Zuhud dalam Tafsir Ruh al Ma'ani karya al Alusi.

(1)

ZUHUD DALAM TAFSIR

RU><>H} AL-

MA‘A<

NI< KARYA AL-ALU>SI>

Skripsi:

Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Guna mendapat gelar Strata Satu (S-1) Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Disusun oleh :

REZA PERMANA ADITYA NIM: E73213142

PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Peneliti dengan nama Reza Permana Aditya Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir,

dengan judul “Zuhud Dalam Tafsir Ruh al-Ma`ani karya Al-Alusi”

Berangkat dari latar belakang masalah diantara sekian banyak orang masih kurang memahami arti dari zuhud. setiap harinya masih banyak orang-orang bukan tekun beribadah, tetapi sibuk dengan pekerjaannya tanpa mengenal waktu. Mereka hanya mengejar kemewahan dunia dan lupa dengan kehidupan akhirat, kemudian adanya perbedaan pendapat tentang zuhud diantara para ulama sufi yang menghasilkan dua pemikiran yang berbeda yaitu zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai moral (akhlak). Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaiaman menejelaskan makna zuhud menurut Al-Alusi dan relevansinya pada zaman modern. Tujuan penelitian ini adalah untuk menegtahui makna zuhud menurut Al-Alusi dalam Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Zuhud bukan semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, seperti dalam surat al-hadid ayat 20 menurut al-Alusi bahwa dalam ayat ini menjelaskan dunia merupakan sarana membekali diri untuk menuju akhirat, dengan maksud beribadah untuk akhirat dan juga mampu mencari rizki di dunia karena Allah semata dengan kata lain keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Dan hasil penelitian ini memberikan penjelasan berupa relevansi zuhud di zaman modern yaitu Zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia dimasa modern. Dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dalam hal ini zuhud dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 10


(8)

BAB II: ZUHUD DAN TASAWUF

A. Pengertian Zuhud ... 15

B. Tingkatan dan Tanda-tanda zuhud ... 16

C. Asal usul Zuhud ... 19

D. Zuhud Sebagai Maqam Tasawuf ... 21

BAB III: Al-ALUSI DAN AYAT-AYAT ZUHUD A. Biografi al-Alu>si> ... 27

B. Profil Tafsir Ruh al-Ma’ani ... 30

1. Latar Belakang Tafsir ... 30

2. Ciri-ciri Umum penafsiran ... 31

C. Bentuk Penafsiran ... 32

D. Metode dan Corak penafsiran ... 33

E. Penafsiran Al-Alusi Tentang Ayat-ayat Zuhud ... 36

1. Tartib Nuzul al-Ayat ... 36

2. Surah Makkiyah ... 37

a. Surah al-Qashash ayat 28 ... 37

b. Surah Yu>suf ayat 20 ... 38

c. Surah Luqman ayat 33 ... 47

d. Surah Ibrahim ayat 3 ... 49

e. Surah al-‘Ankabut ayat 64 ... 50

3. Surah Madaniyah ... 51

a. Surah Ali-Imra>n ayat 14 ... 51

b. Surah al-Hadid ayat 20 ... 52

c. Surah al-Hadid ayat 23 ... 55

BAB IV: ANALISIS TERHADAP PENAFSIRAN Al-ALU>SI>> TENTANG AYAT-AYAT ZUHUD DAN RELEVANSINYA DI ZAMAN MODERN A. Analisa penafsiran al-Alu>si> pada ayat-ayat zuhud ... 57


(9)

BAB V: PENUTUP

A. Simpulan ... 78 B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan Hadis, ajaran zuhud dalam Islam

tidak bisa lepas dari ajaran islam tentang Tasawuf. Kedua nilai tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Karena zuhud disini merupakan keharusan yang menentukan bagi kesufian seseorang, demikian juga sebaliknya ketasawufan merupakan yang menentukan bagi kezuhudannya seseorang.

Di zaman sekarang ini, dimana kehidupan dunia semakin modern, banyak orang yang setiap harinya bukan tekun beribadah, tetapi sibuk dengan pekerjaannya tanpa mengenal waktu. Mereka hanya mengejar kemewahan dunia dan lupa dengan kehidupan akhirat, maka dalam keadaan seperti itulah kita dituntut untuk berlaku zuhud agar selamat dari godaan materi yang menyesatkan

dan bahkan kadang-kadang menyeret manusia dalam kekufuran.1

Zuhud dalam islam dasarnya adalah firman Allah dan Rasul-Nya sendiri, baik ucapan maupun tingkah laku perbuatan serta sikap hidup sederhana beliau sehari-hari. Tujuan zuhud dalam islam adalah untuk memperoleh ketentraman, kebahagiaan dan keselamatan lahir maupun batin baik di dunia maupun di akhirat. Pengertian dan tata cara zuhud dalam islam tidak berarti harus meninggalkan segala keperluan dan urusan hidup dan kehidupannya di dunia ini.

Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau

1

Abdul fatah, kehidupan Manusia Ditengah-Tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka Cipta,1996), 91.


(11)

2

hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketaqwaan yang merupakan

bekal untuk akhirat.2

Kandungan zuhud membangkitkan semangat spiritual yang tinggi. Seorang zahid menahan jiwanya dari pelbagai bentuk kenikmatan dan kelezatan hidup duniawi, menahan dorongan nafsu yang berlebihan agar memperoleh kebahagiaan yang abadi. Seorang zahid juga mengikis habis nilai yang akan menghalanginya untuk memperoleh rahmat dan kelezatan hidup di bawah naungan Allah. Kecintaan kepada Allah mengalahkan segala alternatif yang

mendorong kepada Hubb As-Sahawa>t (cinta untuk menuruti hawa nafsu).

Perasaan naluri memberi kesaksian ke atas kecintaan, kedamaian, dan kebahagiaan hubungan dengan Rabb ketika ia lebih mengutamakan kebenaran

berbanding dorongan hawa nafsu.3

Al-Ghazali menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih memperyai apa yang ada ditangan Allah dari pada apa yang ada ditanganmu. Menurut Al-Ghazali seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah Swt. Seluruh aktifitas hidupnya termasuk kegiatan ekonomi harus dilaksanakan sesuai dengan

Syariat Islam, tidak boleh bersifat kikir dan tidak boleh pula bersifat boros.4

2

Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),14. 3

A.Bachrun Rifa‟I dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2010),208. 4

Al-Ghazali, Kitab Ihya Ulumiddin, Juz, 8 terj: Moh Zuhri, dkk, (Semarang: CV. Asy Sifa‟, 2003),259.


(12)

3

Al-Junaid berkata, “orang yang zuhud tidak gembira karena menapatkan

dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia”. Sedangkan menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia ini tidak

ada lagi hal yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.5

Menurut Yahya bin Muadz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam ruh. Menurut Ibnu jala’, zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Abdullah bin Mubarak zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Dan menurut Sufyan Ats Tsauri zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan

pakaian yang tidak bagus.6

Menurut Hasan al-Basri zuhud terhadap dunia, menolak kemegahannya semata menuju kepada Allah, tawakkal, khauf, dan raja’, semuanya tidaklah terpisah jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu terhadap

pengharapan. Takut akan murkan-Nya, tetapi mengharap karunianya.7

Menurut Hamka salah sorang tokoh Muhammadiyah zuhud adalah tidak ingin, tidak demam kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan menurut Syafiq A Mughni kekayaan duniawi dan ukhrowi harus dicari

5

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikhin, jilid 2 terj:kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999),185.

6

Ibid.,186. 7

Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya (Jakarta: Citra Serumpun Padi,1994),77.


(13)

4

dengan tanpa meninggalkan keduanya dengan semangat pula untuk beribadah

kepada Allah SWT.8

Banyak orang Salaf yang mewujudkan zuhud dalam hidupnya, tetapi mereka juga kaya, penuh dengan timbunan harta. Rasulullah sendiri dikala hidup bersama istrinya Khadijah turut mengecap manis dan nikmatnya duniawi. Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Umar bin Abdul Aziz dan beberapa sahabat nabi lainnya pernah juga hidup dalam timbunan harta. Meskipun demikian bagi mereka harta yang banyak hanyalah bagaikan angin lalu, yang

sekali datang menyejukkan tubuh kemudian pergi.9

Al-Quran telah mengisyaratkan tentang pentingnya bersikap zuhud terhadap dunia. Salah satunya seperti dalam Q.S al-Hadid ayat 20-23.

                                                                                                                                                                                              

ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di

8

Skripsi, Muadhiful Chilmi, Konsep Zuhud Perspektif Tokoh Muhammadiyah, 2007.56.

9


(14)

5

akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

21. berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-diberikan-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.

22. tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. 23. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap

orang yang sombong lagi membanggakan diri.10

Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna dan hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba-lomba meraih ampunan dari Allah da surge-Nya di akhirat. Selanjutnya Allah SWT menyebutkan tentang musibah yang menimpa manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus menyikapi musibah tersebut. sikap yang benar adalah agar tidak mudah berduka terhadap musibah dan apa saja yang luput dari jangkauan tangan. Selain itu, orang yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang kesadaran terhadap apa yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Quran ketika berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini dari sudut pandang al-Al{u>si> dalam karyanya yaitu kitab tafsir Ru>h al-ma’a>ni>, yang mana

tafsir ini dinilai para ulama bercorak Isy’ari atau sufi yaitu tafsir yang mencoba

10


(15)

6

menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat dan ta’wil sufi karena tema zuhud yang diambil oleh penulis merupakan bagian dari perilaku sufi.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan diatas Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi

adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan zuhud?

2. Apa perbedaan zuhud dengan wara?

3. Apa hikmah berperilaku zuhud?

4. Apakah zuhud harus miskin?

5. Bagaimana kedudukan zuhud dalam tasawuf?

6. Bagaimana pengaruh zuhud terhadap kegiatan ekonomi?

7. Bagaiman konsep zuhud dalam Al-Sunnah?

8. Bagaimana penafsiran ayat-ayat zuhud dalam Alquran?

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dalam memahami zuhud tidaklah

mungkin untuk diteliti secara keseluruhan dan mendalam pada penelitian ini, meskipun untuk memahami zuhud secara utuh dibutuhkan semua itu. Namun, setidaknya penelitian yang fokus dan mendalam akan memberikan manfaat yang

lebih baik. Maka masalah yang hendak dibahas akan difokuskan pada penafsiran

ayat-ayat yang membahas tentang zuhud dalam Al-Quran dan relevansinya pada zaman modern.


(16)

7

C. Rumusan Masalah

Dari gambaran umum latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep zuhud menurut al-Al{u>si>?

2. Bagaimana relevansi zuhud dengan zaman modern?

D. Tujuan Penelitian

Setelah masalah dirumuskan, tujuan penelitian disusun untuk

menjawabnya. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian menjadi jelas dan mendalam sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Berikut ini adalah tujuan penelitian yang disusun:

1. Untuk menemukan konsep zuhud menurut al-Alusi

2. Untuk menyajikan relevansi zuhud pada zaman modern.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuannya yang telah disusun di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi semua pembaca.

1. Secara teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan kepada umat Islam tentang kemungkinan-kemungkinan penafsiran terhadap

kata isla>m dan kata-kata yang seakar dengannya yang berusaha diungkap oleh


(17)

8

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah keluasan wawasan, pengetahuan, dan pemahaman kepada masyarakat muslim terhadap makna kata

isla>m dan kata-kata yang seakar dengannya yang disampaikan oleh Allah

SWT. melalui firman-Nya. Pengetahuan yang luas tersebut dapat membuka pikiran mereka, bahwa penafsiran dan kebenarannya bersifat relatif dan temporal. Hal tersebut dapat menciptakan toleransi antar sesama muslim, terlebih lagi sesama umat beragama seperti yang tercipta pada masa Nabi SAW. di Madinah.

F. Telaah Pustaka

Perlu untuk menampilkan kajian terdahulu agar penelitian yang dilakukan dapat teruji orisinilitasnya. Sehingga dapat telihat perbedaan dan kekayaan pembahasan yang saling melengkapi antara penelitian-penelitian yang ada. Berikut ini adalah penelitian yang saling berkaitan:

1. Zuhud dari zaman ke zaman, rofiatul ulya, tahun 2010. Skripsi mahasiswa STAIN Pekalongan di dalamnya menyatakan untuk menghadapi krisis dunia modern zuhud yang diajarkan oleh para pendahulu-pendahulu bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah sekaligus dapat dijadikan benteng untuk membangun diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi, dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya seperti qona’ah, tawakkal, wara’, syukur


(18)

9

dan menerima nikmat dengan lapang hati dan menggunakan sesuai dengan fungsi dan porsinya.

2. Konsep zuhud perspektif tokoh Muhammadiyah, Muadhiful chilmi,

tahun 2007. Skripsi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya berisi

pendangan-pandangan tokoh Muhammadiyah tentang zuhud seperti: Syafiq A. Mughni, Haji Abdul Malik Amrullah dan Abdul Munir Mulkham.

3. Relevansi Zuhud Terhadap Etos Kerja Manusia Modern(Studi Pemikiran Ibn Al-Qayyim Al-jauziyah), Mohammad Anwar Sodiq, tahun 2014. Skripsi Mahasiswa IAIN Walisongo ini berisi tentang pemikiran Ibn Qayyim tentang zuhud yang lebih moderat dibanding dengan konsep sufisme lama, memandang aktifitas duniawi secara positif yang mengarah pada etos kerja manusia modern yang tinggi. Dan Ibn jauzi membagikan tingkatan zuhud menjadi tiga tingkatan pertama, zuhud dalam subhat. Kedua, dalam perkara yang berlebihan. Ketiga, zuhud dalam zuhud.

4. Pengaruh Membaca Komik Sufi Terhadap Zuhud Anak, Furrizta

Novalliya, Tahun 2015. Skripsi Mahasiswa UIN Walisongo ini berisi penelitian lapangan yang mana hasil dari penelitian tersebut menunjukan ada perbedaan perubahan tingkat zuhud anak antara kelompok eksperimen dan kelompok control. Yaitu anak yang membaca komik sufi memiliki perubahan tingkat zuhud lebih tinggi dan meningkat dibanding anak yang tidak membaca komik sufi.


(19)

10

5. Zuhud dalam pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Tri Nurhaeni, 2008. Skirpsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah ini berisi pendapat Ibn Qayyim mengenai zuhud bahwa menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah kecintaan kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan berzuhud di dunia. Orang yang mencintai dunia, tamak dan dan mengutamakannya akan percaya bahwa ada dunia yang lebih mulia, lebih utma dan lebih kekal, namun bisa juga tidak percaya, penyebab utamanya adalah tidak beriman. Akan tetapi apabila ia percaya akhirat tetapi tidak mengutamakannya penyebabnya adalah kerusakan akal dalam memilih untuk dirinya sendiri

Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis memilih judul dengan alasan belum pernah dibahas oleh peneliti terdahulu. Karena penelitian di atas kebanyakan meneliti dari sudut pandang para ulama. Dari sinilah penulis mencoba untuk mengembangkan tentang pembahasan tersebut dari sudut pandang penafsiran.

G. Metode penelitian

Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah, memerlukan adanya suatu metode yang sesuai dengan masalah yang dikaji, karena metode merupakan cara bertindak agar kegiatan penelitian bisa dilaksanakan secara rasional dan terarah


(20)

11

demi mencapai hasil yang maksimal.11 Adapun metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah: 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian, yaitu dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan dengan karya skripsi ini. Maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode dokumentasai, dengan memperoleh data dari benda-benda tertulis seperti buku, majalah, dokumen, peraturan, notulen rapat, catatan harian dan

sebagainya.12

2. Metode penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif sebuah metode penelitian atau

inkuiri naturalistik atau alamiyah, perspektif ke dalam dan interpreatif.13

Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semula didapatkan dari pembahasan umum. Sedangkan interpretatif adalah penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat atau pernyataan.

11

Anton Bakker, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 10. 12

Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiyah,(Ttp: Alpha, 1997),66. 13

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 2


(21)

12

3. Sumber Data

Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka

diambil data dari berbagai sumber tertulis. Dalam pembahasan skripsi ini menggunakan sumber data yang terbagi menjadi sumber data primer dan sumber data skunder, yang perinciannya sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Sumber primer adalah sumber yang berasal dari tulisan buku-buku yang berkaitan langsung dengan buku ini. Sumber utama penelitian ini

adalah al-Qura>n dan kitab tafsir Ru>h al-Ma’a>ni>

b. Sumber Data Skunder

Sumber Data Sekunder, bersumber dari penelitian berupa buku, skripsi dan jurnal yang disusun untuk menghadirkan berbagai cara pandang dalam melihat masalah yang hendak diteliti serta bebrapa kitab tafsir seperti :

- Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi

- Tafsir al-Azha>r karya Hamka

- Tafsir al-Qur’a>n al-Adhi>m karya Ibnu katsi>r

- Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab

4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul secara lengkap dari berbagai sumber referensi, kemudian penulis membahas dengan menggunakan metode sebagai berikut:

- Maud}u>’i: menurut bahasa adalah meletakkan, menjadikan atau membuat-buat. Sedangkan menurut istilah adalah suatu metode yang


(22)

13

berusaha mencari ayat al-Qura>n tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu menganalisanya melalui pengetahuan yang relevan dengan masalah yang dibahas, kemudian melahirkan konsep yang utuh dari al-Qura>n

tentang masalah tersebut.14

- Langkah-langkah untuk menerapkan tafsir maud}u>’i: menetapkan

masalah yang akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tertentu, menyusun runtutan ayat-ayat sesuai masa turunnya disertai dengan sebab turunnya ayat, memahami kolerasi antara surah yang satu dengan surah yang lain, menyusun atau menyempurnakan pembahasan judul atau topik kemudian dibagi ke dalam beberapa bagian yang berhubungan, mempelajari ayat-ayat secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang

mempunyai pengertian yang sama.15

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan hasil penelitian, dibutuhkan sebuah sistematika agar pembahasan menjadi sistematis dan tidak keluar dari fokus pembahasan. Penelitian terbagi menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:

14

Abd al-Hayy al-Farma>wi>, Metode Tafsir Mawdlu>’i>y, (Jakarta: PT. Grafindo

Persada, 1994), 37. 15


(23)

14

Bab satu berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, dan metode penelitian.

