Studi Korelasi antara Explanatory Style dengan Learned Helplessness Pasien Stroke Rawat Jalan (dilakukan pada Praktek Dokter Swasta di KOota Bandung).

(1)

v

Universitas Kristen Maranatha Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung. Penelitian menggunakan metode korelasional dan teknik analisis korelasi sebagai cara pengolahan data. Sampel didapatkan dengan menggunakan teknik snowball sampling dengan jumlah sampel sebanyak 12 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner explanatory style yang dimodifikasi berdasarkan alat ukur expanatory style dan teori optimisme dari Seligman (1990) serta kuesioner learned helplessness yang diadaptasi dari alat ukur yang sama buatan Seligman (1990). Kuesioner explanatory style memiliki 24 item sedangkan kuesioner learned helplessness memiliki 20 item. Validitas keduanya menggunakan uji expert validity dan uji reliabilitas dengan metode interrater reliability.

Berdasarkan hasil pengolahan data, didapat bahwa korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness tidaklah signifikan dengan nilai signifikansi (0,300) dan nilai korelasi sebesar (-0,365). Sedangkan untuk korelasi antara sub-dimensi explanatory style dengan learned helplessness, didapati hanya sub-dimensi pervasiveness bad yang memiliki korelasi yaitu sebesar (0,737) dengan nilai signifikansi sebesar (0,015).

Dari penelitian yang sudah dilakukan, peneliti memberi saran agar penelitian selanjutnya dilakukan menggunakan metodologi studi kasus dengan karakteristik sampel yang sama agar dinamika kaitan antara explanatory style dan learned helplessness dapat dilihat dengan lebih mendalam. Selain itu juga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut pada sub-dimensi pervasiveness bad dengan learned helplessness.


(2)

ABSTRACT

This research has been done to see correlation between outpatient’s stroke explanatory style and learned helplessness at doctors in Bandung. This research used correlational methode and analysis technique to analyze the data. Researcher obtained sample through snowball sampling technique and get 12 participants for this research.

The measurement tools that used in this research are explanatory style questionnaire which modified according to Seligman’s (1990) explanatory style questionnaire and optimism theory, and learned helplessness questionnaire which adapted by the same questionnaire made by Seligman (1990). Explanatory style questionnaire consist of 24 items whereas learned helplessness questionnaire consist of 20 items. To see validity, both questionnaire used expert validity and to see reliability, both questionnaire used interrater reliability.

Based on the calculated data, there is no significant correlation between explanatory style and learned helplessness with signification number (0,300) and correlation number (-0,365). Whereas for correlation between explanatory style sub-dimention and learned helplessness, only pervasiveness bad showing correlation which is in (0,737) and signification number (0,015).

From this research, researcher suggest to use case study methode for further research with the same characteristic sample, so the dynamics between explanatory style and learned helplessness can be see deeper. Beside, there should be further research in sub-dimention pervasiveness bad and learned helplessness.


(3)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11


(4)

1.6 Asumsi ... 21

1.7 Hipotesis ... 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Explanatory Style dan Learned Helplessness ... 22

2.1.1 Dua Cara Memandang Kehidupan ... 22

2.1.2 Explanatory Style ... 23

2.1.3 Helplessness ... 25

2.1.4 Learned Helplessness ... 27

2.1.5 Hubungan Antara Learned Helplessness dan Depresi ... 28

2.1.6 Simptom Utama Depresi ... 30

2.2 Stroke ... 31

2.2.1 Jenis-jenis Stroke ... 32

2.2.2 Simptom Umum dari Stroke ... 33

2.2.3 Depresi Pasca Stroke ... 37

2.2.4 Individu dengan Resiko Penyakit Stroke ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 40

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 40

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 41

3.3.1 Variabel Penelitian ... 41


(5)

xii

Universitas Kristen Maranatha

3.4 Alat Ukur ... 43

3.4.1 Kuesioner Explanatory Style dan Learned Helplessness ... 43

3.4.1.1 Alat Ukur Explanatory Style ... 43

3.4.1.2 Kisi-kisi Alat Ukur Explanatory Style ... 43

3.4.1.3 Sistem Penilaian Alat Ukur Explanatory Style ... 44

3.4.1.4 Alat Ukur Learned Helplessness ... 44

3.4.1.5 Kisi-kisi Alat Ukur Learned Helplessness ... 45

3.4.1.6 Sistem Penilaian Alat Ukur Learned Helplessness ... 45

3.4.2 Prosedur Pengisian ... 45

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 46

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 46

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 47

3.5 Populasi dan Teknik Sampling ... 47

3.5.1 Populasi Sasaran ... 47

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 47

3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 48

3.6 Teknik Analisis Data ... 48

3.7 Hipotesis Statistik ... 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 50


(6)

4.2.1 Jenis Kelamin ... 51

4.2.2 Usia ... 51

4.2.3 Pendidikan Terakhir ... 52

4.2.4 Status Marital ... 53

4.2.5 Pekerjaan ... 53

4.3 Hasil Penelitian ... 54

4.3.1 Gambaran Hubungan Explanatory Style dengan Learned Helplessness Explanatory Style ... 54

4.3.2 Explanatory Style ... 54

4.3.3 Learned Helplessness ... 55

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 62

5.2.1 Saran Teoritis ... 62

5.2.2 Saran Praktis ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

DAFTAR RUJUKAN ... 65


(7)

xiv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Explanatory Style ... 43

Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur Learned Helplessness ... 45

Tabel 4.1 Jenis Kelamin Responden ... 51

Tabel 4.2 Usia Responden... 51

Tabel 4.3 Pendidikan Terakhir Responden ... 52

Tabel 4.4 Status Marital Responden ... 53

Tabel 4.5 Pekerjaan Responden ... 53

Tabel 4.6 Gambaran Hubungan Explanatory Style dengan Learned Helplessness ... 54

Tabel 4.7 Explanatory Style ... 54


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 20 Bagan 3.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 40


(9)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Stroke adalah serangan pada otak yang timbul secara mendadak dimana terjadi gangguan fungsi otak sebagian atau menyeluruh sebagai akibat dari gangguan aliran darah oleh karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah tertentu di otak, sehingga menyebabkan sel-sel otak kekurangan darah, oksigen atau zat-zat makanan dan akhirnya dapat terjadi kematian sel-sel tersebut dalam waktu yang relatif singkat (Yayasan Stroke Indonesia, 2011). Stroke terbagi menjadi dua jenis pengkategorian yaitu stroke iskemik dan stroke hemorragik. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Hampir sebagian besar pasien stroke atau sebesar 83% pasien mengalami stroke jenis ini. Pada stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke hemorragik terjadi pada penderita hipertensi (Medicastore, 2011).

