan kreativitas dalam menulis, dan meningkatkan keterampilan menulis naskah drama.

1.5Definisi Operasional

Pada bagian ini penulis kemukakan beberapa definisi operasional dari variable yang digunakan. Hal ini, dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemakaian istilah. Adapun beberapa istilah yang harus diuraikan pengertiannya adalah sebagai berikut.

1) Media komik adalah media berupa gambar berseri (bukan satu gambar saja) yang digunakan untuk memunculkan dan mengembangkan ide kreatif siswa dalam menulis naskah drama.

2) Pembelajaran menulis naskah drama adalah pembelajaran yang

menitikberatkan kegiatannya pada penguasaan menulis naskah drama, yaitu sebuah karya sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Media Pembelajaran

Media pengajaran sangat diperlukan bagi seorang guru agar kegiatan belajar- mengajar tidak membosankan. Dalam kegiatan belajar-mengajar pada umumnya guru hanya menggunakan buku saja padahal alternatif media pengajaran sangatlah banyak. Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti „tengah‟, „perantara‟ atau pengantar. Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media (Arsyad, 2011: 3)

Media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar (Sadiman, 2009: 6). Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (association of Education and Communication Teknologi/ AECT) membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi (Sadiman, 2009: 6).

Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/NEA) dalam buku y


(21)

ang sama mengatakan: Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatannya.

Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca. Apa pun batasan yang diberikan, ada persamaan antara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari

pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Media pembelajaran diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (message), merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar (Sumiati, 2007: 160).

2.1.1 Fungsi Media Pembelajaran

Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar- mengajar dapat

membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa (Arsyad, 2011: 15). Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, meyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan menafsirkan data, dan memadatkan informasi.

Ada empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu (a) fungsi atensi, (b) fungsi afektif, (c) fungsi kognitif, dan (d) fungsi kompensatoris.


(22)

Fungsi Atensi yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk

berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajara.

Fungsi Afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa.

Fungsi Kognitif media visual bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami atau mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

Fungsi Kompensatoris membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal (Arsyad, 2011: 16).

Penggunaan media pembelajaran oleh guru dalam pembelajaran tidak mutlak harus diadakan. Namun, akan lebih baik jika digunakan media pembelajaran karena media pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan. Dalam buku Sumiati (2007: 163-165) manfaat media pembelajaran sebagai berikut:

1. Menjelaskan materi pembelajaran atau objek yang abstrak (tidak nyata) menjadi konkrit (nyata), seperti menjelaskan rangka tubuh manusia pada mata pelajaran IPA.

2. Memberikan pengalaman nyata dan langsung karena siswa dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan tempatnya belajar.


(23)

3. Memberikan materi secara berulang-ulang. Misalnya belajar melalui rekaman kaset, tape recorder, atau televisi.

4. Memungkinkan adanya persamaan pendapat atau persepsi yang benar terhadap suatu materi pembelajaran atau objek.

5. Menarik perhatian siswa sehingga membangkitkan minat, motivasi, aktivitas, dan kreativitas belajar siswa.

6. Membantu siswa belajar secara individual, kelompok, atau secara klasikal. 7. Materi pembelajaran lebih lama diingat dan mudah untuk diungkapkan

kembali dengan cepat dan tepat.

8. Mempermudah atau mempercepat guru menyajikan pembelajaran dalam proses belajar sehingga memudahkan siswa untuk mengerti dan

memahaminya.

9. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan indera. A. Mengatasi keterbatasan ruang

1. Mempelajari materi pembelajaran berupa objek yng terlalu besar. 2. Mempelajari materi pembelajaran atau objek yang terlalu jauh

tempatnya.

3. Mempelajari materi pembelajaran atau objek yang berbahaya. B. Mengatasi keterbatasan waktu

1. Mempelajari materi pembelajaran yang pernah terjadi pada beberapa tahun yang lalu.


(24)

C. Mengatasi keterbatasan indera

1. Mempelajari materi pembelajaran atau objek yang terlalu kecil atau terlalu besar.

2. Mempelajari materi pembelajaran atau objek yang gerakannya terlalu cepat atau terlalu lambat.

Kegunaan media pendidikan dalam proses belajar-mengajar secara umum dalam buku Sadiman (2009: 17-18) sebagai berikut :

1. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).

2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, seperti misalnya a. objek yang terlalu besar

b. objek yang terlalu kecil

c. gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat d. kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu e. objek yang terlalu kompleks

f. konsep yang terlalu luas.

3. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk a. menimbulkan gairah belajar

b. memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik denganlingkungan dan kenyataan

c. memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.


(25)

4. Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semua itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu dengan kemampuannya dalam

a. memberikan perangsang yang sama, b. mempersamakan pengalaman, c. menimbulkan persepsi yang sama

2.1.2 Jenis Media Pembelajaran

Media pembelajaran merupakan komponen instruksional yang meliputi pesan, orang, dan peralatan. Dalam perkembangannya media pembelajaran mengikuti perkembangan teknologi. Berdasarkan perkembangan teknologi, media

pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu (1) media hasil teknologi cetak, (2) media hasil teknologi audio-visual, (3) media hasil teknologi yang berdasarkan komputer, dan (4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer (Arsyad, 2011: 29).

Menurut Sumiati (2007: 160) media pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan ciri-ciri tertentu, antara lain:

a. Berdasarkan kemampuan indera, jenis media pembelajaran terdiri atas 1) media audio, yaitu media pembelajaran yang menggunakan kemampuan

indera telinga atau pendengaran.

2) media visual. yaitu jenis media pembelajaran yang menggunakan kemampuan indera mata atau penglihatan.


(26)

3) media audio-visual, yaitu jenis media pembelajaran yang menggunakan kemampuan indera telinga atau pendengaran dan indera mata atau penglihatan.

b. Berdasarkan daya atau kemampuan liputannya, jenis media pembelajaran, terdiri atas

1) media pembelajaran dengan daya atau kemampuan liputannya luas, yaitu dapat menjangkau tempat yang luas dengan jumlah orang atau siswa yang banyak. Contohnya: televisi, radio.

2) media pembelajaran dengan daya atau kemampuan liputannya terbatas, yaitu hanya dapat menjangkau tempat atau ruang tertentu dan terbatas dengan jumlah orang atau siswa yang tidak banyak. Contohnya: papn tulis, slide.

c. Berdasarkan pengguna atau pemakai yang memanfaatkan media pembelajaran, jenis media pembelajaran terdiri atas

1) media pembelajaran yang digunakan untuk pembelajaran secara massal atau banyak orang.

2) media pembelajaran yang digunakan untuk pembelajaran secara individual atau perorangan. Contohnya: belajar melalui modul.

d. Berdasarkan kerumitan dan biaya, jenis media pembelajaran terdiri atas 1) big media, yaitu media pembelajaran yang rumit (kompleks) dan biayanya

mahal, serta penggunaannya relative susah membutuhkan tenaga yang terlatih. Contohnya: Film, video, komputer.


(27)

2) little media, yaitu media pembelajaran yang sederhana atau tidak rumit dan biayanya tidak mahal relative murah, serta penggunaannya relative mudah tidak perlu tenaga terlatih. Contoh: papan tulis, gambar.

e. Berdasarkan pembuatan dan pemanfaatannya, jenis media pembelajaran, terdiri atas

1) media by design yaitu media pembelajaran yang dirancang, dipersiapkan, dan dibuat sendiri oleh guru lalu digunakan untuk proses pembelajara. 2) media by utilization atau media pembelajaran yang dimanfaatkannya, yaitu

media pembelajaran yang dibuat oleh orang lain atau suatu

lembaga/institusi, sedangkan guru hanya tinggal menggunakan atau memanfaatkannya.

f. Berdasarkan demensinya, jenis media pembelajaran, terdiri atas 1) media dua demensi, yaitu jenis media pembelajaran yang hanya

mempunyai dua ukuran yaitu panjang dan lebar.

