Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Di Kota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style

(1)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

GAMBARAN LEARNED HELPLESSNESS PADA SUPIR ANGKUTAN DIKOTA MEDAN DITINJAU DARI EXPLANATORY STYLE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

Eva Anggi Sitompul 051301113

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMTERA UTARA


(2)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Gambaran learned helplessness pada supir angkutan dikota Medan ditinjau dari explanatory style

Eva Anggi Sitompul dan Arliza Juairiani L. M. Si, psi

ABSTRAK

Supir angkutan umum adalah salah satu jenis pekerjaan yang memiliki muatan stres yang besar. Pekerjaan ini memiliki peraturan, sistem yang tidak efisien, serta tuntutan kerja yang besar, yang mana tidak sebanding dengan apa yang individu peroleh dari pekerjaan itu. Kondisi yang sangat menekan ini membuat para supir angkutan umum merasa frustasi dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan yang dialami supir tergantung pada bagaimana cara supir menjelaskan dan menginterpretasi kejadian-kejadian yang dialaminya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran learned helplessness pada supir angkutan di kota Medan ditinjau dari explanatory style. Alat ukur yang digunakan adalah skala Explanatory Style yang disusun berdasarkan tiga dimensi (pervasiveness, permanence, dan personalization) yang diungkap oleh Abramson (1978). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Sampel berjumlah 103 supir angkutan umum di kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa supir angkutan umum secara umum tidak terlalu rentan terhadap learned helplessness. Sedangkan pada dimensi

pervasiveness, 57 orang (55,34%) berada pada kategori global. Pada dimensi permanence, 57 orang (55,34%) berada pada kategori unstable. Pada dimensi

personalization, 36 orang (34,94%) berada pada kategori external.


(3)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

The description of learned helplessness of public driver based on explanatory style

Eva Anggi Sitompul dan Arliza Juairiani L. M. Si, psi

ABSTRACT

Public driver is one of stressful job. This job have rules and system unefficient, and big stain that can not compared with people receied from the job. Thiz situation make they feel bedevil and helpless. Helplessness that they have, based on the way they interprete and explain the event.

The research aims to know the description of leaner helplessness public driver. Measurement tools that was used is Explanatory Style scale expressed by Abramson et al. (1978). The method used was descriptive quantitative method. Sampling technique used was incidental sampling. The total sample was 103 public drivers in Medan.

The results of research indicated public driver is not too susceptible in helplessness. While in dimension of pervasiveness, 57 people (55,34%) are in global category. In dimension of permanence, 57 people (55,34%) are in unstable category. In dimension of personalization, 57 people (34,95%) are in external category.


(4)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kemurahan dan kasih karunia dalam penyelesaian skripsi yang berjudul gambaran learned helplessness pada supir angkutan di kota Medan. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas USU Medan.

Penulis menyadari bahwa skripsi tidak akan terwujud tanpa bantuan dari banyak pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyunan skripsi. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Arliza Juairiani L., M.Si., psi. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran, arahan dan waktu yang diluangkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Desvi Yanti Mukhtar, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik, Juli Irmayani S., M.Si, dan Ridhoi Meilona, M. Si atas kesediaannya menjadi dosen penguji skripsi penulis.

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU atas bimbingan, saran, dan diskusi mengenai skripsi.

5. Keluarga tercinta yaitu Alm. Burhan Sitompul dan Alm. Purnama Panjaitan, Susan, Grace, dan Joy, dan seluruh keluarga besar Sitompul dan Panjaitan yang seudah memberi dukungan dan bantuan selama penyelesaian skripsi ini.


(5)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

6. Pihak dinas Perhubungan yang sudah memberi izin pengambilan data di kantor dan di lapangan. Para supir angkutan umum yang telah bersedia mengisi skala penelitian saya.

7. Teman-teman Psikologi, yaitu Elsa, Nova, Ezra, Ela, Maria, Purnama, Yulinda, Sita, Nani, Novi, Dewi, Afni, Efnita. Teman-teman SMA, yaitu Merina, Sinta, Sabrina, Etha. Teman-teman lainnya Niko, Anderson, Jon, Rafles, Hombar. Terimakasih sudah membantu saya menyebar skala dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

Seluruh skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihaak guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagu banyak pihak.

Medan, Desember 2009


(6)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ABSTRAK

ABSTRAK BAHASA INGGRIS KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalh B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Sistematika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Explanatory Style

1. Pengertian explanatory style 2. Dimensi-dimensi explanatory style 3. Tipe-tipe explanatory style


(7)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

5. Efek learned helplessness

6. Kaitan learned helplessness dan explanatory style B. Supir Angkutan Umum

1. Pengertian supir angkutan umum

2. Sistem angkutan umum dan kondisi kerja supir angkutan umum

C. Gambaran Learned Helplessness pada Sopir Angkutan Umum di Kota Medan

BAB III METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Peneltian

B. Defeinisi Operasional Variabel Penelitian

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

2. Sampel

3. Metode pengambilan sampel D. Alat Ukur yang Digunakan

1. Validitas alat ukur 2. Daya beda aitem 3. Reliabilitas alat ukur 4. Hasil uji coba alat ukur E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian


(8)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

2. Persiapan penelitian 3. Pelaksanaan penelitian 4. Pengolahan data F. Metode Analisa Data

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data

1. Gambaran umum subjek peneltian 2. Hasil peneltian

B. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

B. Saran


(9)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Distribusi Aitem Skala Explanatory Style Sebelum Uji Coba Tabel 2. Blue Print Distribusi Aitem Skala Explanatory Style Setelah Uji Coba Tabel 3. Blue Print Distribusi Aitem Skala Explanatory Style yang Digunakan

dalam Penelitian

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Skala Explanatory Style pada Supir Angkutan Umum di Kota Medan

Tabel 5. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Dimensi Pervasiveness

Tabel 6. Kriteria Kategorisasi Skor Explanatory Style Supir Angkutan Umum Di Kota Medan berdasarkan Dimensi Pervasiveness

Tabel 7. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Dimensi Permanence

Tabel 8. Kriteria Kategorisasi Skor Explanatory Style Supir Angkutan Umum Di Kota Medan berdasarkan Dimensi Permanence

Tabel 9. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Dimensi Personalization

Tabel 10. Kriteria Kategorisasi Skor Explanatory Style Supir Angkutan Umum Di Kota Medan berdasarkan Dimensi Personalization

Tabel 11. Gambaran Learned Helplessness pada Supir Angkutan di Kota Medan Tabel 12. Gambaran Learned Helplessness pada Supir Angkutan di Kota Medan

berdasarkan Usia

Tabel 13. Gambaran Learned Helplessness pada Supir Angkutan di Kota Medan berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tabel 14. Gambaran Learned Helplessness pada Supir Angkutan di Kota Medan berdasarkan Lama Bekerja sebagai Supir

Tabel 15. Gambaran Learned Helplessness pada Supir Angkutan di Kota Medan berdasarkan Status Pernikahan

Tabel 16. Gambaran Explanatory Style pada Supir Angkutan di Kota Medan berdasarkan Tanggungan Anak


(10)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari


(11)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah berkenaan dengan transportasi. Transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah (Undang-Undang Lalu Lintas No.14 Tahun 1992). Dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan Negara.

Undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan keluar Negeri. Akibat adanya peranan transportasi tersebut, maka Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus ditata dalam satu sistem Transportasi Nasional secara terpadu dan harus mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Transportasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara umum adalah transportasi jalan. Transportasi jalan merupakan salah satu moda transportasi


(12)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

nasional yang diselenggarakan berdasarkan asas kepentingan umum, maksudnya bahwa penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan harus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas (Undang-undang Lalu Lintas No 14 Tahun 1992 Pasal 2).

Hal tersebut tidak sesuai dengan fakta yang dihadapi di lapangan. Para supir menunjukkan masalah dalam perilaku berlalu lintas yang tidak hanya menyebabkan kerusakan properti, tetapi juga mengakibatkan penderitaan bagi orang lain. Data ini diambil dari sebuah media cetak yang menyatakan sebuah tulisan yang mengankat masalah lalu lintas yang menampilkan masalah perilaku berlalu lintas yang ditunjukkan oleh kendaraan umum sebagai pelakunya (Murniati, 1995).

Data dari Ditlantas Metro Jaya di kawasan Jakarta menunjukkan total kendaraan umum yang terdiri dari metromini, bus, mikro bus, mikrolet, dan angkutan pinggir kota berjumlah kurang lebih 20.000 buah. Akan tetapi dalam satu triwulan tahun 1994, tercatat ada 20.000 kasus pelanggaran lalu lintas dimana yang paling mendominasi pelanggaran adalah jenis kendaraan umum metromini, yaitu sebesar 40% dari total pelanggaran yang ada. Jumlah ini termasuk besar bila dilihat bahwa jumlah metromini yang beroperasi hanya 12% dari total kendaraan umum yang ada. Sebuah media cetak yang mengangkat masalah lalu lintas menyatakan bahwa tingginya angka kecelakaan lalu lintas sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia (89,6%) , dalam hal ini adalah pengendara (sopir) metromini (Murniati, 1995).