Secara global, terdapat sekitar 80 juta penderita stroke. Terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap tahun dan sekitar 4,4 juta diantaranya meninggal dalam waktu 12 bulan (Feigin, 2004 dalam Bethesda Stroke Center 2011). Di


(10)

2

Amerika, stroke merupakan penyakit ketiga yang menyebabkan kematian terbanyak dengan jumlah sekitar 750.000 penderita setiap tahunnya. Data tersebut menunjukkan bahwa setiap 45 menit, ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke (The Stroke Association, 2011).

Di Indonesia, stroke dikategorikan sebagai salah satu penyakit yang tidak menular (PTM). PTM merupakan penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, beberapa jenis penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian adalah stroke, hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Pada tahun 1990-an penderita stroke di Indonesia tercatat sebanyak 500.000 individu dan terus bertambah pada tahun 2000-an. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 berhasil mengumpulkan data yang menunjukkan bahwa di daerah perkotaan kematian yang terjadi akibat stroke pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 15,9%, sedangkan di daerah pedesaan sebesar 11,5%. Hal tersebut menunjukkan PTM, terutama stroke, menyerang cukup banyak individu terutama pada usia produktif (Departemen Kesehatan Indonesia, 2011).

Dampak utama dari penyakit stroke tentu saja terlihat pada aspek fisik. Individu yang mengalami stroke biasanya akan mendapat hambatan pada kerja fungsi tubuh, proses berpikir, kemampuan untuk belajar, serta bagaimana individu merasakan sesuatu dan berkomunikasi. Hal tersebut menjadi suatu kondisi cacat tubuh yang dikeluhkan oleh pasien. Stroke seringkali tidak berdiri sendiri, tetapi beriringan dengan penyakit-penyakit lainnya seperti hipertensi atau tekanan darah tinggi, gangguan irama jantung, diabetes, infeksi paru-paru dan lainnya


(11)

Universitas Kristen Maranatha (Medicastore, 2011). Penyakit tersebut memengaruhi proses pengobatan stroke sehingga bila ada penyakit lain yang menyertai harus bersama-sama diobati juga. Kondisi tersebut biasanya membuat pengobatan bagi pasien stroke menjadi panjang dan membutuhkan waktu yang lama.

Selain memberi dampak pada aspek fisik, stroke juga memberi dampak pada aspek psikologis. Keterhambatan pada kerja fungsi tubuh membuat pasien stroke tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti sebelumnya. Menurut Haryono (1996) dalam Cakrangadinata (2007), penderita pasca stroke yang masih menyandang cacat sisa seringkali mengalami banyak masalah dalam dirinya sehubungan dengan keterbatasan fisiknya. Ruang gerak pasien stroke menjadi terbatas sehingga individu sering menjadi rendah diri, sedih, kecewa, dan putus asa. Individu sering merasa kesal pada saat tangannya tidak dapat menjangkau barang yang hendak dipegang, individu menjadi murung ketika tangannya tidak dapat dipergunakan untuk menulis, kakinya tidak mampu menapak dengan sempurna, dan menjadi marah ketika semua orang tidak lagi mengerti apa yang diucapkannya. Separuh badannya “mati”, separuh kemampuannya menjadi hilang.

Keadaan tersebut menimbulkan perasaan tidak nyaman, yang kemudian dapat menghasilkan perubahan suasana hati (terutama mengarah pada keadaan depresi). Perubahan suasana hati, terutama depresi, akan memberikan dampak dalam proses pengobatan yang sedang dijalani sehingga menjadi hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Depresi pasca stroke biasa terjadi pada 40% pasien dalam waktu 3 bulan setelah mengalami serangan stroke. Prevalensi depresi pasca stroke berkisar antara 20% sampai 65%. Sebagian pasien yang mengalami depresi


(12)

4

akan membaik dalam tahun pertama, namun ada sebagian kecil pasien berkembang menjadi depresi yang lebih kronik. (Pohjasvaara, 1998 dalam Bethesda Stroke Center, 2011).

Dr. Huang, seorang professor rehabilitasi dari Rehabilitation Institute of Chicago, mengatakan bahwa beberapa penderita yang mengalami depresi dapat kehilangan motivasi untuk menjalani rehabilitasi. Mereka merasa kehilangan semangat dan tidak memiliki harapan lagi. Mereka juga seringkali merasa sangat letih (akan situasi yang terjadi), tidak dapat beristirahat dengan baik serta tidak dapat makan dengan enak (National Stroke Association, 2012). Pernyataan tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Titian Wijayadi, seorang terapis pada klinik terapi rawat jalan R.S. Advent di Kota Bandung. Beliau mengatakan bahwa pasien stroke seringkali menghilang jika setelah satu atau dua bulan terapi tidak mendapati kemajuan yang berarti pada dirinya. Pasien-pasien yang kembali datang untuk melanjutkan terapi, saat ditanya mengapa menghilang, ada yang mengatakan bahwa dirinya merasa tidak ada gunanya untuk kembali melakukan terapi jika berkaca pada kondisinya yang tidak menunjukkan banyak kemajuan. Namun ada juga beberapa pasien yang mengatakan bahwa mereka mencari cara berobat lain di luar terapi, yaitu pada pengobatan alternatif.

