Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB I

BAB I
PENGANTAR
Remaja dalam perkembangannya, memiliki keunikan-keunikan yang
bisa menjadi potensi dalam pengembangan dirinya ke arah yang lebih baik.
Potensi-potensi yang dimiliki, akan mampu dikembangkan apabila wellbeing-nya diperhatikan dan terpenuhi. Dalam bab ini, akan diuraikan
mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian mengenai
subjective well-being remaja dan mengapa hal ini menjadi penting untuk
diteliti.
1.1 LATAR BELAKANG
Seiring dengan perkembangan psikologi positif, dunia psikologi
memberikan penekanan dalam mengidentifikasi kekuatan atau potensi
psikologi manusia, yang mana bisa membawa pada perkembangan yang
lebih sehat. Dengan perkembangan yang menarik dalam psikologi positif,
banyak studi mulai terus dikembangkan berkenaan dengan kenyamanan dan
kesejahteraan hidup individu. Well-being merupakan salah satu topik dalam
psikologi positif yang meneliti dan melihat bagaimana hidup yang bahagia,
menyenangkan, dan sejahtera bagi manusia (Seligman dalam Snyder &
Lopez, 2002).

Apa yang membuat hidup menjadi hal yang layak dan


menyenangkan? Apa yang menentukan kualitas yang tinggi dari satu
kehidupan? Siapakah yang disebut dengan orang yang berbahagia? Semua
pertanyaan tersebut sering merupakan pertanyaan-pertanyaan dalam studi
mengenai well-being. Satu jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah perasaan seseorang dan pemikirannya bahwa hidupnya itu memang
layak dan menyenangkan. Fenomena ini disebut subjective well-being yang

mengacu pada fakta bahwa seseorang secara subjektif meyakini bahwa
hidupnya layak, menyenangkan, dan baik.
Subjective well-being (selanjutnya disebut SWB) merupakan salah satu
ukuran kualitas hidup individu dan masyarakat. Para filsuf telah banyak
mendebatkan asal mula dari konsep mengenai hidup yang baik untuk waktu
yang sangat lama, dan sampai pada satu kesimpulan yang muncul bahwa
hidup yang baik adalah bahagia, tapi sebenarnya tidak cukup hanya dengan
individu yang bahagia atau masyarakat yang bahagia saja. Bagaimana
seseorang berpikir mengenai hidupnya sendiri merupakan esensi untuk
memahami well-being (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). SWB merupakan
evaluasi subjektif seseorang mengenai hidupnya sendiri yang meliputi
komponen emosional dan komponen kognitif (Diener & Biswas-Diener,
2008).

Individu, khususnya remaja dengan level SWB yang rendah memiliki
resiko yang besar dalam mengembangkan masalah-masalah psikologi seperti
depresi dan perilaku yang tidak adaptif. Sebaliknya, mereka yang memiliki
level SWB tinggi, akan mampu mengatur pekerjaan-pekerjaan sekolah
mereka, bisa mengatur dan menjalin hubungan yang baik dengan orang tua,
dan dapat mempersiapkan diri mereka dalam memasuki masa-masa transisi
sebagai seorang dewasa (Conger & Petersen; Niemelä dkk.; Heaven; Saarela;
Van Wel dkk. dalam Joronen, 2005). Namun demikian, tidak semua remaja
dapat mengalami level SWB yang tinggi. Ada remaja yang tidak bisa merasa
nyaman dengan hidup mereka dan sering merasa tidak puas dengan
pengalaman kehidupan mereka selama ini. Oleh karena itu, dengan melihat
penilaian mereka mengenai level SWB-nya maka potensi diri yang dimiliki
oleh setiap remaja bisa dikembangkan, begitupun juga dengan lingkungan

dimana individu itu berada sehingga membawa pada perkembangan hidup
yang lebih positif.
SMA Negeri 1 telah lama dikenal oleh masyarakat kota Ambon sebagai
salah satu SMA favorit dan unggulan di kota Ambon. Banyak siswa dari
berbagai daerah di kota Ambon yang memiliki kemampuan unggulan
diseleksi untuk bisa lolos dan melakukan aktivitas di sekolah ini. Sebagai

