Asam L Askorbat Meningkatkan Aktivitas Antimalaria Artemisinin Bergantung Konsentrasi - L Ascorbic Acid Concentration Dependently Increases Anti Malaria Activity Of Artemisinin.

(1)

ASAM L ASKORBAT MENINGKATKAN AKTIVITAS

ANTIMALARIA ARTEMISININ BERGANTUNG KONSENTRASI

(L ascorbic acid concentration dependently increases anti malaria

activity of artemisinin)

Susy Tjahjani, Tri Hanggono Achmad, Din Syafruddin, Ridad Agoes, Muchtan Sujatno


(2)

ABSTRAK

Artemisinin, sebagai suatu senyawa endoperoksida siklik (seskuisterpen lakton), mempunyai efikasi antimalaria yang sangat ampuh terhadap Plasmodium yang multi resisten. Mekanisme kerja artemisinin sebagai antimalaria masih belum jelas, tetapi perannya dalam produksi carbon centered free radical setelah bereaksi dengan heme telah diketahui. Dengan terjadinya alur permeasi baru pada membran eritrosit yang terparasitisasi, diharapkan asam L askorbat sebagai suatu antioksidan yang hidrofilik tidak akan menembus membran tersebut. Oleh karena itu, suplementasi asam askorbat pada pengobatan menggunakan artemisinin perlu dipelajari, apakah asam askorbat tersebut mempengaruhi aktivitas antimalaria obat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek berbagai konsentrasi asam askorbat terhadap Plasmodium falciparum yang diinkubasi dengan artemisinin in vitro.

P. falciparum strain 3D7 dikultur secara in vitro dengan diberi artemisinin IC50 dan berbagai konsentrasi asam askorbat serta diinkubasi selama 24 jam pada

candle jar dalam inkubator suhu 37oC. Eksperimen dilakukan dengan 3 kali replikasi. Hasil eksperimen dianalisis dengan ANOVA dan Tukey HSD.

Hasil eksperimen menunjukkan bahwa konsentrasi asam askorbat 4 M - 20

M dapat meningkatkan aktivitas artemisinin. Suplementasi asam askorbat dalam konsentrasi 100- 500 M tidak mempemgaruhi aktivitas artemisnin sedangkan dalam konsentrasi 2.500 M menurunkan aktivitasnya.

Kata kunci: vitamin C, antimalaria, artemisinin

ABSTRACT

Artemisinin, a cyclic endoperoxide compound (sesquisterpene lactone), exhibits antimalarial activity with high efficacy against multi-drug resistant parasite. Its precise mechanism remains unclear but involvement of the production of carbon-centered free radical upon the reaction with heme has been confirmed. Because of new permeation pathway evidence at parasitized red blood cell membrane, L ascorbic acid as hydrophilic antioxidant is expected not to penetrate the membrane. Therefore, supplementation of ascorbic acid in the malaria treatment using artemisinin, need to be studied whether it interferes with the antimalarial activity. The aim of this study is to determine the effect of various concentrations of ascorbic acid against Plasmodium falciparum in vitro in the presence of artemisinin.

The P. falciparum, 3D7 strain was propagated in vitro in the presence of IC50 of artemisinin and supplemented with a wide concentration ranges of ascorbic acid and incubated for 24 hours in a candle jar at 37oC incubator. The experiment was done in triplicate and the result was examined and analyzed using ANOVA and Tukey HSD.

Our results showed that 4 M - 20 M ascorbic acid increased the artemisinin activity. Supplementation with ascorbic acid at concentration 100-500 M did not alter significantly the artemisinin activity where as ascorbic acid at dose 2.500 M did reduce the activity.


