Aplikasi Pendekatan Bayani dalam Badal Haji

Aplikasi Pendekatan Bayani dalam Badal Haji
Yang disebut dengan badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas
nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah haji, tetapi
karena udzur tidak dapat melaksanakannya sendiri. Pelaksanaan ibadah tersebut
didelegasikan kepada orang lain mungkin anaknya, keluarganya atau orang lain.
Dalam memahami badal haji ini ada perbedaan pendapat mengingat adanya beberapa
ayat al-Qur’an yang dapat dipahami bahwa seseorang hanya akan mendapat pahala dari
hasil usahanya sendiri. Artinya seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk
orang lain sehingga orang lain yang mempunyai kewajiban itu bebas dari tuntutan
kewajiban.
Di samping itu adanya hadits-hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa seorang anak
dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya yang udzur baik karena sakit, usia
tua atau telah meninggal dunia, padahal ia berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji
itu. Wajib berhaji itu baik karena telah bernadzar maupun karena telah terpenuhi syarat
istitha’ah (kemampuan).
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang dimaksud, antara lain adalah:
a. Surat al-Baqarah ayat 286:
Artinya: “… ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…”.
b. Surat Yasin ayat 54:
Artinya: “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak

dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan”.
c. Surat an-Najm ayat 38 dan 39:
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa
yang telah diusahakannya.”.
Melihat arti umumnya ayat-ayat tersebut, tidaklah kewajiban haji seseorang itu
pelaksanaannya dilakukan oleh orang lain termasuk anaknya. Tetapi dalam istidlal untuk
menentukan hukum sesuatu masalah, perlulah dicari dalam dalil lain, dalam hal ini as
Sunnah atau al hadits.
Adapun hadits-hadits yang dapat dijadikan dasar untuk mendapatkan bayan atau
penjelasan masalah badal haji, ialah antara lain hadits-hadits dibawah:
a. Hadits riwayat Imam Muslim:
Artinya: “Apabila keturunan Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya
kecuali tiga hal: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan
kedua orang tuanya”.
Hadits ini menunjukkan, sekalipun orang telah meninggal tidak lagi dapat berbuat apaapa, tetapi masih dapat menerima tambahan kebaikan.
b. Hadits riwayat Imam Ahmad:

Artinya: “Seorang laki-laki dari Bani Khas’am menghadap kepada Rasulullah saw., ia
berkata: ‘Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, tidak dapat naik

kendaraan untuk haji yang diwajibkan, bolehkah aku menghajikannya?” Nabi saw.
Bertanya: “Apakah kamu anak tertua?” Orang itu menjawab: “Ya”, Nabi saw.
Bersabda: “Bagaimana pendapatmu jika orang tuamu mempunyai hutang, lalu engkau
membayar hutang itu untuknya cukup sebagai gantinya?” Orang itu menjawab: “Ya”.
Manak Nabi saw. Bersabda: “Hajikanlah dia”. (HR. Ahmad dari Abdullah bin Zubair).
Hadits ini menunjukkan kebolehan anak laki-laki melaksanakan kewajiban haji bapaknya
yang udzur karena sakit.
c. Hadits riwayat Jama’ah dari Ibnu Abbas:
Artinya: “Ada seorang wanita dari Khas’am berkata kepada Rasulullah saw.: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya ayahku sampai kepadanya kewajiban haji sewaktu ia telah tua
sekali, ia tidak dapat duduk tegak di atas punggung unta”. Nabi saw. Bersabda:
“Hajikanlah dia”. (HR. Jama’ah kelompok dari ahli hadits).
Hadits ini menunjukkan kebolehan anak perempuan melaksanakan kewajiban haji
ayahnya yang udzur.
d. Hadits riwayat ad-Daruqutni:
Artinya: “Seorang laki-laki menghadap kepada Rasulullah saw., lalu bertanya: “Ketika
ayahku meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai tanggungan kewajiban haji
(menurut) Islam, apakah aku boleh menghajikannya?” Nabi saw. Bertanya: “Bagaimana
menurut kamu kalau ayahmu meninggalkan hutang, apakah kamu akan membayar
hutang itu sebagai gantinya?” Dia menjawab: “Ya”. Nabi saw. bersabda: “Hajikanlah

