PENGGUNAAN AL-RA'Y OLEH AL-ZAMAKHSHARY DALAM TAFSIR AL-KASHSHAF.

(1)

PENGGUNAAN

AL-

RA’Y OLEH AL-ZAMAKHSHARY

DALAM TAFSIR

AL-KASHSHA<F

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh: NUR AZIZAH NIM. E03212070

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

PENGGUNAAN

AL-

RA’Y OLEH AL-ZAMAKHSHARY

DALAM TAFSIR

AL-KASHSHA<F

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)

Oleh:

NUR AZIZAH NIM. E03212070

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nur Azizah, 2016. Penggunaan al-Ra’y Oleh al-Zamakhshary dalam Tafsir al-Kashsha>f.

Masalah yang diteliti dalam skripsi ini yakni mengenai. 1. Bagaimana penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam tafsir

al-Kashsha>f? 2. Bagaimana konsep al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam tafsir

al-Kashsha>f?.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan al-ra’y

oleh al-Zamakhshary dalam tafsir al-Kashsha>f, yang mana tafsir

al-Kashsha>f sebagai hasil karya seorang Mu’tazilah yang banyak ditentang oleh ulama yang menolak paham tersebut. Akan tetapi dibalik semua itu banyak yang menguji akan kepandaian beliau tentang ilmu bala>ghah dan sastra Arab. Bertolak dari permasalahan ini, maka yang menjadi dasar ilmu dalam skripsi ini adalah menggunakan teori ʽUlu>m al-Qur’a>n.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan berdasarkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, data primer yang digunakan berasal dari penjelasan penafsiran oleh al-Zamakhshary dalam kitab tafsirnya, serta data sekunder yang berasal dari buku-buku ʽUlu>m al-Qur>an yang relevan dengan penelitian ini. Sementara analisis dilakukan dengan mengunakan metode content analisis.

Penelitian ini dilakukan karena ada yang memahami bahwa al-Zamakhshary tampaknya ”kesulitan” melepaskan prokonsepsi pemikiran teologis Mu’tazilah, sebelum dia masuk dalam proses penafsiran. Terbukti, seluruh penafsirannya menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah teologi, dapat dipastikan selalu diarahkan menuju alur pemikiran Mu’tazilah yang rasional itu, dan pada dataran inilah sesungguhnya tafsir al-Kashsha>f menemukan jati dirinya sebagai kitab tafsir kaum Mu’tazilah yang paling lengkap.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Meskipun pemikiran Mu’tazilah dalam tafsirnya banyak tapi itu hanya menyangkut ayat tentang teologi saja, dan ayat-ayat yang tidak berhubungan dengan itu masih banyak. Jadi dapat dijadikan h}ujjah karena tafsir al-Kashsha>f adalah sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan.


(7)

xii

DAFTAR ISI

COVER ... i

COVER DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI. ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian... 8

F. Kajian Pustaka ... 9

G. Metode Penelitian... 11

H. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II TAFSIR BI AL-RA’Y ... 15

A. Pengertian Tafsir bi al-Ra’y ... 15

B. Syarat-syarat Mufasir bi al-Ra’y ... 17

C. Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’y ... 20

D. Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bi al-Ra’y ... 24


(8)

BAB III AL-ZAMAKHSHARY DAN TAFSI<RAL-KASHSHA<F ... 39

A. Biografi al-Zamakhshary ... 39

a. Al-Zamakhshary ... 39

b. Intelektualitas dan Karyanya ... 41

c. Madzhab dan Akidahnya... 42

B. Tafsir al-Kashsha>f ... 42

a. Sejarah Penulisan al-Kashsha>f ... 42

b. Berbagai Tanggapan Atas Tafsi>r al-Kashsha>f ... 45

c. Ciri Khas Tafsi>r al-Kashsha>f ... 48

d. Arah dan Metode Tafsi>r al-Kashsha>f ... 53

e. Contoh Penafsiran al-Zamakhshary ... 56

f. Pola Pemikiran al-Zamakhshary dalam Tafsi>r al-Kashsha>f ... 60

C. Pendapat Ulama Tentang Tafsi>r al-Kashsha>f ... 75

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGGUNAAN AL-RA’Y OLEH AL-ZAMAKHSHARY DALAM TAFSI<R AL-KASHSHA<F ... 78

Analisis ... 78

BAB V PENUTUP ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86


(9)

xiv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah mengalihaksarakan tulisan ke aksara lain; misalnya dari Arab ke aksara latin. Tampilan transliterasi huruf dan madd (tanda bunyi panjang) yang diterapkan pada nama surat dan istilah dalam penelitian ini, yakni:

1. Transliterasi Huruf1

NO. ARAB LATIN NO. ARAB LATIN

1. ا a 16. ط t}

2. B 17. ظ z}

3. ت T 18. ع ‘

4. ث Th 19. غ gh

5. ج J 20. ف f

6. ح h} 21. ق q

7. خ kh 22. k

8. د d 23. ل l

9. ذ Dh 24. m

10. ر R 25. n

11. ز Z 26. و w

12. س S 27. نه h

13. ش Sh 28. ء ’

14. ص s} 29. y

15. ض d} 30.

1

Pedoman Penulisan Makalah, Proposal, Tesis, dan Disertasi Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 13.


(10)

2. Vokal panjang (madd) ditransliterasikan dengan menuliskan huruf vokal disertai coretan horizontal (macron) diatasnya (a>-i>-u>), contoh: h}a>l,d}aʽi>f, mawd}u>ʽ dan sebagainya.

3. Vokal tunggal (monoftong) yang dilambangkan dengan harakat, ditranslitersikan sebagai berikut:

a. Tanda fath}ah ( __ ) dilambangkan dengan huruf- a. b. Tanda kasrah ( ___ ) dilambangkan dengan huruf- i. c. Tanda D}ammah ( ____ ) dilambangkan dengan huruf- u.

4. Vokal rangkap (diftong) yang dilambangkan secara gabungan antara harakat dengan huruf, di-transliterasik-an sebagai berikut :

a. Vokal rangkap (

وا

) dilambangkan dengan huruf au, seperti: Mausu>'ah b. Vokal rangkap

(

ا

) dilambangkan dengan huruf ai, seperti :

Quraibi.

5. Shaddah ditransliterasikan dengan menuliskan huruf yang bertanda shaddah dua kali (dobel) seperti, dhimmi>, jalla dan sebagainya.

6. Alif-Lam (Lam ta’rif) ditransliterasikan sebagaimana aslinya meskipun bergabung dengan huruf shamsiyyah, antara Alif-Lam dan kata benda, dihubungkan dengan tanda penghubung, misalnya, Maududi, Al-Nasa'i, dan sebagainya.

7. Penggunaan pedoman transliterasi ini hanya digunakan untuk istilah, nama pengarang dan judul buku yang berbahasa Arab.

8. Pengejaan nama pengarang dan tokoh yang dikutip dari sumber yang tidak berbahasa Arab disesuaikan dengan nama yang tercantum pada karya yang ditulis dan diterjemahkan.

9. Dalam tulisan ini, istilah Al-Quran mempunyai dua pengertian yang tidak sama. Agar terhindar dari kesalapahaman, maka perlu kami jelaskan menyangkut model penulisan beserta pengertiannya.

a. Al-Qur’a>n (dengan tanda petik setelah huruf r) = kitab suci umat Islam yang sesuai dengan tulisan dalam mus}h}af, dimulai dari surat al-fa>tih}ah dan diakhiri dengan surat al-na>s, dengan ditulis miring. b. Al-Quran (dengan tanpa tanda petik setelah huruf r) = yang di


(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW sebagai

petunjuk, peringatan, dan sumber hukum yang bersifat pokok keterangan sehingga diperlukan usaha pemahaman lebih terperinci

dan mendalam untuk memberikan kemudahan dalam

mengimplementasikan ajarannya di setiap sudut kehidupan. Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat al-Qur’an harus dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufasir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kedudukan tafsir dalam Islam sangat dijunjung tinggi karena melihat objek yang ditafsirnya, yaitu Kitab Allah, al-Qur’a>n al -Kari>m. Merupakan sebuah keagungan bagi mereka yang mampu menyingkap tabir makna al-Qur’an.

Para ulama sepakat, kaitannya dengan pengklasifikasian tafsir al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma’thu>r atau tafsir bi al-riwa>yah, tafsir bi al-ra’y atau tafsir bi al-dira>yah, dan tafsir bi al-iqtira>ny atau

campuran antara nas dan akal pikiran manusia. Dari ketiga macam tafsir yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama tafsir adalah tafsir bi al-ra’y. Banyak terdapat perbedaan pendapat diantara


(12)

2

mereka dalam pembolehan menafsirkan al-Qur’an dengan

menggunakan akal pikiran karena dihawatirkan, menurut mereka yang anti tafsir bi al-ra’y, hanya ditafsirkan secara subjektif untuk mendukung kepentingan pribadi atau kelompok mereka.