sekolah dengan kualitas yang baik, tentunya tuntutan yang dibebankan
kepada para siswanya juga berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada
umumnya. Apalagi sejak 27 Maret 2009, SMA ini telah terpilih sebagai salah
satu dari 10 sekolah di Indonesia yang menjadi sekolah mitra Pemerintah
Jerman melalui Lembaga Kebudayaan Jerman, Goethe Institut (Redaksi
Berita Sore, 2009).
Peningkatan prestasi yang berusaha dicapai oleh siswa dan pihak
sekolah dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa siswa-siswi SMA Negeri 1
bersama dengan para staf sekolah, berusaha untuk membawa sekolah ini
menuju persaingan global seperti visi yang dimiliki oleh sekolah ini. Dengan
cita-cita untuk memberikan nuansa menghadapi persaingan global, siswa
dituntut bersama untuk memberikan potensi terbaik, yang mereka miliki
untuk pengembangan dirinya sendiri dan sekolah, baik dalam bidang
akademik maupun kegiatan ektrakurikuler, menunjukkan bahwa para
siswanya mampu mengembangkan potensi mereka dengan baik. Potensi diri
yang berkembang dan pencapaian prestasi yang baik bisa menjadi indikasi
adanya kepuasan yang dialami siswa di sekolah. Seperti diungkapkan
Gilman dan Huebner (2006) dalam studi cross-sectionalnya, bahwa siswa
yang


melaporkan

dirinya

mengalami

kepuasan

hidup

cenderung

mendapatkan nilai GPA (Grade Point Averages) yang lebih tinggi
dibandingkan siswa dengan kepuasan hidup yang rendah.

Melalui wawancara yang dilakukan dengan beberapa siswa SMA Negeri
1 Ambon pada 25 Maret 2012, ditemukan bahwa usaha para siswa dalam
meningkatkan kualitas belajar dan pendidikan mereka didukung dengan
keterbukaan dan kenyamanan yang mereka dapatkan di sekolah. Namun
demikian, ada pula beberapa guru yang kurang memiliki relasi yang baik

dengan para siswa sehingga siswa cenderung kurang menyukai guru-guru
tersebut. Selain itu, sejak tahun 2008, SMU Negeri 1 menerapkan pola
kegiatan belajar-mengajar dengan metode moving class. Dengan metode ini,
siswa merasa ada segi positif yang mereka terima, misalnya mereka
memperoleh pengetahuan mengenai pola kehidupan kampus yang juga tidak
berada pada satu kelas saja, dan selain itu menghilangkan kejenuhan berada
di kelas yang sama. Namun begitu, bagi mereka pola seperti ini juga
mendatangkan masalah terutama ketika mereka harus pindah ke kelas yang
berikutnya, karena kadangkala ada guru yang memberikan pelajaran sampai
melewati batas waktu mengajarnya, sehingga mereka terlambat dan dianggap
alpa karena keterlambatan. Ada pula siswa yang mengatakan merasa jenuh
dengan tuntutan sekolah yang terlalu tinggi dan tugas yang setiap hari selalu
ada. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa hubungan keterbukaan
yang diterima dari kepala sekolah, hubungan baik yang tercipta diantara
teman-teman sekelas dan perlakuan baik yang diterima dari kebanyakan
guru, baik yang seagama maupun yang tidak seagama, membuat mereka
masih tetap merasa nyaman dan senang berada di sekolah. Dari penjelasan
tersebut, terlihat bahwa ada kondisi-kondisi di lingkungan sekolah yang bisa
membuat siswa merasa tidak nyaman dan bosan sehingga membuat mereka
tidak senang berada di sekolah, namun ada pula kondisi-kondisi yang

membuat mereka merasa senang di sekolah. Siswa mengungkapkan bahwa
ketika mereka merasa senang dan nyaman, sekolah merupakan tempat yang
sangat menyenangkan untuk belajar dan bersosialisasi dengan orang di

sekitarnya. Mereka merasa senang bisa bertemu dengan orang-orang yang
mereka kenal dan melakukan rutinitas yang mereka senangi serta
mengembangkan potensi yang mereka miliki baik dalam bidang akademik
maupun ekstrakurikuler.
Bertolak dari berbagai pendapat-pendapat di atas, maka dirasakan perlu
untuk meneliti lebih jauh mengenai SWB siswa SMA Negeri 1 Ambon.
SWB merupakan penilaian subyektif individu mengenai hidupnya sendiri,
yang meliputi komponen kogntif dan komponen emosi (Diener, 2008).
Remaja, khususnya siswa dengan SWB yang tinggi memiliki indikatorindikator, antara lain memiliki prestasi belajar yang baik, memiliki hubungan
sosial yang baik dengan lingkungannya, terhindar dari perilaku-perilaku
yang merusak kesehatan (misalnya, merokok dan kebiasaan meminumminuman keras), dan memiliki penyesuaian diri yang baik dengan
lingkungan (Zullig dkk. dalam Murray-Harvey, 2010).
Kualitas prestasi yang dimiliki oleh para siswa, baik dalam bidang
akademik maupun ekstrakurikuler menunjukkan bahwa para siswa
mengembangkan potensi diri mereka sebagai anak-anak muda berprestasi
untuk memberikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki. Dalam hal ini,