(3)

Keyword: vitamin C, antimalaria, artemisinin

PENDAHULUAN

Malaria pada manusia merupakan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan diperkirakan di seluruh dunia terdapat kasus-kasus malaria sebanyak 300 sampai 500 juta per tahun dengan angka kematian mencapai 1,5- 2,7 juta per tahun.1 Pada masa eradikasi malaria setengah abad yang lalu, malaria berhasil dieliminasi atau ditekan dengan efektif pada banyak bagian di dunia terutama pada daerah subtropik. Sekarang penyakit ini muncul lagi pada daerah yang tadinya sudah bebas malaria. Hal ini terjadi karena adanya resistensi parasitnya terhadap obat malaria.2

Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi resistensi parasit terhadap obat anti malaria, maka diperkenalkanlah Artemisinin, obat yang sangat berkhasiat terhadap Plasmodium, baik P. falciparum ataupun P.vivax, termasuk yang resisten terhadap obat antimalaria konvensional.3,4,5 Artemisinin merupakan suatu free radical generating antimalaria karena merupakan senyawa endoperoksida siklik (sesquisterpene endoperoxide) yang akan mengoksidasi heme membentuk radikal bebas sehingga mencegah polimerisasi heme lebih lanjut menjadi hemozoin yang tidak toksik. Radikal bebas yang terbentuk ini akan merusak membran plasma parasit dan mengganggu enzim parasit sehingga menimbulkan kematian parasit tersebut. 6 Radikal bebas yang terbentuk juga terlibat dalam kalainan patologik jaringan inang, misalnya kerusakan pada permukaan endotel pembuluh darah selama menderita malaria seperti pada malaria serebral7 dan terjadinya sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi oleh stadium aseksual lanjut dalam kapiler dan venula jaringan-jaringan pada berbagai organ yang menyebabkan kerusakan organ tersebut.8 Selain itu


(4)

neuropati toksik yang berupa neurodegenerasi batang otak sebagai akibat pemakaian artemisinin juga dapat disebabkan oleh stres oksidatif serta defisiensi antioksidan.9

Untuk mengatasi dampak radikal bebas yang dihasilkan oleh artemisinin terhadap sel inang, diperkenalkan suplementasi asam L askorbat yang dikenal sebagai vitamin C, suatu antioksidan yang larut dalam air. Pada penyakit malaria falciparum yang menyerang anak-anak Nigeria didapatkan penurunan kadar asam askorbat ini serta tingginya kadar lipid peroksida dalam plasma yang bertanggungjawab terhadap kerusakan jaringan pada penderita malaria.10 Pemberian asam askorbat in vitro dapat mengurangi apoptosis sel endotel yang disebabkan malaria.11 Asam askorbat yang merupakan molekul hidrofilik diharapkan tidak bisa masuk ke dalam sel eritrosit yang terparasitisasi karena pada membran eritrosit yang terparasitisasi terjadi suatu perubahan yang disebut dengan jalur permeasi baru (new permeation pathway) yang mengakibatkan molekul yang dapat menembus membran eritrosit terparasitisasi tersebut hanyalah molekul kecil yang hidrofobik saja.12 Pemberian suplementasi asam askorbat pada terapi malaria menggunakan artemisinin akan sangat bermanfaat bagi inang. Sejauh mana pengaruh suplementasi ini terhadap aktivitas artemisinin sebagai antimalaria masih perlu dipelajari lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apa pengaruh asam askorbat terhadap aktivitas antimalaria artemisinin atau adakah interferensi asam askorbat terhadap aktivitas antimalaria artemisinin.