Kondisi pasien stroke yang mengalami perubahan suasana hati seperti depresi dapat berlanjut pada sikap menyerah terhadap keadaan. Individu terkadang menjadi sulit untuk bekerja sama dengan dokter atau terapis yang merawatnya, bahkan bisa saja memutuskan untuk berhenti mengikuti terapi. Titian Wijayadi juga menyampaikan bahwa pasien yang sudah lebih dari satu kali


(13)

Universitas Kristen Maranatha terserang stroke biasanya akan berpikir percuma melakukan terapi karena kondisi fisik yang sulit untuk kembali normal. Kondisi pasien stroke yang menyerah pada keadaan disebut oleh Seligman (1990) sebagai learned helplessness. Learned helplessness sendiri berarti reaksi menyerah, respon berhenti untuk melakukan kegiatan yang biasa dilakukan yang datang dari keyakinan bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap dirinya (Seligman, 1990).

Berdasarkan penelitian dari Cakrangadinata (2007) mengenai Learned Helplessness pada pasien stroke rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung, diperoleh data bahwa 13 orang (65%) dari 20 pasien mengalami kondisi helpless sedangkan 7 orang (35%) lainnya berada pada kondisi non helpless. Kondisi helpless dapat digolongkan lagi menjadi mildly helpless, moderately helpless, dan severely helpless. Pasien stroke dengan mildly helpless berada dalam kondisi helpless namun masih dalam tahap yang ringan dan lebih mengarah pada optimisme. Pasien stroke dengan moderately helpless berada dalam kondisi helpless yang moderat (sedang) dan perlu diberikan perhatian lebih. Sedangkan untuk pasien stroke dengan severely helpless berarti bahwa kondisi helpless pasien tersebut sudah berada pada tahap gangguan dan harus dilakukan tindakan lebih lanjut. Jika dilihat berdasarkan derajatnya, dari 13 pasien yang mengalami kondisi helpless, 11 orang berada pada kondisi mildly helpless dan 2 orang lainnya berada pada kondisi moderately helpless.

Learned helplessness sendiri berkaitan erat dengan bagaimana individu menjelaskan kepada dirinya mengapa suatu hal bisa terjadi. Cara yang biasa


(14)

6

digunakan individu untuk menjelaskan kepada diri mengapa suatu hal bisa terjadi disebut dengan explanatory style (Seligman, 1990). Explanatory style memiliki tiga dimensi yang membentuknya yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Ketiga dimensi ini setelah dihadapkan pada kejadian baik dan kejadian buruk akan membentuk optimistic atau pessimistic explanatory style dalam diri individu. Masing-masing dimensi ini juga tidak hanya memberikan andil pada jenis explanatory style, tapi juga pada derajat learned helplessness pasien stroke. Explanatory style inilah yang menjadi modulator (pembentuk) utama learned helplessness. Optimistic explanatory style akan menghentikan helplessness dan sebaliknya, pessimistic explanatory style akan memperkuat helplessness (Seligman, 1990).

Pernyataan Seligman mengenai pessimistic explanatory style juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Peterson (1990) yang meneliti bahwa pessimistic explanatory style dapat memperburuk kondisi kesehatan. Pessimistic explanatory style memiliki korelasi yang positif (r = 0,27) dengan seberapa seringnya individu mengalami kondisi sakit dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Individu dengan pessimistic explanatory style kurang berjuang dengan aktif untuk melawan penyakit yang dialaminya dibandingkan individu dengan optimistic explanatory style. Bahkan Jackson, Sellers, Peterson (2001) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pessimistic explanatory style dapat menjadi prediktor untuk kemunculan penyakit yang mungkin akan diderita oleh individu. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pessimistic


(15)

Universitas Kristen Maranatha explanatory style dapat mengembangkan kondisi buruk yang sedang atau nantinya mungkin dialami oleh individu.

Berdasarkan penelitian Cakrangadinata (2007) pada pasien stroke rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung, dari 20 pasien stroke terdapat 4 orang (20%) pasien yang memiliki pessimistic explanatory style. Sedangkan 16 orang (80%) pasien lainnya memiliki optimistic explanatory style. Dari data tabulasi silang didapat bahwa seluruh pasien dengan pessimistic explanatory style berada pada kondisi helpless. Namun pada 16 pasien yang memiliki optimistic explanatory style, ada 9 pasien yang berada pada kondisi helpless sedangkan 7 pasien lainnya pada kondisi non helpless. Bila ditelaah lebih lanjut, satu orang pasien dengan optimistic explanatory style bahkan mengalami kondisi moderately helpless yang berarti bahwa pasien tersebut jika keadannya terus berlanjut maka diperlukan penanganan lebih lanjut. Data tersebut tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Seligman, yaitu bahwa optimistic explanatory style akan menghentikan helplessness.

Cakrangadinata (2007) kemudian membahas lebih lanjut mengenai adanya pasien stroke dengan optimistic explanatory style yang berada pada kondisi moderately helpless. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan pada explanatory style pasien stroke, dimensi permanence dan pervasiveness pasien masuk dalam golongan optimis sedangkan dimensi personalization-nya tergolong pesimis. Meskipun dimensi personalization tidak dapat berdiri sendiri (tanpa dimensi permanence dan pervasiveness) namun penjelasan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa dimensi personalization, terutama jika dihadapkan pada


(16)

8

keadaan buruk dan penghayatan yang negatif akan dukungan keluarga, akan cenderung memberikan pengaruh yang lebih dalam pembentukan derajat learned helplessness. Kesimpulan tersebut berbeda dengan penjelasan Seligman (1990) yang mengatakan bahwa dimensi personalization adalah dimensi yang hanya mengontrol perasaan terhadap diri tanpa mengontrol yang dilakukan oleh diri, sehingga dimensi ini menjadi satu-satunya dimensi yang paling mudah untuk dimanipulasi oleh individu.

