DETERMINAN PENERIMAAN PELAYANAN ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM PASCA PLASENTA PADA IBU PASCA PERSALINAN DI KOTA DENPASAR.

(1)

TESIS

DETERMINAN PENERIMAAN PELAYANAN ALAT

KONTRASEPSI DALAM RAHIM PASCA PLASENTA

PADA IBU PASCA PERSALINAN

DI KOTA DENPASAR

NI MADE RAI WIDIASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

DETERMINAN PENERIMAAN PELAYANAN ALAT

KONTRASEPSI DALAM RAHIM PASCA PLASENTA

PADA IBU PASCA PERSALINAN

DI KOTA DENPASAR

NI MADE RAI WIDIASTUTI NIM 1492161020

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

ii

DETERMINAN PENERIMAAN PELAYANAN ALAT

KONTRASEPSI DALAM RAHIM PASCA PLASENTA

PADA IBU PASCA PERSALINAN

DI KOTA DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE RAI WIDIASTUTI NIM 1492161020

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii


(5)

iv

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diujikan pada Tanggal : 13 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 3121/UNI4.4/HK/2016

Tanggal: 11 Juli 2016

Ketua : Prof.Dr.dr.Mangku Karmaya, M.Repro.,PA(K) Anggota :

1. Ni Luh Putu Suaryani, S.KM, MHlth&IntDev 2. Prof.Dr.dr.Alex Pangkahila, MSc, Sp.And 3. Dr.dr.Dyah Pradnyaparamita Duarsa, MSi 4. Dr.Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc, PhD


(6)

v


(7)

vi

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul “Determinan Penerimaan Pelayanan Alat Kontrasepsi Dalam RahimPasca Plasenta pada Ibu Pasca Persalinan di Kota Denpasar”.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.dr.Mangku Karmaya, M.Repro.,PA(K) selaku dosen pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, arahan, semangat dan bimbingan dalam penulisan penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ni Putu Suaryani, S.KM, MHlth&IntDev, selaku dosen pembimbing kedua yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.Dr.dr.Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Direktur RSUD Wangaya Denpasar, para Kepala Puskesmas IV Denpasar Barat, Puskesmas I Denpasar Timur, Puskesmas II Denpasar Barat dan ibu – ibu Bidan yang bertugas pada masing-masing tempat penelitian yang telah membantu dalam penelitian


(8)

vii

vii

tesis ini. Kedua orang tua, kakak kandung, kakak ipar, suami tercinta dan keluarga besar yang telah memberikan semangat yang luar biasa serta memberikan dukungan moril dan materil serta teman-teman angkatan VI MIKM UNUD yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat.

Demikian hasil penelitian ini penulis susun dengan harapan semoga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan penelitian tesis ini.

Denpasar, Mei 2016


(9)

viii

viii

ABSTRAK

DETERMINAN PENERIMAAN PELAYANAN ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM PASCA PLASENTA

PADA IBU PASCA PERSALINAN DI KOTA DENPASAR

Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) memiliki tugas untuk menurunkan angka Total Fertility Rate (TFR) melalui pelayanan kontrasepsi terutama metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Saat ini sasaran terbaru program KB dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu adalah pada kelompok unmet need dan ibu pasca bersalin. Berbagai jenis metoda kontrasepsi dapat digunakan pada pasca persalinan, tetapi yang paling berpotensi untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB (missed oportunity) adalah AKDR pasca plasenta, yakni pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim dalam 10 menit setelah plasenta lahir atau sebelum penjahitan uterus pada operasi caesar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang hubungan dengan penerimaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta di Kota Denpasar.

Desain penelitian ini adalah survey sampel, sampel penelitian sebanyak 100 orang, diambil dengan metode Non-Probability Sampling dengan tehnik consecutive sampling. Variabel terikat adalah penerimaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta, sedangkan variabel umur, pendidikan, paritas, pengetahuan, persepsi, status pembiayaan, peran petugas, tempat dan frekuensi pemeriksan kehamilan sebelumnya, dan dukungan suami sebagai variabel bebas. Data dikumpulkan dengan metode wawancara dengan alat bantu kuesioner. Analisis data dilakukan secara bertahap meliputi analisis univariat, bivariat ( chi-square) dan multivariat (regresi logistik).

Penelitian menunjukkan proporsi penerimaan pemakaian AKDR pasca plasenta sebesar 35%. Hasil uji bivariat menunjukkan ada hubungan pengetahuan ibu (p=0,001), persepsi kerentanan terhadap efek samping (p=0,001), persepsi keparahan akan efeksamping (p=0,001), persepsi manfaat (p=0,001), persepsi hambatan (p=0,001), peran petugas kesehatan (p=0,001), tempat pemeriksaan kehamilan (p=0,001) dan dukungan suami (p=0,001). Analisis multivariat didapatkan variabel yang terbukti mempengaruhi penerimaan adalah persepsi keparahan rendah terhadap efeksamping kontrasepsi AKDR pasca plasenta (p=0,039; OR=5,288; CI 95%= 1,085-25,761), persepsi manfaat tinggiterhadap AKDR pasca plasenta (p=0,001; OR=10,39; CI 95%=2,792-38,56), peran petugas kesehatan dalam memberikan promosi dan konseling saat ANC (p=0,006; OR=7,1; CI95%=1,781-28,60), dan dukungan suami (p=0,001; OR=12,020; CI95%=2,888-50,01).Upaya peningkatan penerimaan AKDR pasca plasenta dengan peningkatan kualitas konseling KB pasca salin saat ANCdan melibatkan suami/pasangan serta meningkatkan semua komponen dukungan oleh petugas kesehatan di Kota Denpasar


(10)

ix

ix

ABSTRACT

DETERMINANTS ACCEPTANCE OF POST PLACENTAL

INTRAUTERINE DEVICE (PPIUCD) FOR WOMEN AFTER DELIVERY IN DENPASAR

Population and Family Planning Program has the task to decrease the Total Fertility Rate (TFR) through contraceptive services, especially long-term contraceptive method. Currently the latest target of family planning programs in an effort to improve maternal health is in the group of unmet need and the post partum mothers. Various types of contraceptive methods can be used on postpartum, but the most potential to prevent loss of opportunity in family planning (missed oportunity) is the post placental intrauterine device (PPIUCD), which is the installation of an intrauterine device within 10 minutes after delivery of the placenta or before suturing the uterus at cesarean section. This study aims to determine the factors that relation with the acceptance of post placental intrauterine device (PPIUCD) in Denpasar.

This study design of this study was a sample survey, the sample of 100 people, taken by the method of non-probability sampling with consecutive sampling technique. The dependent variable was the acceptance of post placental intrauterine device (PPIUCD) services, while the variables of age, education, parity, knowledge, perception, financial status, the role of the clerk, place and frequency of examination of previous pregnancies, and support her husband as independent variables. Data were collected by interview with a questionnaire tools. Data analysis was carried out gradually include univariate, bivariate (chi-square) and multivariate (logistic regression).

