NALAR BAYANI DALAM HUKUM ISLAM

NALAR BAYĀNĪ DALAM HUKUM ISLAM
Oleh:
Hamka Husein Hasibuan
(17200010102)
Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik, Program Studi
Interdiciplinary Islamic Studies (IIS), Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta
A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan gabungan dari divine law dan human made law.
Hal ini merupakan konsekuensi dari agama –termasuk Islam di dalamnya –bagian
dari text tradition. Dalam konteks hukum, para mujtahid menggali, menemukan,
dan menangkap hukum yang ada di dalam teks al-Quran. Sebagai kitab suci yang
menjadi sumber hukum, sebagian besar isinya berupa prinsip-prinsip umum yang
bersifat universal. Maulana Muhammad Ali mengklasifikasikan isi Al-Qur’an
kepada dua kelompok: a) prinsip umum yang bersifat teoritis; dan b) prinsip umum
yang bersifat praktis.1 Dalam konteks al-Quran, Nabi berkedudukan sebagai active
interpreter yang berfungsi sebagai penjelas, penafsir, sekaligus penguat terhadap

teks Al-Qur’an2 --yang kemudian disebut dengan Hadis – sesuai situasi dan kondisi
kebutuhan manusia ketika itu.
Dengan demikian, peran Nabi saat itu adalah menjadi mediator antara teks

Al-Qur’an dengan realitas yang hidup. Pasca wafatnya Nabi, tentunya peran
mediator seperti ini tidak boleh putus hanya karena pertimbangan wahyu telah
terhenti turun dan nabi telah tiada. Sebaliknya, peran mediator sepeninggal beliau

1
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of The
Sources, Principles and Practices of Islam, (Lahore, The Ahmadiyya Anjuma Isha’at Islam, 1990),
hlm. 341.
2
Wahbah az-Zuhailīy, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1999), hlm. 38.

1

didelegasikan kepada penerus beliau, yaitu para sahabat, tabi’in serta mujtahid dan
juris Islam sampai saat ini. Bedanya, jika peran mediasi nabi atas bimbingan wahyu,
maka mediasi yang dilakukan para mujtahid didasarkan pada penalaran ilmiah
berupa istinbath hukum untuk mengapresiasi kandungan umum teks wahyu demi
terimplementasinya kemaslahatan di muka bumi.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa, salah satu yang membedakan
hukum Islam dengan hukum konvensional adalah bahwa hukum Islam digali dan

ditemukan dari sumbernya (ustunbit min mashādiruhu), bukan diciptakan. Para
mujtahid tidak menetapkan hukum, akan tetapi menemukan hukum. Sumber hukum
itu adalah teks/nash. Untuk itu, metode penemuan hukum Islam atau dalam usul
fikih disebut dengan ṭarīqah istinbāṭ al-aḥkām atau ṭarīqah istidlāl al-aḥkām.3
Dalam memetakan metode penggalian hukum dari teks/nash ini, setiap ahli
mempunyai klasifikasi yang berbeda. Muhammad Abu Zahra membagi kepada dua
metode: metode literer (ṭuruq al-lafẓiyah), dan metode maknawiyah (ṭuruq
ma’nawiyah).4 Syamsul Anwar membagi kepada tiga metode: a) bayānī
(lingusitik), b) ta’lîlî (dibagi kepada dua lagi: metode qiyasi dan metode istislahi),
dan c) taufîqi (sinkronisasi).5 Ada juga yang membaginya kepada: a) metode bayānī
(linguistik); b) metode ta’lilī (kausasi), c) metode istiṣlāhī (teleologi). Muhammad

Ada sebagai ahli yang membedakan antara istinbāṭ al-aḥkām dan istidlāl al-aḥkām. Al
Yasa’ Abu Bakar umpanya, berpendapat bahwa istimbāth itu pemahaman dan penafsiran secara
deduktif, sementara istidlāl adalah pemahaman dan penafsiran secara induktif. Lihat Al Yasa’
Abubakar, Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, cet. ke-1
(Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 1.
4
Muhammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, tth), hlm. 115.
5

Syamsul Anwar. Muzakkirah fī Usul al-Fiqh II (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Suka, 2012), hlm. 13.
3

2

Abid al-Jabiri mengklasifikasikan nalar Arab-Islam kepada tiga bentuk: bayani,
irfani, dan burhani.

