BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Bawang Merah - PENGARUH VARIASI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH ( Allium ascalonicum L.) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Bawang Merah

  Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan salah satu komoditas tanaman hortikultura yang banyak dikonsumsi manusia sebagai campuran bumbu masak setelah cabe. Selain sebagai campuran bumbu masak, bawang merah juga dijual dalam bentuk olahan seperti ekstrak bawang merah, bubuk, minyak atsiri, bawang goreng bahkan sebagai bahan obat untuk menurunkan kadar kolesterol, gula darah, mencegah penggumpalan darah, menurunkan tekanan darah serta memperlancar aliran darah. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh pemberian pupuk dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Serapan unsur hara dibatasi oleh unsur hara yang berada dalam keadaan minimum (Hukum Minimum Leibig). Dengan demikian status hara terendah akan mengendalikan proses pertumbuhan tanaman. Untuk mencapai pertumbuhan optimal, seluruh unsur hara harus dalam keadaan seimbang, artinya tidak boleh ada satu unsur hara pun yang menjadi faktor pembatas. (Pahan, 2008).

  Bawang merah merupakan salah satu jenis tanaman yang membutuhkan banyak sulfat. Sulfat memegang peranan penting dalam metabolisme tanaman yang berhubungan dengan beberapa parameter penentu kualitas nutrisi tanaman sayuran (Schung 1990). Jumlah S yang dibutuhkan tanaman sama dengan jumlah P, ketajaman aroma tanaman bawang merah berkorelasi

  5 dengan ketersediaan S di dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batas kritis sulfat untuk bawang merah bervariasi antara 50-90 ppm tergantung pada tipe tanahnya. Pemberian S dengan dosis 20-60 ppm meningkatkan serapan S, P, Zn dan Cn, bawang merah membutuhkan S sebanyak 120 kg S/ha. Hilman dan Asgar (1995)

  Dwidjoseputro (1983) mengatakan bahwa di dalam tanah yang mengandung unsur hara serba cukup kecuali unsur kalium, maka penambahan unsur kalium sedikit demi sedikit menghasilkan produksi tanaman yang Respon Bawang Merah meningkat sebanding dengan tambahnya unsur kalium tersebut. Akan tetapi jika persediaan kalium yang tersedia sudah agak leluasa, maka penambahan kalium tidak akan meningkatkan produksi yang sebanding dan jika penambahan unsur kalium diberikan terus, penambahan itu tidak berarti lagi bahkan membahayakan tanaman. Produktivitas maksimum dapat dicapai dengan tidak usah memberikan suatu unsur hara tertentu secara berlebihan, sebab akan sia-sia.

  Walaupun tanaman mudah memperoleh bahan-bahan mentah dalam jumlah yang cukup serta kondisi lingkungan menguntungkan, namun tanaman masih memerlukan suatu mekanisme untuk pengaturan tumbuhnya yang disebut hormone yang dibutuhkan dalam jumlah kecil. Hormon atau zat tumbuh adalah zat kimia yang dibuat di bagian tanaman tertentu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Darmawan dan Baharsjah, 2010).

  Klasifikasi tanaman bawang merah adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Monocotyledonae Ordo : Liliaceae Family : Liliales Genus : Allium Species : Allium ascolonicum L.

  Bawang merah merupakan tanaman semusim berbentuk rumput yang tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm dan membentuk rumpun. Akarnya berbentuk akar serabut yang tidak panjang. Karena sifat perakaran inilah, bawang merah tidak tahan kering. Bentuknya seperti pipa, yakni bulat kecil memanjang antara 50-70 cm, berlubang, bagian ujungnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relaif pendek. (Rukmana, 1994). Bunga bawang merah merupakan bunga majemuk berbentuk tandan yang bertangkai dengan 50-200 kuntum bunga. Pada ujung dan pangkal tangkai mengecil dan dibagian tengah menggembung, bentuknya seperti pipa yang berkubang di dalamnya. angkai tandan bunga ini sangat panjang, lebih tinggi dari daunnya sendiri dan mencapai 30-50 cm. Sedangkan kuntumnya juga bertangkai tetapi pendek, antara 0,2-0,6 cm. Tajuk dan umbi bawang merah serupa dengan bawang Bombay, tetapi ukurannya kecil. Perbedaan yang lainnya adalah umbinya, yang berbentuk seperti buah jambu air, berkulit coklat kemerahan, berkembang secara berkelompok di pangkal tanaman. kelompok ini dapat terdiri dari beberapa hingga 15 umbi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