(13)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Masalah pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh sopir metromini pada umumnya adalah perilaku ugal-ugalan. Jayapuspito (dalam Muniarti, 1995), mantan Kepala Akademi LLAJR (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya), menyatakan bahwa perilaku ugal-ugalan ini termasuk: menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi dan saling mendahului, menurunkan penumpang dan dipindahkan ke metromini lainnya, tidak mau mengangkat pelajar, menjejalkan penumpang meskipun telah penuh, menurunkan penumpang sambil berjalan, seenaknya saja berhenti tanpa mempedulikan keadaan lalu lintas sekelilingnya, tidak sampai tujuan, dan memutar balik di perjalanan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Muluk (1995) dalam penelitiannya pada sopir metromini. Muluk menambahkan, perilaku ugal-ugalan lainnya seperti mengemudikan kendaraan bukan di jalurnya dan menginjak rem dengan mendadak.

Hal tersebutlah yang membuat sopir metromini sering sekali menjadi sasaran tudingan sebagai sumber penyebab kecelakaan lalu lintas (Murniati, 1995). Prawasti (1995) juga menambahkan bahwa masalah perilaku berlalu lintas tidak hanya merupakan adanya ketidakberesan pada faktor internal (pengendara metromini), tetapi juga pada faktor eksternal (sistem pengelolaan metromini, sistem penegakan hukum).

Menurut hasil survey, para sopir metromini ini mengaku mereka melakukan perilaku ugal-ugalan yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas dikarenakan mereka dikejar setoran dan pungutan-pungutan dari berbagai pihak yang dirasakan sangat menghimpit mereka. Perilaku ugal-ugalan ini yang menunjukkan ketidakdisiplinan dan rendahnya tanggung jawab awak metromini (Muluk,1995).


(14)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Murniati (1995) juga mengemukakan kondisi lain yang dihadapi oleh para supir. Murniati menyebutkan bahwa posisi supir metromini sangat terjepit. Disatu pihak, ia dituntut akan setoran yang cukup tinggi. Dilain pihak, keadaan dilapangan tidak mendukung dirinya untuk mencapai target setoran: saingan dari kendaraan umum lainnya ditambah banyaknya “ranjau” sepanjang rute kendaraannya. Pada umumnya, setiap hari mereka mampu memperoleh pendapatan sekitar Rp. 100.000,- sampai Rp. 120.000,-. Namun uang tersebut harus dipotong dengan setoran sebesar Rp. 90.000,- sampai Rp. 100.000,-. Mereka hanya dapat membawa pulang uang sekitar Rp. 15.000,- sampai Rp. 20.000,-.

Hal ini terlihat juga pada supir angkutan di kota Medan. Berikut adalah komunikasi personal dengan salah satu supir angkutan umum Trayek 64 jurusan Amplas-Pinang Baris.

“Oh setoran ini sekarang, kadang ada yang 100 ribu ya kan, ada juga yang 90 ribu, nengok motornya juga. Itupun kadang gak dapat. Kadang gak ada yang dibawa pulang, cuma capeknya ajalah sama kita. Cari setoran inilah yang paling sulit. Macam mana lah ku bilang ya, tahunya kita ini sopir. Kadang gak dapat setoran kita, padahal uda narik sampai jam 12 gitu dari jam 5 pagi”. Budi (Komunikasi personal, 30 April 2009)

Hal lain juga disampaikan oleh salah seorang supir angkutan umum Trayek 64 jurusan Amplas-Pinang Baris, berkenaan dengan pendapatan yang mereka peroleh berkurang. Berikut ini pernyataannya:

“Cemanala,jadi kalau misalnya mau dari Pinang Baris ke Amplas lagi paling dapat 15ribu sampe 20 ribu, atau mau 10 ribu atau 7 ribu. Minyak pun gak dapat kalau satu trip. Cari setoran inilah yang sulit. Setoran ada yang 100, ada yang 90. Dari mana dapat itu, mau ke Amplas, atau mau satu trip, kadang ga dapat 20 ribu atau 30 ribu.”


(15)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Pemilik metromini juga tidak mau tahu bahwa hari itu setoran tidak cukup karena kena tilang polisi atau rit-nya kurang karena ada kemacetan atau karena kendaraan mogok. Tanggung jawab pemilik adalah memelihara kondisi bus sehingga bisa dieksploitasi bersama-sama dengan sopir, termasuk ganti oli, ban, aki, dan sebagainya. Dari segi manajemen, metromini tersebut jelas terlihat beratnya beban yang harus dipikul para sopir angkutan umum (Murniati, 1995).

Keadaan ini juga lebih berat lagi pada realisasinya dilapangan. Muluk (1995) menyatakan adanya sistem yang dianggap sangat tidak efisien dengan sistem peraturan, pembagian jalur yang tumpang tindih, tingkat kompetisi antara sesama metromini yang tinggi, aturan main yang tidak jelas pada supir metromini. Murniati (1995) juga menyatakan bahwa pada rute-rute tertentu, jumlah kendaraan yang beroperasi cukup banyak, sehingga bila metromini itu dibariskan mungkin jarak antara satu dengan yang lainnya tidak sampai setengah kilometer.

Hal ini terlihat juga pada sopir angkutan umum di kota Medan. Berikut adalah hasil wawancara dengan salah seorang supir angkutan umum Trayek 64 jurusan Amplas-Pinang Baris.

“Kesulitannya ya, terlalu banyak armada dalam satu trayek, biasanya kan delapan puluhan plafon. Ini kadang sampai dua ratusan. Rata-rata jalan 150 ini satu hari. Itulah, otomatis pendapatan kita gak ada. Gak ada bawa apa-apa ke rumah, kalo ada itulah yang ku kasih.”

Ian (Komunikasi personal, 30 April 2009)

Muluk (1995) juga menambahkan bahwa kondisi yang dialami sopir metromini juga diperparah oleh pengoprasian yang memakan biaya tinggi, serta pelaksanaan di lapangan yang memungkinkan terjadinya berbagai penyelewengan. Hal tersebut dimulai dari pengajuan trayek, sistem pengajuan


(16)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

KIR sampai pengontrolan pengoperasiannya di lapangan yang sangat memungkinkan aparat untuk melakukan manipulasi, belum lagi ditambah oleh ulah oknum-oknum preman membuat biaya metromini tersebut menjadi semakin tinggi. Biaya ini harus ditanggung oleh para pemilik Metromini apalagi dengan tingkat suku bunga bank yang tinggi, pembayaran cicilan ini dibebankan pada sopir dengan mengejar setoran.

Pembagio (dalam Muluk, 1995), Sekretaris Eksekutif YLKI mengibaratkan sopir itu kepala keluarga dari sebuah keluarga besar yang harus menghidupi banyak pihak. Sopir itu harus menghidupi keluarganya sendiri, ke pemilik mobil, juga pada aparat yang harus ia setori sebagai pungutan-pungutan tidak resmi, kepada preman dan penjaga di beberapa pos tertentu. Itu hanya dari segi setoran, namun dari segi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya juga sangat berat. Sopir dituntut untuk menjamin keselamatan banyak orang, tetapi dilain pihak imbalan yang diberikan baik dalam bentuk materil (gaji, tunjangan, dan sebagainya) dan non-materil (pujian, penghargaan, dan sebagainya) sangatlah tidak memadai. Posisi ini membuat profesi sopir terjepit ditengah-tengah banyak kepentingan.

Kondisi ini jelas menimbulkan stres dan diperkuat lagi dengan fakta bahwa pekerjaan sebagai supir adalah pekerjaan dengan muatan stres yang tinggi (Muluk, 1995). Pekerjaan sebagai supir kendaraan umum mempunyai nilai stres psikososial yang tinggi, karena pekerjaan ini langsung berhubungan dengan orang banyak. Sarafino (dalam Muluk, 1995) menyatakan adanya faktor-faktor yang membuat suatu pekerjaan itu memuat beban stres yang tinggi yaitu yang pertama,


(17)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

pekerjaan itu memiliki beban kerja yang tinggi, seperti pada individu yang bekerja terlalu keras dan lembur, karena keharusan untuk mengerjakannya, mungkin karena alasan uang atau yang lainnya. Hal tersebut dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan dan masalah-masalah kesehatan. Kedua, jenis pekerjaan itu sendiri lebih mengandung muatan stress yang lebih besar daripada jenis pekerjaan lainnya, seperti pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak dan pekerjaan yang harus menilai dan mempertanggungjawabkan pekerjaan seseorang.

Sarafino (dalam Muluk, 1995) menyatakan beberapa aspek yang dapat menimbulkan stres bagi pekerja yag disebabkan karena lingkungan fisik yang menekan (seperti kebisingan, temperatur atau panas yang terlalu tinggi), kurangnya kontrol yang dirasakan, kurangnya hubungan interpersonal, dan kurangnya pengakuan dan dukungan sosial terhadap pekerjaan atau pentingnya pekerjaan tersebut. Sehingga para pekerja merasa stres karena tidak mendapat penghargaan dan promosi yang layak.