Research shows the proportion of post placental reception IUD use by 35%. The test results bivariate showed relation of mother knowledge (p=0.001), perception of susceptibility to the side effect of family planning (p=0.001), perception of severity (p=0.001), the perception of the benefits of birth control (p=0.001), perceived barriers (p=0.001 ), the role of the officer (p=0.001), where antenatal care (p=0.001) and the support of her husband (p=0.001). Multivariate analysis found that variables which gave effect to acceptance was the perception of the severity which would give side effect to post placentalintrauterine device (PPIUCD) (p=0.039; OR=5.288; 95% CI=1.085 to 25.761), the perception of the benefits of contraception (p=0.001; OR=10.39; CI 95%=2.792 to 38.56), the role of the officer (p=0.006; OR=7.1; CI=1.781 to 28.60), and the support of her husband (p=0.001; OR=12.020; CI=2.888 to 50, 01).Efforts to improve post placentalintrauterine device acceptance by improving the quality of family planning counseling current ANC, involving her husband and to improve all components of support by health workers in Denpasar

Keywords: acceptance, post placental intrauterine device (PPIUCD), woman after delivery, Denpasar


(11)

x

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

PERSYARATAN GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus ... 9

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis ... 9

1.4.2 Manfaat Teoritis ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Keluarga Berencana Pasca Persalinan ... 11

2.2 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Pasca Plasenta ... 13

2.3 Faktor-Faktor Yang Berkaitan Dengan Penggunaan AKDR ... 17


(12)

xi

xi

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir ... 30

3.2 Konsep Penelitian ... 31

3.3 Hipotesis Penelitian ... 33

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 34

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Penelitian ... 35

4.3.2 Sampel Penelitian ... 35

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 37

4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel Penelitian ... 37

4.4.2 Definisi Operasional... 38

4.5 Instrumen Penelitian ... 40

4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Cara Pengumpulan Data ... 41

4.6.2 Pengolahan Data ... 42

4.7 Analisis Data 4.7.1 Analisis Univariat... 46

4.7.2 Analisis Bivariat ... 46

4.7.3 Analisis Multivariat ... 47

4.8 Etika Penelitian ... 48

BAB V HASIL PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik responden ... 49

5.2 Penerimaan AKDR Pasca Plasenta ... 50

5.3 Hubungan variabel independent dengan penerimaan layanan AKDR pasca plasenta ... 52


(13)

xii

xii BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Penerimaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta ... 59 6.2 Keterbatasan penelitian ... 68

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan ... 70 7.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(14)

xiii

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Perbandingan Tingkat Ekspulsi pada insersi AKDR

berdasarkan Health Thechnology Assesment (HTA) Indonesia,

KB pada periode menyusui (Hasil kajian HTA pada tahun 2009).... 13

Tabel 4.1 Definisi Operasional... 38

Tabel 5.1 Karakteristik Responden Penelitian ... 49

Tabel 5.2 Penerimaan AKDR Pasca Plasenta ... 50

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jawaban Alasan Suami Menolak Penggunaan ... 50

Tabel 5.4 Rencana Pemakaian Kontrasepsi pada Ibu/Suami yang Menolak Penggunaan AKDR Pasca Plasenta ... 51

Tabel 5.5 Analisis Bivariat Hubungan Penerimaan Pelayanan dengan Variabel Independen ... 52

Tabel 5.6 Determinan Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pelayanan AKDR Pasca Plasenta ... 57


(15)

xiv

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Determinan Prilaku Manusia... 28 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 32 Gambar 4.1 Bagan rancangan studi cross sectional ... 34


(16)

xv

xv

DAFTAR SINGKATAN

AKDR : Alat Kontrasepsi Dalam Rahim ANC : Ante Natal Care

AKI : Angka Kematian Ibu

CPR : Contraseptive Prevalend Rate CI : Confidence Interval

HTA : Health Thechnology Assesment

IUD : Intra Uterine Device KIA : Kesehatan Ibu dan Anak MPS : Making Pragnancy Safer

MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

TFR : Total Fertility Rate


(17)

xvi

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Penjelasan Penelitian

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Penelitian

Lampiran 4. Kuesioner Penelitian

Lampiran 5. Output Hasil Analisis Data

Lampiran 6. Surat Keterangan Kelaikan Etik

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian Dinas Penanaman Modal & Perijinan Provinsi Bali

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa & Politik Kota Denpasar


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu dari negara berkembang dengan jumlah penduduk Indonesia yang menempati posisi ke empat di dunia setelah negara Cina, India dan Amerika Serikat serta laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kelahiran mencapai 4.500.000 setiap tahunnya, dimana jumlah rata-rata anak dalam periode masa reproduksi perempuan (TFR) di Indonesia pada tahun 2003 sampai tahun 2012 stagnan diangka 2,6, disisi lain TFR Provinsi Bali mengalami peningkatan dari 2,1 pada tahun 2007 menjadi 2,3 pada tahun 2012 dan peningkatan laju pertumbuhan penduduk dari 1,26% menjadi 2,15%. Maka Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) memiliki tugas untuk menurunkan angka Total Fertility Rate (TFR) melalui pelayanan kontrasepsi. Salah satu upaya menurunkan TFR adalah dengan mengatur jarak kelahiran dengan penggunaan kontrasepsi terutama metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP).

Penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia masih didominasi oleh metode non MKJP seperti kontrasepsi hormonal yang bersifat jangka pendek dan umumnya memiliki continuation rate yang rendah dibandingkan dengan metode kontrasepsi jangka panjang (BKKBN, 2009). Hal ini sesuai dengan laporan Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012, dimana penggunaan


(19)

2

suntikan KB meningkat secara substansial dari 12 % pada SDKI 1991 menjadi 32% pada SDKI 2012, disisi lain trend penggunaan AKDR menurun dari 13,3 % menjadi 3,9 %.

Penurunan penggunaan kontrsepsi jangka panjang dipengaruhi oleh faktor pengguna dan penyedia layanan KB. Salah satu faktor yang dianggap berkontribusi dengan kecendrungan pemilihan kontrasepsi jangka pendek adalah faktor penerimaan atau image terhadap kontrasepsi tersebut, dikarenakan informasi yang belum optimal dalam penyampaian manfaat kontrasepsi jangka panjang. Meskipun masing-masing jenis kontrasepsi memiliki tingkat efekivitas yang hampir sama bila digunakan secara benar, akan tetapi efektivitas kontrasepsi terutama kontrasepsi jangka pendek dipengaruhi antara lain oleh perilaku dan tingkat sosial budaya pemakainya. Apabila persentase peserta KB yang memakai alat kontrasepsi jangka pendek ternyata tetap tinggi, maka dikhawatirkan akan lebih banyak terjadi drop-out, sehingga target penurunan TFR 2,1 tidak tercapai.

Indikator dalam Keluarga Berencana (KB) yaitu Contraceptive Prevalence Rate(CPR) dan unmet need. Contraceptive Prevalence Rate(CPR) adalah angka kesertaan ber-KB dan unmet need pelayanan KB adalah pasangan usia subur yang tidak ingin memiliki anak lagi atau yang ingin menjarangkan kelahiran tetapi tidak menggunakan kontrasepsi. Angka Contraceptive Prevelance Rate (CPR) di Provinsi Bali mengalami penurunan dari 65,4 % tahun 2007 menjadi 59,6 %pada tahun 2012 (SDKI, 2012) danContraceptive Prevelance Rate(CPR) di Provinsi Bali yang paling rendah yakni di Kota Denpasar sebesar 49,9 % (Susenas, 2012). Sedangkan perkembangan persentase unmet need pelayanan KB di Kota Denpasar


(20)

3

dalam empat tahun terakhir mengalami peningkatan yakni tahun 2011 sebesar 2,3 ,tahun 2013 sebesar 4,3 dan tahun 2014 sebesar 4,49 (Mini Survey BKKBN, 2011, 2013, 2014).

