Studi Deskriptif Mengenai Explanatory Style Pada Lansia di Panti Jompo "X" di Kota Bandung.

(1)

i Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran mengenai Explanatory

Style pada lansia di panti jompo “X” di kota Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk

mendalami Explanatory Style pada lansia khususnya dilihat dari situasi buruk dan

situasi baik. Sampel pada penelitian adalah 28 orang lansia di panti jompo “X” dikota

Bandung.

Explanatory Style merupakan habit (kebiasaan) berpikir mengenai penyebab suatu situasi yang dialaminya, apakah situasi tersebut dianggap situasi baik ataupun situasi buruk. Explanatory Style memiliki tiga dimensi yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Attributional Style Questionaire (ASQ) dari Seligman (1990) yang diadaptasi oleh peneliti disesuaikan dengan kondisi lansia di panti jompo. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan distribusi frekuensi dan tabulasi silang antara data utama dan data demografik.

Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa sebagian besar lansia yang mengalami bad situation menghayati keadaan yang dialaminya bersifat temporer (54%) dengan ruang lingkup specific (82%) dan penyebab keadaan tersebut bersifat internal (54%). Lansia yang mengalami good situation menghayati keadaan yang dialaminya bersifat permanen (50%), dengan ruang lingkup universal (61%) dan penyebab keadaan dihayati bersifat internal (86%).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa seluruh lansia di panti jompo “X”

di kota Bandung memiliki Optimistic Explanatory Style. Ketika berada pada situasi buruk mereka menghayati sebagai temporer, specific, internal. Ini adalah indikasi yang mengarah pada Explanatory Style Optimistic. Namun, tidak ditunjang oleh dimensi personalization karena situasi buruk tersebut dimaknai sebagai situasi yang disebabkan oleh diri sendiri (internal). Sedangkan dalam situasi baik mereka menghayati sebagai permanence, universal dan internal. Ini adalah indikasi yang mengarah pada Explanatory Style Optimistic. Saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya adalah keluarga atau pengelolah panti, untuk berperan lebih aktif dalam memberikan dukungan pada saat lansia mengalami situasi buruk dan membantu lansia dalam mengatasi atau memberikan solusi saat lansia mengalami permasalahan ataupun situasi buruk.


(2)

v Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ………. i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR DIAGRAM ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pikir ... 11


(3)

vi Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1 Explanatory Style ... 18

2.1.1 Dua cara dalam memandang kehidupan ... 18

2.1.2 Pengertian Explanatory Style ... 19

2.1.3 Dimensi-dimensi Explanatory Style ... 19

2.1.4 Keuntungan dari Optimistic Explanatory style ... 22

2.2 Panti Jompo ... 24

2.2.1 Hidup bersama untuk orang jompo ... 24

2.2.2 Tipe rumah peristirahatan untuk orang jompo ... 25

2.2.3 Penyesuaian diri untuk hidup bersama ... 26

2.2.4 Keuntungan dan kerugian tinggal di panti jompo ... 27

2.3 Lansia ... 28

2.3.1 Rangkaian Perubahan Fisik Pada Lansia ... 29

2.3.1.1 Kesehatan Pada Lansia ... 30

2.3.1.2 Perubahan Kognitif Pada Lansia ... 31

2.3.1.3 Kesehatan Mental Pada Lansia ... 31

2.3.2 Perubahan Sosio Emosional ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 34

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 34


(4)

vii Universitas Kristen Maranatha

3.2.1 Variabel Penelitian ... 35

3.2.2 Defenisi Operasional ... 35

3.3 Alat Ukur ... 36

3.3.1 Jenis Alat Ukur Attributional Style Questionaire (ASQ) ... 36

3.3.2 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 38

3.4 Validitas dan Reabilitas Alat Ukur ... 39

3.4.1 Validitas Alat Ukur ... 39

3.4.2 Reabilitas Alat Ukur ... 40

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel ... 41

3.5.1 Populasi dan Sasaran ... 41

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 41

3.6 Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Gambaran responden ... 43