Bab Dua, Konsep Umum tentang Zuhud, Berupa Pengertian Zuhud, Tingkatan zuhud, Asal-usul Zuhud, dan Zuhud sebagai maqam tasawuf.

Bab Tiga, Biografi dan penafsiran al-Alusi terhadap ayat-ayat zuhud. Bab Empat, Analisis Penafsiran al-Alusi tentang ayat-ayat zuhud. Bab Lima, Penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan saran.


(24)

BAB II

ZUHUD DAN TASAWUF

A. Pengertian Zuhud

Secara etimologi, zuhud berarti

هنم يضارلاو هنع بغارلا

, artinya tidak tertarik

pada dunia dan hanya menginginkan keridhoan-Nya.1 ada pula kata zahada berarti

ra>ghaba ‘An Shay’in wa Tarakahu, artinya tidak tertarik pada sesuatu dan

meniggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti megosongkan diri dari dari dunia.2

Orang yang melakukan zuhud disebut za>hid, zuhha>d dan za>hidun, zahidah

jamaknya zuhdan artinya kecil atau sedikit.3

Zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia.4

Adapun arti zuhud secara terminologi Dalam pandangan kaum sufi, dunia dan segala isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan. Karena hasrat, keiginan, dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menajadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai

1

Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat li al-Fadh al-Qur’an (Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah,

1425), 241.

2 Moh. Fudholi, “ Zuhud Menurut Al-Qusyairi Dalam Risalah Al-Qusyairiyah”, Teosofi

Jurnal Fisafat Dan Pemikiran Islam, vol. 01, No. 01, (Juni, 2011), 43. 3

Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), 1. 4

Simuh, Tasawwuf Dalam Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), 57.


(25)

16

tujuan kehidupan, sehingga memalingkan Tuhan. Oleh karena itu maka seorang sufi dituntut untuk terlebih dahulu memalingkan seluruh aktifitasnya baik jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian segala apa yang dilakukannya dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Perilaku inilah yang dalam terminologi sufi disebut zuhud meskipun banyak pengertian yang diberikan oleh toko sufi tentang

zuhud, tapi ungkapan para sufi mengarah pada arti deskriptif di atas.5

B. Tingkatan dan Tanda-Tanda Zuhud

Menurut Al Hasan “di hari kiamat kelak, manusia akan dikumpulkan

dalam keadaan telanjang, kecuali orang-orang zuhud. Ada orang-orang yang ketika di dunia sangat terhormat kedudukannya, namun di akhirat ia digantung dipapan salib dalam keadaan terhina. Maka janganlah kalian gusor dan tenanglah, jika hanya kalian dihina dalam perkara duniawi”. Apabila engkau tergoda oleh dunia dan dalam keadaan khawatir dan gelisah , maka itulah tandanya bahwa kehidupan dunia itu penuh was-was, selalu menimbulkan kegelisahan dan air

mata.6

Hakekat zuhud disisi seorang sufi adalah ketenangan hati tentang apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya. Maka tenangkanlah hatimu apabila engkau

5

Moh Fudholi, Zuhud Menurut Al-Qusyairi, 43-44. 6

Djamaluddin Ahmad Al-Bunny, Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002), 103.


(26)

17

telah mendapatkan anugerah dari Allah. Hendalah engkau cukupkan pemberian itu dan nikmatilah dengan sabar dan syukur.

Dengan demikian zuhud yang benar bukan karena kosongnya tangan dari memiliki harta dunia, namun zuhud yang hakiki adalah kosongnya hati dari mencintai dunia, meskipun kedua tangannya mengenggam harta dunia tersebut.

Menurut Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi Zuhud ada tiga tingkatan yaitu:7

1. Zuhud terhadap hal-hal duniawi. Inilah zuhud yang paling

rendah, karena dalam hati zahid (orang zuhud) sebenarnya masih ada keinginan pada hal keduniaan, hanya saja ia berusaha mengatasinya. Orang yang baru berada pada tingkatan ini masih dalam keadaan bahaya, karena jiwanya masih dapat dikalahkan oleh dorongan hawa nafsu yang rendah. Sehingga ia terjerumus kelubuk kehinaan dan menajadi hamba materi.

2. Kezuhudan seseorang yang telah sanggup meninggalkan

hal-hal keduniaan karena dipandang sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai, disamping kecenderungan hatinya yang senantiasa berupaya meraih kebahagiaan yang lebih besar disisi Allah SWT. Zuhud pada tingkat ini dipandang sebagai zuhud tingkat menengah, karena zahid tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal keduniaan.

7 Abdul Aziz Dahlan , “Ajaran”Ensiklopedi Tematis Dunia Islam

(Jakarta : Ictiar Baru van Hoeve, 2002), 309.


(27)

18

3. Zuhud tingkat tertinggi ialah zuhud yang semata-mata

mengharap ridha Allah SWT. Pada tingkatan ini tidak terlintas lagi di dalam jiwa zahid hal-hal keduniaan, karena segala harta benda duniawi tidak lagi memiliki nilai di hatinya. Ia hanya merasa tentram dalam makrifatnya kepada Allah SWT.

Selain tingkatan orang-orang zuhud juga ada tanda-tanda seseorang yang

menjalankan zuhud (za>hid), ada yang berpendapat bahwa meninggalkan harta itu

zuhud. Sebenarnya tidaklah seperti itu karena meninggalkan harta dan menimbulkan keburukan itu sangat mudah dilakukan oleh orang-orang yang dianggap miskin, lalu tekun beribadah. Dan ia mendapat pujian dan predikat zuhud. Kemudian ia merasa sangat senang dipuji. Hal yang demikian itu bukanlah yang dimaksud zuhud. Secara lahiriah mereka zuhud, namun secara batiniah Allah maha tahu, bahwa jiwanya dipenuhi oleh sifat riya’ dan ujub. Mereka mengikuti hawa nafsunya.

Oleh karena itu mengetahui zuhud itu sukar. Bahkan mengetahui seseorang itu benar-benar zuhud pun sangat sulit. Yang penting adalah berpegang

pada batin.8 Dan tanda-tanda zuhud yang dirasakan dalam batin seseorang

adalah:9

1. Tidak merasa senang dengan hal-hal duniawi yang didapatnya, tidak

bersedih atas hilangnya hal-hal keduniawian dari dirinya.

8

Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin (Surabaya : Gita Media Press, 2003),

358. 9


(28)

19

2. Seseorang tidak risau jika dicela dan tidak berbangga hati jika dipuji.

Mendapat pujian atau hinaan sama saja dalam bersikap.

3. Merasa sangat cinta kepada Allah dan perasaan itu membuat

ketaatannya menjadi semakin kuat. C. Asal Usul Zuhud

Menurut Harun Nasution ada lima pendapat tentang asal usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh phythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi

iniah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam islam. Ketiga,

dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh budha dengan faham nirwananya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup

kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia

meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada kepada Tuhan untuk mencapai

persatuan Atman dan Brahman.10

Sedangkan Abu “Ala Afifi mencatat empat pendapat para sarjana tentang faktor atau asal usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, dipengaruhi oleh asketisme Nasrani. Ketiga, dipengaruhi oleh berbagai sumber

10

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam (Jakarta : Bulan bintang, 1978), 58-59.


(29)

20

yang berbeda beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat,

dipengaruhi oleh ajaran islam.11

Untuk faktor keempat ini Afifi merinci lebih jauh menjadi dua:12

Pertama, faktor ajaran islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Quran dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’, taqwa, dan zuhud. Selain itu kedua sumber tersebut mendorong agar

umatnya beribadah, bertingkah laku baik, shalat tahajjud, berpuasa dan

sebagainya. Dalam berbagai ayat banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar umat termotifasi mencari surge dan menjauhkan diri dari neraka.