  Bawang merah adalah tanaman semusim dan memiliki umbi yang berlapis. Tanaman mempunyai akar serabut, dengan daun berbentuk silinder berongga. Umbi terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan membentuk umbi berlapis. Umbi bawang merah terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan bersatu. Umbi bawang merah bukan merupakan umbi sejati seperti kentang atau talas.

2.2 Media Tanam

2.2.1 Tanah Ultisol

  Ultisol hanya ditemukan di daerah-daerah dengan suhu tanah rata-rata lebih dari 8˚C.Ultisol adalah tanah dengan hormon argilik atau kardik bersifat masam dengan kejenuhan basa rendah. Kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 m dari permukaan tanah kurang dari 35%.

  Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak ditemukan di daerah dengan bahan induk bantuan liat. Tanah ini merupakan bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum dipergunakan untuk pertanian. Terdapat tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian jaya. Daerah-daerah ini direncanakan sebagai daerah perluasan areal pertanian dan pembinaan transmigrasi. Sebagian besar merupakan hutan tropika dan padang alang-alang. Problema tanah ini adalah reaksi masam, kadar Al tinggi sehingga menjadi racun tanaman dan menyebabkan fksasi P, unsur hara rendah, diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan.

  a. Faktor-faktor Pembentukan Tanah Ultisol

  Faktor-faktor pembentuk tanah yang banyak mempengaruhi pembentukan Ultisol adalah : Bahan induk : Bahan induk tua, misalnya batuan liat, atau batuan Volkanik masam.

  Iklim : Harus cukup panas (warm) dan basah (humid), di daerah iklim sedang dengan suhu tanah rata- rata lebih dari 8˚C, sampai di daerah tropika.

  Vegetasi : Daerah iklim sedang di didominasi oleh pinus. Di Indonesia vegetasi hutan tropika.

  Ralief : Berombak sampai berbukit. Umur : Tua.

  b. Proses Pembentukan Tanah Ultisol

  Proses pembentukan tanah Ultisol meliputi beberapa proses sebagai berikut :

  1. Pencucuian yang ekstensif terhadap basa-basa merupakan prasyarat.

  Pencucian berjalan sangat lanjut sehingga tanah bereaksi masam, dan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan).

  2. Karena suhu yang cukup panas (lebih dari 8˚C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, akibatnya adalah terjadi pelapukan yang kuat terhadap mineral mudah lapuk, dan terjadi pembentukan mineral liat sekunder dan oksida-oksida. Mineral liat yang terbentuk biasanya didominasi oleh kaolinit, dan gibsit.

  3. Lessivage (pencucian liat), menghasilkan horison albik dilapisan atas (eluviasi), dan horison argilik dilapisan bawah (iluviasi). Sebagian liat di horison argilik merupakan hasil pembentukan setempat (in situ) dari bahan induk.Di daerah tropika horison E mempunyai tekstur lebih halus mengandung bahan organik dan besi lebih tinggi daripada di daerah iklim sedang.Bersamaan dengan proses lessivage tersebut terjadi pula proses podsolisasi dimana sekuioksida (terutama besi) dipindahkan dari horison albik ke horison argilik.

  4. Biocycling, meskipun terjadi pencucian intensif tetapi jumlah basa-basa di permukaan tanah cukup tinggi dan menurun dengan kedalaman. Hal ini disebabkan karena proses Biocycling basa-basa tersebut oleh vegetasi yang ada di situ.

  5. Pembentukan plinthite dan fragipan.

  Plinthite dan fragipan bukan sifat yang menentukan tetapi sering ditemukan pada Ultisol. Biasanya ditemukan pada subsoil di daerah tua.