4.1.1 Perasaan ... 43

4.1.2 Pandangan terhadap panti ... 44

4.1.3 Hubungan responden dengan keluarga ... 44

4.1.4 Frekuensi kunjungan keluarga ... 45

4.1.5 Alasan tinggal di panti jompo ... 46

4.1.6 Perubahan yang dirasakan setelah di panti ... 46


(5)

viii Universitas Kristen Maranatha

4.1.8 Kondisi kesehatan ... 48

4.1.9 Penyakit yang diderita responden ... 48

4.10 Usia ... 50

4.1.9 Lama Tinggal ... 50

4.2 Hasil . ... 50

4.2.1 Analisis Explanatory Style pada Bad Situation dan Good Situation ... 51

4.2.2.1 Bad Situation dan Good Situation ... 52

4.3 Pembahasan ... 52

BAB V KESIMPULAN ... 54

5.1 Kesimpulan ... 54

5.2 Saran ... 54

5.2.2 Saran Teoritis ... 55

5.2.2 Saran Praktis ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... xii

DAFTAR RUJUKAN ... xiii


(6)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Attributional Style Questionaire (ASQ) ... 36

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Perasaan ... 42

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pandangan terhadap panti ... 43

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Hubungan dengan keluarga………..43

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi kunjungan ………44

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Alasan Tinggal di Panti Jompo………45

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Perubahan yang dirasakan setelah di panti ……….45

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Cara Adaptasi dengan perubahan ………...46

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kondisi kesehatan saat ini ………. 47

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Penyakit yang diderita ………... 47

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Usia. ………... 48


(7)

x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 15 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 33


(8)

xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1 Bad Situation ... 50 Diagram 4.2 Good Situation ... 51


(9)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Alat Ukur Attributional Style Questionare (ASQ) LAMPIRAN 2 Data Demografik

LAMPIRAN 3 Tabel Data Frekuensi


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2000 diperoleh data bahwa jumlah lansia (kaum lanjut usia) mencapai 15,8 juta jiwa atau 7,6%. Sementara itu populasi penduduk lansia pada tahun 2000 berdasarkan data dari BPS berjumlah 17.767.709 jiwa atau 7,79% dari total jumlah penduduk. Tahun 2010 diperkirakan menjadi 23.992.552 jiwa atau 9,77% dan tahun 2020 diprediksikan mencapai 28.822.879 jiwa atau 11,34%. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

Jika dilihat per provinsi, beberapa provinsi telah mengalami proses penuaan penduduk dibandingkan dengan apa yang terjadi secara nasional. Pada tahun 2000 terdapat tujuh provinsi yang memasuki struktur penduduk tua, yaitu persentase penduduk lebih dari tujuh persen, seperti D.I. Yogyakarta sebanyak 12,48 persen, Jawa Timur sebanyak 9,36 persen, Jawa Tengah sebanyak 9,26 persen, Bali sebanyak 8,77 persen, Sumatera Barat sebanyak 8,08 persen, Sulawesi Utara sebanyak 7,64 persen dan salah satunya di Jawa Barat sebanyak 7,09 persen. Seiring jumlah lansia makin banyak, berarti makin meningkat pula angka harapan hidup. (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/24/nas09.html)


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha Menteri Sosial (Mensos RI) Salim Segaff Al-Jufrie mengatakan bahwa permasalahan lansia telantar di Indonesia semakin banyak seiring bertambahnya jumlah lansia. Akhir tahun 2009, jumlah lansia telantar mencapai 2.994.330 orang, yaitu 12,47 persen dari jumlah seluruh lansia di Indonesia sebanyak 23,9 juta jiwa. Terkait definisi usia seseorang bisa disebut lansia, menurut Mensos, adalah orang di atas usia 60 tahun, meskipun di banyak negara di atas 70 tahun.

Mensos juga mengatakan sebenarnya para lansia bukan orang yang tidak bisa berbuat apa-apa, karena banyak orang di atas usia 60 tahun semakin produktif, apalagi saat ini para pegawai pensiun di atas 60 tahun, misalnya dosen hingga 65 tahun, bahkan hakim pensiun usia 70 tahun. Menurutnya, para lansia memiliki banyak pengalaman yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Menurut Mensos, harus benar-benar lansia yang terlantar, kondisi fisik menurun, berasal dari keluarga miskin, dan tidak memiliki keluarga lagi. Sedangkan, Ketua Panitia Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2010 Agum Gumelar meminta para lansia tidak dikonotasikan sebagai orang yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dikatakannya bahwa dari sekitar 20 juta lansia di Indonesia, hanya 10 persennya saja yang memang tidak berdaya. (http://kabar.in/2010/indonesia- headline/rilis-beritadepkominfo/05/26/mensos-ri-lansia-terlantar-tanggung-jawab-bersama.html)

