IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAH DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WONOGIRI TAHUN 2007.

(1)

i

SKRIPSI

Oleh:

RETHA MARYAM

K 100 040 080

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA


(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Drug Related Problems (DRPs) didefinisikan sebagai kejadian atau keadaan yang benar-benar atau berpotensi bertentangan dengan hasil kesehatan yang diinginkan. DRPs muncul berdasarkan 3 level primer, yaitu resep obat, pasien dan tingkat pengaturan obat. Secara keseluruhan interaksi obat merupakan DRPs yang paling sering dilaporkan (Hammerleinet al., 2007).

Pemberian obat yang tidak tepat dengan kondisi pasien, mengakibatkan dampak negatif baik dari segi kesehatan karena akan memperburuk kondisi pasien dan segi ekonomi juga pemborosan. Penyebab DRPs kategori ini antara lain indikasi medis yang tidak tepat, serta pasien menerima obat yang tidak efektif atau kontraindikasi dengan kondisi pasien (Strand et al., 1998).

Pasien yang menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi. Terdapat juga pasien yang menerima obat dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dosis terapinya. Hal tersebut tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa membahayakan pasien. Perubahan dari dosis tersebut masuk dalam kategori DRPs (Strandet al., 1998).

Akibat yang tidak dikehendaki dari peristiwa interaksi obat ada 2 kemungkinan, yakni meningkatnya efek toksis atau efek samping obat, atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan (Anonim, 2000).


(3)

Penyakit demam berdarah kembali merebak pada awal tahun 2007, dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Sejak Januari sampai dengan 5 Maret 2004 total kasus demam berdarah di seluruh Indonesia sudah mencapai 26.015 dengan jumlah kematian sebanyak 399 orang. Kasus tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) (3,96%) (Kristina, dkk, 2008). Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (Kheichen et al., 2009).

Adanya perubahan orientasi pada peran kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented, memicu timbulnya ide tentang pelayanan farmasi (pharmaceutical care), yang tujuannya mencegah dan meminimalkan permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat. Pharmaceutical care merupakan rangkaian kegiatan terpadu yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat. Namun pada kenyataannya saat ini sebagian besar rumah sakit yang ada di Indonesia belum melaksanakan kegiatan pelayanan farmasi ini.

Dengan datangnya paradigma baru Asuhan Kafarmasian (Pharmaceutical Care), selain bertanggung jawab untuk memastikan bahwa penderita memperoleh terapi obat yang aman, tepat, dancost effective, farmasis juga mendapatkan tugas tambahan untuk memastikan bahwa terapi yang diberikan adalah yang diinginkan oleh penderita (Setoet al, 2004).


(4)

Kasus demam berdarah menempati urutan ke-6 terbanyak di Instalasi Rawat Inap RSUD Wonogiri. Pengamatan dari data rekam medik RSUD Wonogiri periode Januari – Desember 2007 didapatkan jumlah pasien demam berdarah 321 pasien, dengan jumlah kematian 4 orang, Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1,25 %. Adanya kasus kematian serta jumlah penyakit demam berdarah yang tinggi, sebagaimana data yang diperoleh dari bagian rekam medik RSUD Wonogiri tahun 2007, maka perlu dilakukan penelitian mengenai identifikasi DRPs dalam pengobatan demam berdarah untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian DRPs untuk masing-masing kategori.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

Seberapa besarkah angka kejadian masing-masing kategori DRPs potensial meliputi obat salah, dosis kurang, dosis lebih, dan interaksi obat yang terjadi pada pasien anak demam berdarah di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Wonogiri tahun 2007 ?


(5)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi DRPs potensial yang terjadi pada pasien anak demam berdarah di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Wonogiri tahun 2007 yang meliputi :

1. Obat salah 2. Dosis kurang 3. Dosis lebih 4. Interaksi obat

D. Tinjauan Pustaka 1. Demam Berdarah

Penyakit demam berdarah adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue dan terutama yang menyerang anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan syok dan kematian (Anonim, 1985). Demam berdarah adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue (Kheichenet al., 2009).

Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Aedes albopictus. Kedua jenis ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1.000 m diatas permukaan air laut (Anonim, 1985).