pencapain yang positif, tentunya berkembang bukan saja karena potensi yang
mereka miliki dari dalam dirinya sendiri, namun pula dipengaruhi oleh
lingkungannya. Seperti yang diungkapkan oleh Brofenbrenner (dalam Meece
dan Eccles, 2010) melalui empat sistem dalam ekologi perkembangan
manusia, bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh interaksi dinamis
antara level yang majemuk dari lingkungan individu.
Penelitian yang akan dilakukan saat ini lebih memfokuskan pada SWB
remaja, khususnya siswa SMA. Studi mengenai SWB siswa, yang mana pada
usia mereka tergolong dalam kelompok remaja menjadi penting, karena

dalam periode waktu ini, peristiwa-peristiwa dan transisi yang berbeda
mungkin memengaruhi perkembangan serta well-being mereka. Selama masa
kanak-kanak tengah (middle childhood) dan remaja, permasalahan kecil dan
masalah sehari-hari kelihatannya menjadi sama dengan pengalaman
peristiwa hidup yang penuh tekanan (McCullough, Huebner, & Laughlin,
2000). Namun demikian, remaja juga memiliki kekhasan sebagai orangorang muda yang memiliki potensi besar yang menarik dan layak untuk terus
ditelusuri. Sebagai generasi yang menyimpan banyak potensi untuk
berkembang, adalah merupakan hal yang sangat tepat apabila dilakukan
penelitian mengenai bagaimana penilaian mereka mengenai SWB-nya.
Selain itu, sejauh penelusuran penulis, penelitian-penelitian yang dilakukan

sebelumnya lebih banyak meneliti mahasiswa (Wei, Yu-Hsin Liao, TsunYao, dan Shaffer, 2011; Durkin dan Joseph, 2009; Busseri, Sadava, Molnar,
DeCourville, 2009), kalangan orang tua (Heo, Lee, McCormick, Pedersen,
2010; Moon dan Mikami, 2007; Schüz, Wurm, Warner, Tesch-Römer, 2009;
), pekerja atau guru (Chan, 2009; Chan, 2010), komunitas orang dewasa
(Maltby, Lewis, Day, 2008;) dan orang dengan penyakit tertentu (Pinquart
dan Frohlich, 2009). Semua penelitian-penelitian ini dilakukan dengan
asumsi bahwa orang dewasa atau orang dengan kondisi tertentu memiliki
alasan yang lebih nyata tentang SWB mereka. Selain itu, orang dewasa telah
mapan dan mampu untuk menilai bagaimana kepuasan hidup mereka. Jika
individu memiliki level well-being yang tinggi, maka mereka akan memiliki
kemampuan untuk bertahan dalam tekanan dan mampu mengembangkan
perilaku yang adaptif.
Faktor-faktor yang memengaruhi SWB seseorang bisa disimpulkan
antara lain, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi
kepribadian

dan

temperamen,


optimisme,

harga

diri

(self-esteem),

sedangkan faktor eksternal meliputi tujuan yang ingin dicapai, status sosio-

ekonomi, budaya, dukungan sosial, agama, jender, pendapatan pribadi,
pernikahan-perceraian, hubungan sosial dengan orang lain, aktivitas yang
dilakukan, dan keamanan diri. Lebih khusus, jika dilihat dalam konteks
remaja dan sekolah, beberapa faktor yang penting dalam memengaruhi SWB
remaja, antara lain dukungan sosial teman sebaya dan guru (Flaspohler,
Elfstrom, Vanderzee, & Sink, 2009), orang tua (del Valle, Bravo & Lopez,
2010), school connectedness (Eccles, Early, Frasier, Belansky & McCarthy,
1997; Steinberg, dalam McNeely, Nonnemaker & Blum, 2002; Libbey,
2004), self-efficacy (Yang, Wang, Li & Teng, 2008). Dari faktor-faktor
tersebut, penulis memilih school connectedness dan dukungan sosial teman