Penurunan angka CPRdi Kota Denpasar berkaitan dengan meningkatnya angka unmet need. Menurunnya angka CPR dan meningkatnyaangka unmet need pelayanan KB akan berpotensi besar untuk terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Oleh sebab itu, dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu, sasaran program KB adalah pada kelompok unmet need, dan ibu pasca bersalin. KB pasca persalinan merupakan suatu upaya strategis dalam meningkatkan CPR dan mencegah kehilangan kesempatan ber-KB (missed opportunity) (Kemenkes RI, 2012). Penerapan KB pasca persalinan ini sangat penting karena kembalinya kesuburan pada seorang ibu setelah melahirkan tidak dapat diprediksi dan dapat terjadi sebelum datangnya siklus haid, bahkan pada wanita menyusui. Hal ini menyebabkan pada masa menyusui, seringkali wanita mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan bila sudah terjadi maka akan meningkatkan resiko 4 Terlalu dan angka kejadian unsafe abortion yang akan berdampak burukbagi ibu. Oleh karenaitu, diperlukan upaya meningkatkan pelayanan keluarga berencana untuk mencegahterjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dengan memulai penggunaan kontrasepsi seawal mungkin setelah persalinan.

Berbagai jenis metoda kontrasepsi dapat digunakan pada pasca persalinan, tetapi yang paling berpotensi untuk mencegah missed oportunity ber-KB adalah AKDR pasca plasenta, yakni pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim dalam 10 menit setelah plasenta lahir atau sebelum penjahitan uterus pada operasi


(21)

4

caesar(Kemeskes RI, 2012). Hasil pelayanan peserta KB baru pasca persalinan dari seluruh Kabupaen/Kota di Provinsi Bali pada bulan Agustus 2014 sampai dengan Agustus 2015 menunjukkan Kota Denpasar dengan cakupan KB pasca persalinan terendah yaitu sebesar 12,97% (BKKBN, 2015). Peningkatkan cakupan pelayanan KB pasca persalinan dilakukan dengan sosialisasi termasuk konseling tentang pemakaian kontrasepsi AKDR pasca plasenta ini dan pelaksanaan di Kota Denpasar aktif dilakukan sejak tahun 2012.

KB pasca persalinan sebenarnya bukan hal yang baru karena melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), di dalamnya terdapat amanat persalinan yang memuat tentang perencanaan penggunaan KB setelah bersalin. Selain itu KB pasca persalinan diintegrasikan kedalam kelas ibu hamil dan pelayanan antenatal terpadu. Dalam kelas ibu hamil dan pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan berkewajiban memberikan konseling KB pasca persalinan yang mengutamakan pemakaian MKJP termasuk AKDR pasca plasenta, agar setelah bersalin ibu dapat segera mendapatkan pelayanan KB(Kemenkes RI, 2012). Konseling KB pasca persalinan dapat dilaksanakan pada waktu pemeriksaan kehamilan, saat mengisi amanat persalinan dalam P4K dan saat mengikuti kelas ibu hamil.

Metode AKDR pasca plasenta mempunyai keuntungan tersendiri, yaitu mengurangi angka kesakitan ibu dan pemasangan lebih efektif karena dilakukan setelah plasenta lahir. Insersi AKDR pascaplasentamemiliki angka ekspulsi rata-rata 9-12,5% sama dengan pemasangan pada masa interval (> 4minggu) jika dipasang oleh tenaga terlatih. Angka ekspulsi ini lebih rendah bila dibandingkan


(22)

5

dengan waktu pemasangan lebih dari 10 menit sampai dengan 48 jam pasca persalinan (early postpartum) yaitu 25-37% (USAID, 2008).

Pemasangan AKDR pasca plasenta belum terlalu banyak digunakan karena masih kurangnya sosialisasi mengenai hal ini dan masih adanya persepsi dan ketakutan pada calon akseptor mengenai terjadinya komplikasi seperti perforasi uterus, infeksi, perdarahan, dan nyeri (Edelmanet al.,, 1981). Padahal pemasangan pada masa ini aman, memiliki risiko kecil untuk infeksi, sedikit perdarahan, dan angka kehamilan yang tidak direncanakan pada pemasangan alat kontrasepsi AKDR pasca plasentaadalah 2-2,8 per 100 pemakai selama 24 bulan (O’Hanley K, 1992).

Pelaksanaan pelayanan kontrasepsiAKDR pasca plasenta di Provinsi Bali khususnya Kota Denpasar aktif dilakukan sejak tahun 2012 dan saat ini sedang ditingkatkan, mengingat AKDR merupakan metode kontrasepsi jangka panjang yang efektif. Pelaksanaan pelayanan AKDR pasca plasenta di Kota Denpasar aktif dilaksanakan oleh RSUD Wangaya, Puskesmas rawat inap seperti Puskesmas IV Denpasar Selatan, Puskesmas Pembantu Dauh Puri, dan Puskesmas I Denpasar Timur. Rata-rata ibu yang bersedia untuk dipasangkan AKDR pasca plasentadari keempat tempat pelayanan tersebut sebesar 10% sampai 30 % dari total persalinan yang ada, baik pada persalinan normal maupun operasi sectio cesarea tanpa adanya komplikasi.

Berbagai cara telah dilakukan untuk meningkatkan cakupan MKJP seperti pelatihan pemasangan AKDR pasca plasentabagi tenaga bidan serta peningkatan keahlian komunikasi termasuk konseling. Tidak semua ibu hamil yang sudah


(23)

6

dikonseling sebelumnya saat pelayanan ANC berminat untuk memakai KB AKDR pasca plasenta. Faktor yang mempengaruhi ibu dalam penggunaan KB AKDR ini antara lain usia, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, persepsi, pembiayaan pelayanan, peran petugas, pelayanan proses kehamilan dan dukungan suami.

Pengetahuan berhubungan secara signifikan dengan penggunaan alat kontrasepsi, semakin baik pengetahuan maka semakin rasional dalam menggunakan alat kontrasepsi (Sitopu, 2012). Ketidaktahuan peserta tentang kelebihan kontrasepsiAKDR,akan memilih menggunakan metode kontrasepsi yang lain seperti kontrasepsi hormonal yang bersifat jangka pendek. Selain itu semakin tingkat pendidikan seseorang akan mendukung penerimaan informasi KB pada pasangan usia subur.

Informasi dan konseling yang baik dari petugas membantu klien dalam memilih dan menentukan jenis kontrasepsi yang dipakai. Informasi yang baik dari petugas akan memberikan kepuasan klien yang berdampak pada lamanya penggunaan kontrasepsi yang akan membantu keberhasilan program KB (Handayani et al.,, 2012). Aspek pelayanan dalam kehamilan dapat diketahui dari jumlah pemeriksaan kehamilan dantempat melakukan pemeriksaan. Hasil penelitian menunjukkan variabel tersebut secara statistik berhubungan terhadap penggunaan alat kontrasepsi pasca melahirkan. Semakin sering responden memeriksakan kehamilannya dan pemeriksaan dilakukan pada pelayanan swasta, meningkatkan kecenderungan ibu untuk menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan (Maika dan Kuntohadi, 2009). Selain itu dukungan suami juga


(24)

7

mempengaruhi penggunaan kontrasepsi. Suami yang mendukung istri dalam menggunakan alat kontrasepsi akan menggunakan secara terus menerus sedangkan istri yang tidak mendapatkan dukungan dari suami akan kurang konseisten dalam menggunakan alat kontrasepsi (Arliana et al., 2013). Pelaksanaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta di Rumah Sakit menyebutkan bahwa hampir 100% ibu pasca melahirkan yang merima pemasangan kontrasepsi AKDR pasca plasenta adalah pasien dengan program Jampersal(Sri Peni, 2013).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 ibu hamil trimester III, diperoleh alasan yang berkaitandengan penggunaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta yakni 60% menyatakan adanya perasaan takut untuk menggunakan alat kontrasepsi ini. Faktor psikologis yang mempengaruhi pasien tersebut adalah persepsi. Persepsi bisa mempengaruhi perilaku yang akhirnya berpengaruh pada keputusan menerima atau tidaknya pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta.Mengingat penelitian tentang kontrasepsi AKDR pasca plasenta masih jarang dilakukan sehingga peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang determinan faktor yang mempengaruhi penerimaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta pada ibu pasca salin di Kota Denpasar.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraianlatar belakang atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:


(25)

8

1. Apakah ada hubungan antara penerimaan AKDR pasca plasenta dengan karakteristik ibu berdasarkan umur, pendidikan dan paritas?