2) media tiga demensi, yaitu media pembelajaran yang mempunyai minimal tiga ukuran yaitu panjang, lebar, dan sisi/tinggi.

g. Berdasarkan proyeksinya, yaitu jenis media pembelajaran, terdiri atas 1) media proyeksi, yaitu jenis media pembelajaran yang bisa diproyeksikan

atau dipancarkan dengan menggunakan alat proyektor, sehingga gambarnya akan Nampak pada layar.

2) media tidak diproyeksikan, yaitu jenis media pembelajaran yang tidak bisa diproyeksikan atau dipancarkan.


(28)

Rudi Brets membuat klasifikasi media pembelajaran berdasarkan adanya tida cirri, yaitu suara (audio), bentuk (visual) dan gerak (motion). Atas dasar tersebut ada delapan kelompok media pembelajaran, yaitu:

1) media pembelajaran audio-motion-visual. Yaitu media pembelajaran yang mempunyai suara, ada gerak dan bentuk objeknya dapat

dilihat.Contohnya: televise, film bergerak.

2) media pembelajaran audio-still-visual, yaitu media pembelajaran yang mempunyai suara, objeknya dapat dilihat, namun tidak ada

gerak.Contohnya: film strip bersuara, rekaman televise dengan gambar tidak bergerak (television still recording).

3) media pembelajaran audio-semi motion, mempunyai suara dan gerak, namun tidak dapat menampilkan suatu gerakan secara utuh, seperti teleboard.

4) media pembelajaran motion-visul, yaitu media pembelajaran yang mempunyai gambar objek bergerak, seperti film bisu.

5) media pembelajaran still-visual, yaitu ada objek namun tidak ada gerakan. Seperti film strip, gambar

6) media pembelajaran semi-motion (semi gerak), yaitu yang menggunakan garis dan tulisan, seperti tele-autograf.

7) media pembelajaran audio, hanya menggunakan suara, seperti radio, telepon.

8) media pembelajaran cetakan, hanya menampilan simbol-simbol tertentu yaitu huruf (simbol bunyi).


(29)

Berdasarkan pendapat Rudi Brets maka dapat disimpulkan bahwa komik termasuk dalam media pembelajaran Still-Visual, yaitu ada objek namun tidak ada gerakan. Pengelompokan berbagai jenis media apabila dilihat dari segi perkembangan teknologi dibagi ke dalam dua ketegori luas, yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media teknologi muktahir.

1. Pilihan Media Tradisional

a. Visual diam yang diproyeksikan

proyeksi apaque (tak-tembus pandang) proyeksi overhead

slides filmstrip

b. Visual yang tak diproyeksikan Gambar, poster

Foto

Charts, grafik, diagram

Pameran, papan info, papan-bulu c. Audio

Rekaman piringan Pita kaset, reel. Cartridge d. Penyajian Multimedia

Slide plus suara (tape) Multi-image

e. Visual dinamis yang diproyeksikan Film


(30)

Televise Video f. Cetak

Buku teks

Modul, teks terprogram Workbook

Majalah ilmiah, berkala Lembaran lepas (hand-out)

g. Permainan Teka-teki Simulasi

Permainan papan h. Realia

Model

Specimen (contoh)

Manipulative (peta, boneka) 2. Pilihan Media Teknologi Mutakhir

a. Media berbasis telekomunikasi Telekonferen

Kuiah jarak jauh

b. Media berbasis mikroprosesor Computer-assisted instruction Permainan komputer


(31)

Sistem tutor intelijen Interaktif

Hypermedia

Compact (video) disc (Arsyad, 2011: 33-34).

Jika melihat dari pembagian jenis media di atas, maka komik termasuk jenis media tadisional yang berbentuk visual.

2.1. 3 Pemilihan Media Pembelajaran

Pembelajaran yang efektif memerlukan perencanaan yang baik. Media yang akan digunakan dalam proses pembelajaraan itu juga memerlukan perencanaan yang baik. Meskipun demikian, kenyataannya di lapangan menunjukan bahwa seorang guru memilih salah satu media dalam kegiatannya di kelas atas dasar

pertimbangan antara lain, (a) ia merasa sudah akrab dengan media itu – papan tulis atau proyektor transparansi, (b) ia merasa bahwa media yang dipilihnya dapat menggambarkan degan baik laik daripada dirinya sendiri- misalnya diagram pada flip chart, atau (c) media yang dipilihnya dapat menarik minat dan perhatian siswa, serta menuntunnya pada penyajian yang lebih terstrutur dan terorganisasi (Arsyad. 2011:67)

Media adalah bagian dari sistem instruksional secara keseluruhan. Dalam pemilihan media harus memperhatikan beberapa kriteria. Kriteria yang patut diperhatikan dalam memilih media


(32)

1. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Media diplih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan yang secara umum mengacu kepada salah satu atau gabungan dari dua atau tiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. 2. Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip, atau

generalisasi.

3. Praktis, luwes, dan bertahan. Jika tidak tersedia waktu, dana, atau sumber daya lainnya untuk memproduksi, tidak perlu dipaksakan.

4. Guru terampil menggunakannya. Ini merupakan satu kriteria umum. Apa pun media itu, guru harus mampu menggunakannya dalam proses pembelajaran. 5. Pengelompokan sasaran. Media yang efektif untuk kelompok besar belum

tentu sama efektifnya jika digunakan dalam kelompok kecil atau perorangan. 6. Mutu teknis. Pengembangan visual baik gambar maupun fotograf harus

memenuhi persyaratan teknis tertentu (Arsyad, 2011: 75-76).

Disamping kesesuaian dengan tujuan perilaku belajarnya, setidaknya masih ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media. Pertama adalah ketersediaan sumber setempat. Artinya, bila media yang bersangkutan tidak terdapat pada sumber-sumber yang ada, harus dibeli atau dibuat sendiri. Kedua adalah apakah untuk membeli atau memproduksi sendiri tersebut ada dana, tenaga, dan fasilitasnya. Ketiga adalah faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktis dan ketahanan media yang bersangkutan untuk waktu yang lama. Artinya media bisa digunakan di mana pun dengan peralatan yang ada

disekitarnya dan kapan pun serta mudah dijinjing dan dipindahkan. Faktor yang terakhir adalah efektivitas biayanya dalam jangka waktu yang panjang (Sadiman, 2009: 86).


(33)

2.2 Selayang Pandang Komik

Sejarah keberadaan komik di Indonesia telah ada sejak lama sebelum masa kepopuleran R.A. Kosasih sebagai penulis komik wayang pada tahun 60-an. Walaupun masih agak sulit dipastikan,komik Indonesia telah ada semenjak tahun 1930, yakni sejak tercatatnya komik kartun karya Kho Wan Gie yang dimuat 2 Agustus 1930 di majalah Sin Po. Karya Kho Wan Gie – dengan nama samaran Sopoiku – dengan tokoh kartunnya yang bernama Put On dianggap oleh Bonneff sebagai tonggak penting dalam perkembangn komik selanjutnya di Indonesia. Mamannoor (Pikiran Rakyat, 24 Januari 1989) menjelaskan bahwa komik Indonesia terbit dalam bentuk buku untuk pertama kalinya pada tahun 1950 dengan mengetengahkan cerita pendekar wanita perkasa, yakni Sri Asih karya R.A. Kosasih dan buku lain karya John Lo berjudul Nina Poetri Rimba.

Perkembangan komik di Indonesia kurang menggembirakan dibandingkan dengan komik di negara-negara lain, seperti Perancis, Amerika, Jepang, Hongkong. Sejak dahulu sampai sekarang pandangan buruk terhadap komik – sebagai karya

“pinggiran” (menggunakan istilah Bonneff) dan benda yang merusak mental anak -anak – masih dapat dijumpai pada masyarakat kita. Nasib kurang

menggembirakan ini pun dialami oleh para pengarang komik, yakni dalam kesejehteraan hidupnya dan tidak pernah dibicarakan dalam dunia akdemis sebagai sastrawan. Padahal, menurut McCloud (2001: 210) yang mengutip pendapat Rudolphe Topffer (1845) bahwa “ …cerita bergambar yang diremehkan oleh para kritikus dan tidak diperhatikan oleh kaum pelajar, telah memiliki


(34)

…selain itu, cerita bergambar menarik perhatian, terutama bagi anak-anak dan masyarakat kelas bawah…”.