BAHAN DAN METODE

Bahan: P. falciparum beku strain 3D7 (diperoleh dari Lembaga Eijkman Jakarta), medium RPMI yang berisi eritrosit manusia dan serum manusia yang sudah


(5)

diinaktivasi sebagai medium kultur Plasmodium, artemisinin pro-analitik (Sigma-Aldrich), asam askorbat pro-analitik

Metode:

P. falciparum beku dicairkan kemudian dikultivasi dalam medium kultur yang mengandung eritrosit dengan hematokrit 5 % dan serum manusia 10% serta ditaruh dalam candle jar yang kemudian diinkubasi dalam inkubator suhu 37oC. Medium kultur tiap hari diganti sampai mencapai stadium parasit yang sama, dengan tingkat parasitemia 1-2 %. Pelet eritrosit dengan volume yang sama dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada lempeng mikro 4x6 yang berisi medium kultur dengan artemisinin IC50 dan asam askorbat berbagai konsentrasi, yaitu 0 µM, 4 µM, 20 µM,

100 µM, 500 µM, 2.500 µM, sedemikian rupa sehingga volume masing-masing sumur adalah 1 ml. Lempeng mikro kemudian diinkubasi dalam candle jar di dalam inkubator suhu 37oC selama 24 jam. Setelah 24 jam, parasitemia pada pelet eritrosit tersebut diperiksa secara mikroskopik dengan pewarnaan Giemsa. Dilakukan penghitungan jumlah eritrosit yang terparasitisasi dalam 1000 eritrosit, kemudian jumlah eritrosit terparasitisasi ini dijadikan persen per 100 eritrosit. Eksperimen dilakukan dengan replikasi sebanyak 3 kali. Hasil penelitian dianalisis dengan ANOVA dan uji Duncan pada α= 0,05.

HASIL PENELITIAN

Setelah masa inkubasi berakhir, medium kultur dibuang dan dibuat apus pelet eritrosit hasil inkubasi dengan pewarnaan Giemsa seperti hasil tampak pada Gambar 1 dibawah ini.


(6)

Gambar 1. Foto apus pelet eritrosit dalam kultur + artemisinin + asam askorbat konsentrasi 20 µM dengan perbesaran 1000 kali. (pRBC : parasitized red blood cell)

Hasil parasitemia dalam masing-masing sumur pada lempeng mikro adalah seperti yang terdapat pada Tabel 1 berikut ini.

K KA C4 C20 C100 C500 C2500

2,101 1,086 0,360 0,286 0,760 1,104 1,243 1,848 0,558 0,394 0,337 0,558 0,853 0,865 1,592 0,658 0,276 0,443 0,564 0,653 1,519 Rata-rata 1,847e 0,767c 0,343a 0,355ab 0,627abc 0,870cd 1,209d

± 0,255 ± 0,280 ± 0,061 ± 0,080 ± 0,115 ± 0,226 ± 0,328

Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda bermakna (p < 0,05) Tabel 1. Hasil parasitemia pada lempeng mikro setelah inkubasi 24 jam. Keterangan:

K = kultur P. falciparum tanpa artemisinin dan tanpa asam askorbat

KA = kultur P. falciparum yang diinkubasi dengan artemisinin IC50 tanpa asam

askorbat

C4 = konsentrasi asam askorbat 4 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C20 = konsentrasi asam askorbat 20 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C100 = konsentrasi asam askorbat 100 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C500 = konsentrasi asam askorbat 500 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C2.500 = konsentrasi asam askorbat 2.500 µM dalam kultur P. falciparum yang

diinkubasi dengan artemisinin IC50.

C

20


(7)

Sehubungan data persentasi parasitemia dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi dengan artemisinin IC50 dan asam askorbat berbagai konsentrasi tersebut di

atas semuanya < 20 %, data tersebut sebelum dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan ANOVA, perlu ditransformasi terlebih dahulu dengan transformasi arkus sinus supaya terdapat sebaran data yang normal.

Tampak bahwa parasitemia pada C100 dan C500 = KA, parasitemia pada C4 dan

C20 < KA, sedangkan parasitemia pada C2.500 > KA. Hal ini berarti bahwa konsentrasi

asam askorbat 100 µM dan 500 µM dalam kultur tidak mempengaruhi aktivitas artemisinin sebagai antimalaria; konsentrasi asam askorbat 4 µM dan 20 µM dalam kultur meningkatkan aktivitas tersebut, sedangkan konsentrasi asam askorbat 2.500 µM mengurangi aktivitas obat ini.