2. Apakah ada hubungan antara penerimaan AKDR pasca plasenta dengan persepsi ibu yang meliputi persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan?

3. Apakah ada hubungan antara penerimaan AKDR pasca plasenta dengan pengetahuan ibu?

4. Apakah ada hubungan antara penerimaan AKDR pasca plasenta dengan pola pembiayaan KB?

5. Apakah ada hubungan antara penerimaan AKDR pasca plasenta dengan peran petugas kesehatan, tempat dan frekuensi ibu melakukan pemeriksaan kehamilan sebelumnya?

6. Apakah ada hubungan antara penerimaan AKDR pasca plasenta dengan dukungan suami?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta pada ibu pasca salin


(26)

9

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Proporsi ibu yang menerima pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta 2. Hubungan penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta dengan

karakteristik ibu berdasarkan umur, pendidikan dan paritas

3. Hubungan penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta dengan persepsi ibu yang meliputi persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan

4. Hubunganpenerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta dengan pengetahuan ibu

5. Hubungan penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta dengan pola pembiayaan

6. Hubungan penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta dengan peran petugas kesehatan, tempat dan frekuensi ibu melakukan pemeriksaan kehamilan sebelumnya

7. Hubungan penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta dengan dukungan suami

8. Determinan penerimaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan masukan dalam merencanakan program peningkatan cakupan


(27)

10

kontrasepsiAKDR pasca plasenta sehingga dapat menciptakan strategi dalam memberikan konseling kepada calon akseptor tentang alat kontrasepsi MKJP.

1.4.2 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peneliti selanjutnya, serta diharapkan sebagai pertimbangan dan pengembangan penelitian tentang tingkat keberhasilan penggunaan AKDR pascaplasenta.


(28)

(29)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Keluarga Berencana Pasca Persalinan

Pelayanan KB pasca persalinan merupakan salah satu cara mempercepat penurunan angka kematian ibu (AKI) dan telah dicanangkan didalam Making Pragnancy Safer (MPS) pada tanggal 12 Oktober 2000. Tiga pesan kunci program MPS adalah (1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2) setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan (3) seiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Pesan MPS yang ketiga merupakan pesan pentingnya peningkatan dalam penyediaan pelayanan KB.

Terkait dengan pemantapan tiga pesan kunci MPS, pada tahun 2007 Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan “Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dengan stiker” yang merupakan salah satu upaya dalam percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir melalui kegiatan peningkatan pelayanan KIA dan KB yang berkualitas. Indikator keberhasilan P4K dengan stiker salah satunya adalah persentase penggunaan metode KB pasca persalinan (BKKBN, 2012). Peningkatan pelayanan KB pasca persalinan sangat mendukung tujuan pembangunan kesehatan dan hal ini juga ditunjang dengan banyaknya calon peserta KB baru (ibu hamil dan bersalin) yang sudah pernah kontak dengan tenaga kesehatan. Seorang ibu yang baru melahirkan


(30)

12

bayi biasanya lebih mudah untuk diajak menggunakan kontrasepsi, sehingga waktu setelah melahirkan adalah waktu yang paling tepat untuk mengajak seorang ibu menggunakan kontrasepsi.

Berdasarkan jangka waktu pemakaiannya metoda kontrasepsi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu MKJP dan non-MKJP. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) merupakan metode kontrasepsi yang dipakai jangka waktu yang panjang, efektif, efisien, dengan tujuan pemakaian untuk menjarangkan kehamilan dan kelahiran lebih dari tiga tahun atau mengakhiri kehamilan bila sudah tidak ingin menambah anak lagi. Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) Nasional diIndonesia, menganut system “cafetaria” dengan menawarkan berbagai jenis kontrasepsi salah satunya adalah Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) yang aman dan efektif digunakan dalam jangka waktu lebih lama. Pada akhir tahun 80-an sampai awal tahun 90-an, AKDR merupakan kontrasepsi yang cukup populer setelah pil dan suntikan. Namun beberapa tahun terakhir ini pola pemakaian AKDR di Indonesia cendrung menurun, yakni 13,3 % (SDKI 1991), 10,3 % (SDKI 1994), 8,1 % (SDKI 1997), turun menjadi 6,2 % (SDKI 2002-2003) dan turun lagi menjadi 4,9 % (SDKI 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryatun (2009), menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasepsi AKDRlebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan metode kontrasepsi non AKDR, ini menunjukkan ada hubungan antara demand atau alasan menggunakan alat kontrasepsi dan jumlah anak dengan pemakaian KB AKDR.

Sesuai dengan HTA (Health Thechnology Assesment) Indonesia yang telah dikeluarkan oleh Kemenkes tentang pelayanan KB pada periode menyusui dan


(31)

13

upaya dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi jangka panjang adalah ditujukan pada ibu pasca bersalin dengan pemilihan penggunaan AKDR pasca plasentadalam mengatur jarak kehamilan tanpa mempengaruhi produksi air susu ibu (ASI) (BKKBN, 2012). Pelayanan KB yang berkualitas berdampak pada kepuasan klien yang dilayani dan terpenuhinya aturan penyelenggaraan pelayanan KB sesuai dengan standar pelayanan dan kode etik yang telah ditetapkan. Pelayanan KB yang berkualitas adalah bila tingkat komplikasi, ketidakberlangsungan dan kegagalan rendah atau berada dalam batas toleransi (Kemenkes R.I., 2012). Berikut adalah perbandingan tingkat ekspulsi insersi AKDR berdasarkan HTA:

Tabel 2.1. Perbandingan Tingkat Ekspulsi pada insersi AKDR berdasarkan Health Thechnology Assesment (HTA) Indonesia, KB pada periode menyusui (Hasil kajian HTA pada tahun 2009)

Waktu Insersi AKDR

Definisi Tingkat Ekspulsi Observasi

Insersi dini pasca plasenta

Insersi dalam 10 menit setelah pelepasan plasenta

9,5 – 12,5 % Ideal tingkat ekspulsi rendah Insersi segera

pasca persalinan

Lebih dari 10 menit s.d 48 jam pasca persalinan

25 – 37 % Masih aman Insersi tunda

pasca persalinan

Lebih dari 48 jam s.d 4 minggu pasca persalinan

TIDAK DIREKOMENDASIKAN Meningkatkan resiko perforasi dan ekspulsi Perpanjangan interval pasca persalinan

Lebih dari 4 minggu pasca persalinan

3-13 % Aman

2.2 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim(AKDR)Pasca Plasenta

AKDR pasca plasenta adalahAKDRyang dipasang dalam 10 menit setelah plasenta lahir (pada persalinan normal) sedangkan pada persalinan caesar, dipasang pada waktu operasai caesar (Kemenkes RI, 2012). Menurut Saifuddin


(32)

14

(2010) AKDR pasca plasentadimasukkan ke dalam fundus uteri menggunakan teknik manual dengan jari atau teknik menggunakan kombinasi ring forceps/klem ovarium dan inserter AKDR.