Jika melihat pada dimensi permanence, data yang ada menunjukkan bahwa individu dengan permanence yang tergolong pesimis tidak selalu berada dalam kondisi helpless. Sebaliknya, individu dengan dimensi permanence yang tergolong optimis juga tidak selalu berada pada kondisi non helpless. Hal tersebut menurut Cakrangadinata (2007) terjadi karena adanya peran dari pandangan-pandangan religi yang dipegang oleh pasien, meskipun penjelasan tersebut bukan menjadi jawaban yang pasti karena tidak dilakukan penelitian lebih lanjut. Pandangan religi seperti itu sebenarnya banyak dianut oleh individu lainnya di Indonesia. Melalui pandangan tersebut dapat dilihat bahwa dalam setiap peristiwa buruk masih terdapat sisi positif yang bisa diambil dan begitupun dengan peristiwa baik, masih terdapat sisi negatif di dalamnya. Pandangan-pandangan religi tersebut sudah ditanamkan sejak kecil sehingga menjadi bagian dari explanatory style individu.

Selain itu berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada tiga orang penderita stroke rawat jalan, didapati bahwa dua orang pasien pada awal terserang stroke merasa pesimis terhadap kesembuhan dari penyakit yang


(17)

Universitas Kristen Maranatha dideritanya namun tidak menunjukkan simptom-simptom helpless. Sedangkan satu orang pasien lainnya optimis akan kesembuhannya dan tidak menunjukkan simptom helpless. Kedua pasien yang pesimis merasa kondisinya akan sulit kembali pada keadaan normal meskipun sudah menunjukkan perbaikan. Hampir seluruh aspek kehidupan mengalami perubahan, terutama yang berkaitan dengan masalah keuangan. Salah satu pasien menunjukkan perilaku malas untuk pergi ke dokter dan minum obat karena merasa kedua hal itu tidak terlalu berguna dan menghabiskan banyak biaya. Pasien juga tidak melakukan fisioterapi karena terbentur masalah biaya. Namun begitu, pasien mendapat dukungan yang sangat besar dari keluarga agar dapat mandiri dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari.

Sedangkan pasien yang merasa optimis berusaha untuk disiplin dalam mengkonsumsi obat, makanan, dan melakukan kontrol sesuai jadwal. Pasien merasa keadaannya saat ini disebabkan oleh dirinya yang dahulu terlalu sibuk dan tidak memerhatikan kesehatan, sehingga saat ini tidak ingin mengulanginya lagi. Namun untuk fisioterapi pasien hanya melakukannya sendiri di rumah karena terbentur masalah biaya. Pasien merasa bahwa lingkungan keluargalah yang memberinya semangat untuk terus berjuang meskipun ada masalah biaya yang harus dipikirkan. Pasien juga merasa bahwa keputusannya untuk lebih dekat dengan Tuhan dapat membantunya melihat keadaan lebih positif.

Berdasarkan uraian mengenai learned helplessness serta explanatory style di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan penelitian dari Cakrangadinata (2007) untuk mengetahui bagaimana korelasi antara


(18)

10

explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah yang ingin diteliti adalah seberapa besar korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian dilakukan untuk mencari korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

- Sebagai informasi mengenai korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung.


(19)

Universitas Kristen Maranatha - Sebagai bahan masukan bagi ilmu Psikologi, khususnya psikologi

klinis mengenai korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung.

- Sebagai sumbangan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk melanjutkan penelitian mengenai explanatory style dan learned helplessness sehingga penelitian dengan topik tersebut dapat lebih dikembangkan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

- Bagi pasien stroke rawat jalan, dengan mengetahui korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness diharapkan pasien dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk membantu proses penyembuhan pasca stroke yang sedang dijalaninya.

- Bagi pendamping pasien stroke rawat jalan, dengan informasi mengenai korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness pada pasien stroke, diharapkan pendamping dapat memberikan dukungan yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan sehingga pasien stroke dapat didorong untuk menjadi lebih optimis dan kondisi learned helplessness dapat dicegah agar tidak berkembang menjadi lebih buruk.

- Bagi pihak dokter, diharapkan pengetahuan mengenai korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness dapat menjadi tambahan informasi dalam memberikan treatment baik secara fisik maupun


(20)

12

psikis untuk pasien stroke rawat jalan. Selain itu juga dapat menjadi dasar untuk melakukan rujukan bagi pasien stroke pada psikolog jika diperlukan.

1.5 Kerangka Pikir

Serangan stroke dapat dipastikan akan memberi dampak pada individu yang mengalaminya. Secara kasat mata, dampak serangan stroke akan terlihat pada kondisi fisik pasien. Dampak fisiologis pasca stroke yang dialami oleh pasien tergantung pada daerah otak mana yang mengalami gangguan. Beberapa efek yaitu hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau salah satu sisi tubuh, kelemahan atau kelumpuhan lengan atau salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda, dan pusing. Selain itu bicara menjadi tidak jelas, sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh, hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih, ketidakseimbangan tubuh hingga terjatuh, dan pingsan. Disamping efek secara fisiologis, stroke juga bisa menyebabkan dampak secara psikologis, terutama keadaan depresi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi pada individu. Hal-hal itulah yang digambarkan sebagai kondisi pasca stroke (Medicastore, 2011).

Depresi adalah reaksi yang umum dan seringkali terjadi pada penderita penyakit kronis. Sekitar sepertiga dari pasien dengan penyakit kronis dilaporkan mengalami simptom depresi yang moderat atau sedang, sedangkan seperempatnya mengalami depresi yang cukup berat (Rodin & Voshart 1986, dalam Taylor,


(21)

Universitas Kristen Maranatha 1991). Tidak seperti kecemasan yang mungkin hilang selama terjadinya penyakit kronis, depresi dapat menjadi reaksi yang berkepanjangan. Untuk beberapa penyakit, depresi mungkin dapat menetap selama satu tahun atau bahkan lebih, tergantung pada kapan terjadinya penyakit (Lustman, Griffith, & Clouse, 1988; Meyerowitz, 1980; Robinson & Price, 1982; Stern at al., 1977 dalam Taylor, 1991).