Sekarang ini Indonesia menempati peringkat keempat dunia dengan penduduk orang berusia lanjut terbanyak di dunia dibawah Cina, India, dan


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha Amerika Serikat. Berdasarkan data dari BPS penduduk orang lanjut usia (60 tahun keatas) cenderung meningkat. Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat dilihat bahwa jumlah lansia pada setiap tahunnya meningkat sehingga kesejahteraan lansia harus tetap terjaga agar lansia dapat merasakan kepuasan hidup.

(http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/panti-werdha-adalah-pilihan) Data yang diperoleh diatas membuat peneliti tertarik untuk meneliti fenomena lansia yang tinggal di panti jompo yang selama ini dianggap oleh masyarakat indonesia bahwa lansia yang tinggal di panti jompo merupakan orang tua yang terbuang dan setiap tahunnya meningkat. Sedangkan, dalam menghabiskan masa – masa akhir hidupnya, para lansia memiliki pilihan mengenai bagaimana dan dimana mereka akan melewatinya. Ada lansia yang senang dan nyaman menghabiskan masa akhir hidupnya bersama dengan keluarganya, terutama dengan cucunya. Lansia senang menghabiskan waktunya untuk mengurus dan bermain dengan cucunya. Orang tua mereka pun lebih senang menyerahkan pengurusan anak mereka pada lansia yang merupakan orang tua mereka karena lebih aman dan terjamin atas keselamatan dan kesejahteraan anaknya. Hal ini terutama terjadi pada pasangan yang keduanya bekerja sehingga sulit untuk mengasuh anak secara penuh. Ada pula lansia yang menghabiskan waktunya dengan berkumpul dan bermain dengan teman – teman perkumpulan atau tetangganya. Terkadang mereka juga mengunjungi anak – anak mereka, untuk menghabiskan waktu dan tetap menjaga komunikasi tetap baik.


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha Dalam hidup seorang lansia, dapat dinilai kepuasan hidup yang dirasakan lansia tersebut berdasarkan proses sepanjang rentang kehidupannya. Kepuasan hidup atau life satisfication adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan. Kepuasan hidup digunakan secara luas sebagai indeks kesejahteraan psikologis pada orang – orang dewasa lanjut. Pendapatan, kesehatan, suatu gaya hidup yang aktif, serta jaringan pertemanan dan keluarga dikaitkan dengan kepuasan hidup orang – orang dewasa lanjut melalui cara yang dapat diduga. Orang – orang dewasa lanjut dengan pendapatan yang layak dan kesehatan yang lebih baik cenderung puas dalam kehidupannya dibandingkan rekan sebayanya yang memiliki pendapatan kecil dan kesehatan yang buruk (Markides & Martin, 1979 dalam Santrock, 1995). Suatu gaya hidup yang aktif dikaitkan dengan kesejahteraan psikologis pada orang – orang dewasa lanjut.

Orang – orang dewasa lanjut yang pergi ke gereja, pergi ke pertemuan – pertemuan, bepergian, bermain golf dan berolah raga secara teratur lebih puas dengan kehidupannya dibandingkan orang - orang dewasa lanjut yang tinggal di rumah dan mengurung dirinya dalam kepompong. Orang - orang dewasa lanjut yang memiliki jaringan sosial pertemanan dan keluarga yang luas juga lebih puas dengan hidupnya dibandingkan dengan orang - orang dewasa lanjut yang terisolasi secara sosial (Chappel & Badger, 1989; Palmore,dkk 1985).


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha Namun tidak sedikit dari mereka juga yang berprilaku menarik diri, seperti sangat jarang ke luar rumah atau sedikit berkomunikasi dengan tetangga bahkan keluarga sendiri, mereka lebih memilih berada dalam rumah mereka sendiri. Tidak sedikit pula, lansia yang menghabiskan waktu akhirnya di panti jompo, baik berdasarkan keputusan mereka sendiri maupun berdasarkan keputusan keluarga bersama. Bagi lansia yang memilih untuk tinggal dipanti jompo terdapat beberapa keuntungan diantaranya adalah perawatan diri dan kebutuhan sehari – hari, latihan untuk memecahkan masalah, konsultasi diri, mengikuti berbagai kegiatan yang mereka minati, dan mendapatkan jaringan pertemanan yang baru dalam hidup mereka.