Sifat dariAedes aegypty antara lain senang beristirahat di kamar gelap dan lembab, senang hinggap pada benda-benda bergantung seperti pakaian, kelambu, menggigit pada pagi sampai sore, hidup tersebar di daerah tropis daratan rendah,


(6)

dan tidak diketemukan pada ketinggian mulai ± 900 m di atas permukaan laut, jarak terbang rata-rata 40-400 m (Anonim, 1985).

Sifat dari Aedes Albopictus antara lain menggigit sepanjang hari mulai pagi sampai sore, hidup di ketinggian berkisar antara permukaan sampai 180 meter di atas permukaan laut, jarak terbang lemah yaitu 1,4 meter sehari. Peranan Aedes albopictus sebagai penyebar virus tidak besar, karena ia tinggal di kebun-kebun sehingga kontaknya dengan manusia relatif kecil (Anonim, 1985).

Seseorang yang menderita demam berdarah, darahnya mengandung virus dengue. Virus ini mulai terdapat di dalam darah penderita 1-2 hari sebelum demam. Virus ini mulai terdapat di dalam darah penderita (viremia) selama 4-7 hari. Beberapa hari (3-10 hari) setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Nyamuk Aedes aegypthy akan infektius sepanjang hidupnya (Anonim, 1985).

Menurut “Guidelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever in Small Hospital” (WHO,1999), derajat beratnya penyakit demam berdarah dengue dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu :

a. Derajat I :

Ringan, bila demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinik lain, tanpa pendarahan spontan. Uji torniquet (+), trombositopeni, dan hemokonsentrasi. b. Derajat II :

Sedang, dengan gejala lebih berat dari pada derajat I, disertai manifestasi pendarahan kulit, epataksis, pendarahan gusi, hematemesis atau melena.


(7)

Terdapat gangguan sirkulasi darah perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.

c. Derajat III :

Berat, dengan gejala shock megikuti gejala-gejala tersebut diatas, ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah (hipotensi), gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari (tanda-tanda renjatan).

d. Derajat IV:

Renjatan berat, penderita shock berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

2. Pengobatan Demam Berdarah

a. Pengobatan penderita demam berdarah tanpa syok 1) Penggantian cairan

Penderita diberi minum sebanyak 1,5-2 liter dalam waktu 24 jam (air teh, gula, sirup, susu, dan lain-lain) dapat pula diberikan oralit.

Indikasi pemberian infus pada penderita tanpa syok adalah:

a) Apabila penderita terus menerus muntah, sehingga tidak mungkin diberikan minuman per oral, sedangkan muntah tersebut mengancam terjadinya dehidrasi asidosis.

b) Didapatnya hematokrit yang bertendensi terus meningkat (Anonim,1985).


(8)

2) Pemberian obat-obatan a) Antipiretika

Demam merupakan salah satu manifestasi klinik demam berdarah, sehingga pengobatannya memerlukan antipiretik. Antipiretik bekerja dengan meningkatkan eliminasi panas pada penderita dengan suhu badan tinggi. Hal itu dilakukan dengan cara menimbulkan dilatasi pembuluh darah perifer dan mobilisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan pengeluaran keringat (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Antipiretika yang dapat diberikan adalah paracetamol. Dosis yang diberikan adalah :

3 bulan- 1 tahun : 60-120 mg/kali Umur 1-5 tahun : 120-250 mg/kali Umur 6-12 tahun : 250-500 mg/kali

Di atas 12 tahun adalah dosis dewasa. ( Anonim, 2006) b) Antikonvulsan ( anti kejang )

(1) Diazepam : diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg BB/kali secara intravena dan dapat diulang apabila diperlukan.

(2) Phenobarbital : diberikan dengan dosis pada anak berumur lebih dari satu tahun diberikan luminal 75 mg dan dibawah satu tahun 50 mg secara intramuscular. Bila dalam waktu 15 menit kejang tidak henti dapat diulangi dengan dosis 3 mg/kg BB 1m atau pada anak diatas 1 tahun 50 mg dan di bawah 1 tahun 30 mg ( Anonim, 1985).