Sebelum mengalami stroke, pasien seringkali sudah memiliki pemahaman mengenai penyakit stroke. Pemahaman bisa mereka dapatkan melalui pengalaman orang lain atau melalui info-info kesehatan yang ada. Melalui pemahaman tersebut, pasien stroke akan menjelaskan pada dirinya bagaimana penghayatan mereka terhadap kondisi pasca stroke yang dialaminya. Penjelasan akan penghayatan individu bukan sekedar kata-kata yang terucap. Lebih jauh lagi, penjelasan tersebut adalah kebiasaan dalam berpikir yang dipelajari sejak masa kecil. Cara menjelaskan penghayatan perasaan kepada diri sendiri dikenal dengan explanatory style. Explanatory style adalah suatu kebiasaan bagaimana individu menjelaskan kepada dirinya mengapa suatu hal bisa terjadi (Seligman, 1990). Explanatory style memiliki tiga dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Ketiga dimensi tersebut kemudian akan dihadapkan pada kejadian baik serta kejadian buruk. Hasil penjelasan individu terhadap kejadian tersebut dapat digolongkan pada dua jenis explanatory style, yaitu optimistic explanatory style dan pessimistic explanatory style.

Permanence adalah dimensi explanatory style yang menjelaskan mengenai lama berlangsungnya suatu kejadian. Ketika pasien stroke mengalami keadaan


(22)

14

yang baik ataupun buruk, pasien akan menjelaskan pada dirinya sendiri apakah keadaan tersebut berlangsung untuk jangka waktu yang lama (permanence) atau hanya sementara (temporary). Keadaan baik yang dialami pasien stroke seperti kemampuan untuk berjalan seperti semula atau pandangan kabur yang sudah kembali normal. Sedangkan keadaan buruk yang mungkin dialami pasien stroke seperti makin memburuknya kondisi pasien karena tidak teratur dalam meminum obat. Pada pasien stroke dengan optimistic explanatory style, kondisi pasca stroke dipandang hanya akan terjadi sementara waktu saja. Namun sebaliknya, pasien stroke dengan pessimistic explanatory style akan memandang kondisi pasca stroke sebagai keadaan yang akan terjadi dalam jangka waktu yang lama.

Dimensi kedua explanatory style yaitu pervasiveness, menjelaskan mengenai ruang lingkup dari suatu kejadian. Pervasiveness akan menjelaskan apakah suatu keadaan terjadi pada lingkup tertentu saja (specific) atau pada seluruh lingkup kehidupan pasien (universal). Keadaan baik yang mungkin dialami seperti kemampuan pasien memulihkan beberapa fungsi bagian tubuh sesuai target yang diberikan. Sedangkan keadaan buruknya seperti pasien yang kesulitan menyebutkan kata dengan benar meskipun telah berlatih sejak lama. Pasien stroke dengan optimistic explanatory style akan memandang kondisi pasca stroke yang dialaminya secara spesifik hanya pada bagian yang mengalami gangguan. Sedangkan pasien stroke dengan pessimistic explanatory style akan memandang kondisi pasca stroke sebagai suatu gangguan yang terjadi pada keseluruhan kesehatannya.


(23)

Universitas Kristen Maranatha Dimensi ketiga adalah personalization. Ketika hal buruk terjadi, pasien stroke dapat menyalahkan diri sendiri (internalize) atau orang lain dan lingkungan yang berada di sekitarnya (externalize). Salah satu keadaan buruk yang mungkin terjadi seperti kondisi yang memburuk karena pasien terlalu banyak mengkonsumsi makanan tertentu. Sedangkan keadaan baik yang mungkin terjadi seperti pujian yang didapat karena pasien berhasil pulih dalam waktu yang relatif cepat. Bila pasien stroke memiliki optimistic explanatory style, maka ia akan beranggapan bahwa kondisi kesehatan yang bisa dicapai saat ini terjadi karena dirinya yang berjuang untuk kondisi tersebut. Tetapi bila pasien stroke memiliki pessimistic explanatory style, maka ia akan beranggapan bahwa kondisi kesehatan yang dicapai saat ini terjadi karena banyaknya campur tangan lingkungan sekitar, dan bukan dari dirinya sendiri.

Dari ketiga dimensi tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien stroke dengan optimistic explanatory style akan memandang kejadian baik sebagai suatu hal yang permanen (permanence), terjadi pada seluruh bagian kehidupannya (universal), dan hal tersebut terjadi dikarenakan dirinya (internalize). Sedangkan bagi pasien dengan pessimist explanatory style, kejadian buruklah yang dianggap sebagai suatu hal yang permanen (permanence), memengaruhi seluruh bagian kehidupannya (universal), dan terjadi karena dirinya sendiri (internalize). Pada pasien stroke yang memiliki optimistic explanatory style, kondisi pasca stroke akan dipandang sebagai kejadian yang tidak akan berlangsung lama (temporary) sehingga tidak memengaruhi keseluruhan kehidupannya (specific). Mereka juga tidak akan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi (externalize).


(24)

16

Sedangkan pada pasien stroke dengan pessimist explanatory style, kondisi pasca stroke akan dipandang sebagai kejadian buruk yang permanen (permanence). Kondisi ini juga akan memengaruhi keseluruhan hidupnya (universal), dan individu akan menyalahkan dirinya (internalize) atas kondisi tersebut.

Explanatory style dengan ketiga dimensinya merupakan modulator (pembentuk) utama dari learned helplessness. Learned helplessness adalah reaksi menyerah, respon untuk berhenti (melakukan kegiatan yang biasa dilakukan), yang muncul dari suatu keyakinan bahwa apa yang dilakukan tidak akan memberikan pengaruh apapun pada dirinya (Seligman, 1990). Cara individu menjelaskan pada dirinya mengapa suatu hal dapat terjadi dapat menentukan seberapa helpless individu tersebut. Pada pasien stroke, perilaku learned helplessness salah satunya tercermin dalam perilaku sulit untuk bekerja sama dengan dokter yang merawatnya, bahkan bisa saja memutuskan untuk berhenti mengikuti terapi. Seligman mengatakan bahwa optimistic explanatory style akan menghentikan helplessness, sedangkan pessimistic explanatory style akan mengembangkan helplessness (Seligman, 1990).