Kedua, reaksi Rohanian kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan ekonomi dikalangan islam sendiri, yaitu ketika islam telah tersebar ke berbagai negara yang sudah tentu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran disatu pihak, dan terjadinya pertikaian politik interen umat islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali

Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah, yang bermula dari al-Fitnah al-kubra yang

menimpa khalifah ketiga, Utsman Bin Affan (35 H/ 655 M). dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat atau ulama’nya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dlam pertikaian tersebut.

11

Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, 5. 12


(30)

21

Terhadap asal usul zuhud di atas, penulis tidak sependapat dengan pandangan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh Harun Nasution bahwa dipengaruhi oleh Rahib-rahib Kristen. Sebenarnya dalam Islam tidak ada sistem rahib (kependetaan) seperti dalam agama-agama lainnya. Kesamaan antara zuhud dengan rahib dalam nasrani dan agama-agama lain bukan berarti Islam mengambil daripadanya atau mencontohnya. Karena hidup semacam zuhud ada dalam semua agama bisa juga dikatakan sember agama adalah satu, sekalipun berbeda dalam detailnya

D. Zuhud Sebagai Maqam Dalam Tasawuf

Secara harfiah maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti

tempat berpijak atau pangkat mulia.13 Dalam bahasa inggris maqamat dikenal

dengan istilah stages yang berarti tangga.14 Sedangkan dalam ilmu tasawuf

maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan nya, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan panjang menuju fase yang harus ditempuh

oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin kepada Allah.15 Maqam dilalui

oleh seorang hamba melalui usaha sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.

13

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Komtemporer Arab – Indonesia

(Yogyakarta : Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 362 14

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Jakarta : Gramedia,

1988), 550 15

M. Solihin dan Rasihan Anwar, Kamus tasawuf (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), 126


(31)

22

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf.

Hal ini dapat dilihat dari pendapat para ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda-beda al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan

maqam: al-wara’, al-zuhud, al-tawakkal, dan al-ridla. Dan al-Thusi

menempatkan zuhud dalam dalam sistematika: al-taubah, al-wara’, al-zuhud,

al-faqr, al-sabr, al-ridla, al-tawakkal dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Ghazali

menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,

al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.16 Penjelasan semua tingakatan itu sebagai berikut:

1. Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab taba- yatubu- taubatan yang berarti “kembali” dan “penyesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan

kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.17

Taubat menurut Dzun Nun al Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat

karena memandang kebaikan dan ketaatannya.18 Dari ketiga tingkatan

16

Moh Fudholi, Zuhud Menurut Al-Qusyairi, 45. 17

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 58 18


(32)

23

taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.

2. Zuhud

Secara harfiah berarti tidak tertarik oleh kesenangan dunia.19 Menurut

pandangan para sufi, zuhud secara umum diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dan rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi.

3. Sabar

Sabar secarah harfiah berarti tabah hati. Secara terminology sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh , stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan

menempatkan sifat cukup, walaupun sebenarnya dalam kefakiran.20

4. Wara’

Wara’ secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut qamar kaialani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan

19

Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat li al-Fadh al-Qur’an, 241

20


(33)

24

dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ bathiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.21

5. Faqr

Faqr mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah bekerja tidak mencukup kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup. Sedangkan dalam konteks eksistensi manusia faqr mengandung makna bahwa semua manusia secara universal membutuhkan Allah. Dalam pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang dimiliki

sehingga tidak menginginkan sesuatu yang lain.22

6. Tawakkal

Tawakkal berarti menyerahkan segalanya kepada Allah setelah melakukan suatu rencana atau usaha. Sikap ini erat kaitannya dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan

menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut al-Misri

mendifinisikan tawakkal yaitu berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa tidak memiliki daya dan kekuatan. Initnya adalah penyerahan

21

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufi Klasik ke Neo Sufisme (jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 118

22


(34)

25

diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki

kekuatan apapun.23

7. Ridha

Ridha secara harfiah berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiananya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menenrima cobaan sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari

neraka.24

8. Ma’rifah

Rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umunya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi bersifat bathin yaitu pengetahuan mengenai rahaisa tuhan melalui pancaran cahaya ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sur, qalb, dan ruh. Qalb yang suci akan dipancari cahaya ilahi dan akan dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah seorang sufi sampai

pada tingkatan ma’rifat.

Melihat sistematika yang dikemukakan para „ulama sufi tersebut bahwa

zuhud merupakan suatu maqam yang pasti harus dilalui oleh seorang sufi, ia

23

A. Riva Siregar, Tasawuf, 121 24


(35)

26

menempati posisi penting. Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf karena melalui maqam zuhud seorang sufi akan dapat membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain Allah SWT. Dan terpenuhinya kalbu dengan zikir atau ingat kepada Allah. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam

kalbu secara bersamaan dengan Tuhan.25

25


(36)

BAB III

AL-ALU>>>SI>>>

DAN AYAT-AYAT ZUHUD

A. Biografi Al-Alu>si>

Al-Alu>si> nama lengkapnya Alusi ditulis Abu Fadhl Syihab Din

al-Sayyid Mahmud Affandi al-Alusi al-baghdadi. Tapi al-Dzahabi dalam kitabnya

al-Tafsir wa al Mufassirun menulis Abu al-Tsana’ sebagai ganti Abu al-Fadhl.1

Ternyata dalam muqaddimah yang ditulis oleh Al-Alu>si sendiri tertulis

sebagaimana yang ditulis oleh al-Dzahabi di atas. Al-Alu>si lahir di Baghdad tahun

1217 / 1802 M. al-Alu>si> adalah nama sebuah desa yang terletak di sebuah pulau

di tengah-tengah sungai efrat. Dari desa itulah nenek moyang al-Alu>si> berasal.2 Ia

seorang jenius, mula-mula belajar pada ayahnya sendiri yang juga seorang ulama besar, kemudian Syekh Khlmid al-Naqsyabandi dan Syekh Ali al-Suwaidi. Pada usia 13 tahun ia sudah mampu mengaja dan mengarang. Kitab tafsirnya di atas

mulai ditulis pada waktu ia masih berusia 23 tahun.3

Sebelumnya ia telah mempunyai keinginan untuk mengarang kitab tafsir sendiri, tetapi ia mengalami kembimbangan. Sampai pada suatu malam, bulan rajab tahun 1252 H dia bermimpi rasanya Allah memerintahkan kepadanya untuk mempertemukan langit dan bumi. Lalu ia mengangkat tangannya yang satu dan membenamkan yang satunya lagi kedasar lautan. Dia berusaha mencari makna

1 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz I (Daral-ma’arif, 1976),

35. 2

Ibid., 353 3


(37)

28

mimpi tersebut, yang itu merupakan isyarat baginya untuk menulis tafsir. Tidak

heran dia dikenal sebagai „allamah (ulama besar), baik dalam bidang ilmu naqli

maupun aqli, dengan apresiasi yang dalam setiap cabang dan dasar kedua bidang tertsebut. Sejak usia muda ia sudah mulai giat mengajar dan mengarang. Ia mengajar diberbagai perguruan. Selain dari negeri tempat ia mengajar murid-muridnya berasal dari berbagai negeri yang jauh. Banyak anak didiknya yang

menjadi tokoh di negerinya sendiri. Al-Alu>si> tercatat sebagai seorang

penanggungjawab wakaf madrasah marjaniyah, sebuah yayasan pendidikan yang

mensyaratkan penanggungjawabanya seorang tokoh ilmuwan di negeri itu.4

Dia dikenal sebagai seorang pendidik yang sangat memperhatikan sandang pangan dan perumahan bagi murid-muridnya. Ia memberikan pemondokan yang lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri, sehingga orang-orang semakin menaruh

perhatian pada ilmu pengetahuan. Dengan wawasan ilmu yang luas, Al-Alu>si>

mendiktekan penjelasan-penjelasannya dengan cara yang sangat mudah ditangkap dan mengemukakan perumpamaan-perumpamaan dengan jelas dan dapat

dimengerti.5

Pada tahun 1248 H al-Alu>si> mengikuti fatwa-fatwa kalangan mazhab

Hanafi. Ia menghayati dan mengetahui perbedaan-perbedaan mazhab serta berbagai corak pemikiran aliran akidah. Ia menganut akidah salaf dan bermazhab

4

Yunanhar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), 33

5


(38)

29

Syafi’I meskipun dalam banyak hal ia adalah pengikut Imam Abu Hanifah.

