IMPLEMENTASI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH DAN BISRI MUSTOFA : TINJAUAN KOMPARATIF DALAM TAFSIR AL MANAR DAN TAFSIR AL IBRIZ.

(1)

IMPLEMENTASI AMAR

MA’R

U<F NAHI< MUNKAR

PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH DAN BISRI MUSTOFA

(Tinjauan Komparatif dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Tafsi>r al-Ibri>z)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

NAYLA RIZEKIYAH NIM: E03213068

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nayla Rizekiyah, “Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa (Tinjauan Komparatif dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Tafsi>r al-Ibri>z)”.

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan penafsiran amar ma’ruf nahi munkar menurut Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa guna mencari titik persamaan dan perbedaan.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library researching) dan metode komparatif yaitu membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripin redaksi yang beragam dalam satu kasus yang sama atau yang diduga sama, membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis Nabi yang pada lainnya antara keduanya bertentangan, juga membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar.

Dari penelitian ini, dapat ditemukan hasil rumusan masalah sebagai berikut: Muhammad Abduh berpendapat bahwa: pertama,kewajiban amar ma’ruf nahi munkar adalah hanya untuk sebagian orang yang memiliki kemampuan khusus. Kedua, sebaik-baik umat yang diciptakan Allah SWT adalah mereka yang mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan beriman pada Allah SWT. Sedangkan Bisri Mustofa berpendapat bahwa: pertama, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar adalah untuk semua orang, karena dengan ber-amar ma’ruf nahi munkar, dapat mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Kedua, yang dimaksud dengan sebaik-baik umat adalah bagi mereka yang beriman pada Allah SWT.

Menurut Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa, yang dimaksud dengan al-khair adalah agama Islam. Sebab Islam adalah agama Allah yang dipenuhi dengan petunjuk dan cahaya.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian ... 9

F. Telaah Pustaka ... 9

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II: AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN BIOGRAFI MUFASIR A. Definisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar ... 18

B. Keutamaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar ... 21


(8)

D. Syarat-syarat Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Munkar ... 26

E. Syarat-syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar ... 30

BAB III: BIOGRAFI MUFASIR DAN PENAFSIRAN SURAT A<LI ‘IMRO<N AYAT 104, 110 DAN 114 A. Biografi Mufasir 1. Biografi Bisri Mustofa a) Biografi dan riwayat pendidikan ... 33

b) Kondisi lingkungan dan sosial ... 36

c) Karya-karya Bisri Mustofa ... 38

2. Biografi Muhammad Abduh a) Biografi dan riwayat pendidikan ... 40

b) Kondisi lingkungan dan sosial ... 44

c) Karya-karya Muhammad Abduh ... 47

B. Penafsiran Surat A<li ‘Imro>n Ayat 104 Perspektif Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh 1. Ayat dan terjemah ... 50

2. Mufradat ayat ... 50

3. Munasabah ... 51

4. Penafsiran ayat 104 menurut Bisri Mustofa... 52

5. Penafsiran ayat 104 menurut Muhammad Abduh ... 52

C. Penafsiran Surat A<li ‘Imro>n Ayat 110 Perspektif Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh 1. Ayat dan terjemah ... 66

2. Mufradat ayat ... 66

3. Munasabah ... 67

4. Penafsiran ayat 110 menurut Bisri Mustofa... 67

5. Penafsiran ayat 110 menurut Muhammad Abduh ... 68

D. Penafsiran Surat A<li ‘Imro>n Ayat 114 Perspektif Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh 1. Ayat dan terjemah ... 77


(9)

2. Mufradat ayat ... 77

3. Munasabah ... 77

4. Penafsiran ayat 114 menurut Bisri Mustofa... 77

5. Penafsiran ayat 114 menurut Muhammad Abduh ... 78

BAB IV: IMPLEMENTASI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR PERSPEKTIF BISRI MUSTOFA DAN MUHAMMAD ABDUH A. Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif Bisri Mustofa ... 81

B. Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif Muhammad Abduh ... 85

BAB V: PENUTUP A.Simpulan ... 88

B.Saran ... 89 DAFTAR PUSTAKA


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian karena diridhai Allah, karena ajarannya yang penuh dengan kemas}lahatan umat. Agama Islam juga tak memberatkan bagi pemeluknya. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan rahmatan lil ‘a>lami>ni. Meskipun diturunkan pertama kali di bumi Arab, namun seluruh umat di bumi ini berhak merasakan

rahmat ad-di>n al-isla>m. Bagi orang yang memahami Islam, juga dituntut untuk

mendakwahkannya kepada orang lain baik itu muslim maupun non muslim. Salah satunya yaitu dengan memberikan perhatian terhadap penegakan amar ma‟ruf nahi munkar. Kewajiban ini melekat bagi setiap insan yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Karena sesungguhnya di antara amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah adalah saling menasehati, mengajak kepada kebaikan, menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan tuntunan yang diturunkan Allah dalam kitab-kitab-Nya disampaikan oleh rasul-rasul-Nya dan merupakan bagian dari syariat Islam. Risalah Allah ada yang berupa berita (akhbar) dan ada juga berupa tuntunan (insya’). Akhbar di sini menyangkut zat-Nya, makhluk-Nya,


(11)

2

seperti tauhidullah dan kisah-kisah yang mengandung janji baik dan buruk. Adapun insya’ adalah perintah (amr), larangan (nahi) dan pembolehan (ibadah).1

Islam memerintah untuk berdakwah dan selalu mengajak serta membawa manusia berbuat kebaikan, menyuruh berbuat ma’ruf yaitu patut, pantas dan sopan, dan mencegah perbuatan munkar yang dibenci dan tidak diterima oleh manusia. Terdapat dua kata penting yaitu menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Perbuatan ma’ruf dapat dipahami oleh manusia dan patut dikerjakan oleh akal sehat. Sedangkan yang munkar ialah yang dibenci dan ditolak masyarakat, karena tidak patut, tidak selayaknya hal demikian dikerjakan oleh manusia yang berakal. Oleh sebab itu wajiblah ada dalam golongan kaum muslimin yang bekerja keras menggerakkan orang pada yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar.2

Menyeru pada yang ma’ruf yakni melakukan nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat. Selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah dan mencegah dari yang munkar ialah yang dinilai buruk dan lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat.3

Dalam kehidupan sehari-hari banyak ditemui orang-orang yang selalu menyerukan kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran, bahkan diri sendiri pun disadari atau tidak selalu menyeru kebaikan dan melarang melakukan kejahatan. Amar ma‟ruf nahi munkar tidak hanya menyangkut hal-hal yang

1Ibnu Taimiyyah, Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, terj. Abu Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press,1990),15.

2

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), 37. 3


(12)

berkaitan dengan pokok-pokok agama saja atau ideologi semata, tetapi juga bisa saja berkaitan dengan kehidupan sosial, politik, budaya dan hukum.4

Melihat pesatnya arus globalisasi di akhir zaman menyebabkan berkurangnya amar ma‟ruf nahi munkar dalam masyarakat di antaranya adalah; pertama, banyak di antara masyarakat yang berselisih memperebutkan kedudukan dan kekayaan. Sehingga menyebabkan perpecahan, di kalangan umat manusia bahkan terhadap saudara sendiri. Perpecahan dan perselisihan kian membara dan menjalar dikalangan masyarakat. Kedua, mereka menyeru untuk berbuat baik dan melarang yang munkar, karena takut akan dimurkai orang. Ini disebabkan masyarakat berat melepaskan kebiasaannya, yaitu takut jika orang itu akan marah.5

Sesungguhnya amar ma‟ruf nahi munkar adalah poros yang paling agung dalam agama. Ia merupakan satu tugas penting yang karenanya Allah mengutus para nabi seluruhnya. Andaikata tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan dan dunia pun akan binasa.6

Penelitian yang benar menunjukkan bahwa nash-nash syari‟at bertujuan untuk mewujudkan berbagai kemaslahatan bagi hamba-hamba Allah dan mencegah berbagai kerusakan dari diri mereka. Berbagai maslahat yang hendak diwujudkan oleh syari‟at tersebut ialah lima perkara penting yang telah dikenal. Kelima perkara tersebut tidak akan tegak dan tidak akan terwujud di tengah umat

4

Nurotul Badriyah, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif Font PembelaIslam” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2013), 7.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, 64-65. 6

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal


(13)

4

ini kecuali dengan amar ma‟ruf nahi munkar, karena di dalam menegakkan amar ma‟ruf nahi munkar syari‟at menjadi tegak dan berbagai maslahat itu dapat terwujud dan terpelihara, dan amar ma‟ruf nahi munkar tersebut mencegah segala apa yang membuatnya bercerai-berai atau rusak.

Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat syari‟at yang dibawa oleh Rasulullah SAW mengira bahwa sudah cukup baginya hanya beriman kepada Allah saja, mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan sebagian ketaatan tanpa mau menyibukkan diri dengan menyuruh orang lain kepada perbuatan ma‟ruf atau melarangnya dari perbuatan munkar. Ini adalah kesalahan yang nyata, karena amar ma‟ruf nahi munkar termasuk salah satu syari‟at-syari‟at Islam yang agung sebagaimana ia juga termasuk salah satu asas dari tiang penyangga yang penting dalam mewujudkan dan memperoleh hidayah.