  Plinthite : Terlihat sebagai karatan berwarna merah terang. Karatan ini terbentuk karena proses reduksi dan oksidasi berganti-ganti. Kalau muncul di permukaan menjadi keras irreversibie dan disebut

  laterit . Karatan merah yang tidak mengeras kalau kering berlebihan bukanlah philtit.

  Plinthite ditemukan mulai kedalaman yang dipengaruhi oleh fluktuasi air tanah. Hanya plinthite yang dapat menghambat drainase yang dalam Taksonomi Tanah (yaitu mengandung 10-15 persen volume atau lebih plinthite = Plinthaquult).

  Fragipan : Pada Ultisol drainase buruk, seperti halnya plinthite, fragipan menghambat gerakan air dalam tanah. Proses pembentukan fragipan masih belum jelas.

  6. Perubahan horison umbrik menjadi mollik Ultisol dengan epipedon umbrik (Umbraquult) dapat berubah menjadi epidedon mollik akibat pengapuran. Walaupun demikian klasifikasi tanah tidak berubah selama lapisan-lapisan yang lebih dalam mempunyai kejenuhan basa rendah. Control Sectiori untuk kejenuhan basa ditetapkan pada kedalaman 1,25 m dari permukaan horison argilik atau 1,80 m dari permukaan tanah (kejenuhan basa kurang dari 35%).

  Hal ini disebabkan untuk menunjukan adanya pencucian yang intensif dan agar klasifikasi tanah tidak berubah akibat pengelolaan tanah.

c. Penggunaan Tanah Ultisol

  Ultisol merupakan daerah luas di dunia yang masih tersisa untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian. Air di daerah ini umumnya cukup tersedia dari curah hujan tinggi. Banyak merupakan daerah perladangan petani primitif. Biasanya memberi produksi yang baik pada beberapa tahun pertama, selama unsur-unsur hara di permukaan tanah yang terkumpul melalui proses byonicle belum habis. Reaksi tanah yang masam, kejenuhan basa rendah, kadar Al yang tinggi, kadar unsur hara yang rendah merupakan penghambat utama untuk pertanian. Untuk penggunaan yang baik diperlukan pengapuran, pemupukan dan pengelolaan yang tepat.

  Penggunaan sebagai hutan dapat mempertahankan kesuburan tanah karena proses reclycing. Basa-basa tercuci ke bagian bawah tanah, diserap oleh akar-akar tanaman hutan dan dikembalikan ke permukaan melalui daun-daun yang gugur. Bila hutan ditebang, maka tanaman semusim atau alang-alang tidak dapat melakukan recyle basa-basa (unsur hara) karena akar-akarnya tidak dalam.

d. Ciri Morfologi Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah.

  Pada klasifikasi lama menurut, Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8. Subagyo

  (1986) Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematite. Eswaran dan Sys (1970).

  Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir, sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut.

  Subagyo, dkk (1986) Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur

  Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus.

  Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat daslam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam taksonomi tanah. Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya bserkembang di atas horizon argilik. Soil Survey Staff (2003)

2.2.2 Limbah Baglog

  Pada umumnya teknologi budidaya yang diterapkan para petani jamur tiram yaitu penggunaan serbuk gergaji sebagai substrat menjadi “baglog” yaitu substrat yang dikemas didalam kantong plastik tahan panas. Adapun karakteristik pertumbuhan jamur tiram pada baglog serbuk gergaji yaitu dalam jangka waktu antara 40-60 hari seluruh permukaan baglog sudah rata ditumbuhi oleh misellium berwarna putih. Satu sampai dua minggu setelah baglog dibuka biasanya akan tumbuh tunas dalam 2-3 hari akan menjadi badan buah yang sempurna untuk dipanen. Pertumbuhan badan buah pada waktu panen telah menunjukkan lebar tudung antara 5-10 cm. Produksi jamur dilakukan dengan memanen badan buah sebanyak 4-5 kali panen dengan rerata 100 g jamur setiap panen. Adapun jarak selang waktu antara masing- masing panen adalah 1-2 minggu (Parlindungan, 2003).