Secara historis, penafsiran bi al-ra’y (ijtihad) sudah dimulai sejak zaman Rasulullah. Namun, pada saat itu penafsiran model ini masih berupa riak-riak kecil sebab sahabat masih berselisih pendapat mengenai hal ini.1 Asumsi bermula dari adanya kontroversi di kalangan ulama mengenai seberapa besar porsi ayat al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Nabi Muhammad. Sebagian Ulama di antaranya Ibnu Taymiyyah, menyatakan bahwa Nabi telah menjelaskan seluruh makna al-Qur’an. Namun, sebagian yang lainnya yaitu Khuwaybi> dan al-Suyu>t}i>, berpendapat bahwa beliau hanya menjelaskan sedikit dari makna al-Qur’an. Pendapat ini diperkuat oleh fakta yang terdapat dalam kitab-kitab hadis.2

Para sahabat menggunakan al-ra’y (pikiran) dan ijtihad terhadap ayat al-Qur’an dengan bantuan dari pengetahuan, ras bahasa, adat istiadat bangsa Arab, pengkajian terhadap sebab turunnya suatu ayat, serta sarana pengkajian lainnya.3 Walaupun tidak begitu terkenal, namun penafsiran bi al-ra’y tetap eksis dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan masih menggunakan

1

Hasby al-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 198.

2Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi>,

Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, Ter. Hamim Ilyas (Jakarta: Rajawali, 1986), 4.

3Muh}ammad H{usayn Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, Vol. 1 (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 183.


(13)

3

atau memperlihatkan aturan-aturan yang benar. Kegiatan-kegiatan rasionalitas semacam ini terus berkembang sejalan dengan semakin berkembangnya berbagai macam ilmu pengetahuan, pendapat dan isme. Memasuki abad ke-4 H, di mana kaum muslimin memasuki era kejayaan dalam hal peradaban, kebudayaan, ilmu agama, dan lain sebagainya, tafsir bi al-ra’y mulai terasa. Hal ini diawali dengan

meredupnya penafsiran bi al-ma’thu>r yang ditandai oleh

penghapusan isna>d-isna>d periwayatan.4

Pengutipan tanpa menyebutkan sanad-sanad ini, membuka celah kejahatan atau alienasi dalam tafsir karena sangat dimungkinkan terjadinya manipulasi terhadap tafsir. Apalagi pada masa khalifah Abba>siyah, fanatisme terhadap suatu mazhab sangatlah kuat sehingga setiap kelompok muslim sangat gencar menyebarluaskan ajaran yang dipakai mazhabnya dalam upaya mencari pengikut. Secara umum, kondisi ini mengakibatkan tercampur aduknya berbagai macam ilmu pengetahuan yang berimbas pada pembahasan masing-masing ilmu dengan tafsir. Bahkan eksistensi keorisinilan tafsir semakin terdesak. Pada akhirnya, tafsir mencapai titik di mana aspek aqli> mengalahkan aspek naqli>-nya.

Terdapat fenomena yang menarik dalam masalah ini, di mana kemunculan tafsir bi al-ra’y telah memunculkan polemik di kalangan ulama. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya mufasir yang

4Al-Dhahabi>,


(14)

4

terkontaminasi hawa nafsu dan bidah dalam penafsirannya. Atas dasar inilah maka terdapat ulama yang memperbolehkannya. Namun, tidak sedikit pula yang melarangnya.

Didasarkan oleh kenyataan tersebut, tafsir sebagai salah satu pedoman umat Islam dalam menjalankan ajarannya, perlulah kiranya untuk memberikan kejelasan dan batasan-batasan yang jelas mengenai penafsiran al-Qur’an dengan ra’y, terutama pendapat yang dikemukakan oleh para ulama.

Ulama yang menolak tafsir bi al-ra’y berdasar pada hadis Nabi tentang Larangan Menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Ra’y, yang sudah banyak dibahas pada skripsi-skripsi sebelumnya dan sudah tidak ada perdebatan karena dapat disimpulkan bahwa kualitas keseluruhan hadis tersebut tidak sampai derajat s}ah}i>h}, melainkan h}asan saja,5

dan juga banyak ulama yang membolehkan dengan berdasarkan pada hadis tentang dibolehkannya ijtihad maka ulama yang membolehkan tafsir bi al-ra’y tetap membagi mana yang tergolong tafsir yang tidak masuk pada kategori yang dilarang Nabi, atau yang benar-benar menggunakan nalar atau hawa nafsu semata, yaitu dengan teori ‘Ulu>m al-Qur’a>n tentang tafsir bi al-ra’y yang dibagi menjadi dua bagian yaitu mah}mu>d6 dan madhmu>m7

.

5

Fitroh Fuadi, HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

DENGAN RA’Y; Studi Pemahaman Hadis Nabi ( Jakarta, 2010), 84. 6

Tafsir bi al-ra’y mah}mu>d adalah suatu penafsiran yang berdasar dari al-Qur’an dan dari sunnah Rasul; sedang pelaku (mufassir)-nya adalah seorang pakar dalam bahasa arab, baik gaya bahasanya, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushul-nya. Lihat Fahd bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, Cet 14 (al-Riya>d}: t.p., 2005), 175.

7


(15)

5

Bertolak dari permasalahan di atas, pada skripsi ini akan dibahas tentang teori ‘Ulu>m al-Qur’a>n, yang menjadi dasar ilmu dalam penulisan skripsi ini, yaitu menggunakan teori ‘Ulu>m

al-Qur’a>n tafsir bi al-ra’y.

Perbedaan dengan skripsi-skripsi yang memuat tema sama tentang tafsir bi al-ra’y, banyak yang membahas hadis yang melarang tafsir bi al-ra’y dan pendapat ulama tentang tafsir bi al-ra’y, tanpa meneliti secara seksama kitab-kitab tasfir yang ada. Berangkat dari permasalahan inilah mengapa penulis ingin mengulas tema ini, yaitu tentang Penggunaan Al-Ra’y Dalam Penafsiran

Al-Qur’an.

Untuk membahas skripsi mengenai Penggunaan Al-Ra’y

Dalam Penafsiran Al-Qur’an maka penulis perlu memilih mufasir yang menggunakan bentuk tafsir bi al-ra’y dalam menafsirkan

al-Qur’an. Tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bi al-ra’y dan sangat

terkenal adalah kitab Tafsi>r al-Kashsha>f oleh al-Zamakhshary. Kitab Tafsi>r al-Kashsha>f karya al-Zamakhshary ini diakui oleh para ulama sebagai kitab tafsir yang bernilai tinggi. Ia memiliki beberapa keistemewaan dibandingkan dengan kitan-kitab tafsir lainnya. Keistemewaan tersebut terletak pada pembahasan atau penafsirannya yang mengungkap rahasia-rahasia bala>ghah yang terdapat dalam al-Qur’an.8 Ibn Khaldu>n ketika berbicara tentang tafsir yang menggunakan pendekatan kaidah bahasa i'rab, dan

8Muh}ammad Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Cet 1, Juz II (Bayru>t: Da>r al-Kita>b al-‘Uzla>, 1995), 59.


(16)

6

bala>ghah mengatakan bahwa di antara sekian banyak tafsir yang memuat berbagai macam keilmuan semacam ini al-Kashsha>f-lah yang paling terbaik.9

Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan kesastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashsha>f.10

Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham

Mu’tazilah, karena sering menggunakan al-tamthi>l (perumpamaan)

dan al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang

atau ada ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat

al-Qur’an ke jalur mazhab mereka.11

Ulama dari kalangan non-Mu’tazilah banyak mengecam

tafsir al-Kashsha>f ini. Kecaman itu banyak diarahkan pada akidah

Mu’tazilah yang banyak mewarnai tafsir tersebut, karena ia telah

“menjamah” lafal dan ditariknya kepada makna yang sesuai dengan

akidahnya, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh lbn Taymiyyah. Selanjutnya ia (lbn Taymiyyah) mengatakan, al-Zamakhshary dengan kepandaiannya dalam ilmu bala>ghah telah menyebarkan bidah, sehingga banyak orang mengira tafsirnya itu tidak batil.12

9Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 310.

10S{ubh}i> Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Cet. 10 (Bayru>t: Da>r al- Ilm Li al-Mala>yi>n, 1977), 294.

11Mani>

ʽ ʽ Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Mana>hij al-Mufassiri>n, (Kairo: Da>r al-Kita>b al-Mis}riy, 2000), 106.

12Al-Dhahabi>,


(17)

7

Berangkat dari pemikiran tersebut, skripsi ini ingin

mengangkat tema tentang “PENGGUNAAN AL-RA’Y OLEH

AL-ZAMAKHSHARY DALAM TAFSIR AL-KASHSHA<F”. Dengan

tujuan meneliti penafsiran al-ra’y dari al-Zamakhshary, dalam menjelaskan ayat. Apakah termasuk dalam kategori standar tafsir al-ra’y yang diperbolehkan atau tidak (melampaui batas).