Komik Indonesia modern ada fase strip dan ada komik book yang membentuk industri yang berbeda. Komik strip adalah komik yang satu baris atau satu halaman memiliki karakter tetap yang taman dalam satu halaman dan biasanya dimuat di media massa. Selanjutnya komik book modern dimulai di tahun 1954, dengan terbitnya Sri Asih tokoh komik ciptaan R.A. Kosasih (Wanita Indonesia, edisi 1207: 12)

Komik di Indonesia saat ini umumnya terbatas sampai pada bentuk buku komik. Apabila kita meninjau perkembangan komik di mancanegara, seperti Hongkong, Jepang, Amerika, dan Eropa, komik sudah merambah ke segala aspek bisnis, seperti film, boneka, mainan, dan sebagainya sehingga turut mengangkat harkat dan kesejahteraan pencipta karakter komik tersebut dan memberi lahan kehidupan bagi banyak orang.

Pada akhir 1970-an sampai awal 1990 karena perkembangan media komunikasi di Indonesia, komik terkesan tenggelam dalam kesunyian, terkalah oleh hadirnya Media TV, Film, dan medium lainnya. Awal tahun 1990-an berdirilah Kajian Komik Indonesia (KKI) yang didirikan oleh Rahayu Surtiati Hidayat, Dosen Fakultas Sastra Prancis Universitas Indonesia. Dengan beberapa kali seminar dan diskusi bersama beberapa nama panelis, antara lain Rudy Badil, Ishadi S.K., penulis Moerti Bunanta, Arswendo Atmowiloto, telah mencoba melihat komik masa lalu dan harapan di masa datang.


(35)

Menurut Hikmat Darmawan dalam Tabloit Wanita Indonesia (2-8 Maret 2013:12) Saat ini komik belum terjadi kejayaan secara pasar, tetapi dari segi kreasi dan keragaman tema luar biasa dan ada tren baru. Banyak komikus kita (Indonesia) yang kemudian jadi seniman penggambar di luar negeri dan ada yang sudah dikenal pencinta komik di luar negeri.

2.2.1 Komik sebagai Karya Sastra

Istilah sastra dalam bahasa Indonesia saat ini umumnya mengacu pada pengertian literature (Inggris) dan bahasa Barat modern yang bermakna segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis (Teeuw, 1988:22). Padahal, kata sastra dalam bahasa Indonesia memiliki pengertian tersendiri yang bersifat lebih luas, tidak dibatasi pada pemakaian bahasa, seperti diungkapkan lebih lanjut oleh Teeuw (1988 : 23)

“Sebagai bahan bandingan kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti

„mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran –tra biasanya menunjukan alat atau sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti „alat untuk mengajar, buku petunjuk. Buku instruksi atau pengajaran‟.,.”

Selama ini pengajaran sastra di sekolah membagi karya sastra menjadi tiga genre, yakni puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut tampaknya sudah sangat mapan dalam dunia kesusastraan Indonesia sehingga apabila kita disodorkan pertanyaan apakah komik termasuk karya sastra, orang akan banyak menyatakan bahwa komik bukan karya sastra. Hal tersebut memang tampak wajar, seperti yang diungkapkan oleh Bonneff (1998: 6)

“…., sastra disominasi oleh pendekatan kuno yang Eropa-sesntris. Orang cenderung menerapkan skema yang sudah „mapam‟, mengikuti teladan penelitian R.. Winstedt, orang Inggris, mengenai kesusastraan Melayu “Klasik” dan A.Teeuw, orang Belanda, tentang kesustraan Indonesia


(36)

Modern. Pembagian yang murni susastra (pembagian antara klasik dan modern yang dilandasi perbedaan bahasa, karena bahasa Melayu melahirkan bahasa Indonesia) memang memudahkan penelitian , tetapi menyamarkan berbagai kenyatan sosial yang mendahului penyusunan karya-karya yang digolongkan dalam suatu kategori yang sama.”

Selama ini pembahasan karya sastra diidentikkan dengan masalah bahasa, padahal Teeuw (1988: 346) berpendapat karya sastra dapat ditelaah dari dua aspek, yakni aspek bahasa dengan tekanan pada aspek kebahasaan dalam kaitan dan

pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang lain; aspek seni dalam kaitannya dan pertentangannya dengan bentuk-bentuk seni lain.

Berdasarkan pendapat Teeuw di atas tampak bahwa komik mengandung dan dapat ditelaah dari dua aspek tersebut, yakni aspek bahasa dan seninya.

Mengacu pada Aristoteles yang melihat sastra sebagai suatu karya yang

“menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan

pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya. Pemikir Romawi, Horitus, mengemukakan istilah dulce at utile, dalam tulisannya berjudul Ars Poetica. Artinya, sastra mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus

bermanfaat bagi pembacanya (Budianta, 2003: 7). Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan penglepasan ke dunia imajinasi, lihat Budianta (2003: 17). Dari gambaran tersebut, komik dilihat dari batasan dan fungsinya termasuk dalam karya sastra.

Penelaah komik yang dilakukan para ahli sastra Barat, Amerika khususnya, lebih maju dan ilmiah. Komik dipandang sebagai suatu karya seni sastra yang memiliki


(37)

nilai seni sastra. Salah satu indikator hal tersebut adalah banyaknya buku-buku yang membahas komik dari segi ilmu seni sastra.

Komik sebagai karya sastra dikemukakan oleh McCloud ( 2001: 10), komik dapat menghasilkan sekumpulan karya yang layak dipelajari dan menampilkan dengan penuh makna hidup, waktu, dan pandangan dunia sang pengarang.

2.2.2 Istilah – Istilah untuk komik

Komik adalah tatanan gambar dan balon kata yang berurutan (Waluyo, 2006: 44). McCloud memiliki pandangan lain mendefinisikan komik sebagai gambar dan lambang yang diletakkan saling berdampingan dalam urutan yang disengaja untuk menyampaikan informasi atau menghasilkan respon estetik dari yang melihatnya. Bonneff menyebutkannya dengan istilah sastra gambar (1998:7). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan komik adalah cerita bergambar. Selain itu beberapa ahli dan sumber lain menggunakan istilah comic strip (Franz & Meir, 1994 : 54; Bundhowi, KIPBIPA : 1999; The Enciclopedia Americana, 1986:370), Istilah komik strip umumnya digunakan untuk membedakan komik (satu seri gambar) dengan kartun (satu gambar lucu). Sumber dan ahli lain (Ensiklopedi Indonesia, tanpa tahun : 1838; Ajidarma, Kalam :Juni 2000) menggunakan istilah cerita bergambar untuk komik.

Dari beberapa ahli dan sumber di atas tampak bahwa hal yang dipentingkan dalam komik adalah aspek gambar. Hal tersebut karena unsur utama komik adalah gambar. Komik berbeda dengan kartun. Perbedaan ini dalam hal jumlah gambar. Dalam komik menampilkan beberapa seri gambar, sedangkan kartun bisa berupa 1


(38)

gambar yang menampilkan keseluruhan situasi atau peristiwa. Sedangkan persamaannya, keduannya mengandung humor.

2.2.3 Pengertian Komik

Aspek utama dalam komik adalah gambar. Umumnya orang sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan komik. McCloud – pembuat dan ahli komik

berkebangsaan Amerika- dalam bukunya Understanding Comic mengatakan komik dapat mengacu pada beberapa hal, seperti bentuknya, isi yang jenaka, tokoh-tokok yang super, ataupun sesuatu yang merusak mental. Defisini yang luas tentang komik diberikan oleh McCloud, yakni Juxtaposed pictorial and ather images in deliberate sequence intended to concey information and/ or to produce an aesthetic response in the vieuwer (1993: 9). McCloud menyatakan bahwa komik adalah gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang

terjukstaposisi dalam urutan tertentu. Untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya. Gambar-gambar dalam komik berbeda dengan buku cerita bergambar. Peran gambar-gambar pada buku cerita bergambar, bagaimanapun, tetap “sekedar” sebagai ilustrasi yang lebih berfungsi mengkongkretkan, melengkapi, dan memperkuat sesuatu yang diceritakan secara verbal, sedangkan gambar-gambar yang terdapat dalam komik sudah mampu mewakili suatu peristiwa atau rentetan cerita yang sangat jelas tanpa disertai dengan adanya penjelasan secara verbal.