Hal ini didukung oleh pernyataan sebagian ulama salaf bahwa orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu dan orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang sedang berbicara. Maka seandainya orang yang diam dari kebenaran mengetahui bahwa ia adalah orang yang dimurkai Allah SWT niscaya ia akan berbicara dan menerangkan kebenaran tersebut. Dan seandainya orang-orang yang selalu mencari keridhaan makhluk yang tidak mengingkari kemungkaran, mereka itu mengetahui bahwa pelaku dosa besar lebih baik keadaannya di sisi Allah daripada dirinya, niscaya ia akan bertaubat dan melepaskan diri dari maksiat. Jadi, mengatakan kebenaran, memerintahkan yang ma‟ruf dan mencegah yang munkar adalah perbuatan yang diridhai Allah SWT.7

7


(14)

Allah SWT telah menjadikan perlindungan bagi akidah, benteng bagi sifat keutamaan, kemuliaan bagi umat Islam dan kemenangan bagi kaum mukminin bergantung pada pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar yang diwajibkan ini.8 Allah SWT berfirman dalam surat A<li ‘Imro>n ayat 104:



















































104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.9

Segolongan orang atau satu kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar. Ketetapan bahwa harus ada satu kekuasaan dan seruan kepada kebajikan, tapi juga ada perintah kepada yang ma‟ruf dan larangan dari yang munkar. Jika dakwah (seruan) itu dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai iman maka perintah dan larangan itu tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang mempunyai iman.

Begitulah pandangan Islam terhadap masalah amar ma‟ruf nahi munkar bahwa harus ada kekuasaan untuk memerintah dan melarang, melaksanakan seruan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.

Perintah tentang adanya amar ma‟ruf nahi munkar tak luput dari pandangan sejumlah mufasir, di antaranya adalah Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa. Muhammad Abduh salah seorang tokoh yang paling berpengaruh di Mesir. Ia adalah tokoh revolusioner di Mesir khususnya di bidang pendidikan.

8

Jawas, Amar Ma’ruf, 17. 9


(15)

6

Salah satu karyanya yang fenomenal adalah Tafsi>r al-Mana>r. Penafsiran dari awal

hingga Surat al-Nisa ayat 126 diambil dari pemikiran Muhammad Abduh, selanjutnya diambil dari pemikiran Rasyid Ridha (murid Abduh) dengan mengikuti metode Abduh.10

Menurut Abduh, perintah kepada hal yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar adalah suatu hal yang akan menjaga dan menguatkan persatuan dan kesatuan. Menurutnya, ada perbedaan pendapat antara para mufasir mengenai kata minkum dalam ayat tersebut. Ada sebagian yang menafsirkan kata minkum sebagai makna “sebagian”. Sehingga, kewajiban amar ma‟ruf nahi munkarhanya diperuntukkan untuk sebagian orang dan hukumnya fardhu kifayah. Dan yang lain berpendapat bahwa kata minkum diartikan sebagai makna “umum”. Sehingga kewajiban amar ma‟ruf nahi munkaradalah tanggung jawab semua orang.11

Selain itu, salah satu mufasir Indonesia, yaitu Bisri Mustofa juga tak luput menafsirkan ayat-ayat amar ma‟ruf nahi munkar. Bisri Mustofa adalah salah satu ulama paling berpengaruh di Indonesia. Karyanya yang paling fenomenal adalah Tafsi>r al-Ibri>z dan banyak dijadikan sebagai bahan pembelajaran di kalangan santri, khususnya di bidang tafsir.

Menurut Bisri Mustofa, kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar adalah kewajiban setiap orang. Karena kata minkum dalam ayat tersebut diartikan sebagai “kalian semua”. Jadi hukum amar ma‟ruf nahi munkaradalah fardhu „ain.12

10

Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), 125.

11

Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, TT), 27. 12

Bisri Mustofa, Tafsir al-Ibriz (Wonosobo: Lembaga Kajian Strategis Indonesia, 2015), 63.


(16)

Dari beberapa penafsiran yang telah disebutkan, penulis ingin menkaji lebih dalam tentang amar ma‟ruf nahi munkar menurut Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa, yang menurut penulis tampak ada sedikit perbedaan antara keduanya dalam menyajikan penafsiran.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa masalah pokok dalam kajian ini adalah penerapan dan pengatasan perbuatan yang ma‟ruf dan mencegah yang munkar.

Adapun permasalahan yang teridentifikasi diantaranya: 1. Kewajiban ber-amar ma‟ruf nahi munkar.

2. Kaidah-kaidah amar ma‟ruf nahi munkar.

3. Konsep amar ma‟ruf nahi munkar menurut Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa.

4. Orang yang berhak melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar.

Di dalam al-Qur‟an terdapat 6 ayat yang membahas tentang amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu Surat A<li ‘Imro>n ayat 104, 110, 114, Surat al-A’ra>f ayat 157 dan al-Taubah ayat 71 dan 112. Mengingat permasalahan yang teridentifikasi serta untuk efisiensi waktu dan tenaga, maka dalam kajian ini akan ada pembatasan masalah. Pembatasan masalah dilakukan agar kajian ini dapat memenuhi target dengan hasil yang maksimal. Pembatasan masalah yang dimaksud, yaitu akan difokuskan pada metode dan penerapan amar ma‟ruf nahi munkar serta orang yang berhak melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar dalam


(17)

8

Surat A<li ‘Imro>n ayat 104, 110 dan 114 menurut Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa.

C. Rumusan Masalah

Dari pemaparan di atas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana persamaan penafsiran amar ma‟ruf nahi munkar dalam pandangan Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh?

2. Bagaimana perbedaan penafsiran amar ma‟ruf nahi munkar dalam pandangan Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, dapat disusun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui persamaan penafsiran amar ma‟ruf nahi munkar dalam pandangan Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh.

2. Untuk mengetahui perbedaan penafsiran amar ma‟ruf nahi munkar dalam pandangan Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir. Agar hasil penelitian ini jelas dan berguna untuk


(18)

perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini, yaitu:

1. Kegunaan teoritis

Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang tafsir. Penelitian ini juga diharapkan mudah-mudahan dapat dijadikan sebagai literatur dan dorongan untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.

2. Kegunaan praktis

Implementasi penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang memberi solusi terhadap problematika yang terkait tentang masalah amar ma’ruf nahi munkar.

F. Telaah Pustaka

Telaah pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keorisinilan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan telaah pustaka, telah ditemukan beberapa karya yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini di antaranya:

1. Amar ma’ruf nahi munkar menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Ana Maulida jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2005. Dalam penelitiannya, ia membahas tentang pandangan Sayyid Quthb akan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar sebagai perintah yang diwajibkan oleh syariat untuk dikerjakan.


(19)

10

2. Pemahaman ayat-ayat dan hadis mengenai amar ma’ruf nahi munkar menurut Front Pembela Islam (FPI) karya Abd Malik fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga tahun 2007. Dalam penelitiannya, ia membahas tentang dalil-dalil yang dijadikan Front Pembela Islam (FPI) untuk menegakkan amar ma‟ruf nahi munkar.

3. Jihad politik dan implementasinya dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (studi pemikiran Yusuf Qardhawi) karya Roni Sugiarto jurusan Jinayah Siyasah UIN Sunan Kalijaga tahun 2008. Dalam penelitiannya, ia membahas tentang pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar.

4. Karakteristik tafsir Front Pembela Islam (studi argumen tentang amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar) karya Mohammad Sulaiman Tashir fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga tahun 2012. Dalam penelitiannya, ia membahas tentang pemikiran dan karakteristik penafsiran FPI mengenai amar ma‟ruf nahi munkar.

5. Amar ma’ruf nahi munkar dalam perspektif Front Pembela Islam (FPI) karya Nurotul Badriyah jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2013. Dalam penelitiannya, ia membahas tentang konsep dan pengaplikasian amar ma’ruf nahi munkar menurut FPI yang merupakan gerakan yang mencoba mencari legitimasi agama demi mewujudkan kepentingannya.

6. Penafsiran KH. Misbah Mustafa terhadap ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar dalam Tafsir al-Ikli>l fi> Ma’a>n al-Tanzi>l karya Kusminah jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2013. Dalam


(20)

penelitiannya, ia membahas tentang penafsiran amar ma‟ruf nahi munkar yang merupakan hal penting demi tercapainya masyarakat yang harmonis baik dikalangan ulama, pemimpin, rakyat dan juga antara yang kaya dan miskin tidak ada jarak yang membatasi.

7. Perbedaan penafsiran amar ma’ruf nahi munkar menurut M. Quraish Shihab dan al-Zamakhsyari karya Mar‟atus Sholihah jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2015. Dalam penelitiannya, ia membahas tentang perbedaan dan persamaan konsep amar ma’ruf nahi munkar menurut Quraish Shihab dan al-Zamakhsyari.

Dengan demikian, belum ada penelitian yang membahas tentang penafsiran amar ma‟ruf nahi munkar perspektif Muhammad Abduh dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Bisri Mustofa dalam Tafsi>r al-Ibri>z.