PEMBAHASAN

Fakta yang didapat bahwa asam askorbat konsentrasi rendah dapat menurunkan tingkat parasitemia pada kultur eritrosit dapat disebabkan kemungkinan karena asam askorbat konsentrasi rendah dalam medium kultur tersebut meredam oksidan secara lengkap dan asam askorbat tersebut berubah menjadi dehydroascorbic acid (DHA)13 yang stabil sehingga integritas membran eritrosit lebih kuat dan lebih tahan terhadap stres oksidatif, dengan demikian eritrosit tersebut tidak mudah pecah dan invasi parasit ke dalam eritrosit baru menjadi berkurang. DHA bukan merupakan uncoupler sehingga tidak mudah menembus membran eritrosit yang terparasitisasi dengan akibat tidak terjadinya recycle DHA ini dalam eritrosit yang terparasitisasi tersebut, 13, 14 dengan demikian konsentrasi asam askorbat dalam sel eritrosit yang terparasitisasi tersebut tidak meningkat. Oleh karena itu dalam eritrosit yang


(8)

terparasitisasi, tidak terjadi penurunan kadar radikal bebas yang merupakan salah satu mekansime kerja artemisinin. Jadi di sini asam askorbat bekerja melindungi membran eritrosit di satu pihak dan di lain pihak asam askorbat tersebut tidak mengurangi efek antimalaria artemisinin dalam sel eritrosit yang terparasitisasi sehingga hasil akhir keduanya akan meningkatkan efek antimalaria artemisinin. Persentasi parasitemia dalam kultur P. falciparum + artemisinin yang mengandung asam askorbat konsentrasi 100 M dan 500 µM sama dengan persentasi parasitemia pada kultur yang mengandung artemisinin saja (KA).

Berbeda dengan persentasi parasitemia pada kultur yang diinkubasi dengan artemisinin dan asam askorbat konsentrasi 4 M dan 20 M, pada kultur yang diinkubasi dengan artemisinin dan asam askorbat konsentrasi lebih tinggi, yaitu 2.500

M, didapatkan persentasi parasitemia yang lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan persentasi parasitemia pada kultur yang diinkubasi dengan artemisinin dan asam askorbat konsentrasi 0 µM, 4 µM, 20 µM, 100 µM, dan 500 M. Hal ini berarti asam askorbat dengan konsentrasi tinggi tersebut menurunkan efek antimalaria artemisinin. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal ini, di antaranya adalah:

Dalam teori kemiosmotik dikatakan bahwa suatu uncoupler, misalnya asam askorbat yang telah mereduksi prooksidan dan menjadi radikal askorbil, akan dengan mudah masuk ke dalam inner mitochondria membrane.13,14 Kemungkinan teori ini juga berlaku bagi asam askorbat konsentrasi tinggi dalam media kultur karena dalam konsentrasi tinggi tersebut, sehubungan dengan melimpahnya asam askorbat, asam askorbat dalam peredaman radikal bebas dalam kultur hanya melepaskan 1 elektron menjadi radikal askorbil yang merupakan uncoupler. Uncoupler ini bisa masuk menembus membran eritrosit


(9)

yang terparasitisasi dan radikal askorbil ini kemudian mengalami recycling dalam eritrosit tersebut menjadi asam askorbat lagi untuk kemudian masuk ke dalam vakuola makanan parasit sehingga menghambat efek artemisinin, yang juga bekerja dalam vakuola makanan tersebut dengan meredam radikal bebas yang terbentuk sebagai akibat kerja artemisinin sehingga persentasi parasitemia meningkat.