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang timbul terkait dengan penggunaan al-ra’y

dalam penafsiran al-Qur’an dan pengaplikasiannya dalam tafsir al-Kashsha>f meliputi:

1. Apa itu al-ra’y

2. Standar tafsir bi al-ra’y

3. Relasi al-ra’y dengan hadis sebagai penjelas ayat

4. Pro dan kontra penafsiran al-Zamakhshary dalam tafsir al-Kashsha>f

5. Pendapat ulama tentang teologi Mu’tazilah dalam tafsir al-Kashsha>f

6. Penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam kitab tafsirnya (Tafsi>r al-Kashsha>f).


(18)

8

C. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam

tafsir al-Kashsha>f?

2. Bagaimana konsep al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam tafsir al-Kashsha>f?

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk Mengetahui penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary

dalamtafsir al-Kashsha>f!

2. Untuk Mengetahui konsep al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam tafsir al-Kashsha>f!.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir. Agar hasil penelitian ini jelas dan berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.

Adapun kegunaan hasil penelitian ini ada dua yaitu: 1. Kegunaan secara teoretik

Hasil penelitian ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian diharapkan dapat menambah


(19)

9

khazanah pengetahuan ilmu keagamaan khususnya mengenai

al-ra’y dalam penafsiran al-Qur’an. 2. Kegunaan secara praktis

Dapat digunakan sebagai kajian lebih lanjut dalam ilmu tafsir serta menjadi bahan informasi yang bernilai akademis tentang permasalahan yang menyangkut penggunaan al-ra’y

dalam penafsiran al-Qur’an.

F. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi yang lainnya, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang sudah ada atau memiliki kesamaan. Hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat pembahasan ataupun pendekatan yang sama, dengan harapan semoga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.

Berdasarkan pengamatan dan pencarian yang penulis lakukan, ditemukan hanya satu skripsi yang membahas tentang

“Rasionalitas Penafsiran Al-Qur’an (Studi Atas Penggunaan Ra’y Oleh Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib)” yang

ditulis oleh mahasiswa jurusan tafsir hadis Dewi Ariyani pada tahun 2006, yang mana skripsi tersebut menjelaskan tentang penggunaan


(20)

10

Buku literatur ‘Ulu>m al-Qur’a>n seperti Itqa>n Fi> Ulu>m

al-Qur’a>n karya al-Suyu>t}i>, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya al-Zarkashi>, Mana>hil al- Irfa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n karya Zarqa>ni>, al-Tibya>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n karya Muh}ammad Ali> al-S{a>bu>ni>, Dara>sa>t Fi> Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m karya Sulayma>n al-Ru>mi>, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n karya S{ubh}i> S{a>lih} dan Manna> al-Qat}t}a>n dan lain sebagainya, juga banyak menyinggung tentang teori

al-ra’y.

Dalam literatur-literatur yang penulis sebutkan tadi, penulis melihat belum ada pemetaan yang jelas sistematik tentang penempatan kitab tafsir mana yang tergolong mah}mu>d dan madhmu>m. Paling-paling di sana hanya diungkap tentang pembagian tafsir bi al-ra’y, kitab-kitab tafsir terkenal yang tergolong menggunakan ra’y, dan lain sebagainya.

Apa yang hendak penulis lakukan dalam penelitian ini pertama melakukan kajian penafsiran dari mufasir dengan ayat yang sudah ditentukan, kemudian menentukan apakah penafsirannya itu tergolong al-ra’y yang mah}mu>d atau yang madhmu>m.

Berdasarkan telaah pustaka tersebut, penulis menganggap bahwa penelitian ini memiliki nilai kebaruan dan kontribusi pengetahuan (contribution to knowledge) yang cukup signifikan dalam studi-studi al-Qur’an, dan karenanya secara akademik layak untuk dilakukan.


(21)

11

G. Metode Penelitian

Untuk mempermudah pembahasan ini, penulis menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis penelitian adalah library research

(penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.13 Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengelolanya memakai keilmuan tafsir.

2. Sumber Data

Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas, pilihan akan akurasi literatur sangat mendukung untuk memperoleh validitas dan kualitas data, karenanya sumber data yang menjadi obyek penelitian ini adalah:

a) Sumber data primer

1. Tafsi>r al-Kashsha>f oleh Abi> al-Qa>sim Ja>r Allah Mah}mu>d bin Umar al-Zamakhshary al-Khawa>rizmy

b) Sumber data sekunder, yaitu:

1. Al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh al-Suyu>t}i> 2. Al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n oleh al-Zarkashi> 3. Mana>hil al- Irfa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh al-Zarqa>ni>

13

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Yogyakarta: Buku Obor, 2008), 1.


(22)

12

4. Al-Tibya>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh Muh}ammad Ali> al-S{a>bu>ni>

5. Dara>sa>t Fi> Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m oleh Sulayma>n al-Ru>mi>

6. Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh S{ubh}i> al-S{a>lih}

7. Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh Manna> al-Qat}t}a>n.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau cara yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu:

mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus

pembahasan, kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

4. Teknik Analisis Data

Adapun metode analisis data yang penulis gunakan adalah deskriptif-kualitatif. Sedangkan pengertian dari deskriptif adalah

penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan

menginterpretasikan apa yang ada (bisa mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi atau kecenderungan yang tengah berkembang).14 Sedangkan metode kualitatif adalah suatu metode yang berusaha memahami dan menafsirkan makna

14

Sumanto, MA. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), 77.


(23)

13

suatu peristiwa interaksi tingkah laku makhluk/manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.15 Jadi penelitian deskriptif-kualitatif adalah suatu penelitian yang berusaha mendeskripsikan tentang tingkah laku makhluk hidup.

H. Sistematika Pembahasan

Uraian yang terdapat dalam skripsi ini akan disusun dalam lima bab, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kemudian mengarah pada hal-hal yang bersifat khusus. Uraian tersebut dijelaskan dalam sistematika berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua memuat tentang landasan teori. Bab ini akan menjelaskan tentang tafsir bi al-ra’y yang mencakup tentang pengertian tafsir bi al-ra’y, syarat-syarat mufasir bi al-ra’y, sebab timbulnya tafsir bi al-ra’y, perbedaan pendapat ulama tafsir tentang tafsir bi al-ra’y, dan pembagian tafsir bi al-ra’y.

Bab ketiga menguraikan tentang data penelitian, yakni menjelaskan tentang al-Zamakhshary dan tafsir al-Kashsha>f. Bab ini diawali dengan memberikan penjelasan tentang biografi al-Zamakhshary (al-al-Zamakhshary, intelektualitas dan karyanya, dan

15

Husaini Usman dan Purnomo Setiadji Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 81.


(24)

14

madzhab dan akidahnya), kitab tafsir al-Kashsha>f (Sejarah Penulisan al-Kashsha>f, Berbagai Tanggapan atas Tafsir al-Kashsha>f, Ciri khas Tafsir al-Kashsha>f, Arah dan Metode Tafsir al-Kashsha>f, dan Contoh Penafsiran al-Zamakhshary), dan pendapat ulama tentang tafsir al-Kashsha>f.

Bab keempat menjelaskan tentang analisis data. Merupakan analisis terhadap penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam Tafsir al-Kashsha>f.

Bab kelima sebagai penutup, berupa kesimpulan dan saran dari uraian-uraian yang telah dibahas dalam bab sebelumnya.


(25)

15

BAB II

TAFSIR

BI AL-

RA’Y

A. Pengertian Tafsir bi al-Ra’y

Al-ra’y memiliki akar kata dari ra’a>-yara>-ru’yatan. Memiliki kata jamak a>ra>’un atau ar’a>’un yang bisa berarti pendapat, opini berfikir tentang dasar sesuatu (al-fikr), keyakinan (al-itiqa>d), analogi (al-qiya>s), atau ijtihad. Kaitannya dalam bentuk penafsiran al-Qur’an, tafsi>r bi al-ra’y

sering disebut juga dengan istilah tafsi>r bi al-dira>yah, tafsi>r bi al-ma’qu>l, tafsi>r al-‘aqliy, atau tafsi>r al-ijtihādi>.1

Secara istilah bisa didefinisikan bahwa tafsi>r bi al-ra’y adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asba>b al-nuzu>l, al-na>sikh wa al-mansu>kh, dan sebagainya.2

Tafsir bi al-ra’y adalah pendekatan tafsir yang didasarkan atas pemahaman yang mendalam yang didasarkan pada makna lafal al-Qur’an setelah memahami al-madzlu>l dan al-dala>lah pernyataan yang terangkai dalam lafal tersebut.3

Al-Farma>wiy juga agak sama pendapatnya dengan Al-Dzahabi>, bahwa tafsir bi al-ra’y adalah cara menafsirkan al-Qur’an dengan jalan

1

Rosihan Anwar, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 220. 2Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 183. 3Kha>lid Abd al-Rah}man

Al-ʽ Akk, Us}u>l al-Tafsi>r Wa Qawa>ʽ iduh (Beirut: Da>r al-Nafa>’is, 1986), 167.