Dari batasan di atas McCloud membagi komik atas dua komponen, yakni pictorial images (citraan gambar) dan Other images ( citraan lain, seperti huruf dan kata). Kedua komponen tersebut ditampilkan secara statis dan diletakkan


(39)

sebelah-menyebelah berurutan (juxtaposed). Ditampilkan statis maksudnya bahwa gambar komik bukanlah gambar yang bergerak seperti dalam sebuah film animasi, sedangkan sebelah-menyebelah mengandung makna bahwa gambar itu diurutkan sehingga membentuk satu rangkaian cerita. Definisi McCloud bila dikaji memiliki kesamaan dengan batasan komik dalam Ensiklopedi Indonesia (tanpa tahun : 1983), yaitu “Cerita berupa rangkaian gambar yang terpisah-pisah, tetapi berkaitan dalam isi; dapat dilengkapi dengan maupun tanpa naskah”. Walaupun mempunyai kesamaan mengenai ciri-ciri komik, ada juga perbedaannyanya dalam komponen selain gambar. Keharusan teks dalam definisi terakhir tidak

mensyaratkan keberadaaannya.

Pengertian komik yang terdapat dalam The Encyclopedia Americana (1986: 370), yakni cartoon arranged either in a single panel or in several boxes (in which case they era called “comic strip”).which are popular feature of most Americn

newspapers. Kedua pengertian di atas sangat terbatas pada komik yang diterbitkan di media massa. Hal ini karena pada awal keberadaaannya adalah di surat kabar dan merupakan salah satu upaya penerbit untuk meningkatkan oplah.

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian komik adalah “cerita bergambar di majalah, surat kabar, atau berbentuk buku yang umumnya mudah dicerna dan lucu” (1997: 515). Batasan tersebut lebih mengacu pada pemahaman masyarakat luas tentang komik sebagai hiburan melalui cerita-cerita lucunya. Komik hadir dengan menampilkan gambar-gambar dalam panel-panel secara berderet yang disertai balon-balon teks tulisan dan membentuk sebuah cerita. Dalam kaitan ini sebagai istilah, komik dapat dipahami sebagai simulasi gambar


(40)

dan teks yang disusun berderet per adegan untuk kemudian menjadi sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005: 409). Namun kemudian, komik tampil tanpa teks karena gambar dalam komik adalah bahasanya sendiri, yaitu bahasa komik sebagaimana halnya gambar rekaman pada pita seluloid dalam film. Gambar dalam komik adalah sebuah penangkapan adegan saat demi saat, peristiwa demi peristiwa, sebagai representasi cerita yang disampaikan dengan menampilkan figure dan latar. Gambar-gambar dalam komik dapat dipandang sebagai alat komunikasi lewat bahasa gambar (Nurgiyantoro, 2005: 409).

Komik merupakan suatu bentuk kartun yang mengungkapkan karakter dan

memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat dihubungkan dengan gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada pembaca. Dengan demikian, komik bersifat humor. Komik memiliki cerita yang ringkas dan menarik perhatian, dilengkapi dengan aksi. Selain itu komik dibuat lebih hidup dan diolah dengan pemakaian warna-warna utama secara bebas (Sujana dan Rivai, 2010: 64). Salah satu pengertian komik adalah : Komik sebagai pembingkai waktu (framing time). Panil-panil dalam komik sebetulnya seperti “ mengotakkan tindakan atau peristiwa” (boxing the action). Tindakan dalam saat tertentu dipotret, dimasukan ke dalam sebuah kotak, disusun dengan berisi saat lain tindakan tersebut atau tindakan lain (Darmawan, 2012: 40).

Komik adalah bercerita/mengungkapkan ide dengan gambar. Komik adalah medium bercerita atau berekspresi dengan bahasa gambar yang tersusun. (Darmawan, 2012: 5).


(41)

Secara lebih sederhana Darmawan (2012: 38) mengatakan bahwa komik mengandung :

1. Imaji (umumnya berupa gambar) yang disusun secara sengaja.

2. Imaji-imaji itu biasanya berada dalam sebuah ruang yang lazimnya diberi garis batas (kotak, atau apapun) dan biasa disebut panil (panel). Harap dicatat: bisa saja, sebuah panil tidak diberi garis batas.

3. Imaji-imaji yang dimaksudkan untuk mengandung “informasi” itu disusun agar membentuk “cerita” (atau naratif, kekisahan). “Cerita” di sini tidak harus berarti “fiksi”, tapi lebih berarti susunan kejadian yang menarik.

panel

balon kata

Hore…


(42)

4. Imaji-imaji yang dimaksud juga bukan hanya gambar, tapi bisa jadi simbol-simbol lain, dan kadang sangat khas untuk komik, seperti: balon kata, balon pikiran, caption, efek bunyi. Bahkan teks pun bisa diperlakukan sebagai imaji, dengan cara penulisn yang khusus untuk menggambarkan, misalnya, emosi tertentu.

5. Susunan imaji dan/atau susunan panil adalah tuturan khas komik.

2.2.4 Pemanfaatan Komik dalam Dunia Pendidikan

Pendidik merupakan kalangan yang paling sering mengeritik komik setelah kalangan orang tua. Dua penyebab munculnya kritik terhadap komik adalah aspek moral (menyangkut aspek pornografi dan kekerasan) dan kerancuan bahasa komik. Hal ini peneliti jumpai di beberapa sekolah yang melarang membawa komik ke sekolah.

Nasib komik di Indonesia jauh berbeda dengan di Jepang yang tingkat bacaanya sangat tinggi. Komik atau manga (dalam bahasa Jepang) kini juga banyak dipakai di dunia pendidikan sebagai satu sarana untuk menyampaikan pelajaran tertentu. Tidak usah heran kalau banyak anak sekolah tampak “hanya” membaca komik karena sebenarnya mereka belajar ekonomi, sejarah, atau kebijakan ekonomi pemerintah. Komik-komik seperti itu atau dikenal dengan sebutan komik serius menjadi bisnis yang sangat menguntungkan di Jepang sejak tahun 1984.

Tengok saja produksi superhero di AS, tak mengenal titik jenuh. Setelah diciptakan melalui komik, tokoh-tokoh superhero AS terus-menerus dihidupi melalui industi film. Superhero seperti Superman, menjadi cermin karakter


(43)

Negara adidaya Amerika yang selalu ingin menjadi serba super di kolong langit (Kompas, Minggu 27 Januari 2013).

Jika dahulu komik identik dengan hiburan dan bacaan ringan, kini konten komik bervariasi. Mulai dari cerita silat, pewayangan, jagoan terbang, hingga ilmu politik dan sains.

Di Indonesia jenis komik serius atau sering disebut komik yang mencerdaskan sudah dapat dijumpai di toko-toko buku baik yang ditulis oleh komikus Indonesia maupun terjemahan walaupun jumlah pembacanya sngat jauh lebih kecil

dibandingkan dengan jenis komik lainnya. Beberapa judul komik serius yang beredar di pasaran saat ini antara lain Kartun Fisika karya Larry Gonick dan Art Huffman dialih bahasakan olek KPG dan Cyberspace, Teori Kuantum, Alam Semesta, Ekologi Post Modernisme, Matinya Ilmu Ekonomi yang dilaih bahasakan oleh Mizan.

Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia melihat manfaat yang cukup besar dari unsur komik, yakni cerita berbentuk rangkaian gambar, untuk materi

pembelajaran keterampilan berbahasa. Sejak pemberlakuan kurikulum 1975 bentuk komik telah dimanfaatkan dalam buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Bundhowi dalam makalahnya pada KIPBIPA III (Bandung, 11-13 Oktober 1999) menyajikan beberapa alternatif pemanfaatan komik dalam pelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah .


(44)

1) Bermain Peran

Siswa diberi kebebasan untuk memilih tokoh komik yang disenanginya. Setelah melakukan persiapan, siswa ditamplkan untuk memerankan tokoh komik berdasarkan pemahaman atas komik yang telah dibacanya. Dengan melaksanakan bermain peran tersebut, siswa bisa merasakan pengalaman budaya langsung sesuai dengan latar cerita komik.

2) Bercerita

Setelah membaca sebuah komik, siswa diminta menceritakan kembali isi komik tersebut dengan bahasa sendiri. Kegiatan bercerita tersebut dapat dilakukan antara teman ataupun di depan kelas.

3) Menulis

Semua kegiatan yang menggunakan komik dapat diikuti dengan kegitan menulis. Kegiatan menulis cerita komik dapat dilakukan secara bertahap : menulis dialog yang kosong, mengganti dialog komik yang tidak baku menjadi bahasa yang baku, dan menulis kembali cerita komik dengan bahasa sendiri dalam bentuk wacana.

4) Menyusun Gambar dan Dialog. Siswa diberi potongan-potongan gambar gambar cerita komik, setelah itu mereka diminta untuk merangkaikan potongan-potongan gambar tersebut menjadi sebuah cerita komik dalam urutan yang benar dan logis. Bentuk lain adalah guru memberi potongan gambar dan dialog yang terpisah, selanjutnya siswa diminta untuk menjodohkan dialog dengan potongan gambar yang tepat.

Komik merupakan media komunikasi yang kuat. Komik dapat menjadi media pembelajaran yang sangat efektif. Sebagai contoh untuk menjelaskan


(45)

konsep-konsep yang abstrak dan memerlukan obyek yang sangat konkrit pada beberapa mata pelajaran. Komik sebagai media berperan sebagai alat yang memunyai fungsi menyampaikan pesan. Komik sebagai media pembelajaran merupakan alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Dalam konteks ini pembelajaran menuju pada sebuah proses komunikasi antara siswa dengan sumber belajar (dalam hal ini komik pembelajaran). Komunikasi belajar akan berjalan maksimal jika pesan pembelajaran disampaikan secara jelas, runtut dan menarik.

2.2.5 Jenis Komik

Bonneff (1998: 48) membedakan komik menjadi beberapa jenis, yaitu komik buku, komik majalah, komik bersambung di harian dan majalah, serta buku pelajaran bergambar, dan brosur propaganda. Para ahli umumnya membagi komik berdasarkan isi cerita komik. Bonneff (1998: 104-129) membagi komik-komik Indonesia menjadi : komik wayang, komik silat, komik humor, dan komik remaja. Dari keempat jenis tersebut hanya dua jenis komik yang masih bertahan (walau dalam jumlah yang minim) sampai saat ini, yakni komik silat dan komik humor. Franz dan Meir (1994:58) mengutip pendapat Herald Vogel membagi komik berdasarkan isinya menjadi lima kategori, yakni :

1) komik kocak, yang isinya lucu dan penuh humor;

2) komik petualangan, yang sisinya mengandung petualangan dalam rimba, padang rumput atau padang pasir, kejahatan (kriminal), percintaan, juga yang menegangkan, menakutkan (horor);

3) komik fantasi, yang isinya fiksi dalam ilmu pengetahuan, teknik, juga dongeng;


(46)

4) komik sejarah (historis), yang isinya berdasarkan hal-hal yang telah dicapai dalam sejarah, termasuk juga hal-hal yang dianggap sebagai sejarah;

5) komik nyata atau klasik, yang menceritakan kembali dengan gambar atau teks karya-karya literer terkenal.

Media komik dalam proses belajar- mengajar menciptakan minat para peserta didik, mengefektifkan proses belajar- mengajar, dapat meningkatkan minat belajar dan menimbulkan minat apresiasinya.

2.2.6 Kelebihan Media Komik

Sebagai salah satu media visual, media komik tentunya memiliki kelebihan tersendiri jika dimanfaatkan dalam kegiatan belajar- mengajar. Kelebihan media komik pada kegiatan belajar adalah

a. Komik menambah pembendaharaan kata-kata pembacanya

b. Mempermudah anak didik menangkap hal-hal atau rumusan yang abstrak c. Dapat mengembangkan minat baca anak dan salah satu bidang studi yang lain d. Seluruh jalan cerita komik pada menuju satu hal kebaikan (Lestari, 2009: 4).

2.2.7 Kelemahan Media Komik

Media komik disamping mempunyai kelebihan juga memiliki kelemahan. Kelemahan media komik adalah

a. Kemudahan orang membaca komik membuat malas membaca sehingga menyebabkan penolakan-penolakan atas buku-buku yang tidak bergambar b. Ditinjau dari segi bahasa komik hanya menggunakan kata-kata kotor ataupun


(47)

c. Banyak aksi-aksi yang menonjolkan kekerasan ataupun tingkah laku yang sinting (perverted)

d. Banyak adegan percintaan yang menonjol (Lestari, 2009: 4).

2.3 Hakikat Menulis

Menulis merupakan salah satu keterampilan yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi keterampilan menulis seseorang itu seperti sebuah petasan. Kapan pun bisa disulut. Hanya saja, ketika meledak bunyinya berbeda-beda. Ada yang berbunyi pelan karena kurang amunisi, ada juga yang menggelegar karena amunisinya banyak. Menulis merupakan ledakan pikiran seseorang yang kadar ledakannya bisa berbeda-beda (Kusmayadi, 2011: 2)

Menurut KBBI, menulis adalah membuat huruf (angka dsb) dengan pena (pensil, kapur,dsb). Melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan.

Menulis merupakan salah satu kemampuan yang harus digali dan tidak dapat timbul tanpa adanya latihan. Menulis adalah suatu proses menuangkan isi pikiran ke dalam sebuah tulisan. Menurut Tarigan (1994: 21) menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambar grafik itu.

Tarigan (1994: 3) menjelaskan bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunukasi secara tidak langsung, tidak scara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan ekspresif.


(48)

2.3.1 Jenis Tulisan

Dalam bukunya, Semi (2007: 53-74) membagi tulisan sebagai berikut 1) Narasi

Narasi adalah tulisan yang tujuannnya menceritakan kronologis peristiwa kehidupan manusia. Narasi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :

a. Narasi artistik yaitu narasi berbentuk karya sastra yang enak dibaca, seperti novel atau cerita pendek.

b. Narasi ekspositorik yaitu narasi yang menceritakan tentang kehidupan seseorang yang penuh dengan suka duka.

2) Eksposisi

Eksposisi adalah tulisan yang bertujuan memberikan informasi, menjelaskan, dan menjawab pertanyaan apa, mengapa, kapan, dan bagaimana.

3) Deskripsi

Deskripsi adalah tulisan yang tujuannya untuk memberikan rincian atau detil tentang objek sehingga dapat member pengaruh pada emosi dan menciptakan imajinasi pembaca bagaikan melihat, mendengar, atau meraakan langsung apa yang disampaikan penulis. Karya tulis deskripsi dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

a. Deskripsi artistic adalah deskripsi yang memiliki nilai artistik atau nilai keindahan karena cara penyajiannya dengan menggunakan gaya bahasa sastra.

b. Deskripsi ekspositoris ialah deskripsi yang mendekati bentuk eksposisi, baik mengenai isi, yang cenderung berupa fakta, maupun gaya


(49)

4) Argumentasi

Argumentasi adalah tulisan yang bertujuan meyakinkan atau membujuk pembaca tentang kebenaran pendapat penulis.

2.3.2 Fungsi dan Tujuan Menulis

Tujuan penulisan sebagai berikut

1) assigment purpose (tujuan penugasan)

Artinya penulis menulis sesuatu karena ditugaskan, bukan kemauannya sendiri.

2) altruristic purpose (tujuan altruistik)

Penulis bertujuan untuk menyenangkan para pembaca, menghindarkan kedukaan para pembaca, ingin menolong para pembaca memahami,

menghargai perasaan, dan penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih menyenangkan dengan karyanya itu.

3) persuasive purpose (tujuan persuasif)

Tulisan yang bertujuan meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan.