AKDRyang dipasang setelah persalinan selanjutnya juga akan berfungsi seperti AKDR yang dipasang sesuai siklus menstruasi. Pada pemasangan AKDR pasca plasentaumumnya digunakan jenis AKDR yang mempunyai lilitan tembaga atau CuT-380A yang menyebabkan terjadinya perubahan kimia di uterus sehingga sperma tidak dapat membuahi sel telur. Cara kerja AKDR yaitu mencegah sperma dan ovum bertemu dengan mempengaruhi kemampuan sperma sehingga tidak mampu fertilisasi, mempengaruhi implantasi sebelum ovum mencapai kavum uteri, dan menghalangi implantasi embrio pada endometrium (BKKBN, 2012).

Adapun indikasi pemasangan AKDR pasca plasentaadalah wanita pasca persalinan pervaginam atau pasca persalinan sectio secareadengan usia reproduksi dan paritas berapapun, pasca keguguran (non infeksi), masa menyusui (laktasi), riwayat hamil ektopik,tidak memiliki riwayat keputihan purulen yang mengarah kepada IMS (gonore, klamidia dan servisitis purulen) dan kontraindikasi pemasangan AKDR pasca plasentayaitumengalami perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan hingga ditemukan dan diobati penyebabnya, menderita anemia, menderita kanker atau infeksi traktus genitalis, memiliki kavum uterus yang tidak normal, menderita TBC pelvic, kanker serviksdanmenderitaHIV/AIDS (Kemenkes R.I., 2012).

Kelebihan AKDR pasca plasentamenurut Kemenkes R.I.(2012) bagi klien yaitu: a) Dapat digunakan oleh semua pasien normal atau sectio sesarea (tanpa


(33)

15

komplikasi); b)Pencegahan kehamilan dalam jangka panjang yang efektif; c) Insersi AKDRdikerjakan dalam 10 menit setelah keluarnya plasenta; d) Tidak meningkatkan risiko infeksi ataupun perforasi uterus; e) Kejadian ekspulsi yang rendah hampir sama dibandingkan dengan pemasangan setelah empat minggu pasca persalinan selama teknik dilakukan dengan benar. Kelebihan non kontrasepsi bagi klien yaitu: a) Dapat dipasang langsung saat ostium masih terbuka setelah plasenta lahir sehingga mengurangi rasa sakit; b) Tidak mempengaruhi hubungan suami istri bahkan dapat menambah kenikmatan dalam hubungan karena mengurangi kekhawatiran akan hamil; c) Tidak mempengaruhi kualitas dan volume Air Susu Ibu (ASI); d) Dapat membantu mencegah kehamilan diluar kandungan; e) Dilakukan satu kali pemasangan dan ekonomis dalam jangka waktu maksimal 8-10 tahun; f)Tidak ada interaksi dengan obat-obatan lain; g) Kesuburan dapat langsung kembali setelah AKDR terlepas (reversible); h) Tidak menimbulkan ada efek sistemik dan efek samping hormonal. Kelebihan AKDR pasca plasenta bagi program yaitu: a) Meningkatkan capaian peserta KB baru MKJP, b) Menurunkan angka unmet need; c) Meningkatkan Contraseptive Prevalence Rate (CPR). Kelebihan AKDR pasca plasenta bagi provider yaitu: a) Pemasangan mudah sesaat setelah plasenta lahir dimana ostium masih terbuka; b) Klien lebih dapat diajak kerjasama karena sensasi sakit tidak terlalu terasa saat AKDR diinsersi.

Disamping adanya kelebihan AKDR pasca plasenta terdapat pula keterbatasan alat kontrasepsi ini yaitu: a) Dapat terjadi perubahan siklus haid, haid lebih lama dan banyak, perdarahan bercak (spotting) dan nyeri haid, biasanya


(34)

16

pada tiga bulan pertama setelah pemasangan dan keluhan akan hilang dengan sendirinya; b) Kemungkinan terjadi resiko infeksi dan keputihan; c) AKDR dapat terlepas dari uterus tanpa diketahui oleh klien; c) AKDR tidak dapat dilepas sendri oleh klien, tetapi harus dilakukan oleh tenaga terlatih; d) Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS.

Penelitian yang dilakukan oleh Kaitheit dan Agarwal (2013), dimana studi dilakukan secara longitudinal prospektif dan dievaluasi saat pemakaian 6 minggu diperoleh hasil kejadian ekspulsi sebesar 10,5 % dari total ibu yang dipasangkan KB AKDR pasca plasentadan tidak ditemukan kasus perforasi. Walaupun tingkat ekspulsinya yang cukup tinggi tetapi lebih besar manfaat pemakaian kontrasepsi ini, terlebih lagi ibu yang memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian Grimes,et al., (2003) menyebutkan bahwa pemasangan AKDRsegera setelah plasenta lahir amandan efektif. Keuntunganlangsungdari pemasangan yaitu memilikimotivasi yang tinggi, jaminan bahwa wanitatidak hamil, dankenyamanan.

Diperkuat oleh penelitian Vanita Suri (2012) yang menyatakan bahwapenggunaan AKDRsegera setelah melahirkan sangat direkomendasikan oleh WHO, terutama bagi negara berkembang dimana masih rendahnya kontak antara wanita post partum dengan petugas kesehatan pada kunjungan ulang periode pertama. Dibandingkan dengan metode steril, penggunaan AKDR segera setelah melahirkan dapat menghindari ketidaknyamanan pada waktu pemasangan dan perdarahan yang terjadi disamarkan oleh lokhea. Selain itu penelitian oleh Divakar,et al., (2013) menyatakan pemasangan AKDR CUT 380 A pada 10 menit


(35)

17

setelah plasenta lahir adalah aman, nyaman, efektif biaya serta tingkatekspulsi akan minimaljikadimasukkan olehpetugas kesehatan yang terlatih. Metode KB AKDR pasca plasenta menjadi salah satu upaya untuk menekan jumlah kelahiran dengan menurunkan unmet need dan missed opportunity pada ibu pasca persalinan sehingga penggunaan MKJP diharapkan dapat mengurangi angka diskontinuitas serta dapat berkontribusi menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia.

BKKBN melakukan Penelitian Operasional (OR) AKDR pascaplasenta yang dilakukan secara cross sectional terhadap akseptor yang dilayani di RSUD Abdul Muluk Lampung dan RSUP Dr.Karyadi Semarang. Hasil OR tersebut menunjukkan bahwa di RSUD Abdul Muluk Lampung dari 207 akseptor IUD post plasenta yang dilayani setelah 6 bulan pemakaian sebanyak lima orang ( 2,4 persen) dijumpai adanya ekspulsi. Sementara di RSUP Dr.Karyadi Semarang dari 203 akseptor AKDR plasenta setelah 6 bulan ekspulsi yang terjadi pada dua orang (1,0 persen). Kedua Rumah Sakit tersebut menerapkan teknik pelayanan yang berbeda, dimana RSUD Abdul Muluk Lampung dengan teknik jari, sedangkan RSUP Karyadi Semarang dengan teknik “Push and Push”, tetapi pada pemakaian selama 12 bulan di kedua Rumah Sakit tersebut tidak dijumpai adanya ekspulsi (BKKBN, 2012).

2.3 Faktor–faktor yang berkaitan dengan penggunaan AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)

2.4.1 Umur


(36)

18

mempengaruhi seseorang dalam mencari pengobatandan penggunaan fasilitaspelayanan kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami (2013) di RSUP DR. M. Djamil menyebutkan bahwa sebesar 79% ibu pasca salin yang menggunakan AKDR pasca plasenta berumur 20-35 tahun. Hasil penelitian Winarni (2010) menyatakan bahwa semakin tua umur semakin tinggi proporsi wanita yang memakaiAKDR. Hal ini sejalan dengan penelitian Willopo dan Pastuti (2007) menyatakan bahwa variabel umur menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap penggunaanAKDR. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan semakin meningkatnya umur seseorang dan telah tercapainya jumlah anak ideal akan mendorong pasangan untuk membatasi kelahiran, hal ini yang akan meningkatkan peluang responden untuk menggunakan AKDR.