Namun ia juga memiliki kecenderungan untuk berijtihad.6

Pada tahun ini pula ia menduduki jabatan mufti dalam mazhab Hanafi yang dilepasnya pada tahun 1263 H, lalu membulatkan perhatiannya pada penyelesaian penulisan kitab tafsirnya. Setelah penulisan itu selesai tahun 1267 H, ia berangkat ke Konstatinopel untuk memperlihatkn kitab tafsirnya kepada Sultan Abd al-Majid, dan memperoleh restunya. Ia kembali ke Baghdad pada tahun 1269 M. 7

Sebagai mufassir, Ia juga menaruh perhatian kepada beberapa ilmu, seperti ilmu Qiraah, ilmu Munasabah, dan ilmu Asbab an-Nuzul. Ia banyak melihat syair-syair Arab yang mengungkapkan suatu kata dalam menetukan Asbab

an-Nuzulnya. 8

Hasil karya tulisan beliau antara lain:

1. Syarh al-muslim fi al-manthiqi

2. Al-Ajwibah al-Iraqiyyah „ani al-As’ilati al-Lahutiyyah

3. Al-Ajwibah al-Iraqiyyah „ala al-As’ilati al-Iraniyyah

4. Hasyiyah „ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika

5. Durrah al-Ghawas fi Awham al-Khawas

6. Al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs

6

Ibid., 34 7

Depag Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam Indonesia, 109 8


(39)

30

7. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’I al

-Masani dan lain-lain.

Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma’ruf al-Kharki, salah seorang sufi yang sangat terkenal di kota

kurkh. Setelah meninggal, kitab Ruh al-Ma’ani disempurnakan oleh anaknya, as

-Sayyid Nu’am al-Alu>si>. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan bahwa

setelah kembali dari Istanbul al-Alu>si> menulis tiga karya lagi, yaitu: Nasywat

al-Syamsu fi al-Dzahab al-Istanbul. Nasywat al-Mudan fi al-„awd ila dar al-Salam dan Gharaib al-Ightirah wa Nuzhat al-Albab, yang diterbitkan do Baghdad dua kali antara tahun 1291-1293 H/ 1874-1876 M dan yang ketiga kalinya pada tahun

1327 H/1909 M.9

B. Profil Tafsir Ruh al-Ma’ani

1. Latar Belakang Penulisan Tafsir

Tafsir ini buah karya Imam Al-Alu>si> seorang ulama dari irak. Terdiri dari

30 juz dalam 15 jilid. Pertama kali dicetak pada tahun 1301 H. kemudian pada cetakan kedua di Baghdad dan Mesir pada tahun 1553 terdiri dari 30 juz dalam 10 jilid. Dicetak ulang oleh percetakan Idarah al-Taba’ah al-Munirah di mesir dan Dar Ihya al-Turats al-Araby, pada tahun 1405 H.

Al-Alu>si> mulai menulis tafsirnya tanggal 16 Sya’ban 1252 H, yang

sebelumnya didahului oleh mimpi mempertemukan langit dan bumi. Penulisan ini

9

Al-Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum (Taheran : Wirazahal Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami, 1212H), 481


(40)

31

berlangsung selama 10 tahun lebih. Kitab tafsir Ruh al-Ma’ani berisi berbagai

pandangan baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dan juga menerangkan pendapat tafsir-tafsir sebelumnya, misalnya Ibn Aliyah, Ibn Hayyan, al-Kassyaf, Abi Su’ud, Baidhawi dan Fahral Razi. Ketika dia menukil dari tafsir Abu

al-Su’ud biasanya dengan memakai kalimat “Qala Syaikh al-Islam”. Ketika menukil

dari tafsir al-Baidhawi dia memakai kalimat “Qala Qadhi”. Ketika menukil dari

tafsir Fahr al-Razi memakai kalimat “Qala al-Imam”.

2. Ciri-ciri Umum Penafsiran

Dalam memberikan penjelasan, Al-Alu>si> banyak mengutip pendapat para

ahli tafsir pendahulunya, dan tentunya yang berkompeten di bidangnya, ia juga sering kali memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip. Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga menganggap kurang tepat di antara pendapat-pendapat yang disebutkan, jika dilihat dari

caranya menjelaskan tersebut.10

Penjelasan yang diberikan oleh Al-Alu>si> bisa dikatakan sangat detail,

sehingga tepatlah jika Tafsir Ru>h al-Ma’a>n>i dimasukan ke dalam golongan tafsir

Ithnabi (detail). Hal tersebut dapat kita temukan pada penejelasan beliau pada setiap awal surat yangh biasanya diawali dari nama surat, asbab an-nuzul,

munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata I’rab, pendapat para ulama,

10 Abu Hasan, “

Konsep Cinta Kepada Allah Dalam Al-Quran (Telaah Pemikiran Al-Alusi Dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani Q.S Ali Imran 31.(Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2016), 53


(41)

32

dalil yang ma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz (makna isyari) dan jika

pembahasannya panjang terkadang juga ia beri kesimpulan.11

C. Bentuk Penafsiran

Dilihat dari sumbernya, tafsir Ruh al-ma’ani menggunakan dalil nash

al-Quran, al-Hadis, aqwal al-„ulama dan juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling besar

porsinya. Sehingga tidak heran apabila Dr. Jam’ah memasukannya ke dalam

golongan Tafsir bi al-ra’yi.12 Al-Alusi juga menggunakan analisi linguistic dan

bahkan informasi para sejarawan yang dinilai akurat. Akan tetapi menurut hemat penulis, dengan mengutip dari apa yang dikatakan oleh Ridwan Nasir bahwa tafsir

Ru>h al-Ma’a>n>i bisa juga dikelompokan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani,

yakni tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga

menggunakan ra’yu.13

Selain itu masadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai, al-Alusi

berusaha memadukan sumber ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya

bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabiin tentang penafsiran al-Quran dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan. Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan

11

Ibid., 54

12 Ali Abd Qadir Jam’ah, Zad al-Raghibin fi Manahij al-Mufassirin (Kairo : Jami’ah al

Azhar, Kuliah Ushul al-Din, 1989), 76 13

Ridwan Nasir, Diktat Mata Kuliah Studi al-Quran (Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2004), 2


(42)

33

pendekatan bahasa, seperti nahwu saraf balaghah dan sebagainya. Bahklan sebagaimana penilaian al-Dzahabi porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.

D. Metode dan Corak Penafsiran

Metode yang dipakai oleh al-Alu>si> dalam menafsirkan Quran adalah

metode tahlili. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa

seorang mufassir akan berusaha menganalisis sebagai dimensi yang terdapat

dalam dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis

dari segi bahasa, asbab al nuzul, nasikh mansukhnya dan lain-lain. Namun

biasanya metode tahlili tidak mampu menyajikan sebuah tafsir secara

komprehensif, sehingga seringkali terkesan parsial.14

Adapun sumber-sumber penafsiran yang dipakai, al-Alu>si> berusaha

memadukan sember ma’sur (riwayat) dan al-Ra’yi (ijtihad) artinya bahwa riwayat

dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsirkan al-Quran dan

ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat

dipertanggungjawabkan akurasinya.15

Menurut Ibn al-Qayyim,16 Tafsir isy’ari/sufi dapat diterima dengan empat

syarat, yaitu:

1. Tidak berlawanan dengan makna ayat

2. Makna yang diajukan itu sendiri benar

3. Di dalam lafad terdapat isyarat makna

14

AS Hornbay, Oxford Advanced Leavers Dictionary of Current English (tp : Oxford University press 1963), 534

15

Ibid,. 535


(43)

34

4. Antara makna isy’ari dan makna ayat ada pertalian dan talazum (saling

menetapkan)

Contoh tafsir isy’ari adalah penafsiran Ibn Abbas pada ayat “aza jaa nasr

Allah sa al fath”. Menurut beliau apabila kaum muslimin sudah bisa menakhlukan Makkah berarti pertanda ajal Rasulullah SAW sudah dekat. Al-Alusi mengemukakan riwayat Izz bi Abd al Salam bahwa khalifah Ali RA memutuskan

untuk memerangi Mu’awiyah berdasarkan makna isy’ari dari ayat (قسعمح (, tapi

sayang tidak ada penjelasan lebih detail tentang hal ini.17

Tafsir Ru>h al-ma’a>ni> dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isy’ari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan

isyarat dan ta’wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini

dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ru>h al-Ma’a>n>i bukan

untuk tujuan tafsir isy’ari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isy’ari.