4) informational purpose (tujuan informasional, tujuan penerangan)

Tulisan yang bertujuan memberikan informasi atau keterangan/ penerangan kepada para pembaca.

5) self-ekspressive purpose (tujuan penyataan diri)

Tulisan yang bertujuan memperkenalkan atau menyatakan diri sang pengarang kepada para pembaca.

6) creative purpose (tujuan kreatif)


(50)

7) problem-solving purpose (tujuan pemecahan masalah)

Dalam tulisan seperti ini penulis ingin memecahkan masalah yang dihadapi (Tarigan, 2008: 25-26).

Jika dilihat dilihat dari keseluruhan fungsi dan tujuan menulis di atas, menulis naskah drama termasuk ke dalam assignment purpose, karena siswa akan diberikan tugas untuk membuat naskah drama, yang pada akhirnya siswa mengolah kemampuannya untuk membuat suatu naskah drama yang kreatif dan dapat digolongkan ke dalam creative purpose di sekolah.

2.3.3Diksi atau Pilihan Kata

Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Dalam kehidupan sehari-hari kita berjumpa dengan orang yang sulit sekali mengungkapkan maksudnya dan sangat miskin variasi

bahasanya.

Menurut Keraf (1999: 24) ada tiga hal utama mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk

menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat

pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata atau


(51)

pembendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.

2.3.4Cara Membuat Judul

Bagi penulis pemula, kadang menulis judul sama sulitnya menulis karangan. Harus memulai darimana, judul bagus yang mana? Sehingga aktivitas menulis pun menjadi berhenti. Bahkan tulisan sudah selesai kadang judul belum dibuat. Judul adalah kepala karangan. Ia sangat penting sebagai gambaran dari isi karangan. Sebuah tulisan tanpa judul ibarat manusia tanpa kepala

(Komaidi, 2011: 30). Prinsipnya, judul itu harus pendek, padat, menarik, dan berkesan yang menggambarkan isi karangan.

Dalam bukunya Akhadiah ( 1988: 9) mengatakan bahwa judul adalah nama, titel, atau semacam label untuk suatu karangan. Dalam karangan fiksi biasanya judul karangan dapat ditentukan kemudian. Ada kalanya judul itu diubah dengan maksud untuk lebih menarik perhatian pembaca.

Sebagai pedoman, judul harus ringkas, padat, menarik, mengesankan dan tidak bertele-tele dan biasanya menggambarkan isi bahasan (Komaidi, 2011: 31). Judul bisa dibuat sebelum memulai sebuah tulisan atau setelah tulisan selesai dibuat. Sebuah judul yang baik itu bisa menarik perhatian pembaca.


(52)

2.4 Hakikat Drama

Drama berasal dari bahasa Greek (Yunani kuno) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu. Endraswara (2011: 11) mengemukakan bahwa drama berasal dari bahasa Yunani, drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu. Jadi tindakan dan gerak merupan ciri utama drama.Dalam bahasa Jawa, drama sering disebut sandiwara. Kata sandi artinya rahasia, wara (h)

menjadi warah berarti ajaran. Sandiwara berarti drama yang memuat ajaran tersamar tentang hidup (Endraswara 2011: 12). Drama adalah karya sastra yang mengungkapakan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya (Sumardjo dan Saini K.K. 1988: 31). Drama adalah karya yang memiliki daya rangsang cipta, rasa dan karsa yang amat tinggi (Endraswara, 2011: 13).

Drama adalah satu bentuk seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action (Soemanto, 2001: 3). Sebuah drama hanya terdiri atas dialog; mungkin ada semacam penjelasannya, tetapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan pedoman oleh sutradara.

Drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikkan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari masyarakat (Rahmanto, 1988: 89)

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa drama merupakan suatu pengungkapan cerita dengan menampilkan gerak dan dialog yang dilakukan oleh para tokohnya.


(53)

2.4.1. Unsur-Unsur Drama

Hasanuddin (2009: 93--124) mengemukakan unsur drama sebagai berikut 1) tokoh, peran dan karakter

Penokohan berkaotan dengan hal-hal penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek fisiologis), serta karakter tokoh, Hal- hal itu saling berkaitan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama. Selain itu juga, akan membantu pembaca dalam mendapatkan gambaran secara keseluruhan

karakter tokoh. Bagi para aktor, pemahaman akan hal ini akan membantu pula dalam memerankan tokoh-tokoh tersebut di pentas.

Dalam bukunya Kosasih (2012: 135) membagi tokoh-tokoh dalam drama sebagai berikut

a. tokoh gagal atau tokoh badut (the foil), tokoh ini mempunyai pendirian yang bertentangan dengan tokoh lain. Kehadiran tokoh ini berfungsi untuk menegaskan tokoh lain itu.

b. tokoh idaman (the type characteter). Tokoh ini berperan sebagai pahlawan dengan karakternya yang gagah, berkeadilan, atau terpuji.

c. tokoh statis (the static character), tokoh ini memiliki peran yang tetap sama, tanpa perubahan, mulai dari awal hingga akhir cerita.

d. tokoh yang berkembang, tokoh ini mengalami perkembangan selama cerita itu berlangsung.

2) motivasi, konflik, peristiwa dan alur

Oemarjati (1971: 63) mengatakan bahwa, motivasi dapat muncul dari berbagai sumber, antara lain sebagai berikut


(54)

(a) kecenderungan-kecenderungan dasar (basic Instinct) yang dimiliki

manusia, misalnya kecenderungan untuk dikenal, untuk memperoleh suatu pengalaman tertentu, suatu perumusan libido tertentu,

(b) situasi yang melingkupi manusia, yaiu keadaan fisik dan keadaan social, (c) interaksi sosial, yaitu rangsangan yang timbulkan karena hubungan sesama

manusia,

(d) watak manusia itu sendiri, sifat-sifat intelektualnya, emosinya, persepsi, dan ekspresif serta sosial kulturalnya.

Dengan mengetahui motivasi, maka pembaca mendapat dasar yang lebih kuat dalam menginterprestasikan sautu laku atau suatu peristiwa dalam drama. Hubungan antara suatu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut sebagai alur atau plot. Plot adalah jalinan cerita yang

dibangun oleh peristiwa-peristiwa „konflik‟ antar tokoh di dalamnya. Kalau tidak ada konflik maka takkan ada cerita yang menarik (Jusmar, 2010: 28). Alur sebagai rangkaian peristiwa-peritiwa atau sekelompok peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukan kaitan sebab akibat. Peristiwa atau kelompok peristiwa yang mendominasi peristiwa lain, yang menyebabkan munculnya konflik pada drama, merupakan inti permasalahan drama yang hendak diketengahkan pengarang. Konflik dapat dinilai sebagai puncak dari perselisihan antara kepentingan pihak protagonist dan pihak antagonis.


(55)

3) Latar dan Ruang

Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karta fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alaur. Latar dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan drama. Latar ikut membangun permasalahan drama dan menciptakan konflik. Ruang dibutuhkan dalam drama, terutama dalam kebutuhan panggung. Pentas pertunjukan memerlukan ruang khusus agar pementasan drama dapat

berlangsung dengan baik dan tepat sasaran.

Latar adalah keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam naskah drama, lihat Kosasih (2012: 136).

a. Latar tempat, yaitu penggambaran tampat kejadian di dalam naskah drama, seperti di medan perang, di meja makan.

b. Latar waktu, yaitu penggambaran waktu kejadian di dalam naskah drama, seperti pagi hari pada tanggal 17 Agustus 1945.

c. Latar suasana/ budaya, yaitu penggambaran suasana ataupun budaya yang melatarbelakangi terjadinya adegan atau peristiwa dalam drama.

4) Penggarapan Bahasa

Penggarapan bahasa bukanlah tentang dialog, melainkan bagaimana bahasa dipergunakan pengarang sehingga menjadi situasi bahasa. Penggarapan bahasa biasa disebut sebagai style. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan-permasahan yang hendak dikemukakan; harus serasi dengan teknik-teknik yang digunakan; harus tepat merumuskan alur, penokohan, latar, dan ruang, dan tentu saja semua itu bermuara pada ketepatan perumusan tema atau presisse teks drama.


