Pendekatan Bayani dalam Pelaksanaan

Pendekatan Bayani dalam Pelaksanaan
Pada uraian yang lalu telah disampaikan pengertian bayani dan macammacamnya, terutama menurut pandangan ahli ushul fiqih yang banyak
mencangkok pendekatan ushuluddin, bahkan mengembangkannya.
Kalau dalam pandangan ushuluddin hanya dalil-dalil qath’iy (pasti) yang dapat
dijadikan dasar istilah istidlaal. Dalam masalah fiqih, selain dalil qath’iy dapat
juga menggunakan dalil dhanniy (sangkaan kuat) baik tsubut maupun dalalahnya
Dalam manhaj Majlis Tarjih sebelum Munas Tarjih di Malang dan Jakarta tahun
2000, metode istidlaal dalam masalah aqidah (ushuluddin) masih menggunakan
dalil qath’jy saja, dan istidlaal dalam masalah fiqih menggunakan baik dalil
qath’iy maupun dhanniy. Sedang sesudah Munas tahun 2000 pendekatan yang
digunakan dalam pemikiran Islam dan ijtihad dalam masalah hukum, menjadi
terpadu.
a. Terpadu dalam pemahaman agama atau syari’at Islam, tidak terkotak-kotak
masalah aqidah mempunyai sistem pendekatan sendiri, masalah hukum
mempunyai sistem pendekatan sendiri, sedang masalah akhlaq mempunyai
pendekatan sendiri. Pendekatan masalah agama secara terpadu; mendasarkan pada
al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa mengesampingkan ijtihad yang pendekatan dan
hasilnya berupa pendekatan atau fakta yang bernama burhani dan irfani. Inilah
keterpaduan yang pertama.
b. Terpadu dalam penggunaan pendekatan, yakni pendekatan bayani, burhani dan
irfani. Maksudnya dalam merumuskan ketentuan agama ketiga pendekatan yakni

bayani, burhani dan irfani harus terpadu dan simultan, dan barangkali itu yang
dapat diartikan pada pengertian keterpaduan yang kedua.
Dalam praktik tentu belum dapat dicontohkan secara maksimal mengingat
keputusan tentang pendekatan itu baru dan belum dipublikasikan dalam
memecahkan masalah dalam Munas.
Dalam keputusan lama, dapat kita ambil tentang catatan qarar Tarjih dalam
masalah aqidah, khususnya keyakinan kita kepada dzat Allah. Bertalian dengan
dzat Allah ini akal kita tidak perlu memikirkanNya dan untuk jelasnya dapat
disampaikan qarar itu dengan dalil yang digunakannya.
Tersebut pada qarar Tarjih halaman 12 cetakan ke III, antara lain:
Allah tidak menyuruh kita nembicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal
dalam hal kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian
tentang dzat Allah dan hubunganNya dengan sifat-sifat yang ada padaNya. Maka
janganlah engkau membicarakan hal itu.
Rumusan itu didasarkan pada ayat 286 surat al Baqarah:
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sekedar kekuatannya”.
(Qur’an Surat Baqarah ayat 286)

Juga didasarkan pada Hadits riwayat Abu Syaikh dan Ibnu ‘Abbas:
Artinya: “Hadis daripada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya orang banyak sama

memikirkan keadaan Allah Yang Maha Mulia dan Agung, maka Nabi saw
bersabda “Fikirkanlah makhluk Allah dan jangan memfikirkan dzatnya, karena
kamu tidak akan menduga kekuasaanNya”
Dan dari Ibnu ‘Abbas juga dengan perkataan yang lain:
Artinya: “Fikirkanlah keadaan makhluk dan jangan fikirkan keadaan khaliq
(Allah Yang Maha Menciptakan). Karena kamu tidak dapat mengukur
kekuasaanNya”.
Dalam qarar itu nampak ada pendekatan bayani sekalipun belum sempurna dan
belum terpadu.
Adapun qarar yang menggambarkan bayani dan sedikit terpadu adalah tentang
zakat profesi yang ditetapkan di Malang tahun 1989 dan disempurnakan di Jakarta
tahun 2000.
1. Pengertian profesi, belum ada di masa Nabi maka perlu perumusan.
2. Dalil yang berupa tekstual dan kontekstual perlu dicari. Dalam pencarian dalil
pada Muktamar di Malang, ditemukan ayat 267 surat al-Baqarah yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik”
Penggunaan ayat ini ditolak oleh sebagian peserta karena ayat itu berbunyi infaq
bukan shadaqah, padahal yang bisa berarti zakat kalau berbunyi shadaqah.
Pendapat yang menolak itu dapat ditolak karena para ulama, termasuk ulama