Al-Dzahabi memasukan tafsir al-Alu>si> ke dalam tafsir bi al-ra’yi al Mahmud

(tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).18

Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabiu, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Quran berdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih. Meskipun tidak

dapat diingkari bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isy’ari, tetapi

17

Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 105

18


(44)

35

porsinya relative lebih sedikit dibanding yang bukan isy’ari. Menentukan corak

suatu tafsir selalu berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian

kecenderungan.19

Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alu>si> memang

member perhatian kepada tafsir isy’ari, segi-segi balaghah dan bayan. Dengan

apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alu>si> dapat dianggap sebagai

tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi al dirayah dan isyarah.20

Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan

kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Disamping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid

Ridha juga menilai bahwa al-Alu>si> sebagai mufassir yang terbaik dikalangan

ulama mutaakhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut

pendapat-pendapat Muta’akhhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alu>si> tidak luput dari

kritikan. Seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama

sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dikutipnya.21

Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan

19

Ibid,. 87 20

Ibid,. 88 21


(45)

36

bahasa, seperti nahwu-saraf balagah dan sebagainya. Bahkan sebagaimana

penilaian al-Dzahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.22

Adapun sistematika sebagai langkah metodis yang ditempuhnya, biasanya al-Alusi menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna

kandungan ayat demi ayat. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alu>si>

menyebutkan asbab al-nuzu>l terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung

mengupas dari segi gramatiknya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qaul

tabiin.23

Terhadap riwayat-riwayat isra’illiyat yang sering disusupkan dalam

beberapa literature hadis dan tafsir, al-Alu>si> dinilai sangat selektif dalam

mengambil riwayat-riwayat isra’iliyat. Hal itu disebabkan Karena beliau banyak

menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan para ulama ahli hadis

mutaakhirin. Kalaupun al-Alu>si> menyebutkan riwayat-riwayat isra’illiyat atau

ahdis maudhu’ hal nitu bukan dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan

untuk menunjukan kabatilan riwayat tersebut dan memberikan tahzir (peringatan)

kepada kaum muslimin, terutama para peneliti dan mahasiswa.24

E. Penafsiran al-Alusi Tentang Ayat-ayat Zuhud 1. Tartib Nuzul al-Ayat

Berikut urutan Tartib Nuzul ayat berdasarkan keterangan para Ulama’.25

22

AS Hornbay, Oxford Advanced leavers Dictionary of Current English, 534 23

Ibid,. 534 24

Ibid,. 535 25

Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), 172-


(46)

37

Tartib Surah Makkiyah

No Tartib Nuzul Nama Surah No. Surah

1 49 Al-Qas}s} }as> 28

3 53 Yu>suf 12

4 57 Luqman 31

5 72 Ibra>him 14

6 85 Al-„Ankabut 29

Tartib Surah Madaniyah

No Tartib Nuzul Nama Surah No. Surah

1 3 Ali-Imra>n 3

2 8 Al-Hadid 57

2. Surah Makkiyah

a. Surah Al-Qas}s} }as> ayat 77

                                                 

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat

kerusakan.26

Harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta itu janganlah kamu sampai lupa bahwa sesudah hidup ini kamu akan mati.

26


(47)

38

Sesudah dunia ini kamu akan pulang ke akhirat. Harta benda dunia ini, sedikit ataupun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Kalau kita mati kelak, tidak sebuah pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang di akhirat kelak. Berbuat baiklah, nafkakanlah rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada jalan kebijakan. Niscaya jika kamu mati kelak bekas amalmu untuk akhirat itu akan engkau dapati berlipat ganda disisi Allah. Dan yang untuk dunia janganlah pula dilupakan. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah kendaraan yang baik dan semoga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan dengan isteri yang setia.

)          (

kebaikan Allah kepada kamu tidaklah terhitung banyaknya, sejak dari kamu dikandung ibu, smapai datang ke dunia. Sampai dari tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda.maka sudah sepatut-nyalah berbuat baik pula. () segala perbuatan yang akan

merugikan orang lain yang akan memutuskan silaturrahmi, aniaya, mengganggu keamanan, menyakiti hati sesama manusia, membuat onar, menipu dan mencari keuntungan semata untuk diri sendiri dengan melupakan kerugian orang lain, semuanya itu adalah merusak. Oleh karena itu Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan

b. Surah Yusuf ayat 20

                  


(48)

39

dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham

saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.27

ورشو

kata ganti yang rofa’ jika hal itu ditujukan kepada

saudara-saudaranya Nabi Yusuf maka kata tersebut bermakna

عا

(menjual), dan

jika ditujukan ke kabilah (yang membeli Nabi Yusuf), maka bermakna

ىرشا

(membeli) sebagaimana dalam syair :

ما ت ك درب دعب نم # يتيل ادرب تيرشو

Aku membeli mantel agar supaya diriku # setelah merasakan kedinginan dapat memakainya (terus menerus seolah-olah mencintainya).

Dan diperbolehkan makna dari kata tersebut

عا

(menjual)

berdasarkan pada saudara-saudara Nabi Yusuf menjualnya ketika bertemu

dengan suatu kabilah atau musafir. )

سخ نمثب(

yaitu kurang. Kata tersebut

adalah Mashdar yang memiliki makna isim maf’ul yaitu

صوق م

(dikurangi). Dan diperbolehkan yang memiliki keiingan menjualnya

bermakna

سخا

( kurang) dari harga yang semestinya. Seorang berperang


(49)

40

berkata : pemalsuan itu kurangnya takaran. Qatadah berkata : pengurangan itu dzalim karena mereka mengurangi standart penjualannya. Ibnu Abbas berkata, Dlahhak : pengurangan itu haram, mengapa hal itu haram ? karena hal itu berkenaan dengan harga kemerdakaan (budak), dinamakan pengurangan itu haram karena kurangnya keberkahan atau terkurangnya

dari keberkahan. Lalu, Firman Allah selanjutanya : (

م رد

( kata ini

merupakan badl dari harga yaitu tidak adanya dinar. )

ةدودعم(

yaitu sedikit

dikunyah (kiyas) dengan bilangan sedikit karena banyaknya ditimbangkan bagi mereka, adapun bilangan dirham tersebut sebagaimana riwayat mengatakan 20 dirham, Ibnu Abbas berkata : 22 dirham, pendapat lain mengatakan : 20 sepatu yang berlumuran lumpur serta dua sandal, dan dikatakan : 30 sepatu yang berlumuran lumpur serta dua sandal, dikatakan pula : membelinya dengan harga 18 sepatu boots serta beberapa sandal. Diakatakan pula : 10. Ikrimah berkata : 40 dirham, tidak dihiraukan berdasarkan yang telah disebutkan pendapat-pendapat sebelumnya bahwa mereka hanya menimbang atau menjualnya seukuran 200 Gram, yaitu 40 dirham ketika hal itu itdak terdapat peniadaan bahwa 40 ada yang

berpendapat tentangnya. )

يف اوناكو(

yaitu pada diri Nabi Yusuf )

نيد ازلا نم(

yaitu sangat membenci, kata ganti pada kalimat

اوناك

jika menunjukkan


(50)

41

pada pengantar lalu mereka menjualnya serta berkeinginan untuk itu karena mereka berjumpa dengan para kafilah sedangkan yang dijumpainya menganggap mereka remeh atau hina tidak memperdulikan terhadap apa yang ia ciptakan dan karena ia takut untuk mengungkapkan haknya yang terlepas dari tangannya (pengantar) lalu ia menjualnya dengan kesepakatan banderol harga dibawah standart meskipun ia berada ditangan mereka dan mereka pada mulanya menjual agar supaya dibeli oleh sebagian kafilah atau dari saudara-saudaranya nabi Yusuf, mereka membencinya karena menganggap nabi Yusuf lari dari tawanannya lalu mereka takut untuk membahayakan apa yang mereka miliki, diakatakan pula : kata ganti dari

kalimat )

يف(

kembali ke harga. Mereka membencinya karena

ketampanannya atau tujuannya mereka hanyalah menjauhkan Nabi Yusuf.