Dalam sejarah, nalar bayani tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah
Islam itu sendiri. Karena dari nalar bayani muncul disiplin ilmu yang beragam, di
antarnya: tafsir, ilmu hadis, usul fikih, fikih, nahu, sharaf, balagah, dan lain-lain.
Dalam konteks hukum, usul fikih dan fikih merupakan anak kandung dari
epistemologi bayani itu sendiri. Tulisan ini merupakan salah satu kajian terhadap
nalar bayani dalam hukum Islam. Bayani yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
bayani yang diperkenalkan oleh Abid Al-Jabiri. Alasan memilih bayani versi Jabiri
ini, selain cakupannya yang lebih luas dibandingkan dari bayani ushuliyyun, juga
secara epistemologis lebih rinci dan sistematik.
B. Nalar Bayani: Teks sebabagai Otoritas Tertinggi
Nalar merupakan terjamahan dari kata aql. Abid al-Jabiri mendefinisikan

nalar sebagai: Himpunan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan aturan-aturan berpikir
yang diberikan oleh kultur/budaya tertentu bagi penganutnya sebagai landasan
untuk memperoleh pengetahuan.6 Definisi ini menunjukakan bahwa nalar itu
merupakan konstruksi dari budaya/kultur, yang secara tidak sadar membentuk cara
berpikir, bertindak, bahkan berprilaku. Sekalipun al-Jabiri, ketika membuat peta
tentang epistemologi dalam Islam dia menyebutnya Arab-Islam, akan tetapi sebagai
agama –seperti yang sudah disebutkan di atas –Islam merupakan bagian dari text
traditiaon, di mana semua aktifitas keagamaan selalu merujuk pada teks wahyu.

Muhammad 'Abid al-Jabiri, Takwin at-'Aql al-'Arabi: Silsilah Naqd al-'Aql al•Arabi
(Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1989), hlm, 15-16.
6

3

Adapun bayani, secara etimologi, berasal dari bayan, mempunyai arti
penjelasan (eksplanasi). Bayani ketika disebut sebagai metodelogi, mempunyai
makna al-fashl wa al-Infishal (memisahkan dan terpisah), dan ketika dikaitakan
sebagai visi, mempunyai arti al-zhuhur wa al-izhar (jelas dan penjelasan).7
Sementara, secara terminologi bayani mempunyai dua arti: 1) sebagai aturan-aturan

penafsiran wacana (qawanin al-tafasir al-khithabi), 2) sebagai syarat-syarat
memproduksi wacana (syurut intaj al-khitabi). Dengan pengertian bayani dua yang
terkahir ini, menandai adanya tahapan baru, yaitu, bayani tidak saja dipahami
sebagai sekadar penjelasan (al-wudhuh-al-izhar), akan tetapi sebagai sebuah
epistemologi keilmuan yang defenitif.
Dalam konteks hukum Islam bayani adalah upaya penemuan hukum
melalui interpretasi kebahasaan. Metode ini diidentikkan dengan penggunaan nalar
ijtihad yang lebih memprioritaskan redaksi teks dari pada substansi teks, sehingga
konsentrasi metode ini lebih berkutat di seputar penggalian makna teks. Dalam
bayani, penekanan terhadap otoritas teks (nash) sesuatu yang mesti; tidak bisa tidak,
baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung artinya, memahami teks
sebagai pengetahuan jadi dan lansung mengalikasikanya tanpa perlu pemikiran.
Sementar secara tidak langsung, memahami teks sebagai pengetahuan mentah yang
memerlikan tafsir dan penelaran.
Dalam peradaban Islam, teks sangat penting peranannya, bahkan Nasr
Hamid Abu Zayd mengatakan, peradaban Arab Islam adalah peradaban teks.8 Inilah

7
Muhammad 'Abid al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Araby (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah
al-Arabiyah, 1990), hlm. 30.