Hasil penelitian oleh Kusumaningrum (2009), menyatakan bahwa umur, tingkat pendidikan dan jumlah anak mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada pasangan usia subur. Menurut Musdalifah dan Rahma (2013) menyatakan bahwa umur, efek samping, dukungan suami, pemberian informasi petugas KB berhubungan dengan pemilihan jenis kontrasepsi. Karakteristik umur ibu dapat mempengaruhi perilaku saat menentukan pemakain kontrasepsi, semakin tua umur maka pemilihan kontrasepsi ke arah efektifitas lebih tinggi yaitu jenis metode kontrasepsi jangka panjang lebih diminati. Sejalan dengan hasil penelitian Amiranty (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan pada tiap kelompok umur dengan pemakaian MKJP, dimana wanita yang berusia 36-49 tahun memiliki peluang 10 kali lebih besar memakai MKJP dibandingkan dengan wanita yang berusia 15-19 tahun.


(37)

19

2.4.2 Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku mengenai kondisi kesehatannya. Pendidikan dapat meningkatkan akses pelayanan, yaitu dengan meningkatkan akses wanita terhadap informasi, dan meningkatkan kemampuan dalam menyerap konsep kesehatan baru. Konsep variabel pendidikan diperoleh dari teori Anderson (2003) bahwa pendidikan mempengaruhi pemilihan kontrasepsi. Pendidikan seorang ibu akan menentukan pola penerimaan dan pengambilan keputusan, semakin berpendidikan seorang ibu maka keputusan yang akan diambil akan lebih baik.

Sesuai dengan hasil penelitian Utami (2013) dimana 49 % ibu pasca salin yang menggunakan AKDR pasca plasenta dengan pendidikan tinggi. Alasan mengenai pengaruh pendidikan terhadap peningkatan penggunaan alat kontrasepsi adalah semakin tinggi pendidikan formal seseorang, maka usia kawin akan semakin tua sehingga menurunkan jumlah kelahiran (Freedman et al.,, 1994).Hasil penelitian di Kenya menunjukkan bahwa responden yang menggunakan AKDRdan implant adalah responden berpendidikan tinggi (Magadi dan Curtis, 2003).Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Tatarini Purba (2009) yang menyatakan adanya hubungan antara pendidikan dengan pemakaian alat kontrasepsi.

2.4.3 Persepsi Tentang Kontrasepsi AKDR Pasca Plasenta

Persepsi merupakan salah satu proses penilaian terhadap suatu obyek. Persepsi seseorang akan mempengaruhi proses belajar dan mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu. Individu dituntut untuk memberikan penilaian


(38)

20

terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif atau negatif, senang atau tidak senang dan sebagainya. Dari adanya persepsi akan terbentuk sikap yang memiliki kecenderungan stabil untuk berprilaku atau bertindak tertentu di dalam situasi tertentu pula (Walgito, 2010). Menurut Prasetijo (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang adalah a) Faktor internal yang meliputi pengalaman, kebutuhan saat itu, nilai-nilai yang dianut, dan ekspektasi atau pengharapan; b) Faktor eksternal yang meliputi penampilan produk, sifat-sifat stimulus, dan situasi lingkungan.

Menurut Notoatmodjo (2007) setelah seseorang mendapatkan stimulus tentang objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut praktik kesehatan, atau dapat dikatakan sebagai perilaku kesehatan. Oleh sebab itu indikator praktik kesehatan ini sangat berkaitan dengan persepsi.Pengalaman selama menggunakan AKDR, informasi yang diperoleh akseptor baik dari puskesmas, media massa dan media elektronik serta informasi dari akseptor lain yang telah menggunakanAKDR,menimbulkan suatu persepsitersendiri pada calon akseptor (BKKBN, 2012). Hal yang membuat seseorang tertarik kembali ke sesuatu yang dianggap baik dan aman bisa disebabkan karena pengalaman sebelumnya. Jika pada saat ibu memakai alat kotrasepsi dimana ibu kurang tertarik dengan alat kontrasepsi yang digunakan, maka jika ada keluhan yang wajar, maka ibu akan cendrung secara cepat mengambil keputusan pengalamanlah yang akan diambil.


(39)

21

Belum banyaknya penggunaan AKDR pasca plasenta bisa dikarenakan oleh persepsi akan rasa aman yang kurang dari cara pemasangan AKDR pasca plasenta, dimana setelah bersalin masih keluar darah yang banyak dan AKDR di dalam rahim yang telah dipasangkan bisa terlepas bersamaan dengan darah yang keluar. Selain itu berdasarkan hasil penelitian Imbarwati (2009) menyatakan bahwa 65% reponden mempunyai persepsi efek samping pemakaian AKDR seperti perdarahan, AKDR dapat keluar sendiri, haid lebih lama, lebih banyak dan nyeri selama haid. Hasil penelitian dari Santosaet al.,2014 pada peserta KB non AKDR memiliki persepsi kurang baik dalampenggunaan KB AKDRkarena adanya perasaan malu terhadap cara pemasangan AKDR dan tidak ada dukungan penuh dari pihak-pihak terkait termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat. 2.4.4 Paritas

Parias adalah wanita yang pernah melahirkan satu keturunan atau lebih yang mampu hidup tanpa memandang apakah anak tersebut hidup pada saat lahir (Bobak dkk, 2005). Hasil analisis Kusumaningrum (2009) menunjukkan kecenderungan bahwasebagian besar responden yang memakai metode kontrasepsiIUD mempunyai paritas lebih dari dua dan bertujuan untuk membatasi kelahiran. Hal ini sejalan dengan penelitian Willopo dan Pastuti (2007) menunjukkan hubungan bermakna antara paritas dengan penggunaan kontrasepsi bahwa responden yang telah melahirkan tiga sampai empat kali mempunyai peluang untukmenggunakan AKDR sebesar 1,5 kali. Berbeda dengan penelitian di Cina bahwa penggunaan AKDR paling tinggi (57%) pada wanita yang memiliki


(40)

22

anak satu dan mengalami penurunan (kurang dari 26%) pada wanita yang memiliki anak dua orang atau lebih (Wang dan Altmann, 2002).

Hasil penelitian Yusuf (2001) menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara proporsi penggunaan MKJP dengan kelompok responden yang memiliki jumlah anak hidup yang lebih kecil dengan kelompok responden yang memiliki jumlah anak yang lebih besar. Responden yang memiliki jumlah anak yang lebih dari dua orang mempunyai kemungkinan 20 kali lebih besar untuk menggunakan MKJP dibandingkan dengan ibu yang mempunyai anak kurang dari dua orang. 2.4.5 Pengetahuan Kontrasepsi AKDR Pasca Plasenta

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui pancaindra manusia (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan yang benar tentang program KB termasuk berbagai jenis kontrasepi akan meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam program KB (BKKBN, 2008). Penelitian oleh Yusuf (2001) menyatakan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi memiliki kecendrungan dua kali lebih besar untuk menggunakan metode kontrasepsi MKJP dibandingkan responden yang berpengetahuan rendah.

Pada umumnya, responden yang tidak memakai kontrasepsi AKDR pasca plasenta karena merupakan sebuah konsep yang baru apalagi AKDR dapat dipasang langsung dalam 10 menit setelah melahirkan (Salem et al., 2003). Penelitian ini sejalan penelitian Utami (2013) yang menyatakan adanya hubungan pengetahuan ibu dengan unmet need AKDR pasca plasenta.