Panti jompo sendiri adalah tempat berkumpulnya orang – orang lanjut usia yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk di urus segala keperluannya, ada yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta (UU no.12 tahun 1996). Penggunaan jasa panti jompo sebagai suatu solusi adalah tepat, selama pengambilan keputusan/kesepakatan untuk tinggal di Panti jompo itu telah melibatkan seluruh anggota keluarga serta disetujui oleh lansia bersangkutan. Keluarga yang memasukkan orang tuanya ke panti jompo harus tetap menunjukkan kasih sayangnya meski mereka berada di Panti jompo. Panti jompo bisa menjadi pilihan yang baik untuk menikmati hari tua. Akan tetapi masih terdapat sebagian masyarakat Indonesia yang memandang fenomena ini sebagai sesuatu yang negatif. Pandangan masyarakat tentang Panti Jompo dan orangtua yang dititipkan disana agaknya perlu diluruskan. Orangtua yang dititipkan di Panti jompo


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha tidak berarti mereka terbuang, mereka tetap memiliki keluarga yang merupakan bagian penting dari keberadaannya.

(http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/panti-werdha-adalah-pilihan/)

Di Panti jompo para lansia menemukan teman yang relatif seusia dengannya untuk tempat berbagi cerita. Keberadaan lansia di Panti dengan berbagai karakter serta berbagai ragam problematika dipandang perlu untuk memberikan suatu penanganan khusus sesuai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Di Panti jompo selain mendapatkan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar, juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan para lansia dalam mengisi waktu luang. Diantaranya pemberian Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental Spiritual serta Rekreasi, penyaluran bakat dan hoby, terapi kelompok, senam dan banyak kegiatan lainnya. Di Panti mereka mendapatkan fasilitas serta kemudahan– kemudahan / aksesibilitas lainnya. selain bersama teman seusianya, mereka juga mendapatkan pelayanan maksimal dari para Pekerja Sosial sehingga menemukan hari-harinya dengan ceria dan juga dapat menambah rasa optimis dalam diri para lansia.

(http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/panti-werdha-adalah-pilihan/)

Menurut Seligman (1990), sikap optimis dan pesimis merupakan hasil dari explanatory style. Sedangkan, Explanatory Style itu adalah bagaimana individu menjelaskan penyebab dari suatu peristiwa yang terjadi


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha pada diri mereka Terdapat dua cara dalam memandang kehidupan yang berbeda yaitu memandang hidup secara optimis dan memandang hidup secara pesimis. Individu yang mempunyai sikap Optimistic explanatory style memiliki keuntungan dalam menjalani hidupnya, seperti : memerbesar peluangnya untuk terhindar dari stress dan gangguan depresi, memerbesar mampu mencapai tujuan hidup dan meningkatkan bakat yang ada didiri individu tersebut, dan mempunyai kesehatan yang baik. (Seligman, 1990).

Optimistic explanatory style adalah mereka yang ketika berhadapan

dengan peristiwa-peristiwa buruk, berpikir mengenai peristiwa-peristiwa yang buruk tersebut dalam cara yang berlawanan. Individu cenderung untuk percaya bahwa situasi buruk hanyalah sebuah kemunduran sementara. individu yang optimis percaya bahwa situasi buruk bukanlah kesalahan mereka, individu menganggap hal-hal seperti keadaan, nasib buruk dan orang lain yang menyebabkannya. Ketika berhadapan dengan situasi yang buruk, individu memaknakannya sebagai sebuah tantangan dan akan berusaha lebih keras. (Seligman, 1990). Lansia yang memiliki Optimistic

explanatory style pada saat mengalami situasi buruk, seperti : Pada saat

kesehatan lansia terganggu maka lansia tidak menganggap penyakit yang dialaminya itu merupakan sakit yang akan lansia derita selamanya karena lansia merasa telah menjaga kesehatannya dengan rajin berolahraga, melainkan menganggap sakit yang dialaminya disebabkan oleh cuaca yang kurang baik sehingga kesehatan lansia menurun.