Sejalan dengan yang dikemukakan Sarafino, Sutherland & Cooper (dalam Muluk 1995) mengidentifikasi sumber-sumber stres kerja, terbagi atas dua, yaitu pertama, yang berasal dari pekerjaan, seperti sumber stres dari pekerjaan (berupa beban kerja, fasilitas kerja yang kurang, proses pengambilan keputusan yang lama), konflik peran dan tanggung jawab di dalam pekerjaan yang tidak jelas, masalah dalam berhubungan dengan orang lain, perkembangan karir dan keselamatan kerja, serta iklim, budaya , dan struktur organisasi. Kedua, stres yang berasal dari interaksi antara lingkungan sosial dengan pekerjaan, yaitu adanya


(18)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga. Muluk (1995) menyatakan bahwa para sopir menganggap bahwa sistem peraturan, pembagian jalur, dan tingkat kompetisi yang sangat efisien. Sedangkan tuntutan kerja yang sangat tinggi seperti uang izin trayek, setoran, tingkat suku bunga yang tinggi, dan cicilan kendaraan yang dibebankan pada supir, sementara supir tidak boleh menaikkan ongkos angkutan per penumpang.

Menurut Lazaro & Folkman (1986), stres adalah suatu keadaan dimana transaksi mengarahkan individu pada persepsi akan sebuah kesenjangan antara tuntutan fisik dan psikologis dari suatu situasi dan sumber sumber yang berasal dari biologis, psikologis, dan sistem sosial yang dimilikinya (dalam Sarafino, 2006).

Sejalan dengan defenisi tersebut, Bell (1978) menyatakan bahwa dalam berinteraksi dengan lingkungannya seseorang akan mempersepsikan apakah sumber-sumber stres (obyek fisik, individu, dan lingkungan) masih dalam batas optimal atau sudah berada diluar batas optimal seseorang dalam menanggungnya. Seperti yang juga dialami oleh para supir angkutan, persepsi mereka terhadap sistem angkutan umum sudah cenderung pada taraf menimbulkan ancaman dan sudah berada di luar batas optimal (Muluk, 1995). Selain itu, Mackay & Cox (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap tugas juga dapat mengahasilkan stres dalam dua hal. Pertama, beban kerja yang terlalu tinggi. Beberapa individu bekerja dengan sangat keras dalam jangka waktu yang lama karena mereka merasa diharuskan untuk melakukan hal itu. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kelebihan beban kerja dapat dikaitkan dengan peningkatan


(19)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

masalah kesehatan dan angka kecelakaan. Hal ini sesuai dengan data Ditlantas Polri bahwa tingginya angka kecelakaan lalu lintas para supir kendaraan umum (Murniati, 1995). Kedua, beberapa jenis aktivitas pekerjaan memang lebih cenderung mengarah pada stres dari pada yang lainnya. Kondisi yang memberatkan supir seperti sistem transportasi yang tidak efisien, sistem pembagian jalur yang tumpang tindih, tingkat kompetisi antar supir, peraturan pengoperasian yang tidak jelas, biaya pengoperasian, izin trayek, pembayaran cicilan kendaraan, dan setoran membuat supir hanya mampu menumpuk penumpang sebanyak-banyaknya dalam kendaraan (Sarafino, 2006). Sarafino (dalam Muluk, 1995) menegaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang menuntut tanggung jawab bagi kehidupan manusia adalah jenis-jenis dengan tingkat stres yang tinggi, karena harus menghadapi situasi dimana ia berurusan dengan kehidupan dan kematian setiap harinya, seperti pada tenaga medis, pengendara kendaraan umum juga termasuk didalamnya (Muluk, 1995).

Lebih lanjut, Sarafino (2006) juga menyatakan bahwa sumber-sumber stres dapat menghasilkan ketegangan (beban) pada sistem sosial, biologis, dan psikologis individu. Secara biologis, individu akan mengalami peningkatan detak jantung, pernafasan, rangka otot akan gemetar, sistem saraf dan sistem endokrin akan mengalami peningkatan. Secara psikologis, stres akan mempengaruhi kognisi, emosi, dan perilaku sosial. Lepore pada tahun 1997 (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa pada kognisi, stres dapat mengganggu fungsi kognitif, seperti menggangu perhatian. Individu akan menolak dan melakukan interpretasi yang salah pada informasi yang penting dalam suatu pertanyaan, atau mereka sulit


(20)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

memberi jawaban. Tingkat stres yang tinggi akan mempengaruhi ingatan dan perhatian individu. Namun, selain mengganggu perhatian, tenyata Cahill (dalam Sarafino, 2006) menyatakan stres juga dapat meningkatkan perhatian kita, khususnya terhadap sumber stres. Sedangkan dalam hal perilaku sosial, Sarafino (2006) menyatakan bahwa stres dapat membuat individu menjadi kurang bersosialisasi, kurang memperhatikan sesama, dan lebih kasar serta tidak sensitif terhadap orang lain. Ketika stres diikuti oleh kemarahan, maka perilaku sosial yg negatif akan muncul, yaitu peningkatan pada perilaku agresi (Donnerstein & Wilson; dalam Sarafino, 2006). Muluk (1995) menyatakan bahwa dalam situasi yang kurang mendapat dukungan, mereka melakukan ugal-ugalan sebagai coping dari perasaan apatis, tidak peduli dan tidak bertanggung jawab karena mereka belajar bahwa sistem tidak memihak mereka untuk berlaku benar, disiplin dan teratur. Terakhir, stres juga mempengaruhi emosi. Sarafino (1996) menyatakan bahwa ketakutan, kemarahan, perasaan sedih dan depresi merupakan reaksi umum individu terhadap stres secara emosional. Individu yang marah, umumnya terjadi ketika individu tersebut mempersepsikan bahwa situasi itu merupakan hal yang berbahaya dan membuat frustasi. Muluk menyatakan (1995) bahwa kondisi yang mereka alami telah membuat mereka frustasi dan tidak berdaya.

Seligman (dalam Muluk, 1995) menyatakan bahwa ketidakberdayaan yang dialami individu dapat ditularkan dan dipelajari dari mengamati tingkah laku orang lain yang dibuat tidak berdaya. Dengan kata lain bahwa ketidakberdayaan dapat muncul jika seseorang mempesepsikan bahwa ia tidak mempunyai kontrol (perceived lack of control). Proses persepsi ini memiliki arti yang besar karena


(21)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

dapat menyebabkan hilangnya kemampuan pemecahan masalah dan meningkatkan stres dan depresi.

Hal serupa juga dinyatakan oleh Seligman (dalam Schultz, 1994), bahwa

learned helplessness adalah suatu kondisi yang merupakan hasil dari persepsi

bahwa kita tidak memiliki kontrol terhadap lingkungan kita. Muluk (1995) mengungkapkan lagi apa yang disebutkan oleh Seligman tentang konsep learned

heplessness atau ketidakberdayaan yang dipelajari adalah menunjuk kepada suatu

respon yang ditunjukkan seseorang bila ia merasa tidak mempunyai kontrol terhadap situasi.

Hal ini terlihat juga pada supir angkutan di kota Medan. Berikut adalah komunikasi personal dengan salah satu supir angkutan Trayek 64 jurusan Amplas-Pinang Baris.

“… ya berdoa, berusaha, dilakukan ya gitu aja la. Lihat-lihat pas pulang kita, baru tahu kita hasilnya macam mana nanti hasilnya. Namun demikian, kita terpaksa juga kerja, kerja, kerja. Ada, atau enggak ada, ya kerja. Tapi bersabarlah.”

Bona (Komunikasi personal, 30 April 2009)

Seligman (dalam Muluk, 1995) mendefenisikan ketidakberdayaan sebagai suatu keyakinan bahwa hasil akhir dari suatu tindakan terlepas (atau tidak berkaitan) dengan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Artinya tidak ada jaminan bahwa tindakan A akan membawa konsekuensi B seperti yang di harapkan oleh individu. Individu pada akhirnya merasa yakin bahwa kemunculan B sama sekali berada diluar kontrol dirinya. Perasaan ini adalah hasil dari belajar lewat pengalaman masa lalunya.


(22)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Peterson et al. pada tahun 1993 (dalam Leitzel, 2000) kemudian merumuskan kembali teori dari learned helplessness untuk menjelaskan variasi individu dalam berespon terhadap kejadian-kejadian yang tidak terkontrol. Berdasarkan perumusan ini, atribusi yang dibuat individu tentang kejadian-kejadian dalam hidupnya mempengaruhi hasil dan harapannya. Individu yang melihat kejadian negatif sebagai sesuatu yang permanen sepanjang waktu memiliki resiko yang terhadap gejala depresi yang lebih besar daripada mereka yang melihatnya secara temporer. Individu yang melihat kejadian negatif dan menjelaskannya secara keseluruhan memiliki resiko yang lebih besar daripada individu yang menjelaskan secara spesifik. Sedangkan individu yang melihat kejadian negatif berada dibawah kontrol dirinya, individu itu cenderung memiliki harga diri yang lebih rendah dan gejala depresi yang lebih tinggi daripada individu yang melihatnya sebagai penyebab eksternal.