Hal ini sangatlah jelas bahwa kata gantinya merujuk pada kalimat )

اوناك

(

merujuk pada saudara-saudaranya. Jar (konjungsi) –sebagaimana

dinukilkan oleh Ibnu Malik- dihapus yang menunjukkan pada kalimat

نيد ازلا

yaitu

نيد ازلا نم يف نيد از اوناك

. Hal itu bahwa laam pada kalimat

نيد ازلا

merupakan Isim Maushul dan tidak didahului ام pada

لوصوما ةلص

يلع

,

dan karena

ام

setelah jar tidak mengamal sebelumnya, lalu apakah


(51)

42

sebagaimana dalah perkataan :

ءاملعلا نم ماع

atau sifat mabni yaitu

نيد از

telah sampai pada mereka zuhud sehingga dikatakan sebagai

نيد ازلا

karena orang yang zahid terkadang tidak hanya terdapat pada keturunan bangsawan sehingga dikatakan mereka zahid jika telah terbiasa atau sebagai khobar kedua ?, semua itu mungkin, dan kalimat tersebut tidaklah

pengganti dari yang ada yaitu )

نم(

yang besertanya, sebagian ada yang

mengatakannya terhapus yakni

نيد ازلا نم يف اأو

, Ibnu Hajib berkata :

sesungguhnya kalimat tersebut berkenaan dengan Shilah dan makna dari

tersebut tanpada ada keraguan akan tetapi hanyalah terlepas darinya

ketika memahami shilah maushul tidak mengamal sebelum Maushul

secara muthlak, dan diantara Shilah

لأ

dengan lainnya terdapat perbedaan

sesungguhnya kalimat tersebut merupakan sebuah gambaran huruf yang

menempati tempatnya Juz min al kalimat (sebagian dari kata), maka

diperbolehkan mendahului Ma’mulnya dan tidak membutuhkan lagi pada

perkataan yang menyatakan kalimatnya disebut, hal ini hanyalah

diungkapkan oleh Al-Mazini yang mengatakan

لأ

pada kalimat tersebut

sebagai Makrifat seakan-akan ia tidak memandang pendahuluan Ma’mul

majrur yang tidak dibolehkan, jika tidak maka tidaklah sempurna penyebutan kalimat tersebut sebagai penolak kebahayaan.


(52)

43

Hal ini tidak dibutuhkan untuk menjawab pelepasan Jar majrur

dari hukum Fa’il dan maf;ul bih shorih meskipun hal itu terdapat

perbedaan yang jelas bagi yang yang mengingkarinya, sebagian manusia

berpedoman pada perluasan pada Dlorf, jar majrur yang hal itu tidak

terdapat bagi keduanya perluasan dalam hal pembelaan terhadap komentar Jar pada kalimat tersebut sebagai sifat majrur yang terdapat pada shilah

bagi آ lalu dapat dipahami.

Hal ini, yang terpopuler bahwa penjual nabi Yusuf yaitu

saudara-saudaranya, dan yang dianggap

نيد ازلا

mereka, pada sebagian atsar

mereka ketika menjualnya berkata pada pedagang tersebut : ia (Yusuf) pencuri yang lari dari kami, lalu pedagang tersebut mengikatnya dan menyerahkan pada salah seorang hamba yang hitam kulitynya, ketika tiba saatnya mereka pergi, nabi Yusuf menangis, lalu pedagang berkata : “mengapa kamu menangis?”, lalu ia menjawab : “aku ingin menemui mereka terlebih dahulu untuk berpisah dan mengucapkan salam pada mereka yang tidak akan kembali lagi”, lalu pedagang tersebut berkata : “ bawa ia, dan antarkan ke majikannya untuk berpisah lalu bawalah bersama para kafilah, aku belum pernah melihat seorang anak lebih taat daripada majikannya dan suatu kaum yang lebih kejam dari mereka,

lalu hamba tersebut membawanya ke saudara-saudara nabi Yusuf, salah satu dari mereka sedang sibuk menjaga hewan peliharaanya (kambing)”. Ketika Yusuf tiba di hadapan mereka dan tali tersebut terlaps


(53)

44

darinya, ia menjumpai mereka dan menangis. Lalu salah satu dari mereka berkata : “ mengapa kamu kemari?”, lalu ia menjawab : “aku kemari untuk mengucapkan perpisahan dan mengucapkan salam pada kalian ”, lalu diantara mereka ada yang berteriak berdirilah kalian terhadap yang mengucapkan salam untuk kalian semuanya yang hal itu tidak mengharap kalian melihatnya lagi, celakalah bagi kalian perpisahan ini, lalu mereka semua berdiri dan Yusuf menjempainya satu-persatu, meciumnya dan memeluknya, serta dengan pengucapan : “semoga Allah melinduingi kalian, jika kalian kehilangan aku semoga Allah mengembalikannya kepada kalian, dan jika kalian mengusirku semoga Allah merahmati kalian jika kalian tidak menyayangiku”.

Dikatakan pula : sesungguhnya kambing-kambing merasakan getaran yang sangat dashyat dalam perutnya atas perpisahan tersebut, lalu hamba tersebut membawa Nabi Yusuf dan meminta untuk pergi, ketika tengah perjalanannya melewati kuburan Umminya Rahil yang terletak di Kan’an, ketika ia melihat kuburan tersebut, ia tidak mampu melemparkan dirinya diatas kuburan umminya lalu memeluk seraya menangis, dan berkata : wahai bunda, angkatlah kepalamu dari tanahsehingga kamu melihat anakmu terikat oleh untaian tali. Wahai bunda saudara-saudaraku melemparkanku ke jurang, dan memisahkanku dari Abahku serta menjualku dengan harga dibawah standart dan tidak berbelas kasih saat aku kecil, serta tidak menyayangiku, maka aku memohon kepada Allah agar mengumpulkanku dengan abahku dalam lingkupan Rahmat-Nya,


(54)

45

sesungguhnya Dia Maha belas kasih. Lalu, hamba yang membawa Nabis Yusuf menoleh ke belekangan dan tidak menemuinya, lalu ia kembali dan melihatnya berada diatas kuburan, lalu ia berkata : demi Allah, memang benar kata majikanmu, kamu itu hamba yang lari dari majikannya lalu hamba tersebut, menamparnya dengan penuh kekuatan sehingga Nabi Yusuf pingsan dan tersadar, lalu Yusuf berkata : janganlah kamu menghukum aku, ini kuburan Ummiku. aku turun untuk mengucapkan salam kepadanya, dan aku tidak mengulangi kembali setelah apa yang kamu benci selamanya. Lalu Yusuf mengangkat wajahnya ke atap langit, dan mukanya penuh dengan pasir serta tangisan diwajahnya, lalu berkata : ya Allah, jika aku terdapat sebuah kesalahan Engkau ciptakan wajahku

disisimu, maka dengan tawashshul melalui nenek moyangku yang mulia

Ibrahim dan Ishaq dan ya’kub, agar mengampuniku dan merahmatiku sesungguhnya Engkau maha belas kasih, lalu Malaikat pergi menghadap Allah pada saat itu,

lalu Allah berfirman : wahai malaikatku, ini adalah nabi-Ku dan anak dari nabi-nabi-Ku, telah memohon kepada-Ku dan Aku adalah penolongnya dan penolong orang yang minta tolong, wahai jibril,

temuilah, lalu jibril ‘Alaihi As salam turun lalu berkata : wahai orang

paling jujur, Tuhanmu mengucapkan salam kepadamu dan berfirman : perlahan-lahan kamu, karena para malaikat langit tujuh menangis, apakah kamu ingin menurunkan hujan ke dataran bumi ? lalu yusuf berkata : tidak jibril, bawalah demi ciptahan Tuhanku, sesungguh-Nya Maha Sabar tidak


(55)

46

tergesa-gesa, lalu daratan bumi dinaungi oleh sayap malaikat jibril, lalu angin-angin merah dan matahari tertutup serta lebatnya debu dan para kafilah tidak dapat melihat apapun antara satu dengan lainnya, lalu

pedagang berkata : turunlah sebelum semuanya dihancurkan

sesungguhnya aku telah melewati jalan ini berkali-berkali, dan belum pernah menemui seperti sekarang ini, maka barang siapa diantara kalian yang telah berbuat dosa hendaknya ia bertaubat, tidaklah hal ini terjadi melainkan karena dosa yang telah kita perbuat, lalu hamba tersebut mengabarkan kepadanya apa yang yang terjadi antaranya dengan Nabi Yusuf, dan berkata : wahai Tuanku : sesungguhnya ketika aku memukulnya, ia mengangkat wajahnya ke langit, lalu bibirnya bergerak. Lalu pedagang berkata : celakalah kamu apakah kamu menghancurkan kami atau dirimu sendiri. Lalu pedagang tersebut mendekati Nabi Yusuf dan berkata : wahai nak muda, kami telah berbuat dzlaim padamu, saat itu kami memukulmu, jika kamu berkehendak menghukum kamu atas kekhilafan kami yang ada dihadapanmu ? lalu Yusuf berkata : bukanlah aku menghukum suatu kaum yang telah mendzlaimiku, akan tetapi aku dari Ahl bait jika didzalimi memberikan maaf, dan dan mengampuni, dan aku mengampuni kalian dengan harapan kepada Allah semoga mengampuni ku, lalu gelappun sirna dan anginpun menjadi hening serta matahari kembali menunjukkan sinarnya yang menyinari dari ujung barat bumi hingga timur, lalu mereka semuanya pergi hingga tiba di kota Mesir dengan selamat. Adapun pedagang tersebut berdasarkan riwayat ada yang


(56)

47

mengatakan namanya adalah Malik bin Dza’r yang telah mengelurkan nabi Yusuf dari Jurang, adapula yang mengatakan sahabat kafilah lainnya.