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha Sedangkan pessimistic explanatory style adalah mereka yang cenderung percaya bahwa peristiwa-peristiwa buruk akan berlangsung untuk waktu lama, individu akan menghentikan semua yang individu lakukan dan menganggapnya peristiwa buruk itu terjadi disebabkan oleh kesalahan individu sendiri. (Seligman, 1990). Lansia yang memiliki Pessimistic

explanatory style pada saat mengalami situasi buruk, seperti : Pada saat

kesehatan lansia terganggu maka lansia akan menganggap sakit yang dideritanya disebabkan karena lansia tidak menjaga kesehatan dan usianya yang sudah tua maka lansia menganggap kesehatannya akan terus memburuk.

Untuk dapat menentukan apakah seorang lansia memiliki optimistic

explanatory style atau pessimistic explanatory style, terdapat tiga dimensi

yang dapat digunakan untuk mengukurnya, yaitu permanence (aspek waktu dari keadaan yang dialami individu), pervasiveness (aspek ruang lingkup dari suatu keadaan yang dialami individu), personalization (aspek internal dan ekstrenal penyebab terjadinya suatu keadaan). (Seligman, 1990).

Lansia yang memiliki optimistic explanatory style cenderung berpikir masa tua bukanlah penghalang untuk tetap belajar keterampilam baru, mengembangkan hubungan baru, dan mengeksplorasi hal baru. Proses menua yang sukses bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan penyesuaian terhadap kehilangan-kehilangan karena usia, tetapi lebih pada pengembangan kapasitas-kapasitas baru dan pencarian tantangan baru. (http://edysubiarto.blogspot.com/2010/12/optimisme-memasuki-lansia.html)


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan dengan salah satu lansia yang merasa gelisah dan kesepian dengan lingkungan barunya berpikir bahwa ketidaknyamanannya yang lansia rasakan hanya bersifat sementara dan perasaan senang serta terhibur oleh kegiatan di panti jompo akan berpikir bahwa kenyamanan dan kebahagiaan yang lansia rasakan ini bertahan selamanya. Lansia mempercayai bahwa penyebab kejadiannya atau peristiwa buruk yang mereka alami bersifat temporer, sedangkan peristiwa baik yang mereka alami bersifat menetap.

Sedangkan ada lansia yang merasa kesepian dan jauh dari keluarga yang lansia rasakan akan menetap dan selamanya sehingga perasaan senang atau nyaman yang lansia rasakan hanya bersifat sementara. Lansia yang mempercayai peristiwa yang buruk mereka alami akan bersifat menetap, sedangkan peristiwa yang baik hanya sementara.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai explanatory style pada lansia dipanti jompo ” X ” dikota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

explanatory style pada lansia dipanti jompo ” X ” dikota Bandung melalui

dimensi-dimensinya dalam good situation dan bad situation.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

 Sebagai bahan masukkan bagi ilmu psikologi khususnya bidang psikologi perkembangan mengenai explanatory style pada lansia di panti jompo ” X ” di kota Bandung.

 Memberikan sumbangan informasi (wawasan) kepada peneliti lainnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai explanatory style dan mendorong dikembangkannya peneliti-peneliti lainnya yang berhubungan dengan topik tersebut.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada lansia dengan mengetahui mengenai

explanatory style pada dirinya dan diharapkan lansia tersebut dapat

menanggulangi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha  Memberikan informasi kepada keluarga atau pihak yang mendampingi

lansia mengenai explanatory style pada lansia dipanti jompo sehingga dapat berkontribusi dalam memberikan dukungan untuk lansia dipanti jompo pada saat menghadapi bad situation.

 Memberikan informasi kepada psikolog, dan para ahli lainnya mengenai explanatory style pada lansia di panti jompo, memberikan konstribusi dalam memberikan dukungan kepada lansia dipanti jompo dan dapat menjadi pertimbangan dalam memberikan intervensi dalam menghadapi bad situation.