(26)

16

ijtihad setelah terlebih dahulu mufasir mengetahui metode kosa kata bahasa Arab beserta muatannya.4

Yang dimaksud ijtihad di sini bukanlah seperti ungkapan para ulama us}u>l al-fiqih, akan tetapi upaya mufasir yang bersungguh-sungguh dalam

memahami makna nas al-Qur’an dalam rangka menyingkap lafal dan

madzlu>l-nya. Ijtihad di sini mencakup nas-nas dalam batasan bahasa dan

syara’.5

Menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y (rasio) semata tanpa ada dasarnya hukumnya haram, tidak boleh dilakukan, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Isra>’ ayat 36:6

                               

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.7

Rasulullah SAW juga bersabda:

.

8

4

Rosihan Anwar, ‘Ulum al-Qur’an…, 220. 5

Al-ʽ Akk, Us}u>l al-Tafsi>r Wa Qawa>ʽ iduh…, 177. 6Manna> Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n,

Cet. 7 (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 342.

7

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Mutiara Qalbun Salim, 2010), 285.

8


(27)

17

Telah menceritakan kepada kami Sufya>n bin Waki>‛, telah menceritakan

kepada kami Suwyd bin ʽ Amr wa al-Kalby, telah menceritakan kepada

kami Abu> ʽ Awa>nah ʽ an ʽ Abd al-Aʽ la> ʽ an Saʽ i>d bin Jubyr ʽ an ibn ʽ Abba>s Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Takutlah (berhati-hatilah) mengenai hadis/perkataan ku (tidak lain) hendaknya (engkau sampaikan) dari apa yang engkau ketahui (mempunyai ilmu), maka, siapa yang berkata atas namaku (memalsu hadis) maka silahkan mengambil tempatnya di neraka, dan siapa yang berkata mengenai isi al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri, maka silahkan mengambil tempatnya di neraka" Ini Hadis H{asan.

Sebab itulah golongan salaf keberatan untuk menafsirkan al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.9

Dari beberapa pendapat di atas penulis bisa merumuskan bahwa tafsir bi al-ra’y adalah metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran si mufasir yang sudah memenuhi syarat dan memiliki legitimasi dari para ulama untuk menjadi seorang mufasir, namun penafsirannya harus tetap selaras dengan hukum syariah, tanpa ada pertentangan sama sekali. Pada prinsipnya tafsir bi al-ra’y merupakan produk ijtihad di mana produk yang dihasilkan oleh proses ijtihad tersebut bisa saja tepat atau kurang tepat.

B. Syarat-Syarat Mufasir bi al-Ra’y

Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mufasir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam melakukan tafsir bi al-ra’y, yaitu, sebagai berikut;

a. Mempunyai keyakinan (al-iʽ tiqa>d) yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama (tidak keluar dari pendapat-pendapat salaf; sahabat dan para imam)


(28)

18

b. Tidak menyimpang dari penafsiran golongan khalaf; tabiin dan ulama umat.10

c. Bersandar pada naql Nabi SAW serta menjauhi hadis al-d}aʽ i>f dan al-maud}u>ʽ dan berdasar pada ucapan sahabat.11

d. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufasir, antara lain; ʽ ilm al-lughah, ʽ ilm al-nah}wu, ʽ ilm al-s}araf, al-ishtiqa>q, ‘ilm al

-maʽ a>niy, ʽ ilm al-baya>n, ʽ ilm al-badi>ʽ , ‘ilm al-qira>’at, us}u>l al-di>n, us}u>l al-fiqh, asba>b al-nuzu>l, ʽ ilm al-qas}as}, ‘ilm al-na>sikh wa al-mansu>kh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir mujma>l dan al-mubha>m, serta ‘ilm al-mauhibah.12

Menurut al-Dzahabi>, ada lima perkara yang harus dijauhi oleh seorang mufasir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak termasuk pentafsir bi al-ra’y yang fasid. Lima perkara tersebut adalah;13

a. Menjelaskan maksud Allah SWT dalam al-Qur’an dengan tanpa

memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufasir

b. Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli Allah untuk

mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutasha>biha>t yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah sendiri

c. Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan hawa nafsu dan

kepentingan pribadi

10Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, 344. 11Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n…,

292. 12Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 190-191. 13Ibid.


(29)

19

d. Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab yang fasid, sehingga

faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras untuk mengikuti keinginan madzhabnya

e. Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah kehendak Allah”

terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada dalil yang

mendukungnya.

Syarat-syarat yang harus dijauhi oleh seorang mufasir merupakan acuan untuk mengukur diterima tidaknya sebuah produk (kitab) tafsir

al-Qur’an bi al-ra’y. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut secara tidak

langsung merupakan syarat mendapatkan legitimasi jumhur ulama untuk diakui dan ditetapkan sebagai seorang mufasir, dengan adanya ketentuan-ketentuan di atas hal tersebut menunjukkan sikap kehati-hatian para ulama tafsir agar tidak semua orang dengan mudah menafsirkan al-Qur’an.

Syarat-syarat di atas hanya berlaku untuk orang per seorangan bukan untuk kumpulan orang yang memiliki kemampuan keilmuan yang memadai dalam satu bidang kemudian berkumpul dengan orang yang memiliki kemampuan keilmuan yang berbeda yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat menjadi penafsir dan secara kolektif menafsirkan al-Qur’an. Itu tidak boleh dan tetap tidak bisa diterima produk tafsirnya karena yang dimaksud dengan syarat-syarat di atas hanya ditujukan untuk satu orang saja. Dalam artian, jika seseorang memiliki kemampuan keilmuan seperti yang disebutkan dalam syarat menjadi seorang mufasir maka tafsirnya bisa diakui dan diterima, namun jika secara kolektif mereka menafsirkan al-Qur’an


(30)

20

dengan berbekal kemampuan keilmuan masing-masing untuk memenuhi syarat sebagai penafsir maka itu tidak boleh dan tertolak semua tafsirnya.

C. Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’y

Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara shafa>hiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.14

Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani ʽ Abba>siyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushaf.15

Penafsiran al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsi>r bi al-ma’thu>r. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan al-Qur’an menurut keahlian mereka masing -masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte (golongan) aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah

penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasha>biha>t, untuk menopang paham

14

Rosihan Anwar, ‘Ulum al-Qur’an…, 220. 15


(31)

21

mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil al-Qur’an

sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi> T{a>lib, ‘Abdulla>h

bin Mas‛u>d, dan ‘Abdulla>h bin ‘Abba>s ra..16

Kemudian melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’y, sehingga terjadi pertentangan antara nas al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab Tafsi>r Kashsha>f oleh al-Zamakhshary.

Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan, tafsir bi al-ra’y

mulai berkembang sekitar abad ke-4 H. Corak penafsiran sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing; Kaum fuqaha>’ (ahli fikih) menafsirkannya dari sudut hukum fikih, seperti yang dilakukan oleh al-Jashsha>sh, al-Qurt}ubi>, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis seperti al-Kashshaf karangan al-Zamakhshary; dan

kaum sufi juga menafsirkan al-Qur’an menurut pemahaman dan pengalaman

batin mereka seperti Futuh}a>t al-Makiyyah oleh Ibn ‛Arabi>, dan lain-lain. Pendek kata, corak tafsir bi al-ra’y ini muncul di kalangan ulama-ulama mutaakhiri>n; sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra Arab seperti Tafsi>r Al-Manar; dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawa>hir T{ant}a>wy dengan judul Tafsi>r al-Jawa>hir. Melihat perkembangan tafsir bi al-ra’y yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan Manna>‛ al-Qat}t}a>n bahwa tafsir bi al-ra’y

mengalahkan perkembangan al-ma’thu>r.17

16

Rosihan Anwar, ‘Ulum al-Qur’an…, 221. 17Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n…, 341.


(32)

22

Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi 2, ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya, tetapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafz}y (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan al-ra’y (pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku.18 Penafsiran yang serupa inilah yang diharamkan Ibn Taymiyyah, bahkan Ima>m Ah}mad bin H{anbal menyatakannya sebagai tidak berdasar. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan sunah Rasul serta dengan kaidah-kaidah yang mu‛tabarah (diakui sah) secara bersama.

Adapun hadis-hadis yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih suka diam ketimbang menafsirkan al-Qur’an, sebagaimana dapat dipahami dari ucapan Abu> Bakar bahwa tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang tafsir bi al-ra’y sebab sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyyah: “Mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya) ia harus diam kalau tida tahu, dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya”.19

Pendapat Ibnu Taymiyyah ini ada benarnya karena didukung oleh al-Qur’an antara lain Surat A<li> ‛Imra>n ayat 187:

18Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 188 19


(33)

23                                       

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.20

Dan dipertegas lagi oleh hadis sahih dari Ibn ‛Umar r.a:

21

Barangsiapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu ia diam, maka mulutnya akan dikunci pada hari kiamat dengan kekang dari api neraka.

Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena tidak mau menafsirkannya dan bukan pula karena dilarang menafsirkannya, melainkan karena kesangat hati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut dengan takhmin (perkiraan, spekulasi) dalam menafsirkan al-Qur’an.