sebaya sebagai dua variabel yang akan menjadi prediktor bagi SWB remaja,
karena sejauh penelusuran penulis, dukungan sosial teman sebaya dan school
coonnectedness merupakan variabel yang masih sedikit diteliti dalam
konteks SWB remaja Indonesia, dan siswa di Ambon khususnya.
Berhubungan dengan alasan di atas, penulis melihat bahwa sekolah
memainkan peranan yang penting dalam kehidupan remaja dan pengalaman
sekolah memiliki kaitan yang erat dengan bagaimana seseorang dikatakan
sukses ataupun gagal (Palardy, 2008; Sun, Creemers, & de Jong, 2007;
Konu, Lintonen, & Autio, dalam Morris, Martin, Hopson & Welch-Murphy,
2010). Lingkungan sekolah merupakan salah satu lingkungan utama selain
keluarga ketika anak berada pada usia remaja. Pada masa-masa ini, remaja
menghabiskan sebagain besar waktu mereka untuk beraktivitas di sekolah.
Pada dasarnya, setiap remaja adalah unik, namun remaja Ambon memiliki
keunikan tersendiri karena tumbuh di daerah yang rentan konflik. Oleh
karena itu, ketika sekolah bisa menjadi salah satu lingkungan yang
memberikan efek positif pada siswanya, maka siswa itu sendiri akan
memiliki pemahaman yang positif

dan terhindar dari perilaku-perilaku


negatif karena pengajaran, pengetahuan dan nilai-nilai moral yang

ditanamkan dalam pengalaman nyatanya ketika bersekolah. Pengalaman
nyatanya yang positif ketika berada di lingkungan sekolah akan membuat
anak merasa menjadi bagian dari sekolah dan dengan sendirinya anak akan
menanamkan rasa cinta kepada sekolah bukan hanya karena sekolah itu
favorit atau diunggulkan, namun karena anak diperlakukan dengan benar
oleh orang lain di sekolah. Dengan demikian, anak akan merasa bahwa
hubungannya dengan sekolah memberikan dampak positif yang membawa
pada kebahagiaan dan kenyamanan dirinya. Lebih daripada itu, seperti yang
telah dijelaskan di atas, keterikatan atau adanya hubungan yang baik dengan
sekolah, menjadi salah satu kunci utama kesuksesan seorang siswa di
sekolah. Ketika siswa merasa dirinya dihargai, didukung, dan diterima dalam
lingkungan sekolahnya, maka akan terjadi peningkatan dan perkembangan
yang positif secara emosional maupun kualitas hidup siswa tersebut
(Stracuzzi dan Mills, 2010).

Dengan memahami pengaruh school

connectedness terhadap SWB siswa, maka dapat membantu guru maupun
para pemimpin di sekolah untuk mendesain lingkungan sekolah dan
lingkungan belajar yang efektif. Dari penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya (misalnya, Resnick, dkk. 1997; McNeely dkk., 2002;
Frydenberg, Care, Freeman & Chan, 2009), school connectedness menjadi
salah satu variabel yang terbukti menjadi variabel protektif bagi remaja
dengan memberikan hasil yang positif dalam perkembangannya. Berdasar
pada studi cross-sectional, siswa dengan school connectedness yang baik
biasanya kurang terlibat dalam perilaku-perilaku bermasalah (Battistich &
Hom, 1997; Bond, Butler & Thomas, 2007; Carter, McGee, Taylor, &
Williams, 2007; Resnick, Harris & Blum, 1993, Resnick dkk., 1997; Waters,
Cross, dan Shaw, 2010), memiliki prestasi akademik di atas rata-rata
(Anderman, 2002; Goodenow, 1993; Klem & Connell, 2004; Waters, Cross,
dan Shaw, 2010), dan lebih daripada itu, siswa dengan level school

connectedness yang tinggi juga berasosiasi dengan sosio-emosional yang
positif (Bonny, dkk. 2000; McNeely dkk., 2002; Stracuzzi, Mills, 2010).
Namun dari kebanyakan penelitian yang dilakukan mengenai school
connectedness, sangat sedikit studi yang menggambarkan karakteristik siswa
atau ekologi sekolah yang mungkin meningkatkan hubungan siswa dengan
sekolahnya, sehingga, penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya
belum tentu bisa digeneralisasi kepada siswa SMA Negeri 1 Ambon.
Selain itu, anak dalam pertumbuhannya juga membutuhkan adanya
keberadaan teman yang bisa menjadi tempat berbagi. Telah banyak
penelitian yang menemukan bahwa teman sebaya memiliki peran yang besar
dalam perkembangan anak usia remaja (misalnya, Scholte & Van Aken,
2006). Dalam banyak hal, remaja cenderung berbagi dan menghabiskan
waktu dengan teman-temannya. Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan siswa
SMA Negeri 1 Ambon. Masing-masing dari setiap siswa memiliki teman,
baik itu teman biasa ataupun sahabat yang biasanya mereka andalkan dalam
banyak hal, misalnya mendengarkan masalah, memberi nasehat atau
masukan, dan menolong mereka dalam meminjamkan barang atau uang
dalam jumlah tertentu. Teman sebaya memiliki peran yang besar pada anakanak usia remaja ini. Anak merasa nyaman berbagi dengan temannya
dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Inilah alasan mengapa kedua
variabel ini penting dan sesuai untuk diteliti dalam melihat SWB siswa SMA
Negeri 1 Ambon. Selain itu, variabel dukungan sosial teman sebaya yang
menjadi variabel prediktor SWB kedua untuk penelitian ini dipilih karena
pada masa remaja, perilaku sosial mereka berubah dari yang sepenuhnya
bergantung pada orang tua menjadi lebih bergantung pada teman (Collins &
Laursen, 2004). Scholte dan Van Aken (2006) dalam penelitiannya
menemukan bahwa peran teman menjadi penting dan mereka berinteraksi
dalam jumlah yang lebih besar pada usia remaja. Remaja juga kelihatannya