(56)

5) Tema dan Amanat

Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar dan ruang cerita.

Waluyo (2008: 16-17) mengemukakan klasifikasi tokoh-tokoh dalam drama menjadi beberapa, seperti berikut.

1. Berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh-tokoh seperti di bawah ini

a) tokoh Protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita b) tokoh Antagonis, yaitu tokoh penentang cerita

c) tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis

2. Berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya, maka terdapat tokoh-tokoh sebagai berikut

a) tokoh sentral, yaitu tokoh-tokohyang paling menentukan gerak lakon. b) tokoh utama, tokoh pendukung atau menentang tokoh sentral

c) tokoh pembantu, tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkai cerita.

Masih menurut Waluyo (2008: 20) yang mengemukakan bahwa ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog. Dalam bukunya Kosasih (2012: 136) mengemukakan cakapan atau dialog dalam drama haruslah memenuhi dua tuntutan, yakni :


(57)

a. Dialog harus turut menunjang gerak lakunya tokohnya. Dialog haruslah dipergunakan untuk mencermikan apa yang telah terjadi sebalum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama cerita itu

berlangsung, dan harus pula dapat mengunngkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.

b. Dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara jelas dan tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah.

2.4.2 Jenis-Jenis Drama

Menurut Endraswara (2011: 118-139) jenis-jenis drama jika ditinjau dari bentuk penampilan, adalah sebagai berikut

1) Komedi

Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau ketawa riang. Kelucuan bukan tujuan utama, maka nilai dramatic dari komedi (meskipin bersifat ringan) masih tetap terpelihara.

2) Pantomin

Pantomin adalah drama gerak dan mengutamakan kelucuan. Biarpun ada ajaran di dalamnya, namun disampaikan dengan gerak-gerak humor. Pantomin adalah drama komedi yang mengutamakan permainan ragawi.


(58)

3) Tragedi (Duka)

Drama duka adalah yang pada akhir cerita tokohnya mengalami kedukaan. Drama tragedy juga dapat dibatasi sebagai drama duka yang berupa dialog bersejak yang menceritakan tokoh utama yang menemui kehancuran karena kelemahannya sendiri, seperti keangkuhan dan iri hati. Dalam tragedi, tokohnya adalah tragichero artinya pahlawan yang mengalami nasib tragis. 4) Melodrama

Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yag mendebarkan hati dan mengharukan. Tokoh dalam melodrama adalah tokoh yang tidak ternama (bukan tokoh agung seperti dalam tragedi). Tokoh-tokoh dalam melodrama (seperti yang terdapat dalam drama-drama abad XVIII) adalah tokoh-tokoh hitam-putih dan bersifat stereotrip. Di satu sisi tokoh jahat adalah seluruhnya jahat tidak ada sisi kebaikan sedikitpun. Sebaliknya, tokoh hero (pahlawan) atau heroin (pahlawan wanita) adalah tokoh pujaan yang luput dari kekurangan, luput dari kesalahan, dan luput dari tindakan kejahatan. 5) Eksperimental

Penamaan drama eksperimental disebabkan oleh kenyataan bahwa drama tersebut merupakan hasil eksperimen pengarangnya dan belum memasyarakat. Biasanya jenis drama eksperimental ini adalah drama nonkenvensional yang menyimpang dari kaidah-kaidah umum struktur lakon, baik dalam hal struktur tematik maupun dalam hal struktur kebahasaan. Tokoh-tokoh drama

eksperimental seperti Rendra (dengan teater mini kata dan improvisasinya). Putu Wijaya (denga eksperimennya dengan drama tanpa identitas pelaku), dan sebagainya.


(59)

6) Sosiodrama

Sosiodrama adalah bentuk pendramatisan peristiwa-peristiwa kehidupan seharri-hari yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk drama yang paling

elementer dan tidak sekedar meniru adegan tertentu., tetapi memerankan tokoh dan adegan tertentu dengan acting, yaitu penjiwaan total terhadap tokoh dan lakon yang dibawakan.

7) Absurd

Drama jenis ini dipelopori oleh Ionesco, Samuel Basukertt, dan Alberth Camus. Drama jenis ini sesungguhnya merupakan permainaan symbol dan drama simbolik yang membutuhkan perenungan mendalam. Penulis drama Absurd berpandangan bahwa kehidupan di dunia bersifat absurd. Oleh sebab itu tokoh-tokoh juga haruslah bersifat absurd pula. Absurditas adalah sifat yang muncul dari aliran filsafat eksistensialisme, yang memandang kehidupan ini mencekam. Tanpa makna, memuakan.

8) Improvisasi

Kata “improvisasi” sebenarnya berarti spotanitas. Drama inprovisasi bisanya digunakan untuk melatih kepekaan pemain sehingga pemain dapat

memerankan tokoh yang dibawakan lebih hidup dan realistis.

Selain yang telah dipaparkan di atas,dalam buku Endraswara (2011: 139-143) membagi jenis-jenis drama ditinjau dari aspek konteks dan tempat pentas, adalah sebagai berikut

1) Drama Pendidikan

Drama pendididkan juga disebut drama ajaran atau drama didaktis. Pelaku-pelaku drama dijadikan cermin bagi penonton dengan maksud untuk


(60)

mendidik. Lakon yang mengungkapkan kehidupan di akhirat menunjukkan kepada manusia bahwa akhirnya semua orang akan sampai kesana.

2) Closed Drama (untuk dibaca)

Drama jenis ini hanya indah untuk bahan bacaan. Para sastrawan yang tidak berpengalaman mementaskan drama biasanya menulis Closed drama yang tidak mempunyai kemungkinan pentas atau kemungkinan pentasnya kecil 3) Drama Teatrikal (untuk dipentaskan)

Drama teatrikal memang menciptakan untuk dipentaskan. Naskah drama yang ditulis oleh para sutradara atau para pekerja teater tidak hanya memperhatikan dialog untuk dipentaskan. Dalam menulis naskah drama teatrikal, penulis membayangkan panggung dan proses pementasan.

4) Drama Lingkungan

Drama lingkungan disebut pula teater lingkungan yaitu jenis drama modern yang melibatkan penonton. Dialog drama dapat ditambah oleh pemain sehingga penonton dilibatkan dengan lakon. Tujuan utama teater lingkungan adalah membuat tontonannya akrab dengan penonton.

5) Drama Radio

Drama radio mementingkan dialog-dialog yang diucapakan lewat media radio. Jenis drama ini biasanya direkam melalui kaset. Drama radio dapat juga diklasifikasikan sebagai sandiwara rekaman.

6) Drama Televisi atau Film

Di televise jenis pertunjukan drama (sinetron) sangat digemari oleh pemirsa, Penyususnan drama televise sama dengan penyusunan naskah film. Oleh


(61)

sebab itu, drama televise membutuhkan scenario. Kelebihan drama jenis ini adalah dalam hal melukiskan flash back.

2.4.3 Menulis Naskah Drama

Naskah drama adalah karya fiksi yang membuat kisah atau lakon. Naskah yang lengkap terbagi atas babak atau adegan-adegan. Ada beberapa macam kategori naskah pentas, yaitu : (a) naskah yasan, artinya teks drama yang sengaja

diciptakan sejak awal sudah berupa naskah drama. Naskah semacam ini biasanya ditulis oleh seorang sutradara, actor dan spesialis naskah, (b) naskah garapan, artinya teks drama yang berasal dari olahan cerita prosa atau puisi, di ubah ke dunia drama. Biasanya, penggarapan tidak harus berimajinasi dari awal, (c) naskah terjemahan, artinya drama yang berasal dari bahasa lain, diperlukan adopsi dan penyesuaian budayanya.

Naskah drama adalah kesatuan teks yang membuat kisah. Naskah atau teks drama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) part text, artinya yang ditulis dalam teks hanya sebagian saja, berupa garis besar cerita. Naskah semacam ini biasanya diperuntukan bagi pemain yang sudah mahir. (2) full text, adalah teks drama dengan penggarapan kompliit, meliputi dialog, monolog, karakter, iringan, dan sebagainya. Bagi pemain yang masih tahap berlatih, teks semacam ini patut dijadikan pegangan. Hal ini juga akan memudahkan pertunjukan, hanya saja akan membatasi kreativitas pentas (Endraswara, 2011: 37)

Djuhermie (2005: 201-202) mengemukakan bahwa dalam penulisan teks drama ada tiga unsur pokok yang harus diperhatikan, yakni tokoh, wawancang, dan kramagung.