Jadi jelaslah, secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui 2 jalur, yaitu al-Ma’thu>r ( melalui riwayat) dan al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).

20

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 75.

21Abu> Abd Allah Muh}ammad bin ʽ Abd Allah al-H{a>kim al-Naysa>bu>ry, Al-Mustadrak ala> al-S{ah}i>h}yn, Juz I (Beirut: Da>r al-Maʽ rifah, 1998), 296.


(34)

24

D. Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bi al-Ra’y

Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bi al-ra’y membagi mereka dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan tafsir bi al-ra’y. Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’y adalah golongan ulama salaf.

Menurut mereka yang tidak membolehkan pada tafsir bi al-ra’y, seorang mufasir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks

al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya

(istinba>t}) didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga jauh dari ruh syariat dan nas-nasnya.22

Al-ra’y semata tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah. Kebanyakan orang yang melakukan

penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut

madzhab batil. Mereka menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabiʽ i>n.

Mereka mengambil dasar firman Allah Surat al-Isra>’ ayat 36:



 



 



Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.23

Dan firman Allah Surat al-Aʽ ra>f ayat 28:

22Abi> al-Fad}l Jala>l al-Di>n Abd al-Rah}ma>n Ibn Abi> Bakr Al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n Fi> Ulu>m

al-Qur’a>n (Madinah: al- Ama>nah al- A<mmah, 1426 H), 222. 23


(35)

25

...





 





Apakah kamu berani menyatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.24

Mereka juga menunjukkan sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ima>m al-Tirmi>dhiy dari Ibn ‘Abba>s,

،

،

25

Telah menceritakan kepada kami Mah}mu>d bin Ghyla>n, telah menceritakan kepada kami Bishr bin al-Sarry, telah menceritakan kepada kami Sufya>n dari ʽ Abd al-Aʽ la> dari Saʽ i>d bin Jubayr dari Ibn

‘Abba>s dia berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Barang siapa

menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka bersiaplah tempatnya

di neraka” Ini hadis H{asan S{ah}i>h}.

Abu> Bakr S{iddi>q pernah berkata:

Bumi manakah yang akan menahanku dan langit mana yang akan meneduhiku jika aku menyatakan tentang al-Qur’an dengan akal pikiranku.26

Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bi al-ra’y. Dengan tingkat kehati-hatian (ikhtiya>t}) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jamu wa al-tafri>q

24

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 153. 25

Al-Tirmidzi>, Sunan al-Tirmidzi>…, 738. 26


(36)

26

(mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan beberapa syarat bagi mufasir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.27

Mereka, para ulama tafsir yang membolehkan, berpijak pada

al-Qur’an sendiri yang mendorong supaya berijtihad dan memikirkan

ayatnya, guna mengetahui hukum-hukum yang ada di balik rangkaian ayat-ayat di dalamnya. Mereka bersandar pada firman Allah Surat S{a>d ayat-ayat 29;









 









Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepada engkau penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal.28

Tentunya jika tafsir bi al-ra’y tidak boleh, maka ijtihad pun tidak boleh sehingga hukum banyak yang terkantung-kantung.

Di antara mereka ada yang menafsirkan al-Qur’an dengan ungkapan -ungkapan yang indah dan menyusupkan ajaran mazhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang. Hal ini antara lain dilakukan oleh al-Zamakhshary dalam Tafsir al-Kashsha>f. Al-Zamakhshary dalam kitabnya menyisipkan paham Mu’tazilah, mazhab yang dianutnya.

Hal serupa juga dilakukan oleh para ahli kalam yang menafsirkan ayat-ayat sifat dengan selera pemahamannya. Golongan ini lebih dekat dengan mazhab Ahl al-Sunnah daripada ke mazhab Mu’tazilah. Namun tatkala mereka membawakan penafsiran yang bertentangan dengan pendapat

27Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 264. 28


(37)

27

sahabat dan tabiin, maka mereka tidak ada bedanya dengan Mu’tazilah dan ahli bidah lainnya.

Terlepas dari problema di atas, al-Dhahabi> dan ‘Alla>mah al-Ra>ghib al-Ashfaha>niy berpendapat bahwa tafsir bi al-ra’y dibolehkan selama sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah serta menjaga syarat-syarat tafsir,29 Begitu pula halnya dengan pendapat Ibn Taimiyah dan al-Zarqa>niy.

Dan terkait dengan kebolehan tafsir bi al-ra’y, kemudian al-Zarqa>niy mengemukakan langkah kerja yang harus ditempuh oleh mereka yang menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir bi al-ra’y ini yaitu:

1. Mengistinbatkan maknanya dari al-Qur’an, hadis, atau perkataan sahabat maupun tabiin.

2. Jika tidak ditemukan, maka mesti berijtihad dengan langkah:

a. Dimulai dari pembahasan terkait lafaz mufrad, yang meliputi s}arf dan isytiqa>q,

b. Mencari makna kalam sesuai susunannya yang terkait dengan ira>b dan bala>ghah,

c. Mendahulukan makna h}aqi>qy dari pada maja>zy, d. Memperhatikan asba>b al-nuzu>l,

e. Menjaga maksud dari siyah} al-kalam,

f. Memperhatikan sa>biq dan la>h}iq, baik dalam satu ayat, maupun antar ayat,

g. Menyesuaikan antara tafsir dengan yang ditafsirkan,

29Al-Dhahabi>,


(38)

28

h. Menyesuaikannya dengan ilmu-ilmu lain yang terkenal, termasuk dengan sejarah bangsa arab waktu ayat itu turun,

i. Menyesuaikannya dengan sejarah Nabi dan yang terakhir mampu

menjelaskan makna dan meng-istinbat-kan hukum darinya.30

E. Pembagian Tafsir bi al-ra’y

1. Tafsir al-Mah}mu>dah

Tafsir al-mah}mu>dah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syariat (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syariat), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslu>b-uslu>bnya dalam memahami nas-nas

al-Qur’an.31

Hukum tafsir bi al-ra’y al-mah}mu>d menafsirkan al-Qur’an

dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat

al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-mah}mu>d atau

tafsir al-mashru>.32

Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-mah}mu>d yang banyak dikenal, antara lain:33

a. Mafa>ti>h} al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy

b. Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l, oleh Al-Baid}a>wy

30Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-ʽ Irfa>n…, 67-68. 31

Muh}ammad ‘Ali> Al-S}a>bu>ni>, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Pakistan: Maktabah al-Bukhra>, 2011), 101-102.

32

Ibid., 102. 33


(39)

29

c. Mada>rik al-Tanzi>l wa H{aqa>’iq al-Ta’wi>l, oleh: Al-Nasafy d. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ny al-Tanzi>l, oleh: Al-Kha>zin e. Al-Bah}r al-Muh}i>t}, oleh: Abu> Hayya>n

f. Al-Tafsi>r al Jala>layn, oleh: Jala>l al-Di>n Al-Mah}alliy dan Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}y

g. Ghara>’ib al-Qur’a>n wa Ragha>’ib al-Furqa>n, oleh: Al-Naysa>bu>riy

h. Al-Sira>j al-Muni>r, oleh: Al Kha>tib Al-Sharbi>niy i. Irsha>d al-‘Aql as-Sali>m, oleh: Abu> al-Sa’u>d j. Ru>h} al-Ma’a>niy, oleh Al-Alu>siy.

Selayang pandang beberapa kitab Tafsir bi al-ra’y

al-mah}mu>d;

a) Mafa>ti>h} al-Ghayb

Tafsir ini adalah karya Muh}ammad bin ‘Umar bin al-H{asan al-Tami>miy al-T{abarista>niy al-Ra>ziy (Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy), terkenal dengan Ibn al-Kha>t}ib al-Sya>fi‛i> al-Faqi>h.34

Dilahirkan di Ray pada tahun 544 H, dan wafat di Harah pada 606 H.35

Dalam penafsirannya beliau menempuh jalan para hukama al-Ilahiya>t, yang tercermin pada dalil-dalil beliau dalam pembahasan-pembahasan tentang Tuhan. Disitu beliau menentang aliran

Mu’tazilah dan aliran-aliran tersesat lainnya dengan alasan-alasan

yang kuat dan bukti-bukti yang nyata. Beliau juga menolak tuduhan-tuduhan dari orang-orang yang ingkar dan menentang agama dengan

34Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n… , 374. 35Al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> ‘Ulu>m


(40)

30

uraian-uraian yang amat jelas. Sungguh tafsir beliau ini merupakan yang terluas dalam membahas ilmu kalam.36

Al-Ra>zy juga seorang ahli dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Beliau juga berbicara soal astronomi, juga tentang langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan tentang manusia. Tujuan utama beliau dalam tafsirnya adalah untuk menolong kebenaran serta mengetengahkan bukti-bukti adanya Allah swt, disamping menentang ulah orang-orang yang tersesat.37

b) Mada>rik al-Tanzi>l wa H{aqa>’iq al-Ta’wi>l

Tafsir ini ditulis oleh ‘Abd Alla>h bin Ah}mad al-Nasafiy.