 Kemungkinan dalam konsentrasi asam askorbat yang tinggi, asam askorbat, yang tadinya tidak dapat menembus membran eritrosit yang terparasitisasi karena adanya NPP (new permeation pathway), bisa masuk eritrosit yang terparasitisasi kemudian ke dalam vakuola makanan parasit sehingga menghambat kerja artemisinin sebagai antimalaria dan mengakibatkan meningkatnya persentasi parasitemia.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian di atas adalah: asam askorbat dapat meningkatkan aktivitas antimalaria artemisinin bergantung kepada konsentrasi, yaitu pada konsentrasi 4 µM dan 20 µM. Berdasarkan hasil penelitian di atas, disarankan untuk pemberian suplementasi asam askorbat dalam suatu dosis tertentu pada penderita malaria khususnya yang mendapat terapi dengan artemisinin supaya dampak negatif radikal bebas terhadap sel inang diredam tetapi tanpa mengurangi aktivitas artemisinin. Untuk mengetahui seeberapa besar dosis asam askorbat yang perlu diberikan untuk mancapai tujuan tersebut, perlu dilakukan uji in vivo.


(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dirjen Dikti Depdikbud yang telah mendanai penelitian ini melalui program Hibah Bersaing.

DAFTAR PUSTAKA

1. Trigg PI, and Kondrachine AV. The current global malaria situation. In: Malaria: Parasite Biology, Pathogenesis, and Protection, edited by Sherman IW. Washington, DC: Am Soc Microbiol. 1998, p. 11-22.

2. Na-Bangchiang K & Congpuong K. Current Malaria Status and Distribution of Drug Resistance in East and Southeast Asia with Special Focus to Thailand. Tohoku J. Exp. Med. 2007; 211: 99-113.

3. Li, GQ; Guo XB; Fu LC, Jian HX, and Wang XH. Clinical Trials of Artemisinin and Its Derivates in The Treatment of Malaria in China. Trans R Soc Trop Med Hyg 88 . 1994; Suppl 1: S5-6

4. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, Maristela R, Wuwung RM, Laihad F, Ebsworth EP, Anstey NM, Tjitra E, Price RN. Two fixed-dose artemisinin combinations for drug-resistant falciparum and vivax malaria in Papua, Indonesia: an open-label randomised comparison. Lancet 2007 Mar 3;369(9563):757-65

5. Phan, Giao T., de Vries, Peter J., Tran, Binh Q., Le, Hung Q., Nguyen, Nam V., Nguyen, Thang V., Heisterkamp, Siem H., Kager, Piet A. Artemisinin or chloroquine for blood stage Plasmodium vivax malaria in Vietnam. Tropical Medicine & International Health. October 2002; 7 (10): 858-864(7)

6. Tonmunphean S, Parasuk V, and Kokpol S. QSAR Study of Antimalarial Activities and Artemisinin-Heme Binding Properties Obtained from Docking Calculations. Quant. Struct.-Act. Relat., 19. 2000.

7. Postma NA, Mommers EC, Eling WM, Zuidema J. Oxidative Stress in Malaria; Implication for Prevention and Therapy. Pharm World Sci. Aug 1996; 18(4):121-9

8. Becker K, Tilley L, Vennerstrom JL, Roberts D, Rogerson S, Ginsburg H. Oxidative stress in malaria parasite-infected erythrocytes: host-parasite interactions. Int J Parasitol. Feb 2004;34(2):163-89

9. Schmuck G, Roehrdanz E, Hayes RK, & Kahl R. Neurotoxic Mode of Action of Artemisinin. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, March 2002; 46 (3): 821-827.

10. Egwunyenga AO, Isamah G, and Nmorsi OP. Lipid Peroxidation and Ascorbic Acid Levels in Nigeria Children with Acute Falciparum Malaria. African Journal of Biotechnology. October 2004; 3 (10): 560-563.

11. Hemmer CJ, Lehr HA, Westphal K, Unverricht M, Kratzius M, and Reisinger EC. Plasmodium falciparum Malaria: Reduction of Endothelial Cell Apoptosis In Vitro. Infection and Immunity. March 2005; 76 (3): 1764-1770.