1.5 Kerangka Pikir

Pada masa dewasa akhir, para lansia (sebutan orang – orang yang berada pada masa dewasa akhir hidupnya) tetap melakukan perkembangan. Namun, selain perkembangan pada masa ini ditemukan pula banyak masalah, seperti masalah fisik, kognisi dan sosial-emosional. Perkembangan fisik yang dialami lansia seperti mengalami kehilangan sebagian kecil fungsi otaknya karena hilangnya sebagian neuron, penurunan kapasitas paru – paru akibat berkurangnya elastisitas diagfragma, masalah seksual, perubahan sensori fisik mencakup penurunan indra penglihatan, pendengaran, perasa, pembau dan peraba, dan berbagai penyakit rawan lainnya seperti sakit jantung, masalah pada tekanan darah, stroke dan lain sebagainnya.

Perkembangan kognisi yang dialami oleh lansia berpengaruh pada kecerdasannya. Misalnya, John Horn berpikir bahwa beberapa kemampuan


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha menurun sementara kemampuan lainnya tidak ( Horn & Donaldson, 1980 ). Perkembangan sosio emosional yang dialami oleh lansia lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitasnya. Permasalahan dapat hadir jika terjadi perubahan yang besar antara sebelum dan sesudah pensiun. Lansia akan merasa sangat bosan dan ditinggalkan jika aktivitas yang dijalaninya berbeda jauh atau lebih santai dari sebelumnya. Lansia pun akan mengalami kesulitan dalam hal financial jika tidak dipersiapkan jauh – jauh hari sebelumnya. Pertemanan dengan sesama atau pun kedekatan dengan keluarga dapat menjadi salah satu sumber masalah dan juga berpengaruh pada tingkat kepuasan hidup lansia.

Sikap optimis dan pesimis, Menurut Seligman (1990) merupakan hasil dari

explanatory style. Sedangkan, Explanatory Style itu sendiri adalah bagaimana

individu menjelaskan penyebab dari suatu peristiwa yang terjadi pada diri mereka.

Explanatory style memiliki tiga dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Permanence membicarakan masalah waktu, yaitu apakah suatu

peristiwa atau keadaan yang dialami individu tersebut bersifat permanence (menetap) atau temporary (sementara). Individu yang memiliki optimistic

explanatory style mempercayai bahwa penyebab kejadian atau peristiwa buruk

yang mereka alami hanya bersifat temporer, sedangkan kejadian atau peristiwa baik yang mereka alami bersifat menetap. Bagi individu yang memiliki

pessimistic explanatory style mempercayai bahwa penyebab dari peristiwa

peristiwa yang buruk akan bersifat menetap bagi lansia dan peristiwa – peristiwa yang baik hanya bersifat sementara.


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha

Pervasiveness membicarakan ruang lingkup pada suatu keadaan atau

peristiwa yang dibedakan antara ruang lingkup universal atau spesifik. Pada saat mengalami peristiwa yang buruk, individu yang cenderung memiliki pessimistic

explanatory style menjelaskan peristiwa tersebut secara universal, lansia akan

menyerah pada setiap hal yang dimiliki oleh lansia ketika kegagalan terjadi pada satu aspek. Lansia yang menyebutkan alasan keluarganya tidak menjenguknya karena merasa terbebani oleh dirinya akan menjelaskan secara universal bahwa dirinya tidak akan merasa senang dan merasa layak berada dipanti jompo karena orang – orang yang berada dipanti jompo pun akan merasa terbebani oleh dirinya, misalnya lansia akan lebih banyak bekerja dan menghabiskan waktu dan tenaga hanya untuk mengurus dirinya.

Sedangkan individu yang cenderung memiliki optimistic explanatory style akan menjelaskan peristiwa buruk yang menimpanya secara spesifik. Lansia yang menyebutkan alasan keluarganya tidak menjenguknya mungkin karena tidak memiliki waktu yang cukup untuk menjenguknya tetapi secara spesifik hanya menyebutkan kesibukan keluarga. Pada suatu peristiwa atau keadaan yang baik individu yang memiliki optimistic explanatory style akan menjelaskan peristiwa tersebut secara universal. Lansia yang merasa lebih nyaman berada dipanti jompo menjelaskan secara universal bahwa dirinya dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dan teman – teman barunya memberikan dukungan dan perhatian yang baik, begitu pula dengan pengurus panti jompo. Sedangkan pada individu yang memiliki pessimistic explanatory style akan menjelaskan peristiwa baik yang dialaminya secara spesifik. Lansia yang merasa lebih nyaman berada dipanti


(23)

14

Universitas Kristen Maranatha jompo menjelaskan secara spesifik bahwa hal itu terjadi karena ada orang yang dapat mengurus kebutuhannya sehari – hari.

