BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths - Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil-Transmitted Helminths

  Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Terdapat empat jenis STH yang paling sering ditemukan, yaitu cacing gelang (Ascaris

  

lumbricoides ), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang atau

hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Serra, 2011).

2.1.1 Cacing gelang (A. lumbricoides)

  Cacing gelang merupakan cacing yang hidup dan tersebar di daerah tropis dan sub tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. Cacing gelang dewasa habitatnya terdapat di usus halus manusia dan stadium larvanya mengalami migrasi ke paru-paru. Cacing dewasa berbentuk silindris memanjang berwarna krem keputihan dengan panjang dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm, dan cacing jantan 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan, paling lama bisa lebih dari 24 bulan. Cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup selama bertahun-tahun (Pacifico, 2001).

  Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur yang infektif (mengandung larva cacing) dalam waktu 2-3 minggu. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut, di dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan masuk ke vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva cacing menuju bronki, trakea, dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Dua bulan sejak infeksi (tertelan telur yang infektif), seekor cacing betina mulai mampu bertelur (Soedarto, 2008).

Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

2.1.2 Cacing cambuk (T. trichiura)

  Cacing dewasa berbentuk cambuk, dengan bagian anterior yang merupakan tiga perlima panjang tubuh berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan dua perlima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk. Cacing jantan panjangnya sekitar 4 cm, dengan bagian ekor melengkung ke arah ventral, mempunyai satu spikulum yang terselubung refraktil. Cacing betina panjangnya 5 cm dengan bagian caudal membulat tumpul seperti koma. Telur berwarna coklat mirip biji melon, berukuran sekitar 50x25 mikron, mempunyai dua kutub jernih yang menonjol (Pacifico, 2001).

  Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur yang infektif sesudah telur mengalami pematangan di tanah dalam waktu 2-3 minggu. Di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa melekat pada mukosa usus halus terutama di daerah sekum dan kolon dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (Serra, 2011).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Trichuris trichiura

2.1.3 Cacing tambang (A.duodenale dan N.americanus)

  Cacing dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing betina panjangnya 9-13 mm dan cacing jantan panjangnya 5-11 mm, mempunyai bursa kopulatriks di ujung posterior tubuhnya. Morfologi telurnya mirip antara satu spesies dengan lainnya. Telur berbentuk lonjong tidak berwarna, berukuran 65x40 mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar, dan berisi embrio (Soedarto, 2008).

  Dalam siklus iklus hidupnya cacing tambang mempunyai dua dua stadium larva, yaitu larva rhabdit habditiform (tidak infektif), bentuk tubuhnya agak ak gemuk dengan panjang sekitar 250 250 mikron, dan larva filariform (infektif)

  f) yang berbentuk . langsing dengan p n panjang tubuhnya sekitar 600 mikron Tel elur yang keluar bersama tinja pende enderita, dalam waktu 2 hari akan tumbuh di buh di tanah menjadi larva rhabditiform orm . Sesudah berganti kulit sebanyak 2 kali, da , dalam waktu satu minggu akan berk berkembang menjadi larva filariform. Larva f a filariform dapat tahan di tanah se selama 7-8 minggu. Jika larva filariform m menembus kulit manusia, memasuki suki pembuluh darah dan limfe, beredar di dala dalam aliran darah, masuk ke dalam jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapi piler paru. Larva menembus dinding nding kapiler masuk ke dalam alveoli, kemudi udian migrasi ke bronki, trakea, lari aring, dan faring, akhirnya tertelan masuk ke ke esofagus. Larva

  

filariform A.duode .duodenale jika tertelan juga dapat menyebabka babkan infeksi. Di

esofagus larva be berganti kulit untuk yang ketiga kalinya nya. Migrasi ini

  berlangsung sekita kitar 10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus usus halus, berganti kulit untuk yang ke keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing ng dewasa. Dalam waktu satu bulan ca n cacing betina sudah mampu bertelur (Pacifico, 2001 co, 2001).

Gambar 2.3. Siklus Hidup Cacing Tambang Ga

2.2 Epidemiologi

  Cacing STH tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan di negara berkembang. Intensitas infeksi merupakan indeks epidemiologi yang menggambarkan infeksi STH, karena morbiditas dan penularan cacing ini berhubungan langsung dengan jumlah cacing di dalam tubuh manusia. Intensitas infeksi terbesar didapatkan pada anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah. Hal ini karena anak-anak tersebut terpapar dengan banyak faktor resiko. Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan tingginya infeksi STH adalah kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing, fasilitas jamban yang belum memadai, higiene pribadi yang buruk, rendahnya tingkat pendidikan, status sosial ekonomi yang lemah (Serra, 2011).