12. Kirk K. Membrane Transport in Malaria-Infected Erythrocyte. Physiological Reviews. April 2001; 81 (2): 495-537

13. May JM. Ascorbate Function and Metabolism in The Human Erythrocyte. Frontiers in Bioscience. January 1 1998; 3: 1-10.


(11)

14. Mayes PA & Botham KM. The Respiratory Chain & Oxidative Phosphorylation. Dalam Murray RK, DK Granner, PA Mayes, & VW Rodwell. Harper’s Illustrated Biochemistry. Twenty-sixth Edition. Mc Graw Hill. 2003. P 92-101.


(1)

Gambar 1. Foto apus pelet eritrosit dalam kultur + artemisinin + asam askorbat konsentrasi 20 µM dengan perbesaran 1000 kali. (pRBC : parasitized red blood cell)

Hasil parasitemia dalam masing-masing sumur pada lempeng mikro adalah seperti yang terdapat pada Tabel 1 berikut ini.

K KA C4 C20 C100 C500 C2500

2,101 1,086 0,360 0,286 0,760 1,104 1,243 1,848 0,558 0,394 0,337 0,558 0,853 0,865 1,592 0,658 0,276 0,443 0,564 0,653 1,519

Rata-rata 1,847e 0,767c 0,343a 0,355ab 0,627abc 0,870cd 1,209d

± 0,255 ± 0,280 ± 0,061 ± 0,080 ± 0,115 ± 0,226 ± 0,328

Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda bermakna (p < 0,05) Tabel 1. Hasil parasitemia pada lempeng mikro setelah inkubasi 24 jam. Keterangan:

K = kultur P. falciparum tanpa artemisinin dan tanpa asam askorbat

KA = kultur P. falciparum yang diinkubasi dengan artemisinin IC50 tanpa asam

askorbat

C4 = konsentrasi asam askorbat 4 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C20 = konsentrasi asam askorbat 20 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C100 = konsentrasi asam askorbat 100 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C500 = konsentrasi asam askorbat 500 µM dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi

dengan artemisinin IC50.

C2.500 = konsentrasi asam askorbat 2.500 µM dalam kultur P. falciparum yang

diinkubasi dengan artemisinin IC50.

C

20


(2)

Sehubungan data persentasi parasitemia dalam kultur P. falciparum yang diinkubasi dengan artemisinin IC50 dan asam askorbat berbagai konsentrasi tersebut di

atas semuanya < 20 %, data tersebut sebelum dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan ANOVA, perlu ditransformasi terlebih dahulu dengan transformasi arkus sinus supaya terdapat sebaran data yang normal.

Tampak bahwa parasitemia pada C100 dan C500 = KA, parasitemia pada C4 dan

C20 < KA, sedangkan parasitemia pada C2.500 > KA. Hal ini berarti bahwa konsentrasi

asam askorbat 100 µM dan 500 µM dalam kultur tidak mempengaruhi aktivitas artemisinin sebagai antimalaria; konsentrasi asam askorbat 4 µM dan 20 µM dalam kultur meningkatkan aktivitas tersebut, sedangkan konsentrasi asam askorbat 2.500 µM mengurangi aktivitas obat ini.

PEMBAHASAN

Fakta yang didapat bahwa asam askorbat konsentrasi rendah dapat menurunkan tingkat parasitemia pada kultur eritrosit dapat disebabkan kemungkinan karena asam askorbat konsentrasi rendah dalam medium kultur tersebut meredam oksidan secara lengkap dan asam askorbat tersebut berubah menjadi dehydroascorbic acid (DHA)13 yang stabil sehingga integritas membran eritrosit lebih kuat dan lebih tahan terhadap stres oksidatif, dengan demikian eritrosit tersebut tidak mudah pecah dan invasi parasit ke dalam eritrosit baru menjadi berkurang. DHA bukan merupakan uncoupler sehingga tidak mudah menembus membran eritrosit yang terparasitisasi dengan akibat tidak terjadinya recycle DHA ini dalam eritrosit yang terparasitisasi tersebut, 13, 14 dengan demikian konsentrasi asam askorbat dalam sel eritrosit yang terparasitisasi tersebut tidak meningkat. Oleh karena itu dalam eritrosit yang