Dimensi yang terakhir adalah personalization, yaitu dimensi yang membicarakan mengenai siapa penyebab dari peristiwa yang baik dan peristiwa yang buruk dilihat dari penyebab internal atau eksternal. Ketika mengalami peristiwa buruk individu yang memiliki pessimistic explanatory style akan menjelaskan penyebabnya berasal dari internal. Lansia yang merasa kesepian akan menjelaskan penyebabnya berasal dari dalam dirinya seperti karena dirinya tidak bisa bergaul dan tidak menarik untuk diajak berteman. Sedangkan pada individu yang memiliki optimistic explanatory style akan melihat penyebab suatu peristiwa buruk berasal dari luar dirinya. Lansia yang merasa tidak pernah dijenguk keluarganya akan menjelaskan penyebabnya berasal dari keluarganya yang sibuk sehingga kurang waktu untuk menjenguknya. Ketika individu mengalami peristiwa yang baik, individu yang memiliki optimistic explanatory style akan menjelaskan penyebabnya berasal dari dalam dirinya. Lansia yang merasa tenang berada dipanti jompo akan menjelaskan penyebabnya karena dirinya mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan panti. Sedangkan pada individu yang memiliki pessimistic explanatory style ketika menghadapi peristiwa yang baik akan menjelaskan penyebabnya berasal dari luar dirinya. Lansia yang merasa senang berada dipanti jompo akan menjelaskannya karena teman – teman dan orang – orang yang membantunya membuatnya merasa betah dan senang.


(24)

15

Universitas Kristen Maranatha Dari ketiga dimensi tersebut dapat dilihat explanatory style lansia yang berada dipanti jompo. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui skema berikut ini:


(25)

16

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Bagan kerangka pikir

Pesimistic explanatory style pada Bad Situation

Lansia yang masuk panti jompo

Masuk panti jompo

Optimistic explanatory style pada Good situation

Explanatory style

berdasarkan dimensi-dimensinya :

Permanence

Pervasiveness


(26)

17

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

1. Para lansia yang tinggal di panti jompo secara bergantian akan mengalami kejadian - kejadian baik dan kejadian - kejadian buruk.

2. Bagaimana para lansia menjelaskan situasi baik dan situasi buruk yang dialaminya akan mencerminkan seberapa optimis atau pesimistis dirinya dalam menghadapi situasi-situasi dalam kehidupannya.

3. Para lansia yang optimistis akan menjalani hari – harinya di panti jompo dengan suka cita. Sebaliknya para lansia yang pesimistis akan menjalani hari – harinya dengan ketidakpuasan.

4. Optimisme diperlukan para lansia agar dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dalam diri para lansia.


(27)

55 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 28 orang lansia di panti jompo “X” di kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

a. Pada saat menghadapi situasi buruk para penghuni dalam persentase terbesar menghayatinya sebagai peristiwa yang segera berlalu dan hanya memengaruhi sebagian kecil dari area kehidupannya juga tidak bersangkut-paut dengan area kehidupannya yang lain. Ini adalah indikasi yang mengarah ke Explanatory

Style Optimistic. Namun tidak ditunjang oleh dimensi personalization, karena

situasi buruk tersebut dimaknai sebagai situasi yang disebabkan oleh kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri (internal).

b. Pada saat menghadapi situasi baik para penghuni dalam persentase terbesar menghayatinya sebagai peristiwa yang akan menetap dan akan mempengaruhi sebagian besar dari area kehidupannya serta akan bersangkut-paut dengan area yang lain. Ini adalah indikasi yang mengarah ke Explanatory Style Optimistic.


(28)

56

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

a. Bagi peneliti yang ingin meneliti explanatory style pada lansia hendaknya dilakukan dengan teknik wawancara yang diikuti dengan observasi partisipatif.

5.2.2 Saran Praktis

a. Bagi keluarga atau pengelolah panti, untuk berperan lebih aktif dalam memberikan dukungan pada saat lansia mengalami situasi buruk dan membantu lansia dalam mengatasi atau memberikan solusi saat lansia mengalami permasalahan ataupun situasi buruk.