(41)

23

2.4.6 Pola Pembiayaan Pelayanan AKDR Pasca Plasenta

Biaya adalah sejumlah pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan atau menggunakan komoditi tertentu. Biaya mencakup semua jenis pengorbanan yang dapat berbentuk uang, barang, waktu, ataupun kesempatan yang hilang termasuk kenyamanan yang terganggu (Lowson et al., 2010). Responden yang tidak mengeluarkan biaya pelayanan KB, berpeluang besar untuk menggunakan AKDR.Penelitian oleh Willopo dan Pastuti (2007) yang menunjukkan hubungan yang bermakna antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan permintaan pelayanan KB AKDR. Jika tidak ada biaya yang dikeluarkan (gratis) maka peluang responden yang ingin membatasi kelahiran sebesar 1,6 kali. Ini sejalan dengan penggunakan metode kontrasepsi AKDR oleh wanita di Cina karena pemakainnya lama, reversibilitas, memiliki efektivitas tinggi dan pemasangannya tidak mengeluarkan biya (Rivera dan Best, 2002). Sedangkan penelitian di Bangladesh tentang faktor yang mempengaruhi pemilihan kontrasepsi meliputi ketersediaan atau akses dan biaya yang dikeluarkan (Mannan, 2002). Hal yang berbeda didapatkan dalam survei di delapan klinik keluarga berencana Afrika Selatan, menyatakan bahwa meskipun AKDR telah tersedia secara gratis di layanan sektor keluarga berencana tetapi hal tersebut tidak dimanfaatkan(Shelsley et al.,2010).

Penelitian tentang pelayanan KB di Indonesia menyatakan bahwa biaya pelayanan kontrasepsi AKDR lebih besar dibandingkan dengan pelayanan metode kontrasepsi lainnya, akan tetapi biayanya akan menurun seiring dengan lamanya waktu penggunaan (Adioetomo, 1993). Hal ini sejalan dengan analisis biaya


(42)

24

pelayanan kontrasepsi AKDR oleh wanita di Amerika Serikat selama lima tahun, disebutkan bahwa total biaya pelayanan AKDR lebih murah dibandingkan dengan biaya kontrasepsi suntik dan pil (Chiou et al., 2003). Asuransi kesehatan yang ada di Bali sekarang ini adalah Jamkesmas, JKBM, dan BPJS sudah menggratiskan pelayanan AKDR pasca plasenta dan KB pasca salin lainnya, tetapi jika pasien umum maka pasien akan membayar sesuai dengan kebijakan tempat layanan. Besarnya retribusi pemasangan AKDR pada pasien umum sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, besarnya retribusi pemasangan AKDRadalah Rp 40.000 sudah termasuk jasa sarana dan jasa pelayanan.

2.4.7 Peran Petugas Kesehatan

Peran petugas dalam hal ini adalah terkait dengan pemberian informasi tentang kontrasepsiAKDR pasca plasenta. Pemberian informasi oleh petugas mempunyai hubungan dengan pemakaian AKDRdan sumber informasi tentang kontrasepsi ini yangpaling dominan adalah dari bidan (Anggarini dan Martini, 2011). Sebelum pelayanan KB pasca persalinan termasuk pelayanan AKDR pasca plasenta, akan dilakukan tahapan persiapan dengan melakukan konseling saat pemeriksaan kehamilan, atau dapat dilaksanakan terpadu dalam P4K melalui amanat persalinan serta penyampaian informasi pada kelas ibu hamil dan diingatkan kembali pada setiap kunjungan pemeriksaan kehamilan berikutnya. Perempuan yang menerima informasi mengenai perencanaan pemakaian kontrasepsi pasca persalinan ketika melakukan pemeriksaan kehamilan, lebih


(43)

25

banyak menggunakan kontrasepsi pasca melahirkan dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan informasi tersebut (Maika dan Kuntohadi, 2009).

Berdasarkan penelitian Darwani (2012) didapatkan hasil dari 40 responden ternyata 23 diantaranya tidak menggunakan AKDR karena kurangnya informasi tentang AKDR dari tenaga kesehatan. Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh informasi dari tenaga kesehatan terhadap penggunaan AKDR oleh akseptor KB dimana ibu yang mendapatkan informasi cukup, maka semakin besar kemungkinan untuk menggunakan AKDR.

2.4.8 Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan

Pelayanan pemeriksaan kehamilan mempertimbangkan tempat pemeriksaan kehamilan dan frekuensi pemeriksaan selama kehamilan. Kunjungan selama kehamilan, dan cukupnya jumlah kontak dengan sistem pelayanan kesehatan adalah cara yang cukup menjanjikan untuk merencanakan pelayanan kebutuhan keluarga berencana dan meraih perempuan yang baru melahirkan agar terhindar dari unmet need terhadap alat kontrasepsi (Ross dan Winfrey, 2001).

Hasil penelitian oleh Maika dan Kuntohadi (2009) menunjukkan bahwa variabel frekuensi pemeriksaan kehamilan berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi pasca melahirkan. Ini menunjukkan semakin sering responden memeriksakan kehamilannya, maka semakin meningkat kecendrungannya untuk menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan. Wanita yang melakukan pemeriksaan kehamilan yang cukup akan mendapatkan informasi terhadap penggunaan kontrasepsi (Abera et al., 2015). Hal ini konsisten dengan studi prospektifdilakukandi Kenya dan Zambia menunjukkan bahwa pemberian


(44)

26

informasi selamaperawatan kehamilanakanmemotivasi perempuanuntuk menggunakan kontrasepsisetelah melahirkan (Do dan Hotchkiss, 2013). Sedangkan variabel tempat pemeriksaan kehamilan menunjukkan bahwa ibu yang memilih ANCdi fasilitas kesehatan swasta memiliki kecendrungan untuk menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan (Maika dan Kuntohadi, 2009). 2.4.9 Dukungan Suami

Pemakaian kontrasepsi oleh istri berhubungan dengan dukungan suami, bila suami tidak menyetujui penggunaan alat kontrasepsi yang akan dipakai oleh istrinya maka sedikit yang akan memakai alat kontrasepsi tersebut. Menurut Hartono (2004), metode kontrasepsi tidak dapat dipakai oleh istri tanpa adanya kerjasama dari suaminya dan saling percaya. Bentuk partisipasi suami dalam penggunaan alat kontrasepsi adalah mendukung istri dalam memilih alat kontrasepsi yang aman dan efektif (BKKBN, 2008).

Hasil analisis lanjut SDKI 2007 yang dilakukan oleh Maika dan Kuntohadi (2009) mendapatkan adanya asosiasi positif antara persetujuan suami dengan penggunaan kontrasepsi pada istrinya. Studi ini juga menemukan mayoritas responden menggunakan alat kontrasepsi berdasarkan keputusan bersama antara suami dan istri.