G. Metode Penelitian 1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam dan interpretatif.

Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semulanya didapatkan dari pembahasan umum. Sedang interpretatif adalah


(21)

12

penerjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat atau pernyataan.

2. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research. Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya diolah melalui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian.

3. Metode penelitian

Adapun untuk memperoleh wacana tentang amar ma’ruf nahi munkar dalam al-Qur‟an adalah menggunakan metode penelitian komparatif. Metode ini memiliki objek yang sangat luas dan banyak.

Para ahli tafsir tidak berbeda pendapat mengenai metode ini. Dari berbagai literatur dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif ialah:

1) Membandingkan teks ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam satu kasus yang sama atau diduga sama.

2) Membandingkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan hadis Nabi yang pada awalnya, keduanya saling bertentangan.

3) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an.13

13

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 65.


(22)

Secara teoritik, penelitian komparatif bisa mengambil beberapa macam, diantaranya:

1) Perbandingan antara tokoh. Contoh: disertasi yang ditulis oleh Muhammad Chirzin berjudul „Perbandingan Penafsiran Muhammad Abduh dan Sayyid Quthb tentang Jihad dalam al-Qur’an’.

2) Perbandingan antara pemikiran madzhab tertentu dengan yang lain. Contoh: „Konsep Syafa’at dalam al-Qur’an menurut Sunni dan Syi’i: Studi atas Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Mizan’.

3) Perbandingan antar waktu. Contoh: „DinamikaPemikiran Tafsir Indonesia: Studi Perbandingan antara Orde Lama dengan Orde Baru’.

4) Riset perbandingan satu kawasan tertentu dengan kawasan lainnya. Contoh: „Pemikiran Teologi dalam Tafsir: Studi Komparatif antara Produk Tafsir Jawa dengan Sunda’.14

Sedangkan secara teknis ada dua cara yang bisa dilakukan dalam riset perbandingan. Pertama, separated comparative method, yaitu model perbandingan yang cenderung terpisah. Model teknis seperti ini terkesan hanya menyandingkan dan bukan membandingkan, tidak ada analisis yang tajam, sekedar deskriptif dan tidak teranyam dengan baik. Kedua, integrated comparative method, yaitu sebuah cara membandingkan yang lebih bersifat menyatu dan teranyam. Teknis ini akan mengesankan riset yang benar-benar

14

Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press, 2015), 133-134.


(23)

14

membandingkan, bukan menyandingkan. Uraian dan analisisnya tampak lebih dialektik dan komunikatif.15

Secara metodologis, tujuan penelitian komparatif adalah sebagai berikut:

1) Mencari aspek persamaan dan perbedaan.

2) Mencari kelebihan dan kekurangan masing-masing pemikiran tokoh. 3) Mencari sintesa kreatif dari hasil analisis pemikiran kedua tokoh tersebut.16 4. Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa catatan, buku, kitab dan lain sebagainya. Melalui metode dokumentasi, diperoleh data-data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

5. Pengolahan data

a) Editing yaitu memeriksa kembali secara cermat data-data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevansi dan keragamannya.

b) Pengorganisasian data yaitu menyusun dan mensistematikakan data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.

15

Mustaqim, Metode Penelitian, 134. 16


(24)

6. Teknik analisa data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data memakai pendekatan metode deskriptif-analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif-analitis memaparkan data-data yang diperoleh dari kepustakaan.

Dengen metode ini akan dideskripsikan mengenai amar ma‟ruf nahi munkar sehingga dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam dalam menyajikan amar ma‟ruf nahi munkar. Selanjutnya dianalisis dengan melibatkan penafsiran beberapa mufasir.

7. Sumber data

Sumber data yang digunakan sebagai landasan pembahasan dalam penelitian ini mengambil sumber-sumber yang sesuai dan ada hubungannya dengan topik pembahasan serta dapat dipertanggung jawabkan. Adapun sumber-sumbernya sebagai berikut:

a. Sumber primer

1) Tafsi>r al-Mana>r karya Muhammad Abduh.

2) Tafsi>r al-Ibri>z karya Bisri Mustofa. b. Sumber sekunder

1) Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar karya M. Quraish Shihab.

2) Islam and Modernism: A Study of The Modern Reform Movement Inaugurated by Muhamamd Abduh karya Charles C. Adams.

3) Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa karya Achmad Zainal Huda.


(25)

16

4) Rahasia Amar Ma’ruf Nahi Munkar karya al-Ghazali.

5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

6) Qur’anic Society karya M. Ali Nurdin. 7) Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. 8) Tafsir al-Azhar karya Hamka.

9) Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir karya Abdul Mustaqim. 10)Metodologi Penelitian al-Qur’an karya Nashruddin Baidan.

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan pada skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing menempatkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang berhubungan sehingga tidak dapat dipisahkan.

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan. Dalam bab pendahuluan ini tampak penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi pedoman bab kedua, ketiga, keempat dan kelima.

Bab kedua berisi tinjauan umum amar ma‟ruf nahi munkar, yang terdiri dari definisi amar ma‟ruf nahi munkar, keutamaan amar ma‟ruf nahi munkar, hukum amar ma‟ruf nahi munkar, rukun-rukun amar ma‟ruf nahi munkar, dan yang terakhir kaidah-kaidah amar ma‟ruf nahi munkar. Dan berisi tentang biografi


(26)

Muhammad Abduh dan Bisri Mustofa meliputi, riwayat hidup, pengembaraan intelektual baik di bidang akademik, sosial, politik maupun keagamaan dan beberapa karya keduanya yang fenomenal yang dijadikan bahan rujukan dalam pendidikan khusunya di bidang keagamaan. Karya tafsir Muhammad Abduh ialah Tafsi>r al-Mana>r. Karya tafsir Bisri Mustofa adalah Tafsi>r al-Ibri>z.

Bab ketiga berisi penafsiran amar ma‟ruf nahi munkar dalam surat Ali Imron ayat 104, 110 dan 111 dalam Tafsi>r al-Mana>r. karya Muhammad Abduh

dan Tafsi>r al-Ibri>z karya Bisri Mustofa meliputi ayat-ayat tentang amar ma‟ruf

nahi munkar, mufradat ayat, munasabah dan penafsiran perspektif Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh.

Bab keempat berisi tentang analisis persamaan dan perbedaan penafsiran ayat-ayat amar ma‟ruf nahi munkar perspektif Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh. Dalam hal ini nantinya akan difokuskan pada metode dan penerapan amar ma’ruf nahi munkar serta perbedaan penafsiran antara kedua mufasir, khususnya pada yang berhak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar yang mengacu pada konsep amar ma’ruf nahi munkar.


(27)

18

BAB II

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

DAN

BIOGRAFI MUFASIR

A. Definisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Secara etimologi, kata al-amr (

رمأا

) berarti perintah.1 Sedangkan secara terminologi, al-amr adalah suatu tuntunan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.2

Selanjutnya kata al-ma’ruf (

فورعملا

) adalah isim maf‟ul dari fi‟il

-

فرع

فرعي

yang bermakna mengetahui atau mengenal3. Definisi dari al-ma’ruf adalah segala hal yang dianggap atau dinilai baik oleh manusia dalam adat dan muamalah dan mereka mengamalkannya serta tidak mengingkarinya.4 Dan semua kebaikan yang dikenal oleh jiwa manusia dan membuat hatinya tentram.5 Menurut Ibnu Atsir, al-ma’ruf adalah satu nama yang mencakup segala apa yang dikenal berupa ketaatan kepada Allah, pendekatan diri kepada-Nya, berbuat baik kepada manusia, dan segala apa yang disunnahkan oleh syari‟at dari berbagai kebaikan dan apa yang dilarang olehnya dari segala macam kejelekan.6

1

Ahmad Warson Munawwir, Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 38.

2

Khairul Umam, Ushul Fiqh II (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 97.

3

Munawwir, Munawwir, 920.

4

Jawas, Amar Ma’ruf, 33.

5

Ibnu Mundhur, Lisan al-Arab jilid XI (Beirut: Da>r al-S{odir, t.th.), 239.

6


(28)

Kata nahi> secara bahasa berarti melarang atau mencegah.7 Secara terminologi, nahi> merupakan tuntunan untuk meninggalkan secara pasti. Nahi>

dalam al-Qur‟an mengandung beberapa maksud, di antaranya: haram, makruh,

mendidik, doa merendahkan, keputusasaan, penjelasan akibat.8

Secara bahasa, kata munkar (

ركنملا

) berarti aneh, sulit, buruk, tidak dikenal dan juga mengingkari. Secara istilah, munkar adalah segala sesuatu yang dipandang buruk, baik dari norma syari‟at maupun norma akal yang sehat. Kemudian makna ini menjadi lebih luas dalam pandangan syari‟at sebagai segala sesuatu yang melanggar norma-norma agama dan budaya atau adat istiadat suatu masyarakat.9

Tidak diragukan bahwa memberi definisi ma’ruf dan munkar itu merupakan masalah yang luas. Dalam hal ini harus dikemukakan semua apa yang diperbolehkan syara‟ dan mana yang diharamkan, dan menjelaskan sampai sejauh mana kemungkinan menerapkan prinsip ini. Sebab di dalam nash-nash al-Qur‟an dan Sunnah Nabi selalu menggunakan istilah ma‟ruf dan munkar, karena pada keduanya terdapat makna yang mengisyaratkan pada sesuatu yang dikenal sebagai kebaikan dan dikenal sebagai sesuatu yang diingkarinya.10

Dari pengertian di atas, nampaknya amar ma‟ruf nahi munkar merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena kalimat tersebut suatu istilah yang dipakai dalam al-Qur‟an berbagai aspek, sesuai dari sudut mana

7

Munawwir, Munawwir,1471.