Pasien-pasien yang menderita terminal illness biasanya melewati beberapa tahap sebelum sampai pada penerimaan diri akan penyakitnya itu. Stroke tergolong sebagai salah satu terminal illness karena memungkinkan penderitanya mengalami kematian jika tidak dilakukan penanganan yang cepat dan tepat. Menurut teori dari Kubler-Ross dalam Taylor (1991), pasien dengan terminal illness akan melewati tahap penyangkalan (denial), perasaan marah (anger), perundingan (bargaining) dengan Tuhan, depresi (depression), dan pada akhirnya


(25)

Universitas Kristen Maranatha penerimaan diri (acceptance) akan penyakitnya. Karena itu, keadaan depresi sangat umum ditemukan pada pasien dengan terminal illness.

Seligman melihat adanya kesamaan antara depresi dan learned helplessness. Namun untuk menunjukkan bahwa kedua hal tersebut adalah sama, dan bahwa learned helplessness adalah laboratory model dari real-world phenomenon yang disebut dengan depresi, merupakan permasalahan lain (Seligman,1990). Berdasarkan kesimpulan bahwa depresi serupa dengan learned helplessness, maka simptom yang digunakan untuk mendiagnosa derajat depresi adalah sama dengan simptom yang digunakan bagi learned helplessness. Keempat simptom tersebut adalah negative change in thought, negative change in mood, negative change in behavior, and negative change in physical response.

Cara berpikir individu (dalam hal ini pasien stroke) saat mengalami kondisi learned helplessness berbeda dengan saat mereka tidak mengalaminya. Saat berada pada kondisi learned helplessness, pasien stroke akan memiliki pandangan yang buruk terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan. Inti dari cara berpikir saat mengalami kondisi ini adalah pessimistic explanatory style. Simptom yang kedua adalah negative change in mood. Saat berada pada kondisi learned helplessness, pasien stroke akan merasa sangat sedih, sangat tidak bersemangat, serta tenggelam dalam keputusasaan. Selain rasa sedih, pasien stroke juga seringkali merasa cemas serta menjadi lekas marah. Penyebab dari perasaan marah tersebut biasanya ditujukan pada diri sendiri (internal) yang tidak dapat melakukan kegiatan seperti dahulu kala, meskipun terkadang muncul juga kemarahan pada pada orang lain yang mereka anggap tidak mengerti keadaannya.


(26)

18

Pasien stroke juga akan menjadi lekas marah karena kesulitan untuk melakukan hal-hal bahkan yang mudah sekalipun. Individu juga merasa cemas apakah kondisinya dapat kembali seperti sedia kala atau tetap seperti saat ini bahkan menjadi lebih buruk.

Simptom ketiga adalah negative change in behavior. Pada kondisi learned helplessness muncul tiga behavioral symptoms, yaitu passivity, indecisiveness, dan suicidal action. Pasien stroke yang mengalami learned helplessness seringkali tidak mampu untuk memulai kegiatannya bahkan yang rutin sekalipun dan menjadi mudah menyerah jika ada hal yang merintanginya. Simptom yang terakhir adalah negative change in physical response. Kondisi learned helplessness biasa disertai juga dengan undesirable physical symptoms. Semakin berat kondisi learned helplessness maka semakin banyak pula simptom fisiknya. Salah satu bentuknya adalah kehilangan selera, baik itu selera makan atau melakukan hubungan seks yang terjadi dikarenakan anggapan pasien bahwa seluruh lingkup hidupnya tidak lagi seperti dulu. Selain itu, pasien stroke juga bisa mengalami gangguan tidur seperti mudah terbangun dan tidak dapat tidur kembali.

Untuk mendapat diagnosa berada dalam kondisi learned helplessness, pasien stroke tidak perlu memiliki atau menunjukkan keempat simptom tersebut. Namun dengan semakin banyak dan kuat simptom yang dimiliki, maka dapat dipastikan bahwa pasien stroke berada dalam kondisi learned helplessness (Seligman, 1990). Dengan simptom-simptom tersebut, pasien stroke dapat didiagnosa mengalami learned helplessness pada derajat non helpless, mildly


(27)

Universitas Kristen Maranatha helpless, moderately helpless, serta severely helpless. Derajat non helpless menunjukkan tidak adanya kondisi helpless pada diri pasien stroke, mildly helpless menunjukkan adanya kondisi helpless namun masih dalam taraf yang ringan, moderately helpless menunjukkan bahwa kondisi helpless dapat mengarah pada gangguan, dan severely helpless menunjukkan bahwa kondisi helpless sudah berada pada tahap gangguan. Diagnosa keempat derajat tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah berapa lama simptom tersebut dialami oleh pasien stroke.

Seperti dikatakan sebelumnya, explanatory style merupakan modulator (pembentuk) utama dari learned helplessness. Optimistic explanatory style akan menghentikan helplessness, sedangkan pessimistic explanatory style akan mengembangkan helplessness (Seligman, 1990). Pernyataan dari Seligman menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan antara explanatory style dengan learned helplessness. Explanatory style dari pasien stroke akan memengaruhi learned helplessness yang dimilikinya. Jika pasien stroke memiliki optimistic explanatory style maka sesuai teori pasien tersebut tidak akan berada pada kondisi helpless. Sedangkan bagi pasien stroke dengan pessimistic explanatory style akan berada pada kondisi helpless (baik mildly, moderately, maupun severely helpless).

Berikut adalah gambaran kerangka pikir dari korelasi explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan yang dilakukan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung.