Diriwayatkan, ketika ia telah sampai di kota Mesir, pedangan tersebut menjual Nabi Yusuf dengan patokan harga 20 dinar, sepasang sandal dan dua pakaian putih. Dikatakan : bawalah aku ke pasar untuk dijual, lalu para pembeli saling menaikkan harga untuk membelinya

sampai-sampai harganya setara Misik, harta dan unta, sutra, lalu yang

membelinya adalah paduka28 pada saat menjabati sebagai barang-barang

mesir bagi rajanya, dikatakan : ia (yusuf) pembuat Roti baginya, minuman serta makanan dan dipenjara sebagaimana yang telah terkenal pada kisahnya, dan tempat bersandar padanya, sedangkan nama paduka tersebut adalah Quthfair, atau Uthifair, atau Qunthur. Nama pertama diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dan itu yang dimasud pada Firman Allah SWT.

c. Surah Luqman ayat 33

                                                

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan

28

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Abu Syaikh, dari Ibnu Abbas bahwa Malik bin Dza’r ketika menjual Nabi Yusuf kepada paduka mesir, ia bertanya kepada: siapa kamu ? siapa dia? Anak siapa dia ?, da ia merupakan memberikan harganya lalu si pedagang megetahuinya, lalu berkata : andai kamu mengabarkan aku, niscaya aku tidak akan menjualmu, lalu ia meminta doa darinya (yusuf) dan ia pun meninggalkannya, lalu yusuf berkata : : semoga Allah memberkatimu pada keluargamu. Lalu istri paduka membawanya dua belas janin, disetiap janin dua anak, hal ini jika dibenarkan maka amatlah jauh dari kisah nyata nabi Yusuf.


(1)

79

jumlah Muslim di Madinah bertambah banyak, masjid Nabi Saw terlalu sempit untuk menampung jama’ah itu. Maka Nabi bersabda: “Siapakah di antara kamu yang mau mengorbankan uangnya untuk membesarkan masjid ini ?” Utsman maju ke depan, dan bersedia mengorbankan hartanya di jalan Allah. Dia berkata: “Bukankah Allah memerintahkan kita berkorban dengan harta dan jiwa untuk jalan Allah.” Dia membeli tanah itu guna melrbarkan masjid Nabi.26

Bahkan pada tahun kesembilan Hijriyah dalam kasus yang lain, sampailah laporan ke tangan Nabi bahwa kaisar Romawi timur sedang bersiap-siap untuk menyerbu ke Madinah, yang dianggap Nabi dapat membahayakan keamanan orang islam. Maka Nabi membuat persiapan perlawanan. Saat itu beliau berseru kepada rakyat agar mengorbankan apa yang dapat diberikan. Lantas Utsman memeberikan 1000 unta, 50 kuda, dan 1000 potong emas.27

.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Zuhud menurut al Alusi yaitu:

1. kondisi mental yang stabil dalam keadaan susah dan gembira. Apabila dilanda kesusahan hendaknya tidak berlarut-larut dalam kesedihan begitu pula sebaliknya tidak terlalu bahagia ketika dalam keadaan senang.

2. Segala sesuatu yang didapat di dunia hendaknya dipergunakan untuk ibadah dan mencari akhirat, tetapi perlu diimbangi dengan perhatian terhadap keduniaan.

3. Zuhud pada dunia yaitu menjadikannya sebagai sarana untuk mencari Ridha Allah dan kebahagiaan akhirat. Maka itu adalah kesenangan dan sarana yang sebaik-baiknya.

Zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia dimasa modern. Dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dalam hal ini zuhud dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.


(3)

79

Oleh karena itu perlunya sikap zuhud untuk menerapkan keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan menghadapi permasalahan hidup yang serba matrealistik ini dengan sikap jantan..

B. Saran

1. Bagi umat islam, hendaklah mengkaji kembali bagaimana ajaran al-Quran yang sebenarnya tentang zuhud, sehingga tidak ada kesalah fahaman yang selama ini masih banyak terjadi yang akhirnya mengakibatkan umat islam tertinggal jauh dan mengalami kemunduran.

2. Al-Quran tidak ingin manusia mematikan atau memadamkan nafsunya terhadap apa yang bersifat materi (duniawi), tetapi Al-Quran ingin membimbing manusia unutk mengendalikan nafsunya demi ketenangan dan keselematan hidup baik di dunia maupun akhirat. C. Penutup

Dengan petunjuk Allah dan pertolongannya serta kesungguhan hati, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Harapan dari penulis semoga bermanfaat bagi diri penulis dan para pembaca pada umumnya.

Penulis menyadari bahwa “Tiada Gading yang tak retak” begitu pula dengan penulisan skripsi ini yang banyak terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Unutk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan perlindungannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril. Pilar- Pilar Tasawuf. Jakarta: Kalam mulia, 1990.

Al-Bunny, Djamaluddin Ahmad. Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah.

Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002.

Al-Ghazali, Imam. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Surabaya : Gita Media Press,

2003.

Ali, Atabik dan Muhdhor, Ahmad Zuhdi. Kamus Komtemporer Arab – Indonesia.

Yogyakarta : Pondok Pesantren Krapyak, 1996.

Al-Mahalli, Imam jalaluddin. Tafsir jalalain. Bandung : Sinar Baru Algensindo,

2011.

Al-Asfihani. Mu’jam Mufradat li al-Fadh al-Qur’an. Beirut : Daar Kutub

al-Ilmiyah, 1425.

Al-Alusi. Ruh al-Ma’ani juz. Beirut : Dar al-Kitab Ilmiyah, 127H.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirun, juz I . Daral-ma’arif,

1976.

Anwar, Rasihan dan Solihin, Mukhtar. Ilmu tasawuf . Bandung : Pustaka Setia,

2000.

As-Sarraj, Abu Nashr. al-Luma: Rujukan lengkap Ilmu Tasawuf, terj : Samson

Rahman dkk. Surabaya : Risalah Gusti, 2002.

Bakker, Anton. Metode Penelitian. Yogyakarta: Kanisius, 1992

Chozin, Fadjrul Hakam. Cara Mudah Menulis Karya Ilmiyah. Ttp : Alpha, 1997.

Dahlan, Abdul Aziz. “Ajaran”Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta : Ictiar

Baru van Hoeve, 2002.


(5)

Echols, John M. dan Shadily, Hasan. Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta :

Gramedia, 1988.

Farmawi, Abd al-Hayy al. Metode Tafsir Mawdlu>’i>y. Jakarta: PT. Grafindo

Persada, 1994.

Fatah, Abdul. kehidupan Manusia Ditengah-Tengah Alam Materi. Jakarta : Rineka Cipta,1996.

Fudholi, Mohammad. “ Zuhud Menurut Qusyairi Dalam Risalah

Al-Qusyairiyah”, Teosofi Jurnal Fisafat Dan Pemikiran Islam, vol. 01, No. 01, Surabaya, 43, 2011.

Ghazali-al. Kitab Ihya Ulumuddin, Juz, 8 terj: Moh Zuhri, dkk. Semarang : CV.

Asy Sifa, 2003.

Gulen, Fathullah. Kunci-Kunci Rahasia Sufi. Jakarta : Srigunting, 2001.

Hamka. Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya . Jakarta: Citra Serumpun

Padi,1994.

Jauziyah, Ibnu Qayyim Al. Madarijus Salikhin, jilid 2 terj:kathur Suhardi. Jakarta

: Pustaka Al-kautsar, 1999.

Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Al-Hidayah,

2002.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2002.

Muadhiful, Chilmi. “Konsep Zuhud Perspektif Tokoh Muhammadiyah”, Skripsi

tidak diterbitkan (Surabaya : jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2007.


(6)

Naisaburi, Al-Qusyairi. ar-Risalah al-Qusyairi. Mesir : Dar al-Khair.

Rahman, Fazlur. Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyuddin. Bandung :

Pustaka, 1989.

Rifa’I, A. Bachrun dan Hasan Mud’is.Filsafat Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia, 2010.

Quthub, Sayyid. Fi Zhilal al-Quran. Bairut : Daar al-fikr. 1978.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1995.

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,. Tafsir al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati. 2002.

Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Simuh. Tasawwuf Dalam Perkembangannya Dalam Islam . Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 1996.

Solihin,M. dan Anwar, Rasihan. Kamus tasawuf . Bandung : Remaja Rosdakarya,

2002.

Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung : Pustaka Setia, 2003.

Siregar, Rivay. Tasawuf dari Sufi Klasik ke Neo Sufisme. jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2000.