8

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), 208.

9

Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an

(Jakarta: Erlangga, 2006), 158.

10

Taufiq Muhammad al-Syawi, Syura bukan Demokrasi (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 80-81.


(29)

20

para ilmuwan menilainya. Oleh karena itu sangat boleh jika pengertiannya cenderung ke arah pemikiran iman, fiqh dan akhlak.11

Jadi, amar ma‟ruf nahi munkar adalah segala sesuatu yang diketahui oleh hati dan jiwa tentram kepadanya, segala sesuatu yang dicintai oleh Allah SWT. Sedangkan nahi munkar adalah yang dibenci oleh jiwa, tidak disukai dan dikenalnya serta sesuatu yang dikenal keburukannya secara syar‟i dan akal.12

Menurut Sayyid Quthb, tugas kaum muslimin yang berpijak di bumi adalah melaksanakan tugas untuk menegakkan manhaj Allah di muka bumi, dan untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, yang ma‟ruf atas yang munkar dan yang baik atas yang buruk. Oleh karena itu haruslah ada segolongan orang atau satu kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar.13

Al-Qur‟an dan Sunnah melalui dakwahnya mengamanatkan nilai-nilai yang mendasar, universal dan abadi dan ada juga yang bersifat praksis, lokal dan temporal sehingga dapat berbeda antara satu tempat atau waktu yang lain. Perbedaan, perubahan dan perkembangan nilai itu dapat diterima oleh Islam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.

Al-Qur‟an mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firman-Nya ini dengan kata: al-khair (

ريخلا

) atau kebajikan dan al-ma’ruf (

فورعملا

). Al-khair

11

Ana Maulida, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Qur‟an” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2005), 12.

12

Salman bin Fahd al-Audah, Urgensi Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terj. Ummu „Udhma

Azmi (Solo: Pustaka Mantiq, t.th.), 13.

13

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, terj. As‟ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani


(30)

adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur‟an dan Sunnah. Sedang al-ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khair. Adapun al-mukar, maka ia adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.14

B. Keutamaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Adapun keutamaan dari adanya pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar di antaranya:

1. Amar ma‟ruf nahi munkar adalah tugas para nabi dan rasul dari yang pertama hingga yang terakhir.

Dikarenakan pengutusan para rasul adalah untuk memerintahkan agar bertauhid dan melarang dari mentaati thaghut, maka sebagian ulama menetapkan bahwa diutusnya para rasul adalah untuk amar ma‟ruf nahi munkar karena perintah mereka untuk bertauhid adalah amar ma‟ruf dan larangan mereka dari mentaati thaghut adalah nahi munkar.

2. Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan sifat dari Nabi Muhammad SAW, sayyidul mursalin, imam para nabi yang terdapat dalam Taurat dan Injil.

Allah SWT berfirman dalam surat al-A’ra>f ayat 157:





























































































14


(31)

22













































157. (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.15

Al-Hafizh ibn Kathir mengatakan, “ ini adalah sifat Rasulullah SAW yang terdapat dalm kitab-kitab (Samawi) terdahulu”.

3. Termasuk kewajiban yang paling penting dalam Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,” Amar ma‟ruf nahi munkar termasuk amal yang paling wajib, paling utama dan paling baik”.

4. Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.

Satu masyarakat akan menjadi baik apabila ditegakkan amar ma‟ruf nahi munkar di dalamnya. Sedangkan satu masyarakat akan binasa dan rusak apabila tidak ditegakkan amar ma‟ruf nahi munkar di dalamnya.

5. Menghidupkan hati.

Di antara keutamaan amar ma‟ruf nahi munkar ialah menghidupkan hati, karena hati yang mengetahui perbuatan yang ma‟ruf lalu ia mengerjakannya dan mengetahui kemungkaran lalu ia mengingkarinya, maka hatinya akan

15


(32)

hidup. Berbeda dengan orang yang hatinya tidak mengetahui perbuatan yang ma‟ruf dan munkar, maka ia akan binasa.

6. Sebagai sebab datangnya pertolongan, kemuliaan dan diberikannya kedudukan (kekuasaan) di bumi.

7. Amar ma‟ruf nahi munkar termasuk shadaqah. 8. Menolak marabahaya.

9. Orang yang mencegah dari perbuatan munkar akan diselamatkan oleh Allah SWT.

10. Amar ma‟ruf nahi munkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih. 11. Amar ma‟ruf nahi munkar adalah ciri generasi terbaik.

12. Amar ma‟ruf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.

13. Sebagai terapi dari semua problematika yang ada di setiap zaman dan setiap negeri.

14. Amar ma‟ruf nahi munkar merupkan di antara sebab dihapuskannya dosa. 15. Amar ma‟ruf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama

-utama amal.16

C. Dalil Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada umat Islam sesuai dengan kemampuannya.17 Dalil wajibnya amar ma‟ruf nahi munkar terdapat di dalam al-Qur‟an, Sunnah serta ijma‟ ulama.

16

Jawas, Amar Ma’ruf, 45-70.

17

Abdullah bin Hasan Muhammad Alu Qa‟ud, Urgensi Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terj. Abu Umar Abdillah asy-Syarief (Solo: Pustaka Arafah, 2004), 38.


(33)

24

1. Dalil dari al-Qur’an:

Allah SWT berfirman dalam surat A<li ‘Imro>n ayat 104:











































104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.18

Umar ibn al-Khattab membaca ayat ini, kemudian berkata,”Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang ingin termasuk umat tersebut hendaklah menunaikan syarat Allah padanya. Syarat tersebut ialah amar ma‟ruf nahi munkar.19

2. Dalil al-Sunnah

Rasulullah SAW bersabda:

ْنَم

،ِِبْلَقِبَف ْعِطَتْسَي ْمَل ْنِإَف ،ِِناَسِلِبَف ْعِطَتْسَي ْمَل ْنِإَف ،ِِدَيِب ُْرِ يَغُ يْلَ ف اًرَكُْم ْمُكِْم ىَأَر

َكِلَذَو

ِناَميِْْا ُفَعْضَأ

Artinya:

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia mampu, maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengn hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

18

Al-Qur‟an dan terjemahannya, 3(A>li ‘Imro>n):104. 19


(34)

3. Dalil dari ijma’ulama

Sedangkan ijma‟ ulama dijelaskan sebagai berikut:

a) Menurut Ibnu Hazm azh-Zhahiri bahwasannya seluruh umat Islam telah sepakat mengenai kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar, tidak ada perselisihan di antara mereka sedikit pun.

b) Abu Bakar al-Jashshah berpendapat bahwa Allah telah menegaskan kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar melalui beberapa ayat di dalam al -Qur‟an lalu di dalam sabda Nabi SAW dalam hadis mutawatir. Dan para ulama terdahulu telah bersepakat atas wajibnya.

c) Menurut Imam al-Nawawi bahwasannya telah banyak dalil-dalil al-Qur‟an dan al-Sunnah serta ijma‟ yang menunjukkan wajibnya amar ma‟ruf nahi munkar.

d) Menurut Imam al-Syaukani, amar ma‟ruf nahi munkar termasuk kewajiban pokok serta rukun terbesar dalam syari‟at Islam, yang dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya.

Tentang wajibnya amar ma‟ruf nahi munkar, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian dari mereka mengatakan wajib „ain dan sebagian yang lainnya mengatakan wajib kifayah.20

20


(35)

26

D. Syarat-syarat Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma‟ruf nahi munkar terdiri dari empat syarat yang harus dimiliki: Pertama, pelaku amar ma‟ruf nahi munkar (al-muhtasib); kedua, yang ditujukan kepadanya amar ma‟ruf nahi munkar (al-muhtasab ‘alaihi); ketiga, perbuatan yang menjadi objek amar ma‟ruf nahi munkar (al-muhtasab fihi); keempat, hakikat amar ma‟ruf nahi munkar itu sendiri (al-ihtisab).

1. Al-Muhtasib (pelaku amar ma’ruf nahi munkar)

Syarat wajib yang ada pada pelaku amar ma‟ruf nahi munkar ialah sebagai berikut:

a) Beriman

Pelaksana amar ma‟ruf nahi munkar haruslah seorang mukmin, mengingat bahwa hal ini termasuk pembelaan terhadap agama.21 Dan ini merupakan syarat yang paling penting bahkan sebagai asas dan pondasinya, karena amar ma‟ruf nahi munkar adalah bagian dari wilayah kekuasaan (otoritas) syari‟at Islam, tidak dibenarkan orang kafir berkuasa atas seorang Muslim.22

b) Mukallaf (baligh/sudah dewasa)

Disyari‟atkannya mukallaf, karena secara umum bahwa hukum-hukum syar‟i diwajibkan atas mukallaf. Ini berkaitan dengan kewajiban, artinya

21

Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, Rahasia Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Menghindari Turunnya Azab Atas Umat, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 2014), 37.