(28)

20

Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pikir Pasien Stroke

Rawat Jalan

Kondisi pasca stroke

Explanatory Style - Permanence - Pervasiveness - Personalization

Keadaan Baik (good situation) dan Keadaan

Buruk (bad situation)

Learned Helplessness

Simptom-simptom :

- Negative change in thought - Negative change in mood - Negative change in behavior


(29)

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat didapat asumsi sebagai berikut: − Explanatory style pasien stroke rawat jalan memiliki tiga dimensi,

yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization.

Optimist explanatory style akan menghentikan learned helplessness pasien stroke rawat jalan, sedangkan pessimist explanatory style akan mengembangkan learned helplessness pasien stroke rawat jalan. Explanatory style pasien stroke rawat jalan memiliki korelasi negatif

dengan learned helplessness yang mungkin dimilikinya.

Learned helplessness pada penderita stroke rawat jalan merupakan kondisi yang serupa dengan kondisi depresi (yang timbul secara epidemik).

Learned helplessness pasien stroke rawat jalan memiliki empat simptom utama, yaitu negative changes in thought, negative changes in mood, negative changes in behavior, serta negative changes in physical response.

1.7 Hipotesis

Berdasarkan asumsi yang disampaikan didapat hipotesis penelitian, yaitu: - Terdapat hubungan negatif antara explanatory style dengan learned

helplessness pasien stroke rawat jalan pada dokter swasta di Kota Bandung.


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness 10 orang pasien stroke rawat jalan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Tidak terdapat korelasi negatif yang signifikan antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan.

2. Dari seluruh sub-dimensi explanatory style, hanya sub-dimensi pervasiveness bad yang memiliki korelasi negatif signifikan dengan learned helplessness.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka berikut adalah beberapa saran teoritis yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berkepentingan:

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan metodologi studi kasus dengan karakteristik sampel pasien stroke rawat jalan yang sama agar dinamika kaitan antara explanatory style dan learned helplessness dapat diketahui dengan lebih mendalam.


(31)

Universitas Kristen Maranatha 2. Dilakukan penelitian lebih lanjut antara dimensi Explanatory Style

Pervasiveness Bad dengan Learned Helplessness pasien stroke.

5.2.2 Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka berikut adalah beberapa saran praktis yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berkepentingan:

1. Bagi pasien stroke rawat jalan, untuk memandang keadaan buruk (kondisi pasca stroke) sebagai kondisi yang realistis sehingga tidak melakukan generalisasi pada bagian hidupnya yang lain.

2. Bagi pendamping pasien stroke rawat jalan, agar memberikan dukungan terutama dalam membantu pasien melihat keadaan buruk (kondisi pasca stroke) sebagai hal yang wajar terjadi.

3. Bagi pihak dokter, untuk memberikan informasi seobjektif dan serealistis mungkin bagi pasien mengenai kondisi buruk (kondisi pasca stroke) sehingga pasien paham akan kondisinya dan terhindar dari prasangka buruk akan kondisi yang dialaminya.

4. Bagi pasien stroke yang sudah melakukan treatment, agar dirujuk ke Psikolog sebagai upaya untuk menumbuhkan optimisme dalam melihat kondisi pasca stroke yang dialaminya.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Harrison, Michael J.G.1987. Neurological Skills - A guide to examination and management in Neurology. London: Butterworths

Jackson, Benita; Robert M. Sellers; Christopher Peterson. 2001. Pessimistic Explanatory Style Moderates The Effect of Stress on Physical Illness. Journal. Great Britain: Pergamon Press

Lin, Emily H. dan Christopher Peterson. 1990. Pessimistic Explanatory Style and Response To Illness. Journal. Great Britain: Pergamon Press

Santrock, John. W. Life Span Development. New York: McGraw Hill Companies

Seligman, Martin E. P. 1990. Learned Optimism. New York: Pocket Books

Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta, cv

Snyder, C. R. and Shane J. Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press

Swaffield, Laura. 1990. Stroke. The complete guide to recovery and rehabilitation. Northamptonshire: Thorsons Publishers Limited

Taylor, Shelley E. 1991. Health Psychology, Second Edition. USA: McGraw-Hill, Inc.


(33)

65

Universitas Kristen Maranatha Cakrangadinata. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Learned Helplessness Pada

Pasien Stroke Rawat Jalan Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Bethesda Stroke Centre. 2011. Depresi Pasca Stroke. Melalui

http://www.strokebethesda.com [29/08/11]

Bethesda Stroke Centre. 2011. Mengenali Jenis-Jenis Stroke. Melalui http://www.medicastore.com [8/09/11]

Bethesda Stroke Centre. 2011. Prognogsis Stroke Pada Usia Muda. Melalui http://www.strokebethesda.com [29/08/11]

Departemen Kesehatan . 2011. Penyakit tidak menular (PTM) Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia. Melalui

http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43- newsslider/1637-penyakit-tidak-menular-ptm-penyebab-kematian-terbanyak-di-indonesia.html [8/09/11]

Departamen Kesehatan. 2011. Risiko Utama Penyakit Tidak Menular Disebabkan Rokok. Melalui

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1386-risiko-utama-penyakit-tidak-menular-disebabkan-rokok.html [8/09/11]

Mediacastore. 2012. Stroke Iskemik. Melalui http://www.medicastore.com [28/08/12]

Medicastrore. 2011. Stroke, Pembunuh No.3 di Indonesia. Melalui http://www.medicastore.com [18/09/11]

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

The Stroke Association. 2011. About Stroke. Melalui

http://www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/About-Stroke_UCM_308529_SubHomePage.jsp [30/09/11]

The Stroke Association. 2012. Recovery After Stroke: Coping With Emotion. Melalui http://www.stroke.org [9/08/12]

The Stroke Association. 2012. Recovery After Stroke: Social Support. Melalui http://www.stroke.org [9/08/12]

Yayasan Stroke Indonesia. 2011. Sekilas tentang stroke. Melalui http://www.yastroki.or.id/read.php?id=361 [5/12/11]


(1)

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pikir Pasien Stroke

Rawat Jalan

Kondisi pasca stroke

Explanatory Style - Permanence - Pervasiveness - Personalization

Keadaan Baik (good situation) dan Keadaan

Buruk (bad situation)

Learned Helplessness

Simptom-simptom :

- Negative change in thought - Negative change in mood - Negative change in behavior


(2)

21

1.6 Asumsi

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat didapat asumsi sebagai berikut: − Explanatory style pasien stroke rawat jalan memiliki tiga dimensi,

yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization.