8
Nasr Ḥamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt: Al-Markaj
as-Saqāfi al-‘Arabī, 2000), cet. ke-5, hlm. 9.

4

salah satu yang membedakan hukum Islam dari hukum Barat. Hukum Barat
menggali hukum dari tingkah laku masyarakat, sementara hukum Islam selain
mempertimbangkan tingkah laku masyarakat, juga menggali hukum dari teks-teks
sebagai kerangka rujukannya. Metode ini mempunyai kelemahan ketika
dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan baru, yang dalam teks belum atau
tidak diatur sama sekali. Seperti adagium yang terkenal dari para ahli hukum Islam
yang menyatakan bahwa teks-teks hukum itu terbatas adanya, sementara kasuskasus hukum tiada terbatas (an-nuṣuṣ mutanāhiyah wa al-waqā’i ghairu
mutanāhiyah).
C. Aspek Metodologi Nalar Bayani
Sesuai penjelasan di atas, bayani menjadikan teks sebagai rujukan pokok,
yang dari sana hukum digali, ditemukan dan diproduksi. Dengan demikian, dalam
konteks menadapatkan/memproduksi hukum, segala potensi akal mujtahid harus
dikerahkan sekuat tenaga untuk memahami teks. Penggunana usaha sekuat tenaga
(istifraq al-wus’i) ini dalam disiplin ilmu usul fikih disebut dengan istilah ijtihad.9


Dalam bayani, secara garis besar untuk mendapatkan pengetahuan menempuh dua
jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab. Kedua, mengunakan metode qiyas. Untuk lebih jelasnya, diuraikan di bawah
ini.

M. Ahmad Sahal Mahfuzd, al-Bayan al-Mulamma’ ‘an al-Faz al-Luma’ (Pati: Mabadi
Sejahtera, tth), hlm. 221.
9

5

1. Lafadz dan Makna
Dalam nalar bayani, pembahasan lafaz dan makna meliputi dua aspek:
aspek teoritis (nazhori) dan aspek praktis (tathbiqi). Aspek pertama berakaitan
dengan pembahsan bahasa, sedankan aspek kedua berkaitan dengan penafsiran titah
(khitab) syara’. Dalam aspek teoritis muncul tiga permasalahan, yaitu, 1) apakah

makna suatu lafaz didasarkan pada suatu konteks (istislahi) atau pada taufiqi; 2)
apakah boleh bahasa itu dianalogikan dari makna sesuatu kepada sesuatu yang lain;

3) sekitar masalah asma’ al-syariyah.
Tentang masalah yang pertama, Muktajilah berpendapat bahwa, makna
berdasarkan konteks, sedakan kalangan Asy’ariyah berpendapat bahwa makna lafaz
itu berdasarkan taufiqi. Pandangan Asy’ariyah ini mempunyai konsekuensi logis,
bahwa makna sebuah lafaz perlu dijaga. Yang dengan ini lahirlah ilmu bahasa,
terutama nahu dan sharaf, agar makna tersebut terjaga dari penyimpangan. Masalah
kedua mengenai kemungkinan analogi terhadap bahasa, semisal kekharamn
khomar untuk anggur. Menurut nalar bayani, analogi ini dapat dibenarkan. Dari sini
muncul ilmu usul fikih.

Sedangkan masalah yang ketiga, mengenai asma al-

syari’ah. Kalangan Asy’ariyah berpendapat, karena Al-Quran diturunkan dalam
bahasa Arab, maka makna lafaz ditentukan oleh pengertian dan budaya bahsasa
Arab. Kedua, membolehkan memaknai lafaz dengan takwil, sebagaimamana
dipegangi oleh kaum Muktajilah. Dari sini lahir ilmu kalam.10
Selanjutnya, dalam tataran praktis (tathbiqi) persolan lafaz dan makna
lebih banyak dikembangkan oleh ulama usul fikih. Dalam hal ini berpegang kepada

10


Muhammad 'Abid al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Araby.. hlm. 42.