22


(36)

seorang yang bukan mukallaf tidak diwajibkan melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar.23

c) Adanya kemampuan

Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar harus memiliki kemampuan ketika melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, dan manusia hanyalah diberikan beban dan kewajiban sesuai dengan kemampuannya. Keadaan orang yang mencegah kemungkaran disyari‟atkan harus benar-benar mumpuni. Orang yang keadaannya lemah maka tidak kewajiban baginya kecuali mengingkari dengan hati.24

2. Al-Muhtasab fihi (perbuatan yang menjadi objek amar ma’ruf nahi munkar)

Setiap kemungkaran yang ada saat sekarang, tampak bagi yang hendak ber-amar ma‟ruf nahi munkar, tanpa harus mematai-matai dan dikenal secara meluas sebagai kemungkaran, tanpa memerlukan ijtihad. Ada empat syarat dalam hal ini:

a) Kejelasan tentang suatu perbuatan yang termasuk kemungkaran. b) Berlangsungnya perbuatan kemungkaran pada saat sekarang. c) Kemungkaran yang terang-terangan dan yang tersembunyi.

d) Adanya kesepakatan para ulama tentang mungkarnya suatu perbuatan.25

23

Al-Ghazali, Rahasia Amar,36.

24

Al-Ghazali, Rahasia Amar, 71.

25


(37)

28

3. Al-Muhtasab ‘alaihi (pelaku yang ditujukan kepadanya Amar Ma’ruf Nahi Munkar)

Syarat untuk diajukannya amar ma‟ruf nahi munkar ialah adanya seseorang yang memenuhi suatu sifat tertentu, sehingga menjadikan setiap perbuatan terlarang yang dilakukannya, termasuk dalam kategori kemungkaran. Tidak diisyaratkan ia seorang mukallaf, mengingat bahwa seperti yang telah dijelaskan sebelum ini seandainya seorang anak kecil (yang belum baligh) minum khamr, wajib atas yang mengetahui hal itu untuk melarangnya. Tidak diisyaratkan pula ia seorang yang berakal waras, dan karena itu, seandainya seorang gila berzina dengan seorang perempuan gila juga, wajiblah mencegahnya dari perbuatan tersebut.26

4. Al-Ihtisab (bentuk amar ma’ruf nahi munkar)

Tingkatan-tingkatan amar ma‟ruf nahi munkar terdiri dari lima hal, yakni: a) Tingkatan pertama: mengetahui kemungkaran

Yaitu mencurahkan segenap kemampuan untuk mengetahui terjadinya kemungkaran tanpa memata-matai kecuali apabila ia dilarang mengetahui terjadinya kemungkaran di tempat tertentu, maka hendaklah ia berhati-hati dan memeriksanya sebagai usaha untuk memastikan.27

b) Tingkatan kedua: mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya

Ini adalah tingkatan paling tinggi, ia menjadi pedang yang tajam dalam mencegah kemungkaran dan menghilangkan bahayanya. Tidak ada yang

26

Al-Ghazali, Rahasia Amar,114.

27


(38)

mampu melakukan tingkatan ini kecuali orang-orang kuat dan berkemauan keras. Dan tingkatan ini dilakukan kepala rumah tangga dalam rumah tangganya dan pemimpin terhadap rakyatnya.28

c) Tingkatan ketiga: mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya

Tingkatan ini dilakukan apabila mengubah kemungkinan dengan tangan tidak sanggup dilakukan karena tidak adanya kekuasaan atau karena khawatir menimbulkan mafsadat yang lebih besar. Mengubah kemungkaran dengan lisan mempunyai empat tahapan:

1) Memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.

2) Melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat serta menakut-nakutinya dengan azab Allah SWT.

3) Tegas dalam memberikan nasihat. 4) Mengancam dan menakut-nakuti.29

d) Tingkatan keempat: mengingkari kemungkaran dengan hati

Apabila seorang mukmin tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia mengingkarinya dengan hati dan membenci segala perbuatan mungkar dengan hatinya, marah kepadanya dan marah kepada pelakunya. Kewajiban mengingkari kemungkaran dengan hati ini tidak pernah gugur dari diri setiap muslim.30

28

Jawas, Amar Ma’ruf, 180.

29

Ibid., 186-193.

30


(39)

30

e) Tingkatan kelima: mengingkari kemungkaran dengan menggunakan pedang (senjata)

Tingkatan ini merupakan akhir dari tingkatan amar ma‟ruf nahi munkar. Tidak boleh bersandar padanya kecuali setelah mencurahkan segala kemampuan dan kesanggupan dengan tingkatan-tingkatan terdahulu dalam mengubah kemungkaran. Jika tingkatan-tingkatan sebelumnya tidak lagi bermanfaat, maka tingkatan ini dijadikan acuan arena kondisi terpaksa.31

E. Syarat-syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar

1. Syari’at adalah pokok dalam menetapkan amar ma’ruf nahi munkar

Sesungguhnya yang menjadi tolak ukur dalam menentukan sesuatu dapat dikatakan ma‟ruf atau munkar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW dan apa yang menjadi kesepakatan Salafus Shalih dan bukan yang dianggap baik oleh manusia dari perkara-perkara yang menyelisihi syari‟at.32

2. Memiliki ilmu dan bashirah tentang hakikat amar ma’ruf nahi munkar

Perbuatan amar ma‟ruf nahi munkar tidak dapat dikatakan baik apabila tidak didasari dengan ilmu dan pemahaman yang benar, sebagaimana yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz bahwa orang yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya lebih besar daripada maslahatnya. Ilmu adalah imamnya amal dan amal mengikuti ilmu. Ini sangat jelas, karena niat dan perbuatan tanpa ilmu adalah kebodohan, kesesatan, mengikuti hawa nafsu dan inilah perbedaan antara orang-orang Jahiliyah dan kaum Muslim. Dengan

31

Jawas, Amar Ma’ruf, 201.

32


(40)

demikian, wajib mengetahui perbuatan ma‟ruf dan perbuatan munkar serta mampu membedakan keduanya sebagaimana diharuskan pula mengetahui keadaan orang yang disuruh dan orang yang dilarang.33

3. Mendahulukan yang paling penting sebelum yang penting

Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu hendaklah pelaku amar ma‟ruf nahi munkar memulai dengan memperbaiki ushul (pokok-pokok) akidah. Maka pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata dan melarang dari perbuatan syirik, bi‟ah dan khurafat, kemudian ia menyuruh untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan haram, kemudian menyuruh untuk melaksanakan sunnah-sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.34

4. Memikirkan dan menimbang antara maslahat dan mafsadat

Di antara hal yang sangat perlu diperhatikan dalam melakukan amar ma‟ruf nahi munkar ialah melihat dan menimbang antara maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) karena syari‟at ditegakkan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan mafsadat. Kaidah ini dapat diperinci sebagai berikut:

a) Pertama, jika kemaslahatan lebih besar daripada mafsadatnya maka disyari‟atkan melakukan amar ma‟ruf nahi munkar.

33

Jawas, Amar Ma’ruf, 208.

34


(41)

32

b) Kedua, jika mafsadat lebih besar dariada maslahatnya maka diharamkan melakukan amar ma‟ruf nahi munkar.

c) Ketiga, jika mafsadat dan maslahat tampak seimbang, maka amar ma‟ruf nahi munkar tidak disyari‟atkan.

d) Keempat, jika menimbulkan mafsadat yang lebih banyak ketika pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar.35

5. Tathabbut (mencari kepastian dan kebenaran) dalam setiap perkara dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan.

Ini merupakan sifat yang harus dimiliki orang yang melakukan amar ma‟ruf nahi munkar. Allah SWT telah memerintahkan kaum mukmin agar ber-tabayyun (mencari kejelasan) dan bersikap hati-hati sebelum melakukan pengingkaran. Menghukumi sesuatu sebagai kemungkaran dengan tathabbut (meneliti kebenarannya) dan tidak menghukuminya dengan dugaan semata adalah manhaj yang lurus yang sudah seharusnya diperhatikan oleh pelaku amar ma‟ruf nahi munkar sehingga ia selamat dalam agama dan dirinya serta hubungannya dengan orang lain.36

35

Jawas, Amar Ma’ruf, 214-223.