Seligman (dalam Schultz, 1994) menyatakan bahwa orang yang mengalami

learned helplessness adalah orang yang menyebarkan seluruh ketidakberdayannya

diseluruh fase kehidupannya, yang disebut dengan pessimistic explanatory style. Seligman menyatakan bahwa orang yang tergolong pessimistic explanatory style adalah orang yang mengatribusikan penyebab dari kegagalan dan kurangnya kontrol yang dimilikinya sebagai global, stable, dan internal. Sedangkan orang yang tergolong optimistic explanatory style adalah orang yang mencegah terjadinya ketidakberdayaan, dan juga cenderung mengatribusikan penyebab dari kegagalan dan kurangnya kontrol yang dimilikinya sebagai spesific, unstable dan


(23)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

penelitian tentang gambaran learned helplessness pada supir angkutan dikota Medan ditinjau dari explanatory style-nya.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Alat ukur yang digunakan untuk menggambarkan learned helplessness pada supir angkutan di kota Medan adalah skala explanatory style dengan model Likert yang disusun berdasarkan tiga dimensi explanatory style (pervasiveness, permanence, dan

personalization). Adapun populasi penelitian ini adalah supir angkutan di kota

Medan yang telah memiliki Surat Izin Angkutan Umum, Buku Iuran, dan setoran. Untuk mendapatkan skor tiap dimensi digunakan teknik analisa statistik deskriptif dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 15.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran

learned helplessness pada supir angkutan umum di kota Medan ditinjau dari explanatory style.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran learned helplessness pada sopir angkutan umum di kota Medan.


(24)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009. D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat mengenai gambaran learned

helplessness pada sopir angkutan umum di kota Medan, baik manfaat secara

teoritis maupu n manfaat secara praktis. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi klinis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana learned helplessness pada supir angkutan umum di kota Medan dan pihak-pihak yang berkaitan dengan sistem transportasi di kota Medan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada pihak-pihak berwenang yang berhubungan dengan Lalu Lintas dan Angkutan Umum di kota Medan


(25)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari


(26)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Explanatory Style

1. Pengertian explanatory style

Seligman pada tahun 1990 (dalam Taylor, 2003) menggambarkan bahwa

explanatory style adalah cara dimana individu berpikir mengenai penyebab dari

kejadian.

Menurut Ormrod pada tahun 1999 (dalam Bol, Hacker, & Allen, 2005) adalah cara bagaiman individu menginterpretasikan kejadian yang dialaminya sehari-hari dan konsekuensinya.

Hal senada juga dikemukakan oleh Schullman, Castellon, dan Seligman pada tahun 1989 (Boyer, 2006) yang mengembangkan definisi explanatory style, yaitu individu telah terbiasa memiliki pola dalam menjelaskan apa yang menjadi penyebab dari kejadian-kejadian penting dalam hidupnya.

Selain itu, Seligman (dalam Schultz, 1994), menyatakan bahwa explanatory

style adalah cara seorang individu menjelaskan pada dirinya tentang kejadian yang

tidak dapat dikontrol dari lingkungannya.

Lebih lanjut, Peterson et al. tahun 1995 (Parker, 2005) mendefenisikan

explanatory style adalah kecenderungan individu untuk memberikan sekelompok

penjelasan yang sama untuk beberapa kejadian kejadian yang berbeda. Kemudian definisi ini dielaborasi oleh Parker & Steen pada tahun 2002 (Parker, 2005), yang menyatakan bahwa explanatory style adalah suatu cara yang sudah menjadi


(27)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

kebiasaan (habitual) untuk memaknai peristiwa-peristiwa yg terjadi, sehingga membuatnya lebih stabil dari suatu keadaan. Parker (2005) menyatakan bahwa penjelasan terhadap kejadian tersebut dapat diatribusikan sebagai internal versus

external, global versus spesifik, dan stable versus unstable , baik ataupun buruk

kejadian tersebut.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa explanatory style adalah cara seorang individu dalam menjelaskan atau memaknai segala peristiwa yang dialaminya, baik maupun buruk, dapat dikontrol maupun tidak dapat dikontrol, yang kemudian individu tersebut menginterpretasikan konsekuensi dari setiap peristiwa yang dialaminya.

2. Dimensi-dimensi explanatory style

Abramson et al. (dalam Taylor, 2003) membuat teori tentang tiga dimensi

explanatory style, yaitu:

a. Pervasiveness

Dimensi pervasiveness berkaitan dengan area-area kehidupan yang dianggap oleh individu sebagai efek dari penyebab dari suatu kejadian. Ketika penyebab selalu hadir dalam sejumlah situasi maka disebut sebagi global attribution. Namun ketika penyebab hadir hanya dalam suatu situasi tertentu, maka disebut

spesific attribution. Gejala depresi umumnya lebih mengarah pada pervasive


(28)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

b. Permanence

Dimensi permanence berkaitan dengan persepsi individu terhadap lamanya waktu terjadinya suatu peristiwa (kejadian) (Seligman, 1990, dalam Taylor, 2003). Bila kejadian yang tidak dapat dikontrol dianggap berhubungan dengan faktor –faktor yang tidak konsisten (sementara waktu) maka disebut unstable

attribution. Namun bila kejadian tersebut dianggap berhubungan dengan

faktor-faktor yang konsisten sepanjang waktu maka disebut stable attribution. Gejala depresi umumnya terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama.

c. Personalization

Dimensi personalization berhubungan dengan penjelasan tentang apa atau siapa penyebab dari suatu kejadian, misalnya diri sendiri atau orang lain. Peterson, Semmel, von Bayer, Abramson, Metalsky, dan Seligman pada tahun 1982 (dalam Taylor, 2003) menjelaskan bahwa ketika kejadian yang tidak dapat dikontrol diatribusikan pada segala sesuatu tentang diri seseorang (internal attribution), atau pada segala sesuatu dari situasi (external

attribution). Gejala depresi dialami oleh individu yang kehilangan harga diri.

Peterson & Seligman, 1984 (dalam Taylor 2003) memprediksi bahwa explanatory style secara global, stable, dan internal diimplementasikan ketika kejadian yang buruk yang terjadi cenderung dihubungkan dengan depresi.

3. Tipe-tipe explanatory style


(29)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

a. Pessimistic explanatory style, jenis ini dapat menyebabkan learned

helplessness dalam seluruh fase kehidupan.

b. Optimistic explanatory style, jenis ini dapat membuat individu mampu

mencegah terjadinya learned helplessness dalam hidupnya.

Fresco, Rytwinski, dan Craighed (2007) juga menyatakan bahwa pessimistic

explanatory style merupakan kecenderungan individu untuk memandang kejadian

negatif muncul dari penyebab internal, global, dan stabil. Sementara optimistic

explanatory style merupakan kecenderungan untuk memandang kejadian negatif

muncul dari penyebab eksternal, spesifik, dan tidak stabil.

Individu yang optimis cenderung menggunakan strategi coping yang aktif dan adaptif, seperti pendekatan masalah secara langsung, pengakuan, dan berusaha keras untuk merubah situasi yang tidak terkontrol, berusaha mengatasi kesengsaraan, dan mempertahankan penyempurnaan tujuan (Carver et al., 1993; Puskar, Sereika, Lamb, Tusaic-Mumford, & Mc Guinness, 1999, dalam Hirsch & Conner, 2006). Optimistic explanatory style cenderung tidak mudah untuk memiliki pikiran atau tindakan bunuh diri (Vailant, 2003, dalam Hirsch & Conner, 2006).

Individu yang pesimis mengalami level prestasi akademik yang lebih rendah, lebih banyak mengidap penyakit fisik, meningkatkan gejala depresi, dan cenderung tidak memiliki pengharapan (Gillham et al., 2001; Schulman, castellon, & Seligman, 1989, dalam Hirsch & Conner, 2006). Pessimistic explanatory style juga berkaitan erat dengan ide untuk bunuh diri (Priester & Clum, 1992, dalam Hirsch & Conner, 2006).


(30)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009. 4. Learned helplessness

Peterson, Maier, & Seligman pada tahun 1975 (Cemalcilar, dkk, 2003), bahwa

learned helplessness adalah suatu keadaan ketika pengalaman dengan kejadian

yang tidak dapat dikontrol mengarah pada harapan bahwa kejadian-kejadian di masa mendatang akan tidak dapat dikontrol juga.

Selanjutnya diungkapkan oleh Abraham et al. (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003), learned helplessness adalah ketidakmampuan individu untuk mengendalikan lingkungannya yang akan membimbingnya pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkan pada atribusi diri yang kuat.

Ide dasar yang melatarbelakangi learned helplessness adalah bahwa orang mungkin sadar akan tidak adanya kontrol terhadap apa yang terjadi pada beberapa situasi. Kesadaran ini timbul melalui kurangnya ‘contingency’ antara usaha-usaha terdahulu untuk mengubah situasi dengan hasil yang berhubungan dengan usaha-usaha tersebut(Muluk, 1995)

5. Efek learned helplessness

Seligman (dalam Muluk, 1995) mengemukakan empat hal sebagai akibat

learned helplessness sebagai berikut:

a. Jika seseorang sering mengalami kejadian-kejadian yang tidak dapat dikontrolnya, hal ini akan berakibat pada penurunan motivasi individu untuk bertingkah laku dengan cara tertentu yang sebenarnya dalam situasi tertentu dapat merubah hasil akhir dari suatu kejadian.


(31)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

b. Pengalaman masa lalu dengan kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengurangi kemampuan individu untuk belajar bahwa kejadian-kejadian tertentu dapat diubah dengan tingkah laku tertentu pula.

c. Pengalaman yang berulang-ulang dengan kejadian-kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengarah pada perasaan tidak berdaya.

Individu-individu akan mengatribusikan ketidakberdayaan pada diri mereka sendiri atau pada kejadian-kejadian khusus dan orang-orang di lingkungan sekitarnya.