(1)

162

menarik. Kegiatan pembelajaran menulis naskah drama sudah berpusat pada siswa tidak lagi berpusat pada guru.

5.1.3 Evaluasi Pembelajaran Menulis Naskah Drama dengan Menggunakan Media Komik

Dalam penelitian ini evaluasi yang digunakan oleh guru untuk kemampuan menulis naskah drama siswa harus sesuai dengan rubric komponen kemampuan menulis. Tahap penilaian sesuai dengan kompetensi dasar menulis naskah drama yang akan dicapai yaitu kesesuaian judul dengan gambar, unsur- unsur instrisik naskah drama, suasana ketajaman konflik dalam naskah drama. Kemenarikan isi cerita, dan ketepatan pemilihan kata dan susunan kalimat.

Di dalam peningkatan menulis naskah drama siswa harus memperhatikan judul dengan gambar komik. Judul harus sesuai dengan gambar komik dan

menarik.Seluruh unsur instrisik naskah drama ditulis lengkap, tepat dan jelas. Penampakan konflik sangat tajam, jelas sekali dan menarik. Naskah drama enak dibaca, mudah dipahami, komunikatif, dan banyak mengandung nilai-nilai moral yang bermanfaat bagi pembaca. Semua diksi yang digunakan tepat, bervariasi, sesuai dengan konteks dan imajinatif. Komponen-komponen tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam melakukan penilaian. Semua aspek yang ada dalam komponen menulis naskah drama dinilai kemudian dijumlahkan lalu dibagi lima maka diperoleh nilai rata-rata. Penilaian harus sesuai dengan kriteria komponen menulis naskah drama yang telah ditetapkan.


(2)

163

5.1.4 Peningkatan Nilai Kemampuan Menulis Naskah Drama di Kelas XI IPS 4

Kemampuan menulis naskah drama dengan menggunakan media komik mengalami peningkatan pada setiap siklusnya.Penggunaan media komik dapat membuat siswa menjadi aktif dan berpikir kreatif. Siswa dapat mengaitkan pembelajaran dengan dunia nyata sehingga siswa dapat menuangkan ide-ide mereka dengan lancar akhirnya berdampak pada peningkatan kemampuan menulis naskah drama.Penilaian tersebut dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) 71.

Hasil pembelajaran yang dicapai pada siklus I,II, dan III tingkat kemampuan tertinggi siswa adalah 90, 95 dan 95, sedangkan terendah adalah 35, 45, dan 55. Tingkat kemampuan rata-rata siklus I, II, dan III adalah 57%, 61.32% dan 74,1%. Persentase siswa yang mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) siklus I, II, dan III sebesar 17,1%, 22,9%, dan 62,8%.

5.2 Saran

5.2.1 Saran untuk Siswa

1.Pembelajaran menulis naskah drama dengan menggunakan media komik terbukti dapat meningkatkan komptensi siswa. Oleh karena itu jika guru dalam pembelajaran menggunakan media komik tersebut hendaknya siswa mengikuti dengan aktif.

2. Siswa dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia melalui media komik.


(3)

164

5.2.2 Saran untuk Guru

1. Pembelajaran dengan menggunakan media komik merupakan salah satu media yang dapat membuat siswa aktif dan dapat membangun pengetahuan secara mandiri dan mentransfer informasi serta menciptakan ide-ide baru. Untuk itu guru hendaknya mengembangkan RPP dengan media komik. 2. Guru bahasa Indonesia perlu menerapkan media komik sebagai salah satu

alternatif media pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia khususnya kompetensi dasar yang berhubungan dengan menulis. Dengan media komik hasil kemampuan menulis siswa akan lebih baik. 3, Penggunaan LCD oleh guru dalam menampilkan media komik kurang tepat,

oleh sebab itu pada saat proses pembelajaran, komik yang dipakai oleh guru sebaiknya dicetak.

5.2.3 Saran untuk Sekolah

Bagi guru mata pelajaran selain bahasa Indonesia dapat menambah wawasan tentang penggunaan media komik dalam proses pembelajaran.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Subarti. Maidar G. Arsjad. Sakura H. Ridwan. 1988. Pembinaan kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.

Apriyanti, Evi. 2010. Penerapan Aneka Sumber Belajar untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Siswa pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP N I Hulu Sungkai (Tesis). Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Arikunto, Suharsimi. 2010. PROSEDUR PENELITIAN Suatu pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka.

Arsyad , Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta : Raja Gafindo Persada.

Atmowiloto, A. 1980. “Sri Asih dalam Tradisi Komik Indonesia : Benturan

Antara Komoditi Fantasi dengan Fiksi Sains. Kompas.29 November 1980. Bonneff, M. 1998. Komik Indonesia (terj. Rahayu S.Hidayat). Jakarta : Gramedia Bundhowi, M. 1999. Komik Strip dan Kartun : Upaya untuk Memadukan Unsur

Kesigapan dan Kepekaan Budaya yang Tinggi pada Pengajaran BIPA. Bandung : KIPBIPA III IKIP BANDUNG.

Budianta, Melani. Dkk. 2003. Membaca SASTRA. Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera.

Br, Dwi Koendoro. 2007. Yuk, Bikin Komik. Bandung : DAR! Mizan.

Darmawan, Hikmat. 2012. How To Make Comics Menurut Para Master Komik Dunia. Yogyakarta: Plotpoint

.

Djuharmie, E.K. dan Asep Juanda. 2004. Bahasa Indonesia untuk SMA kelas XI. Jakarta: Regina

Depdikbud, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Depdiknas. 2000. Model Penilaian Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas


(5)

Franz, K. dan Meir, B. 1994. Membina Minat Baca. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Jusmar, Ahmad.dkk. 2010. Teater Asyik Asyik Teater. Bandarlampung: Teater Satu.

Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia

Kompas. 1990. “Genre Komik yang Cerdas”. 16 Februari 1998.

Kompas. 2013. “Habis Berburu Komik, Terbitlah Banjir Komik”. 27 Januari

2013.

Komaidi, Didik. 2011. Menulis Kreatif. Yogyakarta: Sabda Media.

Kusmayadi, Ismail. 2011. Guru Juga Bisa (Me)Nulis. Bandung: Tinta Emas.

Kosasih, E. 2012. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung : Yrama Widya.

__________. 2006. Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya

Kridalaksana, H. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores : Nusa Indah.

Lestari, Suci. 2009. Media Komik (Jakarta : Universitas Pendidikan Indonesia) hal 4

(Diakses Senin 31 Desember 2012, 9.30 WIB)

McCloud, S. 2001. Understanding Comics : Memahami Komik (terj. S. Kinanti). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Jogyakarta : Gajah Mada Universitas Press.

_____________ . 2005. Sastra Anak. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Sadiman,Arief S. dkk. 2009. MEDIA PENDIDIKAN. Pengertian, Pengembangan, dan Manfaat. Jakarta : Raja Grafindo Persada.


(6)

Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Beroriantasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Persada media Group.

Semi, M. Atar. 1997. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Bandung : Angkasa. Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat teater. Yogyakarta: Media pressindo

Sujana, Nana dan Rivai Ahmad. 1991. Media Pengajaran. Bandung : Sinar Baru Algesindo.

Sumiati dan Asra.2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:

Angkasa

Teeuw. A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar teori Sastra. Bandung Pustaka Jaya.

Waluyo, Dewi Heru. 2006. Komik sebagai Media Komunikasi Visual Pembelajaran. Surabaya : Universitas Kristen Petra.

Waluyo, Herman J. 2006. Drama Teori & Pengajarannya. Jogyakarta : Hanindita Graha Widia.

Wanita Inonesia. 2013. “Pasang Surut Komik Indonesia”. 2-8 Maret 2013.