36


(42)

33

BAB III

BIOGRAFI MUFASIR DAN PENAFSIRAN SURAT A<LI

‘IMRA<N AYAT 104, 110 DAN 114

A. Biografi Mufasir

1. Biografi Bisri Mustofa

a) Biografi dan riwayat pendidikan

Nama Bisri Mustofa tidak bisa dilupakan oleh generasi enam puluhan. Bisri Mustofa, orang mengenalnya dengan sebutan Mbah Bisri Rembang, bukan Mbah Bisri Syansuri Jombang atau pendiri NU. Serpihan-serpihan cerita yang masih lekat mengatakan bahwa Bisri Mustofa terkenal sebagai singa podium. Pada pemilu tahun 1977, kedahsyatan orasinya dapat menguras air mata massa dan sekejap kemudian membuka mulut mereka untuk terpingkal-pingkal bersama di depan panggung tempat ia menyampaikan pidato kampanye.1

Bisri Mustofa lahir pada tahun 1915 M di Kampung Sawahan Gg. Palen Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah anak dari pasangan H. Zainal Mustofa dan Chodijah. Mashadi adalah nama asli Bisri Mustofa yang kemudian diganti menjadi Bisri setelah menunaikan haji. Bisri Mustofa

1

Maslukhin, “Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa”,


(43)

34

adalah anak pertama dari empat bersaudara.2 Sejak kecil ia sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan dari orang tuanya, ia memperoleh dasar-dasar pendidikan agama Islam.3

Pada tahun 1923 M, Bisri Mustofa diajak oleh ayahnya untuk menunaikan ibadah haji bersama keluarga. Dalam ibadah haji tersebut, ayahnya sakit keras dan akhirnya meninggal di Jeddah dalam usia 63 tahun. Peristiwa ini membuat kehidupan Bisri Mustofa berbeda jauh dari sebelumnya. Setelah ayahnya wafat, Zuhdi, kakak Bisri Mustofa menjadi kepala keluarga. Dan oleh Zuhdi, Bisri Mustofa didaftarkan di sekolah HIS ( Hollands Inlands School ) di Rembang. Tetapi oleh KH. Cholil, Bisri dipaksa keluar dari sekolah tersebut dengan alasan sekolah tersebut adalah sekolah milik Belanda.4 KH. Cholil khawatir jika Bisri nantinya akan memiliki watak seperti penjajah Belanda. Akhirnya Bisri dipindahkan ke sekolah Angka Loro dan menyelesaikan sekolahnya di sini selama 3 tahun hingga mendapatkan sertifikat.5

Setelah lulus dari Angka Loro pada tahun 1926 M, Bisri Mustofa dipindahkan ke pesentren yang diasuh oleh KH. Cholil di Kasingan. Minat belajar Bisri Mustofa saat itu tergolong rendah. Bahkan Bisri Mustofa dikenal sebagai sosok yang malas belajar dan mengaji di pesantren. Ia lebih menyukai bekerja untuk mencari uang daripada belajar. Setelah tidak

2

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa

(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), 8.

3

Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer

(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), 168.

4

Huda, Mutiara Pesantren, 11.

5


(44)

mondok beberapa bulan, Bisri diperintahkan untuk kembali lagi ke Kasingan untuk belajar mengaji dan mondok. Bisri kemudian dididik oleh ipar KH. Cholil yang bernama Suja‟i. Oleh Suja‟i, Bisri tidak diajarkan bermacam-macam kitab, tetapi hanya diajari kitab Alfiyah Ibnu Malik. Setelah dua tahun mempelajari Alfiyah, akhirnya Bisri Mustofa bisa menguasai dengan baik kitab tersebut. Sehingga teman-temannya selalu menjadikannya rujukan jika menemukan kesulitan dalam pelajaran. Satu tahun kemudian Bisri mulai ikut menkaji kitab Fathul Mu’in. setelah itu ia mulai mempelajari kitab-kitab lainnya, seperti Fathul Wahhab, Iqna’, Jam’ul Jawami’, ‘Uqudal Juman dan lain-lain. Sampai pada akhirnya ia mau menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren KH. Cholil yang akan menjadi bekal paling penting dalam hidupnya.6 Ia juga pernah belajar di Makkah untuk memperdalam ilmunya dan diajar oleh beberapa guru, di antaranya: KH. Bakir, Syaikh Umar Chamdan, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan, Sayyid Alawie dan KH. Abdul Muhaimin.

KH. Cholil dibuat terkesan atas prestasi belajar Bisri Mustofa, sehingga KH. Cholil menjadikan Bisri Mustofa sebagai menantunya. Pada tahun 1935 M/1354 H Bisri Mustofa menikah dengan Ma‟rufah putri KH. Cholil dan dikaruniai delapan orang anak, yaitu Cholil, Mustofa, Adieb, Faridah, Najichah, Labib, Nihayah dan Atikah.7 Pada tahun 1967, tanpa sepengetahuan keluarganya, Bisri Mustofa menikah lagi dengan Umi

6

Fejrian Yazdajird Iwanebel, “Corak Mistis dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa (Telaah

Analitis Tafsir al-Ibriz)”, Rasail Vol. 1 No. 1 (tb: 2014), 25.

7


(45)

36

Atiyah seorang perempuan asal Tegal, Jawa Tengah dan dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Maemun.8

Seminggu sebelum masa kampanye Pemilu tahun 1977, Bisri Mustofa wafat, tepatnya pada hari Rabu, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), Bisri meninggal dunia di RS. Dr. Karyadi Semarang akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi dan gangguan pada paru-paru.9

b) Kondisi Lingkungan Sosial

Ketika Belanda mulai menjajah bangsa Indonesia, perkembangan Islam mengalami tantangan dan halangan. Kontak orang Islam Jawa dengan negara Islam lainnya menjadi terbatas. Politik adu domba menyebabkan bangsa Indonesia menjadi terpecah-pecah. Setelah Belanda berhasil mencengkeram kekuasaan politiknya secara kuat di Jawa, maka Belanda kemudian melancarkan kebijakan politiknya untuk membatasi dan mengawasi gerak dan kiprah secara ketat para pemimpin Islam yang dikhawatirkan akan membahayakan kekuasaan Belanda.10

Kebijakan ini menyebabkan pertumbuhan kelompok-kelompok masyarakat yang betul-betul menghayati agama Islam dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam menjadi terlambat. Aktivitas dakwah dan pusat studi Islam menjadi berpindah ke desa-desa dan daerah pedalaman. Dari sini

8

Huda, Mutiara Pesantren, 22.

9

Ibid., 57.

10


(46)

muncul pesantren-pesantren yang dijadikan basis dakwah dan perjuangan.11

Pada tahun 1912 berdiri banyak pergerakan yang merupakan wadah dan alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti Sarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama serta Partai Nasional Indonesia yang berdiri pada tahun 1927.

Kemudian Jepang mengumumkan perang melawan sekutu pada tahun 1941. Dan pada saat itu pula lahirlah anak pertama Bisri Mustofa yang diberi nama Cholil. Akhirnya, pada tahun 1942 pasukan Belanda menyerah dan takluk pada Dai Nippon (tentara Jepang). Dunia pesantren gempar dan pesantren-pesantren menjadi lengang, sebab para santri pulang ke kampung halaman masing-masing, mereka takut diminta menjadi milisi sukarela memperkuat barisan Belanda untuk menghadapi Jepang. Situasi yang mencekam itu menyebabkan Bisri Mustofa dan keluarganya meninggalkan kota Rembang dan mengungsi ke Sedan sebelum Jepang mendarat.12

Pada tahun 1943, Jepang mengadakan latihan alim ulama di Jakarta selama satu bulan. Angkatan pertama diwakili oleh KH. A. Jalil Kudus. Angkatan kedua diwakili oleh Bisri Mustofa. Sebagai alumi pelatihan tersebut, Bisri Musofa ditugaskan sebagai ketua MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), organisasi Islam di Indonesia yang didirikan

11

Ibid., 3.

12


(47)

38

oleh Jepang dan menjadi penyambung lidah antara pemerintah Jepang dan umat Islam.13

Setelah Indonesia merdeka, tentara sekutu ingin merebut kembali bangsa Indonesia dari tangan Jepang. Belanda menduduki Semarang, Inggris mendarat di Surabaya. Pada saat pergolakan itu terjadi, pemerintah Indonesia menghimpun semua kekuatan pemuda Indonesia untuk bergabung dalam BKR (Barisan Kemerdekaan Rakyat). Di tengah situasi pergolakan tersebut, Bisri Mustofa meminta keluar dari jabatan sebagai pegawai Kantor Urusan Agama (Shumuka) dan lebih memilih berjuang bersama tentara Hizbullah bersama pemuda Indonesia lainnya.14

Demikianlah kondisi lingkungan di sekitar Bisri Mustofa. Terjadi ekspansi yang dilakukan oleh Belanda sebagai antek sekutu. Setelah Belanda ditaklukkan, Indonesia kembali dijajah oleh Jepang. Meskipun beberapa kali diangkat sebagai pegawai pemerintah oleh Jepang, tapi pada akhirnya Bisri Mustofa lebih memilih untuk berjuang melawan penjajah bersama tentara Hizbullah.

c) Karya-karya Bisri Mustofa

Bisri Mustofa adalah sosok yang produktif dalam menghasilkan karya. Setiap hari ia berada di mejanya untuk meluangkan waktu menulis. Jumlah karya yang dihasilkan oleh Bisri Mustofa ada sekitar 176 buah. Salah satunya, Tafsi>r al-Ibri>z adalah karya paling monumental hingga saat

13

Ibid., 28.