6

redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahsa Arab, ditempuh dengan
memfokuskan kajiannya kepada empat segi: a) bagaimana tingkat kejelasan
pengertian makna teks hukum; b) pola-pola penunjukan kepada hukum yang
dimaksud; c) luas sempitnya cakupan pernyataan hukum; dan d) bentuk formula
taklif dalam pernyataan hukum. 11 Atau menurut al-Jabiri, cara pertama ini bisa
dilihat dari:
1. Perspektif kedudukan, lafaz dapat bermakna khas, ‘am, dan mustarak;
2. Perspektif penggunaan (isti’mal), lafaz dapat bermakana hakikat dan
majaz;

3. Perspektif derajat kejelasan, lafaz dapat bermakana muhkam,
mufassar, nash, zhahir, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih; dan

4. Perspektif metode dalalahnya, menurut al-Hanafiyah: dalalah ibarah,
dalalah al-isyarah, dalalah al-nash, dan dalalah al-iqtidha.12


2. Ushul dan Furu’
Cara kedua dari metode nalar bayani adalah qiyas. Dalam usul fikih
diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah dengan berdasarkan
masalah yang sudah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan
illat. Dalam qiyas, ada beberapa hal yang harus dipenuhi:
1. Al-Ashl, nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebegai
ukuran;
2. Al-Far’, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash;

11
12

Syamsul Anwār. Muzakkirah fī Uṣūl al-Fiqh II..., hlm. 14.
Muhammad 'Abid al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Araby... hlm. 48-62.

7

3. Hukm al-Ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh nash.
4. Illat, kedaaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukm alashl.13


Penggunaan qiyas, merupakan hearraki yang terakhir dari hierarki bayan
dari Imam Syafi’i. Dalam penjelasan mengenai bayan al-Quran, Imam Syafii
membagi bayan dalam lima tingkatan: a) bayan yang tidak memerlukan penjelasan;
b) bayan yang beberapa bagiananya memerlukan penjelasan dari al-Quran; c) bayan
yang keseluruhannya bersifat umum dan memerlukan penjelasan dari as-Sunnah;
d) bayan yang tidak terdapat dalam al-Quran. Namun terdapat as-Sunnah; dan e)
bayan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Dari kelima herarki ini,
kemudian muncul mentode qiyas sebagai metode ijtihad.
D. Prinsip-prinsip Nalar Bayani
Al-Jabari menyataka, bahwa ada tiga karakter utama yang menjadi prinsip
pengetahuan

bayani.

Pertama,

prinsip

infishal

(discontinue).

Prinsip

keterpisahan/ketiaksinambungan ini memenadang bahwa alam seisinya ini masingmasing berdiri sendiri, dan tidak berkaitan satu dengan yang lainnya. Pengaruhnya
dalam pemikiran Islam nampak dalam Tuhan dan ciptan-Nya yang keduanya
dipahami secara terpisah. Hal ini kemudian berimbah kempada adanya dikotomi
antara: ilimu agama di satu sisi dan ilmu umum (non-agama) di sisi yang lain. Yang

13

Wahbah az- Zuhaili, Al-Wajiz fī Usul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), hlm. 5658.

8

dalam tataran tertentu, sering berjalan sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang ada
melahirkan klaim: iman dan kafir.
Kedua,

prinsip

al-tajwiz

(keserbabolehan).

Prinsip

ini

kurang

memperhatikan, atau bahkan menginkari hukum sebab-akibat (causality). Kejadian
lazim dan tidak lazim sering dipahami secara sama, dan tidak tertarik sama sekali
mencari jawabannya: mengapa sesuati itu terjadi. Ketiga, prinsip muqarabah.
Prinsip ini didasarkan pada kedekatan dan keserupaan. Dari prinsip ini kemudian
melahirkan model pemikiran analogis-deduktif.14
Dari seluruh penjelasan di atas apabila ditarik sebuah sketsa mengenai
struktur fundamental dari nalar bayani, akan didapati seperti di bawah ini.15

No
1.