(3)

terparasitisasi, tidak terjadi penurunan kadar radikal bebas yang merupakan salah satu mekansime kerja artemisinin. Jadi di sini asam askorbat bekerja melindungi membran eritrosit di satu pihak dan di lain pihak asam askorbat tersebut tidak mengurangi efek antimalaria artemisinin dalam sel eritrosit yang terparasitisasi sehingga hasil akhir keduanya akan meningkatkan efek antimalaria artemisinin. Persentasi parasitemia dalam kultur P. falciparum + artemisinin yang mengandung asam askorbat konsentrasi 100 M dan 500 µM sama dengan persentasi parasitemia pada kultur yang mengandung artemisinin saja (KA).

Berbeda dengan persentasi parasitemia pada kultur yang diinkubasi dengan artemisinin dan asam askorbat konsentrasi 4 M dan 20 M, pada kultur yang diinkubasi dengan artemisinin dan asam askorbat konsentrasi lebih tinggi, yaitu 2.500

M, didapatkan persentasi parasitemia yang lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan persentasi parasitemia pada kultur yang diinkubasi dengan artemisinin dan asam askorbat konsentrasi 0 µM, 4 µM, 20 µM, 100 µM, dan 500 M. Hal ini berarti asam askorbat dengan konsentrasi tinggi tersebut menurunkan efek antimalaria artemisinin. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal ini, di antaranya adalah:

Dalam teori kemiosmotik dikatakan bahwa suatu uncoupler, misalnya asam askorbat yang telah mereduksi prooksidan dan menjadi radikal askorbil, akan dengan mudah masuk ke dalam inner mitochondria membrane.13,14 Kemungkinan teori ini juga berlaku bagi asam askorbat konsentrasi tinggi dalam media kultur karena dalam konsentrasi tinggi tersebut, sehubungan dengan melimpahnya asam askorbat, asam askorbat dalam peredaman radikal bebas dalam kultur hanya melepaskan 1 elektron menjadi radikal askorbil yang merupakan uncoupler. Uncoupler ini bisa masuk menembus membran eritrosit


(4)

yang terparasitisasi dan radikal askorbil ini kemudian mengalami recycling dalam eritrosit tersebut menjadi asam askorbat lagi untuk kemudian masuk ke dalam vakuola makanan parasit sehingga menghambat efek artemisinin, yang juga bekerja dalam vakuola makanan tersebut dengan meredam radikal bebas yang terbentuk sebagai akibat kerja artemisinin sehingga persentasi parasitemia meningkat.

 Kemungkinan dalam konsentrasi asam askorbat yang tinggi, asam askorbat, yang tadinya tidak dapat menembus membran eritrosit yang terparasitisasi karena adanya NPP (new permeation pathway), bisa masuk eritrosit yang terparasitisasi kemudian ke dalam vakuola makanan parasit sehingga menghambat kerja artemisinin sebagai antimalaria dan mengakibatkan meningkatnya persentasi parasitemia.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian di atas adalah: asam askorbat dapat meningkatkan aktivitas antimalaria artemisinin bergantung kepada konsentrasi, yaitu pada konsentrasi 4 µM dan 20 µM. Berdasarkan hasil penelitian di atas, disarankan untuk pemberian suplementasi asam askorbat dalam suatu dosis tertentu pada penderita malaria khususnya yang mendapat terapi dengan artemisinin supaya dampak negatif radikal bebas terhadap sel inang diredam tetapi tanpa mengurangi aktivitas artemisinin. Untuk mengetahui seeberapa besar dosis asam askorbat yang perlu diberikan untuk mancapai tujuan tersebut, perlu dilakukan uji in vivo.