Optimist explanatory style akan menghentikan learned helplessness pasien stroke rawat jalan, sedangkan pessimist explanatory style akan mengembangkan learned helplessness pasien stroke rawat jalan. Explanatory style pasien stroke rawat jalan memiliki korelasi negatif

dengan learned helplessness yang mungkin dimilikinya.

Learned helplessness pada penderita stroke rawat jalan merupakan kondisi yang serupa dengan kondisi depresi (yang timbul secara epidemik).

Learned helplessness pasien stroke rawat jalan memiliki empat simptom utama, yaitu negative changes in thought, negative changes in mood, negative changes in behavior, serta negative changes in physical response.

1.7 Hipotesis

Berdasarkan asumsi yang disampaikan didapat hipotesis penelitian, yaitu: - Terdapat hubungan negatif antara explanatory style dengan learned

helplessness pasien stroke rawat jalan pada dokter swasta di Kota Bandung.


(3)

62

Universitas Kristen Maranatha 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai korelasi antara explanatory style dengan learned helplessness 10 orang pasien stroke rawat jalan pada praktek dokter swasta di Kota Bandung maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Tidak terdapat korelasi negatif yang signifikan antara explanatory style dengan learned helplessness pasien stroke rawat jalan.

2. Dari seluruh sub-dimensi explanatory style, hanya sub-dimensi pervasiveness bad yang memiliki korelasi negatif signifikan dengan learned helplessness.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka berikut adalah beberapa saran teoritis yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berkepentingan:

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan metodologi studi kasus dengan karakteristik sampel pasien stroke rawat jalan yang sama agar dinamika kaitan antara explanatory style dan learned helplessness dapat diketahui dengan lebih mendalam.


(4)

63

2. Dilakukan penelitian lebih lanjut antara dimensi Explanatory Style Pervasiveness Bad dengan Learned Helplessness pasien stroke.

5.2.2 Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka berikut adalah beberapa saran praktis yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berkepentingan:

1. Bagi pasien stroke rawat jalan, untuk memandang keadaan buruk (kondisi pasca stroke) sebagai kondisi yang realistis sehingga tidak melakukan generalisasi pada bagian hidupnya yang lain.

2. Bagi pendamping pasien stroke rawat jalan, agar memberikan dukungan terutama dalam membantu pasien melihat keadaan buruk (kondisi pasca stroke) sebagai hal yang wajar terjadi.

3. Bagi pihak dokter, untuk memberikan informasi seobjektif dan serealistis mungkin bagi pasien mengenai kondisi buruk (kondisi pasca stroke) sehingga pasien paham akan kondisinya dan terhindar dari prasangka buruk akan kondisi yang dialaminya.

4. Bagi pasien stroke yang sudah melakukan treatment, agar dirujuk ke Psikolog sebagai upaya untuk menumbuhkan optimisme dalam melihat kondisi pasca stroke yang dialaminya.


(5)

64

Universitas Kristen Maranatha

Jackson, Benita; Robert M. Sellers; Christopher Peterson. 2001. Pessimistic Explanatory Style Moderates The Effect of Stress on Physical Illness. Journal. Great Britain: Pergamon Press

Lin, Emily H. dan Christopher Peterson. 1990. Pessimistic Explanatory Style and Response To Illness. Journal. Great Britain: Pergamon Press

Santrock, John. W. Life Span Development. New York: McGraw Hill Companies

Seligman, Martin E. P. 1990. Learned Optimism. New York: Pocket Books

Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta, cv

Snyder, C. R. and Shane J. Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press

Swaffield, Laura. 1990. Stroke. The complete guide to recovery and rehabilitation. Northamptonshire: Thorsons Publishers Limited

Taylor, Shelley E. 1991. Health Psychology, Second Edition. USA: McGraw-Hill, Inc.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Cakrangadinata. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Learned Helplessness Pada Pasien Stroke Rawat Jalan Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Bethesda Stroke Centre. 2011. Depresi Pasca Stroke. Melalui

http://www.strokebethesda.com [29/08/11]

Bethesda Stroke Centre. 2011. Mengenali Jenis-Jenis Stroke. Melalui http://www.medicastore.com [8/09/11]

Bethesda Stroke Centre. 2011. Prognogsis Stroke Pada Usia Muda. Melalui http://www.strokebethesda.com [29/08/11]

Departemen Kesehatan . 2011. Penyakit tidak menular (PTM) Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia. Melalui

http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43- newsslider/1637-penyakit-tidak-menular-ptm-penyebab-kematian-terbanyak-di-indonesia.html [8/09/11]

Departamen Kesehatan. 2011. Risiko Utama Penyakit Tidak Menular Disebabkan Rokok. Melalui

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1386-risiko-utama-penyakit-tidak-menular-disebabkan-rokok.html [8/09/11]

Mediacastore. 2012. Stroke Iskemik. Melalui http://www.medicastore.com [28/08/12]

Medicastrore. 2011. Stroke, Pembunuh No.3 di Indonesia. Melalui http://www.medicastore.com [18/09/11]

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

The Stroke Association. 2011. About Stroke. Melalui

http://www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/About-Stroke_UCM_308529_SubHomePage.jsp [30/09/11]

The Stroke Association. 2012. Recovery After Stroke: Coping With Emotion. Melalui http://www.stroke.org [9/08/12]

The Stroke Association. 2012. Recovery After Stroke: Social Support. Melalui http://www.stroke.org [9/08/12]