Maier & Seligman (dalam Taylor, 2003), learned helplessness menghasilkan penurunan dalam tiga area, yaitu:

a. Motivational

Individu belajar bahwa hasil yang diperoleh dari suatu kejadian merupakan hal yang tidak dapat dikontrol, sehingga individu cenderung kurang dapat memulai berespon.

b. Cognitive

Secara kognitif, individu belajar bahwa hasil yang diperoleh dari suatu kejadian merupakan pembelajaran tersembunyi yang tidak dapat dikontrol.

c. Emotional

prediksi emosional meliputi perasaan depresi setelah belajar bahwa hasil merupakan hal yang tidak dapat dikontrol.


(32)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

6. Kaitan explanatory style dengan learned helplessness

Dweck (dalam Leitzel, 2000) menyatakan bahwa teori utama dari kontrol individu adalah atribusi yaitu penjelasan yang digunakan individu untuk menginterpretasi perilaku dan kejadian. Teori atribusi fokus pada faktor yang dimiliki individu dalam mengatribusikan kesuksesan dan kegagalannya (Seligman; dalam Leitzel, 2000). Weiner kemudian mengelaborasinya bahwa motivasi dan emosi dianggap sebagai konsekuensi dari causal beliefs (atribusi), daripada arti dimana individu memaknai dunia. Peterson & Steen menambahkan bahwa teori learned helplessness membentuk sebuah jembatan penting antara teori atribusi dan model explanatory style dengan memberikan dukungan empiris bagi peran kepercayaan dalam penentuan hasil (dalam Leitzel, 2000).

Lebih lanjut, Peterson & Stunkard mengemukakan bahwa ide dari

explanatory style muncul dari perumusan kembali model learned helplessness.

Berdasarkan model ini, ada tiga dimensi digunakan individu untuk menjelaskan mengapa kejadian terjadi, yaitu pervasiveness (global vs. spesific), permanence (stable vs. unstable), dan personalization (internal vs. external). Dengan menggunakan dimensi-dimensi ini untuk kejadian yang buruk, explanatory style yang dimiliki individu dapat dikarakteristikkan sebagai pessimistic (global,

stable, dan internal) atau optimistic explanatory style (specific, unstable, dan external). Sebaliknya, untuk penjelasan kejadian yang baik dikarakteristikkan

sebagai optimistic yang merupakan hal yang stable, global dan internal. Sedangkan unstable, specific, dan external dianggap lebih mengarah pada


(33)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

B. Supir Angkutan Umum

1. Pengertian supir angkutan umum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, supir adalah pengemudi mobil. Sementara angkutan adalah barang-barang (orang-orang, dan sebagainya) yang diangkut. Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan di pungut bayaran (Undang Undang Lalu Lintas No.14 Tahun 1992)

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa sopir angkutan umum adalah individu yang mengangkut barang ataupun orang dengan menggunakan salah satu kendaraan umum yang dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran.

2. Sistem angkutan umum dan kondisi kerja sopir angkutan umum

Pengoperasian angkutan umum berada dalam sistem biaya tinggi, yaitu: a. Biaya yang tinggi dimulai dari pengajuan izin trayek yang tidak memiliki

tarif yang resmi, dari 2 juta sampai 5 juta, tergantung “gemuk” tidaknya rute tersebut.

b. Biaya administrasi, penomoran label rute dan uang pelicin teknis.

c. Pungutan uang Kir (uji kelayakan) kendaraan setiap 6 bulan sekali, dengan biaya mulai dari Rp 100000,- sampai Rp 150000.

d. Iuran kepada perusahaan angkutan umum sebesar Rp 20000 setiap bulan. e. Pungutan-pungutan di jalan oleh oknum petugas yang ada


(34)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Sedangkan kondisi fisik lingkungan pekerjaan para sopir angkot ini adalah jalan-jalan yang padat, panas, berpolusi udara, macet, dan adanya cacian oleh penumpang serta ulah pemerasan oleh aparat.

C. Gambaran Learned Helplessness pada Sopir Angkutan Umum di Kota Medan

Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan Negara. Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan ke luar Negri. Transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan pengerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya (Undang-undang Lalu Lintas No.14 Tahun 1992).

Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pentingnya peranan transportasi menyebabkan lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam suatu sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang serasi dengan kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Namun pada kenyataannya di lapangan, kondisi transportasi di Indonesia khususnya di kota Medan, tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Murniati


(35)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

(1995) menyatakan bahwa pada dasarnya supir angkutan umum dituntut untuk menjamin keselamatan banyak orang namun dilain pihak imbalan yang diberikan baik dalam bentuk materi (pendapatan) dan non materil (pujian dan penghargaan) sangatlah tidak memadai. Selain itu adanya sistem angkutan umum yang tidak efisien seperti pengajuan izin trayek, sistem peraturan, pembagian jalur yang tumpang tindih sehingga membuat tingkat kompetisi yang tinggi antar sesama supir angkutan umum. Terlebih adanya setoran yang mereka bayarkan pada pihak pemilik angkutan. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya hak supir untuk menaikkan ongkos angkutan per penumpang karena hal ini di kontrol oleh pemerintah.

Kondisi ini menyebabkan banyak supir angkutan melakukan berbagai tindakan untuk menambah pendapatan mereka tanpa memperdulikan keselamatan diri dan penumpang (Muluk, 1995). Hal ini terlihat pada perilaku mereka yang ugal-ugalan di jalan seperti menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi (ngebut), saling mendahului kendaraan umum lain dengan kecepatan tinggi, mengemudikan kendaraan bukan di jalurnya, menginjak rem dengan mendadak, menurunkan penumpang dan dipindahkan ke kendaraan lain, menjejalkan penumpang walaupun sudah penuh, menurunkan penumpang walaupun kendaraan masih berjalan, seenaknya berhenti tanpa memperdulikan kendaraan lalu lintas disekelilingnya (Murniati, 1995).

Tuntutan dan stress yang dialami oleh para supir angkutan ini lama kelamaan dapat mengarah pada perasaan apatis, tidak perduli dan tidak bertanggung jawab, karena mereka belajar dari pengalaman bahwa sistem tidak memihak pada mereka


(36)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

untuk berlaku benar, disiplin dan teratur. Jadi mereka mulai berpikir mengapa harus bersusah payah untuk berlaku benar dan disiplin. Dengan kata lain supir angkutan belajar dari lingkungan mereka bahwa tidak ada gunanya bagi mereka untuk metaati peraturan sementara jajaran penegak hukum dan birokrasi justru seolah-olah dibuat untuk mempersulit para supir angkutan umum tersebut.

Persepsi yang terbentuk ini sebenarnya merupakan sumber stress yang potensial bagi supir angkutan ditambah dengan kenyataan dilapangan. Sehingga salah satu usaha untuk mengatasinya adalah dengan melakukan tindakan ugal-ugalan seperti yang telah disebutkan sebelumnya karena mereka sudah frustasi dan tidak berdaya melakukan kontrol terhadap sistem yang dirasakan menghimpit mereka.

Oleh karena itu, berbagai perilaku ugal-ugalan dapat dipandang sebagai manifestasi dari berkurangnya rasa tanggung jawab supir angkutan serta meningkatnya ketidakpedulian mereka yang menurut Seligman (1975) adalah manifestasi dari perasaan ketidakberdayaan (helplessness) akibat himpitan stress kerja yang terlalu tinggi (dalam Muluk, 1995).

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran learned helplessness pada supir angkutan khususnya di kota Medan.


(37)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari


(38)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta, karakteristik mengenai learned helplessness pada supir angkutan umum di kota Medan.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah explanatory style pada supir angkutan umum di kota Medan.

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Explanatory style adalah cara individu menjelaskan kejadian yang terjadi

didalam hidupnya berdasarkan konsistensi terhadap situasi, konsistensi waktu, dan konsistensi penyebab kejadian tersebut. Adapun dimensi dari explanatory style adalah:

a. Pervasiveness adalah cara individu menjelaskan kejadian yang dialami berdasarkan pengaruhnya terhadap area kehidupannya. Pervasive terbagi atas dua, yaitu global terjadi bila individu menganggap apapun yang dilakukan mempengaruhi seluruh area kehidupannya. Sedangkan spesific terjadi bila individu menganggap bahwa apa yang dilakukannya mempengaruhi area tertentu didalam hidupnya. Semakin tinggi skor yang diperoleh artinya subjek


(39)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

cenderung mengarah pada global. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh artinya subjek cenderung mengarah pada spesific.

b. Permanence adalah cara individu menjelaskan konsistensi kejadian yang dialami berdasarkan rentang waktu. Dimensi permanence terbagi atas 2 yaitu

stable, ketika individu menganggap bahwa penyebab dari kejadian adalah hal

yang terus menerus terjadi di sepanjang waktu dan tidak dapat diubah. Sedangkan unstable ketika individu menganggap bahwa penyebab dari kejadian adalah hal yang terjadi hanya pada satu waktu saja dan dapat berubah sejalan dengan waktu. Semakin tinggi skor yang diperoleh, artinya subjek cenderung mengarah pada stable. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh artinya subjek cenderung mengarah pada unstable.

c. Personalisation adalah cara individu menjelaskan kejadian yang dialami disebabkan oleh karakteristik pribadi individu atau disebakan faktor lingkungan.. Dimensi personalisation terbagi atas 2 yaitu internal, ketika individu yakin bahwa penyebab dari kejadian tersebut adalah disebabkan oleh karakteristik pribadi yang dimiliki oleh individu tersebut, seperti kemampuan, usaha, keyakinan, dan kompetensi. Sedangkan external ketika individu yakin bahwa penyebab dari kejadian tersebut adalah disebabkan oleh keberuntungan, takdir, kesulitan tugas dan rezeki. Semakin tinggi skor yang, artinya subjek cenderung mengarah pada internal. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh artinya subjek cenderung mengarah pada external.