(5)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dirjen Dikti Depdikbud yang telah mendanai penelitian ini melalui program Hibah Bersaing.

DAFTAR PUSTAKA

1. Trigg PI, and Kondrachine AV. The current global malaria situation. In: Malaria: Parasite Biology, Pathogenesis, and Protection, edited by Sherman IW. Washington, DC: Am Soc Microbiol. 1998, p. 11-22.

2. Na-Bangchiang K & Congpuong K. Current Malaria Status and Distribution of Drug Resistance in East and Southeast Asia with Special Focus to Thailand. Tohoku J. Exp. Med. 2007; 211: 99-113.

3. Li, GQ; Guo XB; Fu LC, Jian HX, and Wang XH. Clinical Trials of Artemisinin and Its Derivates in The Treatment of Malaria in China. Trans R Soc Trop Med Hyg 88 . 1994; Suppl 1: S5-6

4. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, Maristela R, Wuwung RM, Laihad F, Ebsworth EP, Anstey NM, Tjitra E, Price RN. Two fixed-dose artemisinin combinations for drug-resistant falciparum and vivax malaria in Papua, Indonesia: an open-label randomised comparison. Lancet 2007 Mar 3;369(9563):757-65

5. Phan, Giao T., de Vries, Peter J., Tran, Binh Q., Le, Hung Q., Nguyen, Nam V., Nguyen, Thang V., Heisterkamp, Siem H., Kager, Piet A. Artemisinin or chloroquine for blood stage Plasmodium vivax malaria in Vietnam. Tropical Medicine & International Health. October 2002; 7 (10): 858-864(7)

6. Tonmunphean S, Parasuk V, and Kokpol S. QSAR Study of Antimalarial Activities and Artemisinin-Heme Binding Properties Obtained from Docking Calculations. Quant. Struct.-Act. Relat., 19. 2000.

7. Postma NA, Mommers EC, Eling WM, Zuidema J. Oxidative Stress in Malaria; Implication for Prevention and Therapy. Pharm World Sci. Aug 1996; 18(4):121-9

8. Becker K, Tilley L, Vennerstrom JL, Roberts D, Rogerson S, Ginsburg H. Oxidative stress in malaria parasite-infected erythrocytes: host-parasite interactions. Int J Parasitol. Feb 2004;34(2):163-89

9. Schmuck G, Roehrdanz E, Hayes RK, & Kahl R. Neurotoxic Mode of Action of Artemisinin. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, March 2002; 46 (3): 821-827.

10. Egwunyenga AO, Isamah G, and Nmorsi OP. Lipid Peroxidation and Ascorbic Acid Levels in Nigeria Children with Acute Falciparum Malaria. African Journal of Biotechnology. October 2004; 3 (10): 560-563.

11. Hemmer CJ, Lehr HA, Westphal K, Unverricht M, Kratzius M, and Reisinger EC. Plasmodium falciparum Malaria: Reduction of Endothelial Cell Apoptosis In Vitro. Infection and Immunity. March 2005; 76 (3): 1764-1770.

12. Kirk K. Membrane Transport in Malaria-Infected Erythrocyte. Physiological Reviews. April 2001; 81 (2): 495-537

13. May JM. Ascorbate Function and Metabolism in The Human Erythrocyte. Frontiers in Bioscience. January 1 1998; 3: 1-10.


(6)

14. Mayes PA & Botham KM. The Respiratory Chain & Oxidative Phosphorylation. Dalam Murray RK, DK Granner, PA Mayes, & VW Rodwell. Harper’s Illustrated Biochemistry. Twenty-sixth Edition. Mc Graw Hill. 2003. P 92-101.