Struktur Fundamental
Origin (Sumber)

Epistemologi Nalar Bayani
Nash/teks/wahyu (otoritas teks), al-Ijma’
(otoritas salaf)

2.

Metode

(Proses

Prosedur)

dan

1. Kaidah-kaidah kebahasaan (Lafaz
dan Makna); dan
2. Qiyas (Ushul dan Furu’)

3.

Approach

Lugawiyah

(bahasa);

Dalalah

Lugawiyah
4.

Fungsi dan Peran Akal

Justifikasi-Refetitif-Taqlidi(pengukuh
kebenaran/otoritas teks)

5.

Types of Argument

Jadaliyah; Defensif-Apologetik-PolemikDogmatik.

5.

Tolak Ukur Validitas

Koherensi

Keilmuan
14

Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, cet. ke-8 (Yogyakarta: Belukar, 2014), hlm. 194-

15

Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu...hlm. 196.

195.

9

6.

Prinsip-prinsip Dasr

-Infishal;
Tajwij; dan
Muqarabah;

7.

Hubugan Subjek-Objek

Subjektif

8.

Kelompok Ilmu-ilmu

Kalam, Fikih, Usuliyun, Nahwu, Balagah,

Pendukung

dst..

E. Penutup
Al-Quran adalah sumber hukum utama dalam hukum Islam. Sebagai
sumber, beragam corak metode yang dikembangkan oleh para ahli dalam menggali
hukum yang ada di dalamnya. Salah satu metode itu adalah bayani. Konstruksi
nalar bayani berfokus kepada teks, di mana teks sangat sentral dan menentukan. AlQuran, al-Sunnah, Ijma’dan Qiyas merupakan landasan baku dan tetap. Dalam nalar
bayani, sumber ilmu pengetahuan yang hakiki adalah teks-tek keagamaan. Bahkan,
bukan Cuma hanya berpikir, dalam bertindak, berprilaku, dan menghayati agama
harus merujuk kepada teks tersebut. Dalam bayani, aspek metodologinya secara
umum diarahkan kepada dua jalan: kaidah-kaidah kebahasan Arab dan metode
Qiyas. Dengan penggunana pendekatan bahasa yang sangat kuat dalam bayani,
maka kaidah yang terkenal dalam nalar ini adalah al-ibrah bi umum al-lafzhi, la bi
khusus al-sabab.

10

Daftar Pustaka
Abubakar, Al Yasa’, Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam
Ushul Fiqh, cet. ke-1, Jakarta: Kencana, 2016.

Ali, Maulana Muhammad The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of
The Sources, Principles and Practices of Islam, Lahore, The Ahmadiyya

Anjuma Isha’at Islam, 1990.
al-Jabiri,

Muhammad 'Abid Takwin at-'Aql al-'Arabi: Silsilah Naqd al-'Aql
al•Arabi (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1989)

al-Jabiri , Muhammad 'Abid, Bunyat al-Aql al-Araby (Beirut: Markaz Dirasah alWahdah al-Arabiyah, 1990)
Anwar, Syamsul, Muzakkirah fi Usūl al-Fiqh II, Yogyakarta, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Suka, 2012.
Mahfuzd, M. Ahmad Sahal, al-Bayan al-Mulamma’ ‘an al-Faz al-Luma’ (Pati:
Mabadi Sejahtera, tth)
Muslih, Muhammad Filsafat Ilmu, cet. ke-8 (Yogyakarta: Belukar, 2014)
Zahrah, Muhammad Abu, Ushūl al-Fiqh, ttp: Dar al-Fikr al-Arabiy, th.
Zayd, Nasr Ḥāmid Abū Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Bairūt: AlMarkaj as-Saqāfi al-‘Arabī, 2000.
Zuhailī, Wahbah az-, Al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh, Damaskus: Dār al-Fikr, 1999

11