lebih senang berbicara dengan orang yang seusia dengan mereka, dan
mereka mengindikasikan ketergantungan yang lebih besar pada teman
(Arnett, 2003). Dukungan teman sebaya juga telah menjadi variabel yang
memberikan pengaruh besar bagi perkembangan remaja. Dukungan teman
sebaya telah memiliki hubungan positif dengan self-esteem dan prestasi
sekolah siswa, dan berasosiasi negatif dengan komplain-komplain mengenai
depresi dan gejala somatik lainnnya seperti sakit kepala dan pusing
(Colarossi & Eccles, 2003; Domagala-Zysk, 2006; Torsheim & Wold, 2001;
Flaspohler dkk., 2009). Namun demikian, ada juga penelitian yang
menemukan bahwa jika dibandingkan dengan dukungan sosial teman sebaya,
dukungan orang tua masih lebih memiliki peran yang penting bagi remaja.
Meeus (dalam Del Valle dkk., 2010) dan Meeus dan dekovic (dalam Del
Valle, 2010) menjelaskan bahwa dukungan dari orang tua berlanjut menjadi
yang paling penting dalam konteks hubungan personal, sementara dukungan
teman sebaya lebih relevan dalam waktu senggang saja, sehingga dukungan
orang tua merupakan faktor well-being yang krusial dibandingkan teman
sebaya pada tahap perkembangan remaja. Dengan alasan dan penemuan
teoritis dari penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti merasa perlu
melakukan penelitian untuk mengetahui school connectedness dan dukungan
sosial teman sebaya sebagai prediktor terhadap SWB siswa.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Apakah school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya secara
simultan menjadi prediktor subjective well-being siswa?
1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji school connectedness
dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor subjective well-being
siswa.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Sesuai tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Dapat memperkaya konsep atau teori-teori psikologi dan menjadi
bukti

empiris

mengenai subjective well-being remaja, serta

diharapkan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian yang relevan.

2. Manfaat bagi sekolah (SMU Negeri 1 Ambon)
a. Bagi para guru : memberikan informasi mengenai pengaruh
school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya terhadap
subjective well-being remaja.
b. Hasil penelitian ini bisa memberikan masukan mengenai
pengaruh school connectedness dan dukungan sosial teman
sebaya

terhadap subjective well-being siswa, sehingga dapat

digunakan sebagai informasi berguna untuk pengembangan diri
siswa ke arah yang lebih positif.
3. Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini memperkaya penulis tentang berbagai faktor yang bisa
menjadi prediktor terhadap subjective well-being siswa, sehingga
menjadi masukan untuk dasar-dasar riset dan selanjutnya berguna
juga bagi pengetahuan penulis dalam pengembangan diri dan
sosialisasi dengan para remaja (siswa) di kemudian hari.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku Sehat dan Spiritualitas sebagai Prediktor Subjective Well-Being pada Lansia

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Hubungan Orangtua-Remaja sebagai Prediktor Identitas Diri Siswa SMA Kristen 1 Salatiga T2 832009002 BAB I

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Hubungan Orangtua-Remaja sebagai Prediktor Identitas Diri Siswa SMA Kristen 1 Salatiga T2 832009002 BAB II

0 0 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Hubungan Orangtua-Remaja sebagai Prediktor Identitas Diri Siswa SMA Kristen 1 Salatiga T2 832009002 BAB IV

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Hubungan Orangtua-Remaja sebagai Prediktor Identitas Diri Siswa SMA Kristen 1 Salatiga T2 832009002 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB II

0 2 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB IV

1 1 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon

0 0 11