  Baglog sebenarnya hanya efektif bila digunakan untuk menumbuhkan jamur tiram sebanyak 6-10 kali atau sekitar 4-6 bulan dari pemrosesan awal.

  Setelah masa pakainya habis, baglog diambil dan dibongkar. Baglog merupakan limbah budidaya jamur tiram yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Penanganan limbah baglog dimulai dengan memisahkan antara plastik dan media. Plastik dapat dimusnahkan dengan dibakar atau didaur ulang sedangkan media yang kebanyakan berupa serbuk kayu atau jerami dapat diproses menjadi pupuk organik (Warisno dan Kres, 2010).

2.2.3 Arang Sekam

  Menurut data dari Deptan, sekam padi merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari proses penggilingan gabah akan dihasilkan 16,3-28% sekam. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi. Tabel 1. Komposisi Kimiawi Arang Sekam

  Komponen Kandungan (%) Kadar air

  9,02 Protein kasar 3,03 Lemak

  1,18 Serat kasar 35,68 Abu

  17,71 Karbohidrat kasar 33,71 Sumber: Supriati dan Ersi, 2000.

  Daya simpan arang sekam cukup lama, bisa mencapai lebih dari satu tahun. Arang sekam memiliki drainase dan aerasi yang baik, tekstur kasar, ringan, dan sirkulasi udara tinggi karena banyak memiliki pori-pori sehingga kurang dapat menahan air. Oleh karena itu, media ini sangat baik untuk tanaman yang tidak suka media yang terlalu basah atau tergenang air. Arang sekam mengandung unsure mangan (Mn) dan silicon (Si). Namun, bisa dikatakan di dalam media ini tidak terdapat nutreisi atau hara untuk pertumbuhan tanaman. Kelebihan arang sekam adalah kebersihan dan sterilitas media lebih terjamin, bebas dari kotoran maupun organisme yang dapat mengganggu, seperti kutu yang biasa hidup dalam tanah (Supriati dan Ersi, 2000).

  Menurut Purwanto (2007), arang sekam pada padi mudah mengikat air, tidak cepat lapuk, tidak cepat menggumpal dan tidak mudah ditumbuhi fungi dan bakteri. Selain itu, arang sekam dapat menyerap toksik atau racun dan melepaskannya kembali pada saat penyiraman. Pada media ini, akar tanaman dapat tumbuh sempurna karena terjamin kebersihan dan bebas dari jasad renik yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain semua kebersihan itu, arang sekam masih memiliki kelebihan lain, yakni mampu berperan sebagai sumber kalium bagi tanaman.

Dokumen yang terkait

KAJIAN APLIKASI SITOKININ TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA BEBERAPA KOMPOSISI MEDIA TANAM BERBAHAN ORGANIK

2 14 32

Tanaman Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Botani Tanaman

1 1 13

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN ZEOLIT DAN LIMBAH MEDIA TANAM JAMUR TIRAM DI TANAH ULTISOL

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) - DINU WAHYUNI BAB II

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Terong ( Solanum mengolena L.) - PENGARUH PENYIANGAN GULMA DAN DUA VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TERONG ( Solanum melongena L - repository perpustakaan

1 4 11

RESPON PERTUMBUHAN AWAL DAN KADAR Pb BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP DOSIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) YANG BERBEDA DENGAN MEDIA TANAM TERCEMAR Pb - repository perpustakaan

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bawang Merah a. Klasifikasi Bawang Merah - RESPON PERTUMBUHAN AWAL DAN KADAR Pb BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP DOSIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) YANG BERBEDA DENGAN MEDIA TANAM TERCEMAR Pb - repository perpusta

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Bawang Merah - BAB II JOKO SETIAWAN AGROTEKNOLOGI 2018

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L.) - RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium Cepa L.) TERHADAP APLIKASI PUPUK HAYATI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA INTENSITAS PENYIRAMAN AIR BERBEDA - repository per

0 0 12

PENGARUH VARIASI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

0 0 15