Wafat tahun 701 H. Tafsir ini dikenal juga dengan tafsir Al-Nasafiy (dinisbahkan pada penulisnya), tafsir ini sebuah tafsir besar, terkenal, mudah dan mendalam. Bila dibandingkan dengan tafsir-tafsir al-ra’y

yang lain lebih ringkas dan sempurna.38

Pengarang kitab Kashf al-Dhanūn mengatakan, “Tafsir ini

adalah kitab sederhana tentang ta’wi>l, namun mencakup seluruh segi ira>b dan qira>’a>t, mencakup segala keindahan ilmu al-badi> dan isya>rat, memuat beberapa pendapat ahl sunnah wa al-jama>ah dan jauh dari kebatilan kelompok-kelompok bidah dan menyesatkan.

Kitab ini tidak panjang lebar, namun juga tidak pendek”.39

36Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 209. 37Al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> ‘Ulu>m

, 179. 38Al-Dhahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 216.

39H{a>jy Khali>fah, Kashf al-Dzanu>n ʽ an Asa>my al-Kutb wa al-Funu>n, Juz II (Beirut-Lebanon: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-ʽ Araby, t.t.) 248.


(41)

31

c) Al-Bah}r al-Muh}i>t}

Pengarang tafsir ini adalah Shaykh Muh}ammad bin Yusu>f bin H{ayya>n al-Andalusy. Wafat tahun 745 H.40

Tafsir ini terdiri dari delapan jilid, yang mana beliau melengkapi beberapa bidang ilmu, meliputi nah}w, s}arraf, bala>ghah, hukum-hukm fiqhiyyah dan lain-lainnya, sehingga dianggap sebagai referensi tafsir. Bahasanya memang mudah. Dinamakan Al-Bah}r al-Muh}i>t}, karena didalamnya memuat banyak ilmu yang bersangkutan dengan materi tafsir.41

Contoh tafsir al-mah}mu>d

Menafsirkan kata al-qalam (م لا) misalnya dalam surat al-ʽ Alaq

ayat 4 dan surat al-Qalam ayat 2. Kata al-qalam oleh para mufasir klasik (salaf), bahkan mufasir kontemporer (khalaf) sekalipun umum diartikan dengan pena. Penafsiran demikian tentu saja tidak salah mengingat alat tulis yang paling tua usianya yang dikenal manusia adalah pena. Tapi untuk penafsiran kata qalamun/al-qalam dengan alat-alat tulis yang lain seperti pensil, pulpen, spidol, mesin ketik, mesin stensil, dan komputer pada zaman sekarang, agaknya juga tidak bisa disalahkan mengingat arti asal dari kata qalamun seperti dapat dilihat dalam berbagai kamus adalah alat yang digunakan untuk menulis. Dan kita tahu bahwa alat-alat tulis itu sendiri banyak jenisnya mulai dari pena, gerip, pensil, pulpen, dan lain-lain; hingga kepada mesin ketik, mesin stensil dan komputer. Jadi lebih tepat memang jika menafsirkan kata al-qalam dengan alat-alat tulis yang

40Al-Dzahabi>,

Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 225-226. 41Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…,


(42)

32

menggambarkan kemajuan dan keluasan wawasan al-Quran tentang ilmu pengetahuan dan teknologi daripada sekedar mengartikannya dengan pena yang bisa jadi hanya menyimbolkan kesederhanaan dunia tulis-menulis di saat-saat alquran mengalami proses penurunannya. Jika pengertian pena untuk kata qalamun/al-qalam ini masih tetap dipertahankan hingga sekarang, maka seolah-olah hanya menggambarkan keterbatasan dan kejumudan dunia tulis menulis yang pada akhirnya

menunjukkan kebekuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.42

2. Tafsir al-madhmu>m

Tafsir al-madhmu>m adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syariah, atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bidahnya yang tersesat,43 seperti kitab tafsir al-Kashsha>f karya al-Zamakhshary.

Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan kesastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashsha>f.44

Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham

Mu’tazilah, karena sering menggunakan al-tamthi>l (perumpamaan) dan

al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali

42

Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 74. 43Al-S}a>bu>ni>, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m…

, 102 44Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…,


(43)

33

Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur

madzhab mereka.45

Sehingga kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana pendapat S{ubh}y al-S{a>lih}, tafsir al-Kashsha>f dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’y yang madhmu>mah.46

Hukum tafsir bi al-ra’y al-madhmu>m adalah haram47 karena menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’ydan ijtihad semata tanpa ada dasar yang s}ah}i>h}. Allah berfirman dalam Surat al-Aʽ ra>f ayat 33:

                                              

Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.48

Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-itiza>ly yang banyak dikenal, antara lain:49

1. Tanzi>h al-Qur’a>n an al-Mat}a>‛in, oleh: Al-Qa>d}y Abd al-Jabba>r bin Ah}mad al-H{amda>ny

2. Ama>ly al-Murtad}a>, oleh: Al-Shari>f al-Murtad}a> ʽ Ali> bin al-Husayn al-Mu>sawa> al-ʽ Ulwa>

45Mah}mu>d, Mana>hij al-Mufassiri>n,

106. 46

Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…, 294. 47Al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> ‘Ulu>m,

176. 48

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 154. 49Al-Dhahabi>,


(44)

34

3. Al-Kashsha>f an H{aqa>iq al-Tanzi>l wa ‛Uyu>n Aqa>wi>l fi> Wuju>h

al-Ta’wi>l, oleh Al-Zamakhshary.

Contoh Tafsir al-Madhmu>m (Surat al-Isra>’ ayat 72)

                   

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).50

Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati (ب لا ع) dengan dalil firman Allah SWT dalam Surat al-H{ajj ayat 46,51

              

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.52

Ada juga dari golongan Mu’tazilah yang sangat keterlaluan

dalam menafsirkan al-Qur’an untuk memenangkan pendapat dan

pemikiran mereka sendiri, seperti terhadap firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa>’ ayat 164,

 ...       50

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 289. 51Al-S}a>bu>ni>, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m…,

103. 52


(45)

35

Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung.53

Menurut pandangan mereka kata kallama (telah berbicara) dalam ayat tersebut bukan berasal dari akar kata kalam (berbicara), melainkan dari akar kata al-jarh (luka). Dengan demikian ayat tersebut bermakna,

“Allah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan”. Penafsiran yang

keterlaluan itu hanya untuk memperkuat aliran mereka.

Adapun secara umum, masing-masing sahabat Nabi dan kebanyakan para Mufassirin pada zaman berikutnya, mereka berpendapat bahwa dalam

al-Qur’an terdapat beberapa ketentuan yang tidak diketahui ta’wilnya

melainkan Allah SWT. Menurut pendapat Ibnu Abbas: al-Qur’an itu mengandung empat segi yang terkandung di dalamnya:

a) Segi halal dan haram. Dalam hal ini tidaklah layak seseorang yang tidak mengetahui tentang halal dan haram

b) Mengenai pengetahuan orang Arab tentang al-Qur’an

c) Mengenai ta’wil yang dapat diketahui oleh orang alim

d) Yang tidak diketahui ta’wilnya oleh manusia selain dari Allah SWT saja

dan seseorang yang berusaha mengetahui tentang ta’wil itu berarti ia telah mendustakan Allah.54

Pihak yang mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat hal-hal

yang tidak mungkin dita’wilkan manusia, bahwa yang dikehendaki di sini

adalah hakikatnya hanya Allah saja yang mengetahuinya, hal ini

53

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 104. 54Ah}mad Al-Shurba>s}y, Qis}s}ah al-Tafsi>r,

Terj. Zufran Rahman, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Jakarta: KALAM MULIA, 1999), 46-47.


(46)

36

dikarenakan masalah ta’wil itu hanya berada di sisi Allah. Namun tidak lagi

terhalang manusia untuk memahami tekstual al-Qur’an menurut

kemampuan, namun Allah yang Maha Mengetahui tentang sesuatu. Atau barangkali pendapat mereka itu yaitu tidak mungkin manusia mampu mengetahui hal-hal yang menjadi rahasia dari Allah SWT, seperti kapan terjadinya kiamat, pengetahuan tentang rahasia ghaib, jenis kelamin janin dalam kandungan dan lain sebagainya.

Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang hakikat (makna)-nya tidak diberitahu oleh Allah SWT kepada siapa pun juga untuk memilikinya baik kepada Malaikat yang dekat dengan Allah maupun kepada nabinya yang diutus oleh Allah kepada umat manusia. Namun mereka percaya dengan landasan Iman terhadap ayat-ayat tersebut yang datang dari Allah

SWT dan tidak dapat diketahui ta’wilnya selain Allah. Adapun yang selain

yang tersebut di atas dari nas-nas al-Qur’an seperti ayat-ayat yang berkenaan dengan akidah muamalah, perundang-undangan, kemasyarakatan dan akhlak, semua itu harus dapat dipahami oleh semua orang dan perlu

kepada tafsir dan ta’wil baik melalui jalan yang telah dijelaskan oleh Nabi

SAW atau jalan melalui jalan yang telah dijelaskan oleh Nabi SAW dan ijtihad para Ulama Salaf atau melalui jalan tadabbur (pemikiran) atau istinbat (kesimpulan yang dilakukan oleh para Mujtahid). Rasulullah SAW tidaklah meninggalkan umatnya sehingga umatnya paham tentang kitab

Allah yang mereka membutuhkan kepada pemahamannya dan

penjelasannya, seperti masalah: prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, kaedah-kaedahnya dan hukum-hukumnya. Mengenai masalah ini Imam al-T{abary


(47)

37

berkata: tentang ta’wil yang harus diketahui semua orang, maka dalam

persoalan demikian telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW kepada para Sahabatnya tentang semua wahyu yang ia terima dari Allah SWT, melalui Malaikat Jibril. Itulah pengertian perintah Allah SWT, melalui Malaikat Jibril. Itulah pengertian perintah Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah yang berstatus sebagai utusan Allah SWT kepada umat manusia, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Nah}l ayat 44:

 ….                  

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada

umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.55

Kita telah mengetahui sebagaimana uraian terdahulu bahwa menafsirkan al-Qur’an itu merupakan hal yang penting dan tugas yang mulia yang perlu dikerjakan dengan kehati-hatian. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan kalam Allah Tuhan yang mengatur semesta Alam. Dikarenakan di dalam al-Qur’an itu terdapat berita-berita dari Allah yang Maha Kuasa, lagi Maha Mulia. Sekalipun ada berita-berita itu dari Allah yang mengatur urusan manusia namun para Ulama salaf mereka merasa takut untuk menafsirkan al-Qur’an.

Seorang penafsir al-Qur’an menghadapi tugas yang berat dan sangat penting yang bersifat ilmiah, hal ini dikarenakan ia menafsirkan al-Qur’an adalah Kitab Allah. Dalam melaksanakan tugas ini dia bukanlah melakukan penafsiran kalam, kata-kata, ucapan makhluk manusia, bukan pula

55


(48)

38

mengemukakan hukum-hukum seperti yang dibuat oleh manusia, akan tetapi ia menafsirkan Kalam Allah SWT.

Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab al-Kashsha>f karya al-Zamakhshary. Hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatik Mu’tazilah, karena itulah ia senantiasa mendatangkan argumentasi-argumentasi untuk membela mazhabnya setiap ia menerangkan ayat-ayat al-Qur’an dari segi bala>ghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum Ahl al-Sunnah dipandang sebagai penyimpangan dan bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Qur’an. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan bala>ghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu dibaca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasanya.

Dalam hal ini, penulis ingin mengulas tentang tafsir al-Kashsha>f karya al-Zamakhshary. Apakah dalam kitabnya al-Zamakhshary banyak

memasukkan pemahamannya tentang Mu’tazilah atau dalam masalah


(49)

39

BAB III

AL-ZAMAKHSHARY DAN TAFSIR

AL-KASHSHA<F

A. Biografi Al-Zamakhshary a. Al-Zamakhshary

Ia adalah Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‛Umar Khawa>rizmy al-Zamakhshary, Ia lahir di Zamakhshar pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, sebuah perkampungan besar di wilayah Khawa>rizm (Turkistan). al-Zamakhshary mulai belajar di negerinya sendiri. Kemudian melanjutkan ke Bukha>ra>, dan belajar sastra kepada Shaykh Mans}u>r Aby Mud}ar. Lalu pergi ke Makkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Ja>r Allah (tetangga Allah). Di sana pula ia menulis tafsirnya, al-Kashsha>f fi> H{aqa>’iq Ghawa>mid} al-Tanzi>l wa Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l. Meninggal dunia pada 538 H, di Jurja>niah Khawa>rizm, setelah kembali dari Makkah. Sebagian orang meratapinya dengan menggubah beberapa bait syair, antara lain; “Bumi Makkah pun meneteskan air mata dari kelopak matanya, karena sedih ditinggal Mahmu>d Ja>r Allah”.1

Sejak usia remaja, al-Zamakshary sudah pergi merantau yaitu menuntut ilmu pengetahuan ke Bukha>ra> yangmana pada saat itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, ia merasa terpanggil untuk pulang sehubungan dengan dipenjarakannya ayahnya oleh pihak penguasa dan

1Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…, 375.


(50)

40

kemudian wafat. Al-Zamakshary masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulama terkenal di Khawa>rizm, yaitu Abu> Mud}ar (w. 508 H). Berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan Abu> Mud}ar, ia berhasil menjadi murid yang terbaik, menguasai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.2

Al-Zamakashary dikenal sebagai orang yang berambisi memperoleh kebutuhan dipemerintahan. Setelah merasa tidak berhasil dan kecewa melihat orang-orang yang dari segi ilmu dan akhlak lebih rendah dari dirinya diberi jabatan-jabatan yang tinggi oleh penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormatinya, yaitu Abu> Mud}ar. Keadaan itu memaksanya untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta pujian dari kalangan pejabat pemerintahan Abu> al-Fath} bin al-H{usayn al-Ardasta>ni dan kemudian menjadi sekertaris (ka>tib), tetapi karena tidak puas dengan jabatan tersebut, ia pergi ke pusat pemerintahan daulah Bani Saljuk yakni kota Isfahan.3

Ada dua kemungkinan mengapa al-Zamakshary selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Pertama, karena ia bukan saja dari ahli bahasa dan sastra arab saja, akan tetapi juga seorang Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebar luaskan pahamnya dan ini akan membawa dampak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. Kedua,

2

Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijagai, 2004), 45.

3 Ibid.


(51)

41

karena kurang didukung jasmaninya, yaitu memiliki cacat fisik, kehilangan satu kakinya.4

Al-Zamakshary melanjutkan perjalannnya ke Baghdad. Di sini ia mengikuti pengajian hadis oleh Abu> al-Khat}t}a>b al-Batr Abi> sai>dah al-Syafany, Abi> Mans}u>r al-H{a>risy dan mengikuti pengajian fiqih oleh ahli fiqih Hanafi, al-damagha>ny al-Shari>f bin al-Shaja>ry.5

b. Intelektualitas dan Karyanya

Al-Zamakhshary termasuk salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, maa>ny dan baya>n. Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nah}w dan bala>ghah, tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab al-Zamakhshary sebagai hujjah. Misalnya; menurut al-Zamakhshary dalam al-Kashsha>f, atau dalam Asa>s al-Bala>ghah. Ia adalah orang yang memiliki pendapat dan argumentasi sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti pendapat orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya dan diikuti orang lain. Ia mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, tafsir, nah}w, bahasa, maa>ny, dan lain-lain.6

Di antara karyanya: a. Al-Kashsha>f (tentang tafsir) b. Al-Fa>’iq (tentang tafsir hadits) c. Al-Minha>j (tentang ushul) 4

Dosen Tafsir Hadis, Studi Kitab Tafsir…, 45. 5

Abd. Kholid, Kuliah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2007), 63.

6Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…, 376.


(52)

42

d. Al-Mufashshal (tentang ilmu nahwu) e. Asa>s al-Bala>ghah (tentang bahasa)

f. Ru’u>s al-Masa>’il al-Fiqhiyah (tentang fikih).7 c. Mazhab dan Akidahnya

Al-Zamakhshary bermazhab fikih H{anafy dan penganut teologi

Mu’tazilah. Ia mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan mazhab dan teologinya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli. Ia menyebut kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil.8

B. Kitab Tafsir Al-Kashsha>f

Sebagaimana telah dikemukakan, tafsir al-Kashsha>f merupakan salah satu karya al-Zamakhshary yang paling berharga dan dibanggakan baginya. Sedang bagi generasi berikutnya, tafsir Kashsha>f karya al-Zamakhshary, meruapakan kitab tafsir yang terkenal dan sangat monumental, karena nilai sastranya yang tinggi.

a. Sejarah Penulisan al-Kashsha>f

Kitab tafsir ini berjudul al-Kashsha>f ʽ an H{aqa>iq al-tanzi>l

‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l bermula dari permintaan suatu

kelompok yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah.