14


(48)

ini.15 Karya tafsir ini terbit pada tahun 1960 dengan karakteristik menggunakan bahasa Jawa khas pesantren, terjemahan menggantung di bawah ayat16 dan menggunakan aksara Jawi (Arab Pegon) sebagai media penulisan.17 Selain itu, ada beberapa karya lainnya, di antaranya sebagai berikut:

1) Al-Ikthir / ilmu tafsir

2) Terjemahan kitab Bulughu al-Maram 3) Terjemahan hadist Arba’in al-Nawawi 4) Buku Islam dan Shalat

5) Buku Islam dan Tauhid

6) Akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah 7) Al-Baiquniyah / ilmu hadis

8) Terjemahan Syarah Alfiyah Ibnu Malik 9) Terjemahan Syarah al-Jurumiyah 10) Terjemahan Syarah Imriti

11) Terjemahan Sullamu al-Mu’awanah 12) Safinah al-Shalat

13) Terjemahan kitab Faraidu al-Bahiyah 14) Muniyatul al-Zaman

15) Athoifu al-Irsyad 16) Al-Nabras

15

Ghofur, Mozaik Mufasir, 171.

16

M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), 69.

17


(49)

40

17) Manasik Haji 18) Kasykul

19) Al-Risalah al-Hasanah

20) Al-Washaya li al-Aba wa al-Abna’ 21) Islam dan Keluarga Berencana 22) Khutbah Jum‟at

23) Al-Ta’liqat al-Mufidah li al-Qasidah al-Munfarijah 24) Al-Mujahadah wa al-Riyadhah

25) Risalah al-Ijtihad wa al-Taqlid 26) Al-Khabibah

27) Al-Qawa’idu al-Fiqhiyah 28) Al-‘Aqidah al-Awam 29) Syair-syair Rajabiyah

30) Cara-caranipun Ziyarah lan Sinten Kemawon Walisongo Puniko18

2. Biografi Muhammad Abduh

a) Biografi dan riwayat pendidikan

Dalam sejarah pembaharuan Islam, salah seorang pembaharu penting yang pengaruhnya menyebar hampir ke seluruh dunia Islam ialah Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuannya sampai kini masih tetap

18


(50)

merupakan hal yang menarik untuk dikaji karena masih sesuai dengan tuntutan zaman.19

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khairullah, seorang tokoh reformis Islam, pengarang dan editor, seorang hakim dan profesor di al-Azhar. Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga petani berketurunan Kurdish dan Turki.20 Tempat kelahiran Muhammad Abduh tidak diketahui secara pasti begitu juga dengan tahun kelahirannya. Tahun 1849 M / 1266 H adalah tahun yang paling bisa diterima sebagai tahun kelahiran Muhammad Abduh. Bahkan Abduh sendiri memberikan tanggal tersebut dalam tulisannya, meskipun ia juga pernah menyebutkan setahun lebih awal. Ketika masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha, ayah Muhammad Abduh meninggalkan desanya untuk melarikan diri karena adanya penindasan oleh pemerintah setempat. Ia datang ke provinsi Gharbiyah dan selama di sana ia membangun rumah dan menikah dengan ibunya Abduh kemudian Abduh lahir. Ketika Abduh masih kecil, ia dan keluarganya kembali ke Mahallat Nasr.21

Nama ayahnya adalah Abduh ibn Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Sedangkan ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsanya Umar ibn Khattab. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa bersama dua

19

Ris‟an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2014), 97.

20

Arthur Goldschmidt, Biographical Dictionary of Modern Egypt (London: Lynne Rienner Publishers, 2000), 10.

21

Charles C. Adams, Islam and Modernism: A Study of The Modern Reform Movement Inaugurated by Muhamamd Abduh (Selangor: The American University at Cairo, 1933), 19.


(51)

42

saudara perempuannya dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu dan ayahnya yang tidak mengenal pendidikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.22 Semua saudara Abduh membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh ditugaskan untuk menuntut ilmu. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin karena ia sangat dicintai oleh orang tuanya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar untuk menjenguk Abduh ke desa lain.23

Sejak kecil Muhammad Abduh belajar membaca dan menulis al-Qur‟an. Setelah mahir ia diserahkan kepada seorang guru untuk dilatih menghafal al-Qur‟an selama 2 tahun. Dalam usia 13 tahun Abduh dikirim ke Tanta untuk mempelajari ilmu tajwid di Masjid Syaikh Ahmad. Namun sistem pengajarannya dirasa kurang efisien, sehingga setelah 2 tahun ia kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudaranya. Waktu kembali ke desa, ia dinikahkan.

Walaupun sudah menikah, Abduh dipaksa ayahnya untuk kembali belajar. Namun ia malah lari ke desa Syibral Khit dan bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr yang mampu merubah pandangan Abduh dari yang membenci ilmu menjadi orang yang sangat menggemarinya. Setelah itu Abduh kembali ke Tanta dengan pandangan yang berbeda tentang ilmu pengetahuan. Dari Tanta, Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di

22

Rusli, Pembaharuan Pemikiran, 100.

23

M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 12.


(52)

Azhar, pada tahun 1866. Di perguruan ini, ia sempat berkenalan dengan banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:

1) Syaikh Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat. 2) Muhammad al-Basyuni yang mengajarkan kitab-kitab sastra.24

Pada tahun 1871, Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir. Abduh begitu mengagumi tokoh pembaharu ini, hingga berbagai pertemuan ilmiah yang mendatangkan Afghani selalu dihadirinya. Semangat pembaharu al-Afghani memberinya inspirasi untuk menulis Risa>lah al-‘A<rid}a>t dan Ha>shiah Sharh al-Jala>l al-Diwa>ni li> al-‘Aqa>id al-D{u>d}iyah.25

Setelah lulus dari tingkat Alamiyah, Abduh mengabdi di al-Azhar dan mengajar Mantiq dan ilmu Kalam. Dan pada tahun 1878, Muhammad Abduh diangkat sebagai pengajar Sejarah di sekolah Dar al-„Ulum serta ilmu Bahasa Arab di Madrasah al-Idarah wal Alsun. Dua tahun setelah ia mengajar, ia dituduh terlibat gerakan politik anti pemerintah. Ia diasingkan ke luar kota, setahun kemudian ia diperbolehkan kembali ke Kairo. Pada saat itu juga, ia diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir, al-Waqa’i al-Misriyyat.26

Berselang dua tahun Abduh ikut berperan dalam Revolusi Nasional Urabi Pasya. Lalu ia diasingkan ke Beirut, setelah itu ke Paris. Di Paris ia bertemu dengan al-Afghani. Bersama gurunya, Abduh menerbitkan jurnal

24

Shihab, Studi Kritis, 13.

25

Ghofur, Mozaik Mufasir, 122.

26


(53)

44

pergerakan politik dan keagamaan, al-‘Urwah al-Wuthqa. Empat tahun kemudian ia kembali Mesir dan menjadi hakim di salah satu pengadilan.

Pada tahun 1888, Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Dan beberapa kali Muhammad Abduh dipindahkan dari satu daerah ke daerah lain dengan kedudukan yang sama, sampai pada akhirnya ia ditugaskan di Pengadilan Abidin, Kairo. Kemudian pada tahun 1899 ia diangkat menjadi Mufti Kerajaan Mesir dan juga menjadi anggota Majlis Syura Kerajaan Mesir. Tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Namun universitas ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi Universitas Kairo.27

Pada 11 Juli 1905, pada masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Tak hanya umat Islam yang berduka atas kepergiannya, tetapi tokoh non-Muslim pun ikut berduka.28

b) Kondisi lingkungan sosial

Dalam sejarah, Muhammad Abduh hidup di dalam masyarakat yang beku, kaku dan menutup rapat-rapat pintu ijtihad. Karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud).29 Menurut Abduh,

27

Shihab, Studi Kritis,17.

28

Shihab, Studi Kritis, 17.

29


(54)

sebab kemunduran umat Islam adalah kejumudan yang terdapat di kalangan umat Islam. Dalam kata jumud terkandung pengertian membeku, statis, tidak ada perubahan. Sikap ini menurut Abduh dimasukkan ke dalam Islam oleh orang-orang non-Arab yang ingin merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam.30

Sementara itu, masyarakat Eropa sangat mendewakan akal, khususnya setelah adanya penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan. Ditambah lagi adanya kecaman-kecaman tajam yang dilontarkan oleh orientalis terhadap ajaran Islam. Keadaan masyarakat Eropa tersebut mulai menampakkan benih-benih pengaruhnya di Mesir.31 Hal ini terjadi karena adanya ekspansi yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte di Mesir pada tahun 1798. Masa pendudukan Napoleon hanya selama 3 tahun 6 bulan. Tetapi membawa pengaruh yang sangat luas dan mendalam. Lewat ekspedisi ini, benih-benih pemikiran dan peradaban Barat tertanam dan menyebar di Mesir.32

Pengaruh ini mulai dirasakan Abduh pada saat mendalami ilmu di al-Azhar, lembaga pendidikan yang terbagi menjadi dua kelompok, mayoritas dan minoritas. Kelompok pertama menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihafal, tanpa mengantarkan mereka kepada penelitian, perbandingan dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua menganut pola

30

Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, jilid 4 (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2005), 400.