(40)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Lebih lanjut lagi, explanatory style terbagi atas dua tipe yaitu:

a. Optimistic explanatory style, yaitu kecenderungan individu mengatribusikan kejadian secara spesific, unstable, dan external. Individu yang tergolong

optimistic explanatory style cenderung mencegah learned helplessness terjadi

di dalam hidupnya.

b. Pessimistic explanatory style, yaitu kecenderungan individu mengatribusikan kejadian secara global, stable, dan internal. Individu yang tergolong

pessimistic explanatory style cenderung mengarahkan individu pada learned helplessness.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah supir angkutan umum yang masih aktif mengemudikan angkutan umum di kota Medan, yang ditandai dengan memiliki Surat Izin Angkutan Umum dan Buku iuran. Data ini diperoleh dengan cara peneliti menanyakan secara langsung kepada subjek penelitian

2. Sampel

Adapun jumlah subjek yang digunakan dalam uji coba alat ukur adalah 85 orang, yang terdiri atas 2 tahap, yaitu uji coba pertama sebanyak 50 orang dan uji coba kedua sebanyak 35 orang. Subjek yang dijadikan sampel penelitian ini adalah 103 orang.


(41)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

3. Metode pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

incidental sampling. Incidental sampling diperoleh semata-mata dari

keadaan-keadaan insidental atau kebetulan (Hadi, 2000).

Menurut Hadi (2000) teknik incidental sampling memiliki kelebihan dan kelemahan di dalam membuat kesimpulan dari suatu penelitian. Kelebihan teknik ini adalah kemudahan dalam menemukan sampel, menghemat waktu, tenaga, biaya, dan adanya keterandalan subjektifitas peneliti yaitu kemampuan peneliti untuk melihat bahwa subjek yang dipilih sudah sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang telah ditetapkan. Kelemahan teknik ini adalah tidak dapat memberi taraf keyakinan yang tinggi sehingga sulit untuk menarik kesimpulan ataupun mengeneralisasikannya ke populasi lain. Selain itu, keterandalan subjektifitas peneliti juga memiliki resiko kemungkinan terjadinya bias dalam pemilihan sampel.

D. Alat Ukur yang Digunakan

Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode self-reports. Menurut Hadi (2000), metode self-reports berasumsi bahwa :

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.


(42)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.

Selain itu metode ini juga memiliki kelemahan yaitu (Furlong, 2000)

1. Adanya sedikit penyimpangan antara perilaku yang dilaporkan dengan perilaku yang tampak.

2. Subjek memberi jawaban sesuai dengan harapan masyarakat (social

desirability).

Skala terdiri atas beberapa aitem. Aitem berbentuk pernyataan dengan pilihan. Variasi bentuk pilihan menunjukkan tingkat kesesuaian dengan responden. Dalam skala ini ada enam pilihan respon, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), AS (agak setuju), ATS (agak tidak setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju). Setiap pilihan tersebut memiliki skor masing-masing tergantung dari jenis aitem, apakah favorable atau unfavorable. Untuk aitem favorable, SS diberi skor enam, S diberi skor lima, AS diberi skor empat, ATS diberi skor tiga, TS diberi skor dua, dan STS diberi skor satu. Sedangkan untuk aitem yang unfavorable, SS diberi skor satu, S diberi skor dua, AS diberi skor tiga, ATS diebri skor empat, TS diberi skor lima, dan STS diberi skor enam.

Selain aitem-aitem tersebut, di dalam alat ukur juga tertera identitas diri yang harus diisi oleh subjek penelitian. Identitas diri tersebut meliput i usia, trayek angkutan umum, pendidikan, lama bekerja sebagai supir, status, dan jumlah tanggungan (anak).


(43)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009. 1. Validitas alat ukur

Di dalam penelitian ini akan diuji validitasnya berdasarkan validitas isi. Validitas isi tes ditentukan melalui pendapat profesional (profesional judgement) dalam proses telaah aitem. Pendapat profesional diperoleh dengan cara berkonsultasi dengan dosen pembimbing.

2. Daya beda aitem

Pengujian daya beda aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi antara distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem.

Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rix ≥

0,2746 untuk n= 35. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,2746, daya pembedanya dianggap memuaskan.

Pengujian daya beda aitem pada skala sikap dilakukan dengan mengkorelasikan antar skor tiap aitem dengan skor total, dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan program SPSS versi 15.

3. Reabilitas alat ukur

Prosedur pengujian reliabilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah koefisien reliabilitas alpha. Data untuk menghitung koefisien reliabilitas alpha diperoleh melalui penyajian suatu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok responden (single-trial administration).


(44)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx) yang angkanya berada

dalam rentang 0 sampai dengan 1. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati angka 1 menandakan semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya, koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas yang dimiliki. Teknik koefisien alpha untuk menguji reliabilitas alat ukur dihitung dengan bantuan program SPSS versi 15.

4. Hasil uji coba alat ukur

Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk mengetahui sejauhmana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang ingin diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2005). Uji coba dalam penelitian dilakukan dua kali.

Uji coba pertama dilakukan pada 50 orang supir angkutan umum yang masih aktif mengemudikan angkutan umum dikota Medan. Dalam skala explanatory

style yang disebarkan terdapat 25 aitem dengan 4 pilihan jawaban, yaitu SS

(Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Tabel 1 menunjukkan blue print skala explanatory style sebelum dilakukan uji coba.

Tabel 1. Blue Print Distribusi Aitem Skala Explanatory Style Sebelum Uji Coba

No Dimensi Learned Helplessness Nomor Aitem Total

1 Personalisation Internal 1, 7, 10, 14, 19 5

Eksternal 2, 9, 17, 20, 24 5

2 Permanent Stable 3, 12, 21, 25 4

Unstable 4, 8, 13, 15, 23 5

3 Pervasive Global 5, 11, 18 3

Specific 6, 22, 16 3


(45)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Dari hasil uji coba pertama diperoleh reliabilitas alat ukur yang diuji cobakan. Reliabilitas untuk dimensi pervasive adalah sebesar -0,617 dan indeks daya beda aitem bergerak dari -0,289 sampai -0,076. Untuk dimensi permanent adalah sebesar 0,253 dan indeks daya beda aitem bergerak dari -0,055 sampai 0,256. Untuk personalisation adalah sebesar 0,139 dan indeks daya beda aitem bergerak dari -0,102 sampai 0,169. Indeks daya beda aitem yang digunakan dalam penelitian ini adalah diatas 0,275 (Guildford, 1987). Dari uji coba pertama, tidak ada aitem yang memenuhi indeks daya beda aitem yang telah ditentukan. Oleh karena itu dilakukan analisa aitem untuk uji coba yang kedua.

Dari hasil analisa aitem tersebut, terdapat perubahan redaksional, seperti perubahan pada beberapa kata dari beberapa aitem yang digunakan dikarenakan kelemahan intelektual pada supir angkutan umum untuk memahami beberapa kata dari beberapa aitem. Selain itu, alat ukur menggunakan 6 pilihan jawaban dengan tujuanagar jawaban subjek lebih bervariasi. Revisi alat ukur ini dilakukan dengan pertimbangan dan diskusi dengan dosen pembimbing dan dosen yang berkompeten dalam bidang eksperimen.

Uji coba kedua dilakukan pada 35 orang supir angkutan umum yang masih aktif mengemudikan angkutan umum di kota Medan. Dalam skala explanatory

style yang disebarkan terdapat 25 aitem dengan 6 pilihan jawaban, yaitu SS

(sangat setuju), S (setuju), AS (agak setuju), ATS (agak tidak setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju). Adapun blue print alat ukur untuk uji coba yang kedua tetap sama dengan blue print alat ukur uji coba yang pertama.


(46)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Reliabilitas alat ukur pada uji coba yang kedua untuk dimensi pervasive adalah sebesar 0,672 dan indeks aitem yang memiliki daya beda tinggi (diatas 0,35) bergerak dari 0,564. Untuk permanent adalah sebesar 0,620 dan indeks aitem yang memiliki daya beda tinggi (diatas 0,35) bergerak dari 0,403 sampai dengan 0,494. Dan untuk personalisation adalah sebesar 0.689 dan indeks aitem yang memiliki daya beda tinggi (diatas 0,35) bergerak dari 0,375 sampai dengan 0,643. Tabel 2 menunjukkan blue print skala Explanatory Style setelah dilakukan uji coba.

Tabel 2. Blue Print Distribusi Aitem Skala Explanatory Style Setelah Uji Coba

No Dimensi Learned Helplessness Nomor Aitem Total

1 Personalisation Internal 1 1

Eksternal 17, 20, 24 3

2 Permanent Stable 12, 21 2

Unstable 15 1

3 Pervasive Global 18 1

Specific 16 1

Total 9

Setelah memperoleh reliabilitas yang memenuhi standar ukur, peneliti melakukan penomoran aitem yang baru untuk skala penelitian yang sebenarnya sebagaimana tertera pada tabel 3.