(9)

3) Pengamatan Penderita

Pengamatan ini meliputi keadaan umum, denyut nadi, tekanan darah, suhu, pernapasan dan monitoring Hb dan trombosit. Pemeriksaan Hb ini sangat penting sebab hemokonsentrasi biasanya mendahului perubahan tekanan darah dan denyut nadi ( Anonim, 1985).

b. Pengobatan penderita demam berdarah disertai syok 1) Penggantian cairan

Cairan Ringer’s lactate NaCl 0,9% Glukosa 10% masing-masing dengan kecepatan tetesan 20 ml perkilagram berat badan per jam. Bila renjatan sudah teratasi, berikan cairan 10 ml/kgBB/jam. Lama pemberian cairan infus dapat dipertahankan sampai 48 jam setelah syok teratasi. 2) Pemberian obat-obatan

a) Antibiotika

Diberikan atas indikasi apabila ada komplikasi infeksi bakterial atau syok yang berkepanjangan (Anonim, 1985).

b) Kortikosteroid

Masih belum ada persesuaian perlu tidaknya obat ini diberikan pada pengobatan syok anak dengan DSS (Anonim, 1985).

c) Heparin

Penderita dengan kadar trombosit dan fibrinogen yang rendah disertai peninggian kadar Fibrin Degradation Product (FDP) dan kelainan hemastatik, penggunaan heparin dapat dipertimbangkan (Anonim, 1985).


(10)

3) Observasi penderita

Dilakukan monitoring terhadap:

a) Keadaan umum, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu setiap 15 menit atau bila perlu lebih sering, sampai syok teratasi.

b) Pemeriksaan kadar Hb atau kadar Ht secara periodik setiap 4 sampai 6 jam sampai nilai menetap.

c) Pemberian cairan : jenis dan jumlahnya, frekuensi dan keluaran kencing perlu dicatat.

(Anonim, 1985)

Agar tecapai tujuan pengobatan yang efektif, aman dan ekonomis maka pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi sebagai berikut:

1. Indikasi tepat

2. Penilaian kondisi tepat 3. Pemilihan obat tepat

4. Dosis dan pemberian obat secara tepat

5. Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat (Anonim, 2000)

3. Drug Related Problems (DRPs)

DRPs merupakan kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataan atau potensial mengganggu keberhasilan, penyembuhan yang diharapkan (Strandet al, 1998).


(11)

Drug related problems adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. DRPs terdiri dari aktual DRP dan potensial DRP. Aktual DRP adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada penderita. Sedangkan potensial DRP adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Seto et al, 2004).

Menurut Strand (1998) kategori/jenis-jenis DRPs antara lain: a. Indikasi yang tidak tepat

1) Membutuhkan obat tetapi tidak menerima 2) Terapi obat yang tidak perlu

b. Obat yang tidak efektif 1) Obat salah

2) Dosis terlalu rendah

c. Pemberian obat yang tidak aman 1) Obat salah

2) Dosis terlalu tinggi d. Ketidakpatuhan

Strand( et al, 1998)

Dari hasil pemantauan dapat ditemukan kemungkinan masalah yang berkaitan dengan obat (drug related problems), yang dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Pasien tidak memperoleh pengobatan yang sesuai dengan indikasinya b. Pasien tidak mendapat obat yang tepat


(12)

c. Dosis obat subterapeutik d. Pasien gagal menerima obat e. Dosis obat terlalu tinggi

f. Timbulnya reaksi obat yang tidak dikehendaki

g. Pasien mengalami masalah karena terjadinya interaksi obat h. Pasien memperoleh obat yang tidak sesuai dengan indikasinya

(Aslam , 2003)

Farmasis mempersiapkan pharmaceutical care untuk menunjukkan Drug Related Event yang diterima untuk mendeteksi, mengobati, atau mencegahnya. Farmasis dalam kaitannya dengan pharmaceutical care harus memastikan bahwa pasien mendapat terapi obat yang tepat, efektif, dan aman.

Di bawah asuhan kefarmasian, farmasis mempunyai tiga sasaran utama, yaitu: a. Mengidentifikasi problem aktual dan potensial yang berkaitan dengan obat

(actual and potential DRP)

b. Penyelesaian problem aktual yang berkaitan dengan obat (actual DRP) c. Pencegahan problem potensial yang berkaitan dengan obat (potential DRP)

(Seto et al, 2004) Seorang farmasis harus memiliki kemampuan untuk memperkirakan akibat yang mungkin terjadi dari kombinasi dua atau lebih obat. Kemampuan tersebut antara lain :

a. Pengetahuan praktis tentang mekanisme farmakologi yang terlibat dalam interaksi obat.