Tarjih berpendapat dapat menggunakan infaq untuk pengertian zakat. Pada
Muktamar Tarjih di. Garut tahun 1976 mengartikan infak dalam ayat 34 surat AtTaubah dengan zakat:
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka siksa
yang pedih”
Menafkahkan di atas diartikan menzakatinya, sesuai dengan yang disebut dalam
tafsir Al Maraghi.
Arti firman Allah: “walaayunfiquunaha fi sabilillah” ialah tidak mengeluarkan
zakatnya.
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa tafsir bayani dengan menggunakan firman
Allah dalam surat al-Maidah ayat 3:
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama
bagimu.”
Ayat itu bukan berarti tidak boleh menginterpretasikan (tafsirkan) ayat dengan
tafsir tekstual saja, tetapi justeru yang kontekstual sehingga kalau dahulu Nabi
mewajibkan zakat mal (harta) hanya tijarah (perdagangan), maka berdasarkan al-

Qur’an, hasil Kasab (usaha) dapat juga harta yang dihasilkan dari selain
perdagangan, mengingat umumnya ayat.

Sehingga keberatan di Malang berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dari
Sumarah Ibnu Jundab tidak dapat diterima:
Artinya “Dahulu Rasulullah menyuruh kita untuk mengeluarkan zakat (harta)
yang kami perhitungkan dalam jual beli”
Keberatan dengan hadits itu tidak dapat diterima, karena hadist itu tidak melarang
yang lain. Kalau ada yang keberatan dangan hadits di atas sebagai pengkhususan
arti Kasab (usaha) hanya ba’i (perdagangan, jual beli) dengan qaidah.
Artinya: “Penggunaan dalil umum (dalam ayat itu Kasab) sesudah ditakhshish
(dalam hal ini bai’ jual beli, perdagangan) tidak boleh”.
Argumen itu bertentangan dengan qaidah-qaidah:
Artinya: “Menyebutkan sebagian dari rincian umum yang sesuai dengan
hukumnya tidak mengandung ketentuan takhshish”.
Juga bertentangan dengan qaidah
Artinya: “Dalil umum sesudah dikhususkan tetap (dapat digunakan) hujjah dari
sisa yang tertinggal”.
Demikian pula dengan qaidah:
Artinya: “Ibarat (pengertian) yang dapat diambil; adalah umumnya kata-kata
bukan sebab khusus (dalam hal ini perdagangan)”.
Ada hal yang menarik yang lain sekalipun pada waktu di Malang belum
dibicarakan pendekatan burhani dan irfani, ternyata ada pandangan perlunya

pendekatan aqli (akal) dan filosofis, dalam hal ini keadilan. Dirasa kurang tepat
dari rasa keadilan, kalau petani dengan hasil 7,5 kwintal harus membayar zakat,
sedang orang-orang yang berprofesi menghasilkan uang yang berlipat dari 7,5
kwintal tidak dizakati. Pada hal ada ayat yang dapat dipahami agar adanya
pemerataan rizki ialah ayat 7 surat al-Hasyr yang berbunyi:
Artinya: “Supaya harta itu tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja
diantaramu”.
Bukti nyata bahwa sistem kapitalis dan komunis tidak dapat membawa
pemerataan nikmat itu kecuali Islam yang diprediksikan dapat memenuhi harapan
kemanusiaan. Hal ini akan terbukti kalau ada kesadaran dan hati nurani umat
Islam terhadap pemahaman agamanya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2002