Tabel 3. Blue Print Distribusi Aitem Skala Explanatory Style yang Digunakan dalam Penelitian

No Dimensi Learned Helplessness Nomor Aitem Total

1 Personalisation Internal 1 1

Eksternal 5, 7, 9 3

2 Permanent Stable 2, 8 2

Unstable 3 1

3 Pervasive Global 6 1

Specific 4 1


(47)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari empat tahap. Keempat tahap tersebut yaitu permohonan izin, persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pengolahan data.

1. Permohonan Izin

Sebelum peneliti melakukan uji coba alat ukur, maka peneliti terlebih dahulu di awali dengan pengurusan surat izin untuk pengambilan data pada supir angkutan umum. Surat permohonan izin itu kemudian diberikan kepada Dinas Perhubungan Kota Medan.

2. Persiapan penelitian

Tahap persiapan penelitian terdiri dari: a) Pembuatan alat ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa skala Explanatory Style yang disusun oleh peneliti berdasarkan tiga dimensi explanatory style. Skala ini terdiri dari 25 aitem dengan 4 pilihan jawaban, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Penyusunan skala ini dioperasionalisasikan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan dan kemudian dibuat blue print dari skala tersebut.

b) Uji coba alat ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur yang pertama dilakukan pada


(48)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

tanggal 29 September 2009 dan 1 Oktober 2009 kepada 50 orang supir angkutan umum. Namun setelah diolah, reliabilitasnya berada di bawah nilai reliabiltas yang telah ditentukan. Selain itu juga, tidak ada aitem yang memmenuhi indeks daya beda aitem yang telah ditentukan. Untuk itu dilakukan uji coba alat ukur yang kedua. Uji coba alat ukur yang kedua dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2009 kepada 35 orang supir angkutan umum. Subjek diminta memberi respon pada alat ukur berupa skala Explanatory Style. Adapun aitem-aitem yang diberikan tetap sama, namun pilihan jawaban yang diberikan tetap sama, namun pilihan jawaban yang diberikan ada 6, yaitu SS(Sangat Setuju), S (Setuju), AS (Agak Setuju), ATS (Agak Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Sebelum peneliti memberi skala penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta izin dan kesediaan subjek untuk mengisi skala. Data yang diperoleh kemudian diolah.

c) Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur maka peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala. Setelah diketahui aitem-aitem yang memenuhi validitas dan reliabilitasnya, maka kemudian peneliti menyusun aitem-aitem tersebut ke dalam alat ukur yang digunkan untuk mengambil data penelitian. Skala dibuat dalam kertas berukuran A4 dengan huruf Verdana ukuran 11.

3. Pelaksanaan penelitian

Setelah alat ukur direvisi, maka dilaksanakan penelitian pada subjek yang memenuhi ciri-ciri populasi. Penelitian dilakukan di terminal Pinang baris.


(49)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Peneliti mendapat bantuan beberapa orang kerabat untuk penyebaran skala penelitian. Pengambilan data dilakukan dengan memberikan alat ukur berupa skala Explanatory Style. Subjek diminta memberi respon pada skala tersebut. Tetapi sebelumnya peneliti terlebih dahulu meminta izin dan kesediaan subjek untuk mengisi skala. Skala penelitian diberikan secara lisan kepada subjek penelitian. Peneliti akan menandai setiap jawaban subjek pada lembar skala yg dipegang oleh peneliti. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 7,9,13, dan 14 November 2009 dengan melibatkan 103 orang subjek.

4. Pengolahan data.

Setelah diperoleh data dari skala explanatory style, maka dilakukan pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan menganalisa menggunakan bantuan program SPSS versi 15.

F. Metode Analisis Data

Hadi (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Untuk mendapatkan skor skala digunakan statistik deskriptif. Data yang akan diolah yaitu skor minimum, skor maksimum, mean dan standar deviasi. Hadi (2000) menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif didasari oleh


(50)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

angka yang diolah tidak terlalu mendalam. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 15.


(51)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari


(52)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab berikut ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian dilanjutkan dengan hasil penelitian, analisa dan interpretasi data penelitian serta pembahasan.

A. Analisa Data

1. Gambaran umum subjek penelitian

Penelitian ini melibatkan 103 orang subjek yang mengisi skala yang akan diolah dalam penelitian ini. Subjek penelitian kemudian dikelompokkan berdasarkan usia, pendidikan terakhir, lama bekerja sebagai supir, status pernikahan, dan jumlah tanggungan anak.

a. Pengelompokkan subjek berdasarkan usia

Pengelompokan subjek berdasarkan usia terdiri atas 4 kategori, yaitu 21-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, dan 51-60 tahun. Penyebaran subjek berdasarkan usia dapat dilihat pada grafik 1.


(53)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Grafik 1. Penyebaran Subjek berdasarkan Usia

Grafik 2. Penyebaran Subjek berdasarkan Pendidikan Terakhir 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Usia 21-30 31-40 41-50 51-60

Berdasarkan grafik 1 diatas, dapat dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek pada kelompok usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 48 orang (46,60%), sedangkan yang paling sedikit adalah subjek pada kelompok usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 10 orang (9,70%).

b. Pengelompokan subjek berdasarkan pendidikan terakhir

berdasarkan latar belakang pendidikan, subjek penelitian dikelompokkan atas 6 kategori, yaitu tidak sekolah, SD, SMP, SMA, STM, dan S1. Penyebaran subjek dapat dilihat pada grafik 2 dibawah ini.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah SD SMP SMA STM S1


(54)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Grafik 3. Penyebaran Subjek berdasarkan Lama Bekerja

Berdasarkan grafik 2 diatas dapat dilihat bahwa pendidikan terakhir subjek yang terbanyak adalah SMA, yaitu 41 orang (39,80%), sedangkan subjek yang lebih sedikit adalah subjek yang tidak memiliki pendidikan terakhir (tidak bersekolah), yaitu sebanyak 6 orang (5,82%).

c. Pengelompokan subjek berdasarkan lama bekerja sebagai supir angkutan umum.

Pengelompokan subjek berdasarkan lama bekerja sebagai supir angkutan umum terdiri atas 7 kategori, yaitu 1-5 tahun, 6-10 tahun, 11-15 tahun, 16-20 tahun, 21-25 tahun, 26-30 tahun, dan 31-35 tahun. Penyebaran subjek dapat dilihat pada grafik 3 berikut ini.

0 5 10 15 20 25 30

Lama Bekerja

1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun

Berdasarkan grafik 3 dapat dilihat bahwa lama bekerja para subjek yang terbanyak adalah berada pada rentang 1-5 tahun, yaitu sebanyak 26 orang (25,24%), sedangkan subjek yang paling sedikit berada pada rentang 31-35 tahun, yaitu sebanyak 3 orang (2,91%).


(55)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Grafik 4. Penyebaran Subjek berdasarkan Status

Grafik 5. Penyebaran Subjek berdasarkan Jumlah Tanggungan Anak

Pengelompokan subjek berdasarkan status terdiri atas 2 kategori, yaitu kawin dan tidak kawin. Penyebaran subjek dapat dilihat pada grafik 4 berikut ini.

0 20 40 60 80 100

Status

Menikah Tidak Menikah

Berdasarkan grafik 4 dapat dilihat bahwa status subjek yang terbanyak adalah sudah menikah (kawin), yaitu 92 orang (89,32%), sedangkan subjek yang lebih sedikit adalah subjek yang belum menikah (tidak kawin), yaitu 11 orang (10,68%).

e. Pengelompokan subjek berdasarkan jumlah tanggungan anak

Pengelompokan subjek berdasarkan status terdiri atas 9 kategori, yaitu 1 orang, 2 orang, 3 orang, 4 orang, 5 orang, 6 orang, 7 orang, dan 8 orang. Penyebaran subjek dapat dilihat pada grafik 5 berikut ini.


(56)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

0 5 10 15 20

25 0 orang

1 orang 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang 6 orang 7 orang 8 orang

Berdasarkan grafik 5 dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki tanggungan anak paling banyak adalah berada pada jumlah 2 orang, yaitu sebanyak 24 orang (23,30%), sedangkan subjek yang memiliki tanggungan anak paling sedikit adalah berada pada jumlah 8 orang, yaitu sebanyak 1 orang (0,97%).

2. Hasil penelitian a. Uji Normalitas

Sesuai dengan tujuan utama dalam penelitian ini, maka data akan dianalisa secara deskriptif untuk menjelaskan karakteristik variabel yang diteliti, dalam hal ini adalah explanatory style pada supir angkutan di kota Medan.

Sebelum melakukan kategorisasi berdasarkan model distribusi normal, asumsi bahwa skor pada kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor subjek dalam populasi dan bahwa skor subjek dalam populasinya terdistribusi secara normal harus terpenuhi. Untuk itu, dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui apakah data telah terdistribusi normal. Hasil uji normalitas dalam penelitian ini tertera pada tabel 4 berikut.