(13)

c. Persepsi terhadap kelompok pasien yang rentan mengalami interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat :

a. Orang usia lanjut

b. Orang yang meminum lebih dari satu macam obat c. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal d. Pasien dengan penyakit akut

e. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil

f. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu g. Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter

Penatalaksanaan interaksi obat : a. Menghindari kombinasi obat

Memilih obat pengganti b. Penyesuaian dosis

Hal ini diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi

c. Pemantauan pasien

Jika hal ini dianggap relevan dan praktis. d. Pengobatan diteruskan seperti sebelumnya

Jika kombinasi obat berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi obat tersebut tidak bermakna secara klinis.


(14)

Faktor yang memberi kecenderungan terjadinya DRPs antara lain a. Umur (pediatrikdan geriatrik)

b. Pasien denganmultiple drug therapy c. Jenis kelamin

d. Pasien dengan penyakit dalam, misalnya penyakit ginjal dan hati yang dapat mempengaruhi eliminasi obat

(Walker, 2003) 4. Pediatrik dan Penggunaan Obat pada Anak

Penggunaan obat untuk anak merupakan hal khusus berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh maupun enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Sesuai dengan alasan tersebut maka dosis obat, formulasi, hasil pengobatan dan efek samping obat yang timbul sangat beragam sepanjang masa kanak-kanak. Oleh karena itu anggapan bahwa anak-anak sama dengan orang dewasa dalam ukuran kecil tidaklah tepat (Walker, 2003).

Dosis obat anak harus diambil dari buku panduan dosis anak dan tidak seharusnya diekstrapolasikan dari dosis dewasa. Usia atau berat dan tinggi badan dapat menjadi parameter termudah untuk pengukuran, tetapi perubahan pada luas permukaan tubuh paling mencerminkan klirens obat sekaligus kebutuhan akan perubahan pada dosis anak (Walker, 2003).

Pasien anak mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan dengan perbedaan farmakokinetika, dosis, rute, pemberian dan kepatuhan semuanya harus


(15)

dipertimbangkan oleh farmasis klinis agar mereka dapat memaksimalkan layanan kefarmasian pada kelompok pasien tersebut (Aslam, 2003).

Pasien anak harus diprioritaskan dalam penanganan DRPs karena kondisi fisiologisnya masih belum sempurna sehingga faktor-faktor metabolisme dan absorbsi obat tidak bisa disamakan begitu saja dengan pasien dewasa, dan farmasis mutlak harus melibatkan orang tua dalam pelayanan dan penanganan terhadap DRPs yang diderita anaknya (Belle, 2008).

5. Rumah Sakit

Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2003).

Rumah sakit sebagai suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2003).

Rumah sakit mempunyai fungsi yaitu menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan nonmedik, pelayanan dan asuhan


(16)

keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta administrasi umum dan keuangan (Siregar, 2003).

Indonesia mengenal 3 jenis rumah sakit sesuai dengan kepemilikannya, jenis pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, di bedakan 3 macam rumah sakit yaitu rumah sakit pemerintah (rumah sakit pusat, rumah sakit provinsi, rumah sakit kabupaten), rumah sakit BUMN/ABRI dan rumah sakit swasta yang menggunakan dana investasi dan sumber dalam negeri (PMDN) dan sumber luar negeri (PMA) (Siregar, 2003).

Ciri kegiatan yang harus dipenuhi oleh suatu institusi rumah sakit ada 13, dimana sedikitnya 6 diantaranya ruang lingkup penunjang medik, yaitu :

a. Harus ada pelayanan rawat inap dengan fasilitas diagnostik

b. Pelayanan farmasi yang harus dilakukan dibawah pengawasan tenaga ahli farmasi yang baik

c. Institusi harus menyediakan fasilitas radiology dan berbagai prosedurnya d. Institusi harus menyediakan pelayanan laboratorium potologi klinik dan

patologi anatomi

e. Institusi rumah sakit harus menyediakan ruang bedah lengkap dengan berbagai fasilitasnya

f. Rumah sakit harus dibangun dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pasiennya dan harus menyediakan fasilitas yang lapang, tidak berdesak-desakan dan terjamin sanitasinya bagi kesembuhan pasien


(17)

RSUD Wonogiri sebagai sarana pelayanan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai mengembangkan berbagai upaya yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kesetaraan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir separuh dari masyarakat belum dapat menikmati kesamaan hak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu (Anonim, 2002).