dia”. (HR ad-Daruqutni)
Hadits ini menunjukkan kebolehan anak melaksanakan kewajiban haji ayahnya yang
telah meninggal dunia.
Ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tersebut
di atas. Ada yang berpendapat bahwa hadits-hadits tersebut tidak sejalan (bertentangan)
dengan ayat-ayat al-Qur’an oleh karena itu hadits-hadits tersebut tidak dapat diamalkan.
Hadits-hadits itu kedudukannya dhanni karena ahad, sedangkan ayat al-Qur’an itu
kedudukannya qat’iy. Pendapat ini didukung oleh manhaj ulama Hanafiyah. Ulama lain,
seperti Ibnu Hazm dari aliran Dzahiri berpendapat bahwa hadits ahad mempunyai
kekuatan yang qat’iy sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan arti ayat alQur’an yang bersifat umum. Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama mutakallimin
khususnya ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hadits ahad apalagi hadits mutawatir
dapat mentakhsis (mengkhususkan/mengecualikan) ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu
menurut mereka, anak bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang
tuanya atau orang lain.
Sejauh yang dapat dipahami dari pendapat di kalangan ulama Tarjih Muhammadiyah
terdahulu, hadits ahad dapat mentakhsis ayat al-Qur’an, yakni sebagai bayan. Dari segi
macam bayan yang pernah dibicarakan, dapat dikategorikan bayan disini termasuk bayan
taghyiri, artinya merubah dari ketentuan umum dengan adanya hukum pengecualian.
Sebagai contoh, makmum yang mendengar bacaan imam tetap wajib membaca al
Fatihah, karena adanya hadits yang menyatakan kewajiban membaca al-Fatihah dalam


shalat (lihat tuntunan shalat). Contoh lain adalah pengecualian bagi hamba, wanita, orang
sakit dan anak-anak dari kewajiban menunaikan shalat Jum’ah (lihat tuntunan shalat
jum’ah). Demikian pula dalam hal seseorang yang telah meninggal dunia tetapi masih
mempunyai kewajiban puasa maka puasanya itu dapat dilakukan oleh walinya (lihat
dalam tuntunan puasa; dalam hal ini pengertian wali perlu diinterpretasikan dengan anak
seperti dalam ayat 5 surat an-Nisa). Dalam masalah wakaf, Majelis Tarjih
Muhammadiyah juga menetapkan bahwa dengan adanya wakaf itu seseorang akan tetap
mendapat pahala sekalipun ia telah meninggal dunia. Dalam masalah yang terakhir ini
Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan hadits riwayat Imam Muslim yang
menyatakan bahwa apabila anak Adam meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga
hal; sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan orang
tuanya. Hadits-hadits itu secara lahiriah tampak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an
tersebut di atas. Namun demikian hadits-hadits tersebut juga dapat diartikan sebagai
bayan takhsis (pengkhususan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an itu. Dengan demikian, ibadah
haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi tidak dapat melakukannya
karena udzur atau karena sudah meninggal dunia padahal ia sudah bernazar untuk
menunaikan ibadah haji dapat dilakukan oleh anaknya. Kebolehan ini hanya berlaku bagi
anaknya saja bukan bagi orang lain. Pengertian kebolehan menghajikan itu hanya oleh
anaknya terhadap orang tuanya yang udzur atau sudah meninggal selain berdasarkan

hadits-hadits di atas, didasarkan pula pada dalil yang menyatakan bahwa anak itu hasil
usaha orang tuanya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw. Riwayat at-Tirmizi,
an-Nasa’I dan Ibnu Majah, yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya yang paling baik dari apa yang kamu makan adalah hasil
usahamu dan sesungguhnya anak-anakmu itu adalah hasil usahamu”. (HR. at-Tirmizi, anNasa’I dan Ibnu Majah).
Kesimpulannya, perbuatan anak melakukan beberapa ibadah (tertentu yang ada
tuntunannya yang mestinya dilakukan oleh orang tuanya, karena udzur, dapat dibenarkan
karena perbuatan anak itu masuk pada kriteria kasab (usaha) orang tuanya. Dengan
demikian, haji badal dapat dilakukan, tetapi hanya dapat dilakukan oleh anak dari orang
(ayah atau ibu) yang telah mempunyai kewajiban ibadah haji, dan tidak boleh dilakukan
oleh orang lain (lihat tuntunan Manasik Haji).
Sumber: SM-02-2003