(57)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Skala Explanatory Style pada Supir Angkutan Umum di Kota Medan

Explanatory Style pada Supir Angkutan

di Kota Medan

Kolmogorov-Smirnov 1,097

Signifikansi 0,180

Berdasarkan tabel 4, diperoleh nilai z sebesar 1,097 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,180. Oleh karena nilai p > 0,05, dengan demikian data penelitian terdistribusi normal sehingga dapat digunakan kategorisasi berdasar model distribusi normal.

b. Gambaran explanatory style berdasarkan dimensi explanatory style

1) Gambaran explanatory style berdasarkan dimensi pervasiveness

Dimensi pervasiveness dalam skala explanatory style terdiri dari 2 aitem dengan rentang nilai 1-6 sehingga menghasilkan kemungkinan nilai tertinggi 12 dan nilai terendah 2. Berikut merupakan tabel penyajian hasil analisa deskriptif berdasarkan dimensi pervasiveness pada penelitian ini:

Tabel 5. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Dimensi Pervasiveness

Dimensi Empirik Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD

Pervasiveness 2 10 6,02 1,69 2 12 7 1,67

Dari tabel 5 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 6,02 dengan standar deviasi empirik sebesar 1,69. Sedangkan mean hipotetik sebesar 7 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 1,67. Hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih kecil daripada mean hipotetik.


(58)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Hal ini berarti bahwa explanatory style pada supir angkutan di kota Medan berada di bawah rata-rata explanatory style pada dimensi pervasiveness pada umumnya, dimana kebanyakan subjek memiliki kecenderungan spesific.

Untuk menentukan pengelompokan subjek berdasarkan dimensi

pervasiveness secara empirik, maka terlebih dahulu ditentukan standar error of measurement (standar eror pengukuran). Rumusan standar eror pengukuran

sebagai berikut : σE= σ/ √n Keterangan:

σE = Standar eror perngukuran σ = Standar deviasi

n = Jumlah subjek

Berdasarkan rumus diatas, maka standar eror pengukurannya adalah 0,167. Dengan nilai mean sebesar 6,02 maka batas skor untuk kategori global dimulai dari skor 6,02 + 0,167 = 6,187. Batas skor untuk kategori spesific dimulai pada skor 6,02 – 0,167 = 5,853.

Kriteria kategorisasi skor explanatory style berdasarkan dimensi pervasiveness dengan jumlah individu dan persentase individu di dalamnya dapat dilihat pada tabel 6 dan grafik 6 berikut :

Tabel 6. Kriteria Kategorisasi Skor Explanatory Style Supir Angkutan Umum Di Kota Medan berdasarkan Dimensi Pervasiveness

Kriteria Kategorisasi Kategori Jumlah (N)

Persentase (%)

X ≥ 7 Global 57 55,34%

5 < X < 7 Tidak terkategori 8 7,77%


(59)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Grafik 6. Explanatory Style pada Supir Angkutan Umum di Kota Medan terhadap dimensi Pervasiveness

Berdasarkan grafik 6, dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang termasuk ke dalam kategori global sebanyak 57 orang (55,34%), dan subjek yang termasuk dalam kategori spesific sebanyak 38 orang (36,89%). Sedangkan subjek yang tidak terkategori sebanyak 8 orang (7,77%). Secara empirik, kebanyakan subjek penelitian berada dalam kategori global.

2) Gambaran explanatory style berdasarkan dimensi permanence

Dimensi permanence dalam skala explanatory style terdiri dari 3 aitem dengan rentang nilai 1-6 sehingga menghasilkan kemungkinan nilai tertinggi 18 dan nilai terendah 3. Berikut merupakan tabel penyajian hasil analisa deskriptif berdasarkan dimensi permanence pada penelitian ini:

Tabel 7. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Dimensi Permanence

Dimensi Empirik Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD

Permanence 4 17 9,34 2,633 3 18 10,5 2,5

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00%

Kategori Pervasive

Global

Tidak terkategori Spesific


(60)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Dari tabel 7 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 9,34 dengan standar deviasi empirik sebesar 2,633. Sedangkan mean hipotetik sebesar 10,5 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 2,5. Hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih kecil daripada mean hipotetik. Hal ini berarti bahwa explanatory style pada supir angkutan di kota Medan berada di bawah rata-rata explanatory style pada dimensi permanence pada umumnya, dimana kebanyakan subjek memiliki kecenderungan unstable.

Untuk menentukan pengelompokan subjek berdasarkan dimensi permanence secara empirik, maka terlebih dahulu ditentukan standar error of measurement (standar eror pengukuran). Berdasarkan rumus diatas, maka standar eror pengukurannya adalah 0,26. Dengan nilai mean sebesar 9,34 maka batas skor untuk kategori stable dimulai dari skor 9,34 + 0,26 = 9,60. Batas skor untuk kategori unstable dimulai pada skor 9,34 – 0,26 = 9,08.

Kriteria kategorisasi skor explanatory style berdasarkan dimensi permanence dengan jumlah individu dan persentase individu di dalamnya dapat dilihat pada tabel 8 dan grafik 7 berikut :

Tabel 8. Kriteria Kategorisasi Skor Explanatory Style Supir Angkutan Umum Di Kota Medan berdasarkan Dimensi Permanence

Kriteria Kategorisasi Kategori Jumlah (N)

Persentase (%)

X ≥ 10 Stable 46 44,66%

8 < X < 10 Tidak terkategori 0 0%


(1)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

Aitem2 5,77 6,652 ,494 ,256 ,424

Aitem3 6,46 8,785 ,427 ,203 ,549

Aitem8 5,31 6,222 ,403 ,165 ,586

Tabel 14F. Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(2)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Lampiran 15. Analisa Reliabilitas Skala Penelitian Dimensi Pervasiveness

Tabel 15A. Case Processing Summary

N %

Cases Valid 35 100,0

Excluded(

a) 0 ,0

Total 35 100,0

Tabel 15B. Reliability Statistics

Cronbach's Alpha Cronbach's Alpha Based on Standardized

Items N of Items

,689 ,721 2

Tabel 15C. Item Statistics

Mean Std. Deviation N

Aitem4 3,57 1,770 35

Aitem6 2,34 1,211 35

Tabel 15D. Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items

Item Means 2,957 2,343 3,571 1,229 1,524 ,755 2

Tabel 15E. Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item

Deleted

Aitem4 2,34 1,467 ,564 ,318 .(a)


(3)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

Tabel 15F. Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(4)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

RAHASIA Lampiran 16. Skala Explanatory Style

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Identitas Diri

Usia :

Trayek :

Pendidikan terakhir : Lama bekerja sebagai supir :

Status : Kawin/Tidak kawin Jumlah Tanggungan (Anak) :

Dengan hormat,

Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, saya membutuhkan sejumlah data yang hanya akan saya peroleh dengan adanya kerjasama dengan anda dalam mengisi alat ukur ini.

Saya mohon kesediaan anda meluangkan waktu sejenak untuk mengisi alat ukur ini. Alat ukur ini terdiri dari beberapa aitem. Saya sangat mengharapkan anda memberikan jawaban yang terbuka dan apa adanya.

Tidak ada jawaban yang salah dalam pengisian skala ini. Jawaban dianggap benar sepanjang anda mengisinya sesuai dengan diri anda. Semua jawaban dan identitas anda akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ini. Cara menjawab skala ini akan dijelaskan didalam petunjuk pengisian skala, kemudian periksalah kembali jawaban anda.

Akhirnya atas partisipasi dan ketulusan, saya mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya.

Medan, November 2009 Hormat saya


(5)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009. Petunjuk Pengisian

1. Isilah identitas Anda dengan benar pada kolom yang telah disediakan di atas (identitas diri dijaga kerahasiaannya)

2. Jawablah semua pernyataan dalam skala ini sesuai dengan diri Anda (jangan sampai ada nomor yang terlewatkan).

3. Skala ini terdiri dari 25 aitem. Anda diminta untuk memilih satu jawaban yang ada di samping pernyataan dengan cara menyilang jawaban yang anda pilih. Pilihan jawabannya adalah:

SS = Jika pernyataan Sangat Setuju S = Jika pernyataan

dengan diri Anda. Setuju

AS = Jika pernyataan

dengan diri Anda. Agak Setuju

ATS = Jika pernyataan

dengan diri Anda. Agak Tidak Setuju

TS = Jika pernyataan

dengan diri Anda. Tidak Setuju

STS = Jika pernyataan

dengan diri Anda. Sangat Tidak Setuju

4. Setiap orang mempunyai jawaban yang berbeda dan tidak ada jawaban yang benar atau salah.

dengan diri Anda.

Contoh Pengisian:

N O PERN YATAAN STS TS ATS AS S SS

1 Saya m engalam i kecelakaan lalu

lint as set iap har i

X


(6)

Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari

Explanatory Style, 2009.

N O PERN YATAAN STS TS ATS AS S SS

1 Saya yakin saya akan m am pu

m engum pulkan uang set oran.

2 Penum pang saya selalu sedikit sepanj ang

har i.

3 Kadang- kadang penum pang saya selalu

banyak pada pagi at au sor e har i.

4 Saya hanya akan m ar ah pada penum pang

yang m em bayar ongkos t idak sesuai t ar if.

5 Saya sulit m endapat penum pang kar ena

banyak saingan ar m ada lain yang m elew at i j alur yang sam a.

6 Bila ada penum pang yang m em bayar ongkos

t idak sesuai t ar if m aka saya akan j adi kesal sepanj ang har i.

7 Banyak sedikit nya penghasilan yang saya

per oleh, t er gant ung r ezeki saya.

8 Pendapat an saya selalu kur ang.

9 Kadang- kadang saya kur ang ber unt ung

sehingga penum pang saya sedikit .