RSUD Wonogiri adalah Rumah Sakit Umum Milik pemerintah Kabupaten yang ijin operasionalnya ditetapkan oleh departemen Kesehatan Pada tanggal 13 Januari 1956 sebagai Rumah Sakit Tipe D. Seiring dengan berjalannya waktu yang diimbangi dengan meningkatnya pelayanan, RSUD Wonogiri naik satu tingkat menjadi Tipe C tanggal 11 Juni 1983. RSUD Wonogiri pada tahun 1993 memperoleh penghargaan sebagai ”Rumah Sakit Berpenampilan Baik” Peringkat III Tingkat Nasional untuk kategori Rumah Sakit C. Tahun 1994 RSUD Wonogiri memperoleh penghargaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai Rumah Sakit Sayang Bayi. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan ditetapkannya RSUD Wonogiri sebagai RSUD Tipe B Non Pendidikan pada Tahun 1996 (Anonim, 2002).

6. Rekam Medik

Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekaman medik yang memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medik itu harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat digunakan, mudah ditelusuri kembali, dan lengkap informasi (Siregar, 2003).


(18)

Definisi rekam medik menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik adalah: berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas,pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seseorang penderita selama dirawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap (Siregar, 2003).

Rekam medik (RM) Rumah Sakit (RS) merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan manajemen RS, baik dimasa lalu, masa kini maupun perkiraan dimasa dating tentang apa yang akan terjadi.

Kegunaan rekam medik:

a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita. b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang

berkontribusi pada perawatan penderita.

c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan penderita dan penanganan/pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit.

d. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita.

e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggug jawab.

f. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan. (Siregar, 2003)


(1)

c. Persepsi terhadap kelompok pasien yang rentan mengalami interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat :

a. Orang usia lanjut

b. Orang yang meminum lebih dari satu macam obat c. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal d. Pasien dengan penyakit akut

e. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil

f. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu g. Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter

Penatalaksanaan interaksi obat : a. Menghindari kombinasi obat

Memilih obat pengganti b. Penyesuaian dosis

Hal ini diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi

c. Pemantauan pasien

Jika hal ini dianggap relevan dan praktis. d. Pengobatan diteruskan seperti sebelumnya

Jika kombinasi obat berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi obat tersebut tidak bermakna secara klinis.


(2)

Faktor yang memberi kecenderungan terjadinya DRPs antara lain a. Umur (pediatrikdan geriatrik)

b. Pasien denganmultiple drug therapy c. Jenis kelamin

d. Pasien dengan penyakit dalam, misalnya penyakit ginjal dan hati yang dapat mempengaruhi eliminasi obat

(Walker, 2003) 4. Pediatrik dan Penggunaan Obat pada Anak

Penggunaan obat untuk anak merupakan hal khusus berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh maupun enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Sesuai dengan alasan tersebut maka dosis obat, formulasi, hasil pengobatan dan efek samping obat yang timbul sangat beragam sepanjang masa kanak-kanak. Oleh karena itu anggapan bahwa anak-anak sama dengan orang dewasa dalam ukuran kecil tidaklah tepat (Walker, 2003).

Dosis obat anak harus diambil dari buku panduan dosis anak dan tidak seharusnya diekstrapolasikan dari dosis dewasa. Usia atau berat dan tinggi badan dapat menjadi parameter termudah untuk pengukuran, tetapi perubahan pada luas permukaan tubuh paling mencerminkan klirens obat sekaligus kebutuhan akan perubahan pada dosis anak (Walker, 2003).

Pasien anak mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan dengan perbedaan farmakokinetika, dosis, rute, pemberian dan kepatuhan semuanya harus


(3)

dipertimbangkan oleh farmasis klinis agar mereka dapat memaksimalkan layanan kefarmasian pada kelompok pasien tersebut (Aslam, 2003).

Pasien anak harus diprioritaskan dalam penanganan DRPs karena kondisi fisiologisnya masih belum sempurna sehingga faktor-faktor metabolisme dan absorbsi obat tidak bisa disamakan begitu saja dengan pasien dewasa, dan farmasis mutlak harus melibatkan orang tua dalam pelayanan dan penanganan terhadap DRPs yang diderita anaknya (Belle, 2008).

5. Rumah Sakit

Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2003).

Rumah sakit sebagai suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2003).

Rumah sakit mempunyai fungsi yaitu menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan nonmedik, pelayanan dan asuhan


(4)

keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta administrasi umum dan keuangan (Siregar, 2003).