2.5 Teori Perubahan Perilaku

2.5.1 Teori Lowrence Green

Menurut teori Lawrence Green (1980), perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yaitu :


(45)

27

a) Faktor penentu (predisposing factors)

Faktor penentu meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, pengalaman, nilai-nilai termasuk persepsi seseorang yang menjadi dasar motivasi individu atau kelompok untuk bertindak. Selain itu karakteristik meliputi umur responden, jumlah anak hidup, dan pendidikan juga dapat sebagai faktor penentu seseorang menggunakan kontrasepsi AKDR pasca plasenta.

b) Faktor pendukung (enabling factors)

Faktor pendukung meliputi ketrampilan dan sumber memungkinkan atau memfasilitasi seseorang untuk bertindak, diantaranya adanya sarana prasarana termasuk alat-alat kontrasepsi, keterjangkauanbiaya untuk mengakses fasilitas, ketersediaan tempat pelayanan

c) Faktor pendorong (reinforcing factors)

Faktor pendorong adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak dari orang-orang terdekatnya, dalam hal ini adalah dukungan dari suami, sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok refrensi dari perilaku masyarakat. Tanpa adanya dukungan dari suami belum tentu ibu dapat berperilaku sehat sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan hubungan antara ketiga faktor tersebut dapat digambar dalam bagan berikut ini :


(46)

28

2.5.2 Teori Health Belife Model

Rosenstok (1980) menyatakan teori tentang suatu bentuk penjabaram dari model sosio-psikologi. Perkembangan model ini lebih menjelaskan pada kurangnya partisipasi publik dalam melakukan pemeriksaan dan program pencegahan. Model ini diadaptasi untuk mengeksplorasi berbagai prilaku kesehatan jangka panjang dan jangka pendek. Model kepercayaan ini mencakup beberapa unsur penting, yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan pencegahan dan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1. Perceived susceptibility, merupakan persepsi subyektif terhadap resiko untuk menderita penyakit tertentu. Dalam penelitian ini adalah persepsi ibu terhadap kerentanan efeksamping kontrasepsi AKDR pasca plasenta

2. Perceived severity, merupakan persepsi tentang tingkat keparahan atau keseriusan jika menderita penyakit tertentu, yang dalam penelitian ini adalah keseriusan dari efek samping penggunaan AKDR pasca plasenta


(47)

29

3. Perceived benefits, merupakan kepercayaan bahwa tindakan tertentu dapat menurunkan resiko (susceptibility) dan keparahan (severity) penyakit. Dalam penelitian ini adalah persepsi ibu akan keuntungan atau manfaat menggunakan AKDR pasca plasenta

4. Perceived barrier, merupakan kemungkinan hambatan dalam mengambil tindakan tertentu, yang dalam penelitian ini adalah persepsi ibu akan


(48)

(1)

banyak menggunakan kontrasepsi pasca melahirkan dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan informasi tersebut (Maika dan Kuntohadi, 2009).

Berdasarkan penelitian Darwani (2012) didapatkan hasil dari 40 responden ternyata 23 diantaranya tidak menggunakan AKDR karena kurangnya informasi tentang AKDR dari tenaga kesehatan. Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh informasi dari tenaga kesehatan terhadap penggunaan AKDR oleh akseptor KB dimana ibu yang mendapatkan informasi cukup, maka semakin besar kemungkinan untuk menggunakan AKDR.

2.4.8 Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan

Pelayanan pemeriksaan kehamilan mempertimbangkan tempat pemeriksaan kehamilan dan frekuensi pemeriksaan selama kehamilan. Kunjungan selama kehamilan, dan cukupnya jumlah kontak dengan sistem pelayanan kesehatan adalah cara yang cukup menjanjikan untuk merencanakan pelayanan kebutuhan keluarga berencana dan meraih perempuan yang baru melahirkan agar terhindar dari unmet need terhadap alat kontrasepsi (Ross dan Winfrey, 2001).

Hasil penelitian oleh Maika dan Kuntohadi (2009) menunjukkan bahwa variabel frekuensi pemeriksaan kehamilan berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi pasca melahirkan. Ini menunjukkan semakin sering responden memeriksakan kehamilannya, maka semakin meningkat kecendrungannya untuk menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan. Wanita yang melakukan pemeriksaan kehamilan yang cukup akan mendapatkan informasi terhadap penggunaan kontrasepsi (Abera et al., 2015). Hal ini konsisten dengan studi prospektifdilakukandi Kenya dan Zambia menunjukkan bahwa pemberian


(2)

informasi selamaperawatan kehamilanakanmemotivasi perempuanuntuk menggunakan kontrasepsisetelah melahirkan (Do dan Hotchkiss, 2013). Sedangkan variabel tempat pemeriksaan kehamilan menunjukkan bahwa ibu yang memilih ANCdi fasilitas kesehatan swasta memiliki kecendrungan untuk menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan (Maika dan Kuntohadi, 2009). 2.4.9 Dukungan Suami

Pemakaian kontrasepsi oleh istri berhubungan dengan dukungan suami, bila suami tidak menyetujui penggunaan alat kontrasepsi yang akan dipakai oleh istrinya maka sedikit yang akan memakai alat kontrasepsi tersebut. Menurut Hartono (2004), metode kontrasepsi tidak dapat dipakai oleh istri tanpa adanya kerjasama dari suaminya dan saling percaya. Bentuk partisipasi suami dalam penggunaan alat kontrasepsi adalah mendukung istri dalam memilih alat kontrasepsi yang aman dan efektif (BKKBN, 2008).

Hasil analisis lanjut SDKI 2007 yang dilakukan oleh Maika dan Kuntohadi (2009) mendapatkan adanya asosiasi positif antara persetujuan suami dengan penggunaan kontrasepsi pada istrinya. Studi ini juga menemukan mayoritas responden menggunakan alat kontrasepsi berdasarkan keputusan bersama antara suami dan istri.

2.5 Teori Perubahan Perilaku 2.5.1 Teori Lowrence Green

Menurut teori Lawrence Green (1980), perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yaitu :


(3)

a) Faktor penentu (predisposing factors)

Faktor penentu meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, pengalaman, nilai-nilai termasuk persepsi seseorang yang menjadi dasar motivasi individu atau kelompok untuk bertindak. Selain itu karakteristik meliputi umur responden, jumlah anak hidup, dan pendidikan juga dapat sebagai faktor penentu seseorang menggunakan kontrasepsi AKDR pasca plasenta.

b) Faktor pendukung (enabling factors)

Faktor pendukung meliputi ketrampilan dan sumber memungkinkan atau memfasilitasi seseorang untuk bertindak, diantaranya adanya sarana prasarana termasuk alat-alat kontrasepsi, keterjangkauanbiaya untuk mengakses fasilitas, ketersediaan tempat pelayanan

c) Faktor pendorong (reinforcing factors)

Faktor pendorong adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak dari orang-orang terdekatnya, dalam hal ini adalah dukungan dari suami, sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok refrensi dari perilaku masyarakat. Tanpa adanya dukungan dari suami belum tentu ibu dapat berperilaku sehat sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan hubungan antara ketiga faktor tersebut dapat digambar dalam bagan berikut ini :


(4)

2.5.2 Teori Health Belife Model

Rosenstok (1980) menyatakan teori tentang suatu bentuk penjabaram dari model sosio-psikologi. Perkembangan model ini lebih menjelaskan pada kurangnya partisipasi publik dalam melakukan pemeriksaan dan program pencegahan. Model ini diadaptasi untuk mengeksplorasi berbagai prilaku kesehatan jangka panjang dan jangka pendek. Model kepercayaan ini mencakup beberapa unsur penting, yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan pencegahan dan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1. Perceived susceptibility, merupakan persepsi subyektif terhadap resiko untuk

menderita penyakit tertentu. Dalam penelitian ini adalah persepsi ibu terhadap kerentanan efeksamping kontrasepsi AKDR pasca plasenta

2. Perceived severity, merupakan persepsi tentang tingkat keparahan atau

keseriusan jika menderita penyakit tertentu, yang dalam penelitian ini adalah keseriusan dari efek samping penggunaan AKDR pasca plasenta


(5)

3. Perceived benefits, merupakan kepercayaan bahwa tindakan tertentu dapat menurunkan resiko (susceptibility) dan keparahan (severity) penyakit. Dalam penelitian ini adalah persepsi ibu akan keuntungan atau manfaat menggunakan AKDR pasca plasenta

4. Perceived barrier, merupakan kemungkinan hambatan dalam mengambil


(6)