(29)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John. 1995. Life Span Development: edisi kelima. Jakarta : Erlangga

Seligman, Martin. 1992. Learned Optimism. New York: Alfred A. Knopf. Inc

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi II. Agustus 2009. Bandung :


(30)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Arihta, Yeni Sada, 1995. “ Suatu penelitian mengenai perbandingan pendapat antara pengasuh dan penghuni panti jompo tentang Panti Werda Senja Rawi Bandung. Murwaniati, Niken karawa,2008. “ Studi deskriptif mengenai explanatory style pada

pasien gagal ginjal kronik rawat jalan DI RS “X” kota Bandung.

Yunifa, Yohana, 2006.” Studi deskriptif mengenai explanatory style tentang intimate relationship pada mahasiswa di Universitas ‘X’ kota Bandung yang orang tuanya bercerai.

(http://edysubiarto.blogspot.com/2010/12/optimisme-memasuki-lansia.html)

(http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita depkominfo/05/26/mensos-ri-lansia-terlantar-tanggung-jawab-bersama.html)

(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/24/nas09.html)


(1)

Pesimistic explanatory style pada Bad Situation Lansia yang

masuk panti jompo

Masuk panti jompo

Optimistic explanatory style pada Good situation

Explanatory style berdasarkan dimensi-dimensinya :

Permanence Pervasiveness Personalization


(2)

17

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

1. Para lansia yang tinggal di panti jompo secara bergantian akan mengalami kejadian - kejadian baik dan kejadian - kejadian buruk.

2. Bagaimana para lansia menjelaskan situasi baik dan situasi buruk yang dialaminya akan mencerminkan seberapa optimis atau pesimistis dirinya dalam menghadapi situasi-situasi dalam kehidupannya.

3. Para lansia yang optimistis akan menjalani hari – harinya di panti jompo dengan suka cita. Sebaliknya para lansia yang pesimistis akan menjalani hari – harinya dengan ketidakpuasan.

4. Optimisme diperlukan para lansia agar dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dalam diri para lansia.


(3)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 28 orang lansia di panti jompo “X” di kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

a. Pada saat menghadapi situasi buruk para penghuni dalam persentase terbesar menghayatinya sebagai peristiwa yang segera berlalu dan hanya memengaruhi sebagian kecil dari area kehidupannya juga tidak bersangkut-paut dengan area kehidupannya yang lain. Ini adalah indikasi yang mengarah ke Explanatory Style Optimistic. Namun tidak ditunjang oleh dimensi personalization, karena situasi buruk tersebut dimaknai sebagai situasi yang disebabkan oleh kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri (internal).

b. Pada saat menghadapi situasi baik para penghuni dalam persentase terbesar menghayatinya sebagai peristiwa yang akan menetap dan akan mempengaruhi sebagian besar dari area kehidupannya serta akan bersangkut-paut dengan area yang lain. Ini adalah indikasi yang mengarah ke Explanatory Style Optimistic.


(4)

56

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

a. Bagi peneliti yang ingin meneliti explanatory style pada lansia hendaknya dilakukan dengan teknik wawancara yang diikuti dengan observasi partisipatif.

5.2.2 Saran Praktis

a. Bagi keluarga atau pengelolah panti, untuk berperan lebih aktif dalam memberikan dukungan pada saat lansia mengalami situasi buruk dan membantu lansia dalam mengatasi atau memberikan solusi saat lansia mengalami permasalahan ataupun situasi buruk.


(5)

Seligman, Martin. 1992. Learned Optimism. New York: Alfred A. Knopf. Inc

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi II. Agustus 2009. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha


(6)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Arihta, Yeni Sada, 1995. “ Suatu penelitian mengenai perbandingan pendapat antara pengasuh dan penghuni panti jompo tentang Panti Werda Senja Rawi Bandung. Murwaniati, Niken karawa,2008. “ Studi deskriptif mengenai explanatory style pada

pasien gagal ginjal kronik rawat jalan DI RS “X” kota Bandung.

Yunifa, Yohana, 2006.” Studi deskriptif mengenai explanatory style tentang intimate relationship pada mahasiswa di Universitas ‘X’ kota Bandung yang orang tuanya bercerai.

(http://edysubiarto.blogspot.com/2010/12/optimisme-memasuki-lansia.html)

(http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita depkominfo/05/26/mensos-ri-lansia-terlantar-tanggung-jawab-bersama.html)

(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/24/nas09.html)