Indonesia mengenal 3 jenis rumah sakit sesuai dengan kepemilikannya, jenis pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, di bedakan 3 macam rumah sakit yaitu rumah sakit pemerintah (rumah sakit pusat, rumah sakit provinsi, rumah sakit kabupaten), rumah sakit BUMN/ABRI dan rumah sakit swasta yang menggunakan dana investasi dan sumber dalam negeri (PMDN) dan sumber luar negeri (PMA) (Siregar, 2003).

Ciri kegiatan yang harus dipenuhi oleh suatu institusi rumah sakit ada 13, dimana sedikitnya 6 diantaranya ruang lingkup penunjang medik, yaitu :

a. Harus ada pelayanan rawat inap dengan fasilitas diagnostik

b. Pelayanan farmasi yang harus dilakukan dibawah pengawasan tenaga ahli farmasi yang baik

c. Institusi harus menyediakan fasilitas radiology dan berbagai prosedurnya d. Institusi harus menyediakan pelayanan laboratorium potologi klinik dan

patologi anatomi

e. Institusi rumah sakit harus menyediakan ruang bedah lengkap dengan berbagai fasilitasnya

f. Rumah sakit harus dibangun dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pasiennya dan harus menyediakan fasilitas yang lapang, tidak berdesak-desakan dan terjamin sanitasinya bagi kesembuhan pasien


(5)

RSUD Wonogiri sebagai sarana pelayanan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai mengembangkan berbagai upaya yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kesetaraan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir separuh dari masyarakat belum dapat menikmati kesamaan hak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu (Anonim, 2002).

RSUD Wonogiri adalah Rumah Sakit Umum Milik pemerintah Kabupaten yang ijin operasionalnya ditetapkan oleh departemen Kesehatan Pada tanggal 13 Januari 1956 sebagai Rumah Sakit Tipe D. Seiring dengan berjalannya waktu yang diimbangi dengan meningkatnya pelayanan, RSUD Wonogiri naik satu tingkat menjadi Tipe C tanggal 11 Juni 1983. RSUD Wonogiri pada tahun 1993 memperoleh penghargaan sebagai ”Rumah Sakit Berpenampilan Baik” Peringkat III Tingkat Nasional untuk kategori Rumah Sakit C. Tahun 1994 RSUD Wonogiri memperoleh penghargaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai Rumah Sakit Sayang Bayi. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan ditetapkannya RSUD Wonogiri sebagai RSUD Tipe B Non Pendidikan pada Tahun 1996 (Anonim, 2002).

6. Rekam Medik

Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekaman medik yang memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medik itu harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat digunakan, mudah ditelusuri kembali, dan lengkap informasi (Siregar, 2003).


(6)

Definisi rekam medik menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik adalah: berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas,pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seseorang penderita selama dirawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap (Siregar, 2003).

Rekam medik (RM) Rumah Sakit (RS) merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan manajemen RS, baik dimasa lalu, masa kini maupun perkiraan dimasa dating tentang apa yang akan terjadi.

Kegunaan rekam medik:

a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita. b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang

berkontribusi pada perawatan penderita.

c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan penderita dan penanganan/pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit.

d. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita.

e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggug jawab.

f. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan. (Siregar, 2003)


Dokumen yang terkait

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’s) PADA PASIEN ANAK INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Evaluasi Drug Related Problems (DRP’S) Pada Pasien Anak Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap Rumah

0 0 14

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’s) PADA PASIEN ANAK INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Evaluasi Drug Related Problems (DRP’S) Pada Pasien Anak Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap Rumah

0 1 18

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAH DENGUE DI INSTALASI RAWAT IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAH DENGUE DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2007.

0 0 16

PENDAHULUAN IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAH DENGUE DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2007.

1 1 17

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) KATEGORI OBAT SALAH DAN REAKSI OBAT YANG MERUGIKAN PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WONOGIRI TAHUN 2007.

0 3 20

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) KATEGORI REAKSI OBAT YANG MERUGIKAN DAN OBAT SALAH PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WONOGIRI TAHUN 2007.

0 2 18

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) DALAM PENGOBATAN DIARE PADA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WONOGIRI TAHUN 2007.

0 2 22

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WONOGIRI TAHUN 2007.

0 2 17

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO TAHUN 2007.

0 0 20

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAH DI INSTALASI RAWAT INAP IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAH DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM BOYOLALI TAHUN 2007.

0 2 19