Kelompok yang dimaksud di sini adalah kolompok Mu’tazilah. Dalam

muqoddimah tafsir al-Kashsha>f disebutkan sebagai berikut: ...mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya

7Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…, 376. 8


(53)

43

supaya mengungkapkan hakikat makna al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.9

Kitab al-Kashsha>f adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufasir bi al-ra’y yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alu>si, Abu Su’u>d al-Nasafy dan para mufasir lainnya banyak menukil dari kitab tersebut tetapi

tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya

itu telah diungkapkan dan telah diteliti oleh ‘Allamah Ah}mad

an-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya Intisa>f. Dalam kitab ini al-Nayyir menyerang al-Zamkhshary dengan mendiskusikan masalah akidah mazhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan

pandangan yang berlawananan dengannya sebagaimana ia

mendiskusikan masalah kebahasaan.10

Dalam teologi, dia penganut paham Mu’tazilah. Dalam bidang fikih bermazhab H{anafy. Untuk mendukung “Mu’tazilaisme”-nya, ia menyusun kitab tafsirnya yang besar itu. Di samping itu kitab tersebut

sebagai bukti akan kecerdasan, dan kepakarannya. Dalam

pembelaannya terhadap mazhab itu, Ia mampu mengungkap isyarat-isyarat ayat secara dalam dan jauh. Hal itu dilakukan dalam rangka menghadapi lawan-lawan polemiknya. Tetapi dalam aspek kebahasaan ia berjasa menyingkap keindahan al-Qur’an dan daya tarik bala>ghah-nya, yang demikian karena ia mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu bala>ghah, ilmu baya>n, sastra, nah}w dan tas}ri>f. Sebab itulah

9

Dosen Tafsir Hadis, Studi Kitab Tafsir…, 48. 10Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…,


(1)

85

menemukan jati dirinya sebagai kitab tafsir kaum mu’tazilah yang

dinilai paling lengkap.

2. Dalam hal penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, penggunaan akal dan analisa rasional-filosofis yang dilakukan al-Zamakhshary, pada dasarnya mencerminkan sisi rasionalitas penafsirannya dalam tafsir

al-Kashsha>f, dalam rangka memperkuat pemikiran rasionalitas-filosofis tersebut, al-Zamakhshary menempuh beberapa konsep penafsiran, di mana antara satu dengan yang lain membentuk suatu jalinan yang erat.

Pertama, interpretasi semantik dengan mempertimbangkan kedudukannya dalam keseluruhan susunan redaksi suatu teks al-Qur’an. Untuk mendukung konsep penafsiran ini, kadang-kadang al-Zamakhshary mempergunakan analogi bahasa dan interpretasi psikologis berdasarkan keseluruhan susunan redaksi teks al-Qur’an,

Kedua, tamthil yang diperluas dengan memperkenalkan pemahaman

spekulatif berupa penggambaran makna kebahasaan. Ketiga, men ta’wi>l-kan makna tekstual suatu teks al-Qur’an kepada makna lain yang dikandungnya. Dalam hal ini, al-Zamakhshary terlebih dahulu membedakan antara ayat-ayat muh}kamat dan ayat-ayat mutasha>biha>t

dengan mengacu pada akar pemikiran Mu’tazilah. Di mana ayat al

-Qur’an yang menopang pemikirannya ditetapkan sebagai muh}kam, sedangkan ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan pemikirannya ditetapkan sebagai mutasha>bih, inilah yang kemudian menuntut dilakukannya pentakwilan makna untuk dibawa kepada makna lain yang dianggap benar. Keempat, mengingkari kebenaran pendapat yang tidak


(2)

86

sesuai dengan pemikiran rasionalnya, terutama yang berkaitan dengan

lima prinsip ajaran Mu’tazilah, yaitu al-Tauh}i>d, al-`Adl, al-Wa’d wa al-Wai’d, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan Amar Makruf dan Nahi

munkar.

Seluruh konsep penafsiran yang mewarnai rasionalitas tafsir al-Kashsha>f tersebut, dalam implementasinya dilakukan dengan memadukan kemampuan al-Zamakhashary yang sangat baik dan mampu dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Pada dataran inilah yang kemudian menjadikan tafsir al-Kashsha>f memiliki nilai tinggi dan berbeda dengan tafsir-tafsir lain yang pernah ada, serta menjadi rujukan bagi para mufasir yang datang sepeninggalnya. Oleh karena itu, tidak heran jika tafsir al-Kashsha>f tersebut, walaupun ditulis oleh seorang Mu’tazily, banyak dijadikan rujukan oleh beberapa cendekiawan muslim.

B. Saran

Demikianlah beberapa catatan yang dapat dikemukakan dan barangkali perlu mendapat perhatian semua pihak, khususnya peminat kajian tafsir al-Qur’an. Agar diperoleh wawasan baru yang lebih segar dan lebih komprehensif dalam kajian tafsir, yang selanjutnya diharapkan akan tumbuh sikap kritis-argumentatif serta kreatif-analisis dalam rangka menjawab tuntutan dan tantangan masyarakat yang terus berubah dan berkembang.


(3)

87

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT segala puji dipersembahkan, karena disadari bahwa semua usaha ini tidak akan berhasil jika tidak mendapat tawfi>q, hida>yah, dan ina>yah-Nya. Dengan mengharap ridha-Nya, hanya kepada-Nya semua amal usaha ini dikembalikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-ʽ Adawi>, Ibra>him Muh}ammad. Rashi>d Rid}a>: al-Ima>m al-Mujtahid. Kairo: Maktabah Mis}r, 1964.

Al-ʽ Akk, Kha>lid Abd al-Rah}man. Us}u>l al-Tafsi>r Wa Qawa>ʽ iduh. Beirut:

Da>r al-Nafa>’is, 1986.

Anwar, Rosihan.‘Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Al-Bukha>ry, Aby ʽAbd Allah Muh}ammad bin Isma>ʽi>l. S{ah}i>h} al-Bukha>ry, Cet. 1. Damashq-Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 2002.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: Mutiara Qalbun Salim, 2010.

Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta.

Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijagai, 2004.

Al-Dzahabi>, M. H{usayn Tafsi>r Al-Mufassiru>n, Vol. 1. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.

. Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, Ter. Hamim Ilyas. Jakarta: Rajawali, 1986.

Fuadi, Fitroh. HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

DENGAN RA’Y; Studi Pemahaman Hadis Nabi. Jakarta, 2010.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutik, Cet. I. Jakarta: Paramadina, 1996.

Husaini Usman dan Purnomo Setiadji Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.


(5)

Al-Khawa>rizmy, Abi> al-Qa>sim Ja>r Allah Mah}mu>d bin ʽ Umar

al-Zamkhshary. Tafsi>r al-Kashsha>f ʽ an H{aqa>’iq al-Tanzi>l wa ʽ Uyu>n li Aqawi>l fi> Wuju>h Ta’wi>l, Cet 3. Beirut-Lebanon: Da>r al-Maʽ rifah, 2009.

Khali>fah, H{a>jy. Kashf al-Dzanu>n ʽ an Asa>my al-Kutb wa al-Funu>n, Juz II.

Beirut-Lebanon: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-ʽ Araby, t.t..

Khalla>f, ‘Abd Al-Wahha>b. ‘Ilm Us}u>l al-Fiqih. Kairo: Maktabah al-Da‘wah

al-Isla>miyah, t.t..

Kholid, Abd. Kuliah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir. IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2007.

Mah}mu>d, Mani>ʽ ʽ Abd al-H{ali>m. Mana>hij Mufassiri>n. Kairo: Da>r al-Kita>b al-Mis}riy, 2000.

Nasution, Harun. Muhammad ʽ Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press, 1987.

Al-Naysa>bu>ry, Abu> Abd Allah Muh}ammad bin ʽ Abd Allah al-H{a>kim.

Al-Mustadrak ala> al-S{ah}i>h}yn, Juz I. Beirut: Da>r al-Maʽ rifah, 1998.

Al-Qat}t}a>n, Manna> . Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Cet. 7. Kairo: Maktabah

Wahbah, t.t..

Al-Ru>mi>, Fahd bin ‘Abd al-Rah}ma>n. Dara>sa>t Fi> Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, Cet 14. Al-Riya>d}: t.p., 2005.

Al-S}a>bu>ni>, Muh}ammad ‘Ali.> Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Pakistan:

Maktabah al-Bushra>, 2011.

Al-Shiddieqi, Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.


(6)

Al-S{a>lih}, S{ubh}i.> Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Cet. 10. Bayru>t: Da>r al- Ilm

Li al-Mala>yi>n, 1977.

Al-Suyu>t}i>, Abi> al-Fad}l Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Abi> Bakr. Al-Itqa>n

Fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Madinah: al- Ama>nah al- A<mmah, 1426 H.

Setiawan, Wawan. “Metodologi Tafsir Abd Karim al-Khatib: Kajian atas Tafsirul Qur’an li Qur’an”, OASE, 9. Januari-Maret, 1996.

Shihab, M. Quraisy. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1995.

Al-Shurba>s}y, Ah}mad. Qis}s}ah al-Tafsi>r, Terj. Zufran Rahman, Studi Tentang

Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Jakarta:

KALAM MULIA, 1999.

Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu Alquran 2. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Sumanto, MA. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset, 1995.

Taymiyyah, Ibn. Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r. t.k.: t.p., 1972.

Al-Tirmidzi>, Muh}ammad bin ʽ I>sa> bin Saurah. Sunan al-Tirmidzi>. Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 2005.

Al-Zarkashi>, Badr al-Di>n Muh}ammad bin Abd Allah. Al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Tura>th, t.t..

Al-Zarqa>ni>, Muh}ammad Abd al-‘Az}i>m. Mana>hil Irfa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Cet 1. Bayru>t: Da>r al-Kita>b al- Uzla>, 1995.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Yogyakarta: Buku Obor, 2008.