31

Shihab, Studi Kritis, 17.

32


(55)

46

tajdid (pembaharuan) yang menitikberatkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa. Abduh lebih memilih kelompok minoritas, hal ini disebabkan karena pengaruh Syaikh Darwisy dan Syaikh Basyuni saat berguru pada mereka. Kemudian pertemuannya dengan al-Afghani telah mengubah sikap Abduh ke arah sikap praktis yang menjadikan pemiliknya berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berjuang berdasarkan rasa dan ide-ide yang dimiliki guna menghadapi tantangan dan menanggulangi problem.

Pertemuannya dengan al-Afghani menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk tinggal di Paris, menguasai bahasanya, menghayati kehidupan masyarakatnya, serta komunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu, khususnya Herbert Spencer.33

Walaupun Abduh aktif dalam bidang politik, itu bukan karena keinginan dirinya sendiri, tetapi karena pengaruh dari gurunya, Jamaluddin al-Afghani. Baik ketika di Mesir maupun ketika di Paris. Jalan yang ditempuh Muhammad Abduh dan gurunya sangat berbeda. Al-Afghani menginginkan pembaharuan melalui politik, sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa pembaharuan akan lebih baik jika dilakukan melalui pendidikan. Ketika Muhammad Abduh bersama gurunya berusaha meneruskan penerbitan majalah al-Urwah al-Wuthqah, ia mengajak gurunya untuk meninggalkan aktivitas politiknya dan memusatkan

33


(56)

perhatian pada bidang pendidikan. Ide yang diajukan pada gurunya yaitu mengusulkan mereka berdua pindah ke tempat yang baru, di tempat ini mereka mendidik 10 orang pemuda yang cerdas. Kemudian masing-masing dari 10 orang pemuda itu mendidik 10 orang pemuda lainnya. Maka dalam massa singkat mereka akan memperoleh seratus pemimpin pembaharuan. Ide ini ditolak al-Afghani, akhirnya mereka berpisah dengan jalannya masing-masing.34

Menghadapi keadaan masyarakat yang jumud dan penuh khurafat tersebut, Muhammad Abduh bangkit dengan ide kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an dan Hadis, sebagai ide pemurniannya Abdul Wahab. Di samping itu, ia berpendapat, perlunya memfungsikan akal secara optimal untuk mengkaji ulang pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam sehingga sesuai dengan perkembangan zaman modern. Hasil reinterpretasi tersebut selanjutnya harus disosialisasikan melalui pendidikan. Muhammad Abduh menggunakan pendapat Ibn Taimiyah tentang kategori dalam ajaran Islam. Ajaran Islam mengenai ibadah sudah rinci dan jelas, namun dalam masalah mu‟amalah ajaran Islam bersifat umum, hanya memuat prinsip-prinsip saja. Dari celah-celah ajaran tentang mu‟amalah inilah ajaran Islam dikembangkan sesuai dengan tantangan zaman.35

34

Rusli, Pembaharuan Pemikiran, 107.

35


(57)

48

Inilah garis besar lingkungan dan perjalanan hidup Muhammad Abduh yang mengarahkan pandangannya kepada persoalan-persoalan agama dan masyarakat.

c) Karya-karya Muhammad Abduh

Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir tergolong sedikit jika dibandingkan dengan kemampuan tokoh ini. Karya-karya tersebut adalah:

1) Tafsir Juz ‘Amma, yang menjadi pegangan para guru mengaji di Maroko pada tahun 1321 H.

2) Tafsir Surah Wa al-‘Ashr, karya ini berasal dari kuliah atau pengajian yang disampaikannya di hadapan ulama dan pemuka masyarakat Aljazair.

3) Tafsir ayat-ayat Surah al-Nisa’: 77 dan 87, al-Hajj: 52, 53 dan 54, dan al-Ahzab: 37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan negatif dalam Islam dan Nabinya.

4) Tafsir al-Qur’an al-Hakim yang kini dikenal sebagai Tafsi>r al-Mana>r, bermula dari al-Fatihah sampai dengan Surah al-Nisa‟ ayat 129 yang disampaikan Abduh di Masjid al-Azhar, Kairo sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram 1323 H. Walaupun penafsiran ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Abduh, namun tetap dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis tafsir tersebut selalu menunjukkannya pada Abduh sebelum disebarluaskan, dengan adanya penambahan atau pengurangan


(1)

87

Muhammad Abduh mengatakan bahwa kebaikan itu adalah Islam. Sebab Islam adalah agama Allah yang dipenuhi dengan petunjuk dan cahaya. Muhammad Abduh menyebutkan dalam kitab tafsirnya, al-Manar bahwa tahapan ber-amar ma‟ruf nahi munkar itu dibagi menjadi dua. Dan yang pertama adalah mengajak manusia pada agama Islam. Apabila telah terlaksana, maka amar ma‟ruf nahi munkar dapat dilaksanakan dengan baik. Jadi, keduanya sependapat bahwa arti kata al-khair adalah Islam.

Persamaan ini menurut peneliti dikarenakan Bisri Mustofa, selain menjadikan kitab-kitab tafsir klasik sebagai rujukan, seperti Tafsir Jalalain, Tafsir Marah Labid, Tafsir al-Khozin, Bisri Mustofa ternyata juga sering menelaah kitab-kitab tafsir modern bersama para santrinya, salah satunya adalah kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sehingga -menurut hemat penulis- penafsiran Bisri Mustofa juga dipengaruhi oleh penafsiran yang dilakukan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.


(2)

88

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam pemaparan-pemaparan di atas, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Menurut Bisri Mustofa, kata minkum diartikan sebagai setiap orang. Hal ini dipengaruhi oleh terobosan terbarunya tentang amar ma’ruf nahi munkar dan latar belakang sosial yang pernah berjuang dengan tentara Hizbullah. Sedangkan menurut Abduh, kata minkum diartikan hanya segolongan umat. Sebab tidak sembarang orang mampu berdakwah dan ber-amar ma’ruf nahi munkar. Dan penafsiran kata kuntum, Bisri Mustofa menafsirkannya sebagai umat Islam, sebab membandingkannya dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang tidak beriman. Sedangkan Muhammad Abduh menafsirkannya sebagai umat yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan beriman pada Allah SWT. Sebab amar ma’ruf nahi munkar adalah pagar iman dan penjaganya, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan.

2. Persamaan dari Bisri Mustofa dan Muhammad Abduh adalah ketika mengartikan kata al-khair (kebaikan) sebagai Islam. Karena Islam adalah agama Allah yang penuh dengan kebaikan, petunjuk dan cahaya.


(3)

89

B. Saran

1. Setelah melakukan penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang tafsir. Dan dapat memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat.

2. Penulis berharap akan adanya penelitian lebih lanjut yang menyangkut ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar dari kitab-kitab tafsir karena masih banyak perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, jilid 4. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Adams, Charles C. Islam and Modernism: A Study of The Modern Reform Movement Inaugurated by Muhamamd Abduh. Selangor: The American University at Cairo, 1933.

al-Audah, Salman bin Fahd. Urgensi Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terj. Ummu „Udhma Azmi. Solo: Pustaka Mantiq, t.th.

Badriyah, Nurotul. “Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif Font Pembela Islam”, Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2013).

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Fejrian Yazdajird Iwanebel. “Corak Mistis dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa (Telaah Analitis Tafsir al-Ibriz)”. Rasail. Vol. 1 No. 1. tb: 2014.

al-Ghazali, Al-Imam Abu Hamid. Rahasia Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Menghindari Turunnya Azab Atas Umat, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 2014.

Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013.

Goldschmidt, Arthur. Biographical Dictionary of Modern Egypt. London: Lynne Rienner Publishers, 2000.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2013.

Hamka. Tafsir al-Azhar Juz IV. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004.

Huda, Achmad Zainal. Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011.


(5)

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bogor: Pustaka at-Taqwa, 2013.

al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi Juz 4, terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly. Semarang: CV Toha Putra, 1993.

Maslukhin. “Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa”. Mutawatir. Vol. 5 No. 1. Juni: 2015.

Maulida, Ana. “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Qur‟an”, Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2005).

Munawwir, Ahmad Warson. Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Mundhur, Ibnu. Lisan al-Arab jilid XI. Beirut: Da>r al-S{odir, t.th.

Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press, 2015.

Mustofa, Bisri. Tafsir al-Ibriz. Wonosobo: Lembaga Kajian Strategis Indonesia, 2015.

Nurdin, Ali. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an. Jakarta: Erlangga, 2006.

Qa‟ud, Abdullah bin Hasan Muhammad Alu. Urgensi Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terj. Abu Umar Abdillah asy-Syarief. Solo: Pustaka Arafah, 2004.

Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’an, terj. As‟ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

RI, Departemen Agama. al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, TT.

Rusli, Ris‟an. Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam. Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2014.


(6)

Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Syarifuddin,Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011.

al-Syawi, Taufiq Muhammad. Syura bukan Demokrasi. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Taimiyyah, Ibnu. Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar terj. Abu Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press, 1990.

Umam, Khairul. Ushul Fiqh II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Zuhdi, M. Nurdin. Pasaraya Tafsir Indonesia. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014.