2.2.1 Kondisi Geografis

  Kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing STH meliputi iklim dan kondisi tanah (Suriptiastuti, 2006).

  a. Iklim

  Faktor iklim yang terdiri dari temperatur, curah hujan, cahaya matahari, dan angin, merupakan faktor utama dari penyebaran infeksi STH. Temperatur sangat penting untuk cacing ini melanjutkan siklus hidupnya, setiap jenis cacing mempunyai temperatur optimum yang berbeda. Untuk perkembangan telur A. lumbricoides memerlukan temperatur 20 C-25

  C, T. trichiura memerlukan temperatur 30 C, dan cacing tambang antara 28 C-32

  C. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Cahaya matahari berperan dalam memberikan panas, terutama terhadap telur dan larva yang ada pada permukaan tanah. Angin berperan dalam mempercepat proses pengeringan dan penyebaran telur-telur cacing yang infektif melalui debu (Serra, 2011).

  b. Tanah

  Jenis tanah merupakan faktor yang mempengaruhi epidemiologi STH yang berperan sebagai penunjang perkembangan dan penyebaran cacing, yaitu terdiri dari pasir, lumpur, dan tanah liat. Ketiga jenis tanah ini dibedakan berdasarkan diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang diperlukan untuk membuatnya lembab. Untuk perkembangan telurnya, A. lumbricoides dan T. trichiura memerlukan tanah yang liat, lembab, dan terlindung dari cahaya matahari. Kondisi tanah yang paling sesuai dan menguntungkan bagi pertumbuhan larva cacing tambang adalah tanah berpasir, gembur, berhumus dan terlindung dari cahaya matahari langsung, karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Karakteristik lainnya dari ketiga jenis tanah yang juga menguntungkan pertumbuhan dan perkembangan telur cacing adalah berat jenis masing-masing jenis tanah, pasir memiliki berat jenis paling besar dibandingkan dengan lumpur dan tanah liat dan pasir akan tenggelam di air, oleh karena itu pasir ditemukan didasar sungai. Lumpur memiliki berat jenis sama dengan air, maka lumpur akan melayang- layang di air, sedangkan tanah liat memiliki berat jenis lebih kecil daripada air dan tanah liat terdapat di lapisan atas air sungai. Berat jenis telur A.

  

lumbricoides dan T. trichiura sama dengan berat jenis air, oleh karena itu

  apabila telur-telur cacing tersebut jatuh ke dalam sungai akan bersama-sama dengan lumpur dan keadaan seperti itu akan melindungi telur-telur tersebut dari sinar matahari. Jenis tanah pasir akan sangat menguntungkan telur cacing tambang, sedangkan jenis tanah lumpur sangat menguntungkan telur

  

A.lumbricoides dan T. Trichiura. Kelembaban merupakan faktor penting untuk

mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban rendah maka telur A.

lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik, dan larva

  cacing tambang akan cepat mati. Kelembaban tanah tergantung pada besarnya curah hujan (Suriptiastuti, 2006).

  Pencemaran tanah oleh STH ditandai dengan adanya telur/larva STH pada tanah permukaan. Dengan indikasi tanah tersebut telah tercemar oleh kotoran manusia yang terinfeksi STH. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan jamban keluarga. Di daerah endemis cacing, pencemaran tanah oleh STH umumnya meliputi telur A.lumbricoides dan telur T.trichiura, dan larva cacing tambang. Lingkungan rumah tangga yang berpotensi tercemar telur STH meliputi bagian dalam rumah (dapur, ruang keluarga, kamar mandi), teras atau halaman, kebun, tempat mencuci, area pembuangan limbah, sekitar jamban, di bawah pohon, jalan kecil/gang, dan lapangan yang berumput. Singkatnya tempat-tempat dimana manusia biasanya berkumpul dan tempat dimana manusia buang air besar akan berpotensi tinggi tercemar (Gyoten, 2010).

  Tanah yang tercemar telur/larva STH dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki, juga melalui debu yang terbawa angin. Tanah pekarangan rumah maupun sekolah yang tercemar telur/larva cacing akan menjadi sumber penularan infeksi STH terutama pada anak-anak karena anak usia sekolah memiliki frekuensi bermain yang relatif tinggi baik di sekolah, di rumah, dan di kebun. Anak-anak dipedesaan lazimnya bermain bersama-sama. Perilaku bermain anak-anak sering tidak bisa dilepaskan dari terjadinya kontak dengan tanah (Ziegelbauer, 2012).

  Terdapat hubungan yang konsisten antara infeksi dan pencemaran tanah pada askariasis dan trichuriasis, sehingga pemeriksaan telur A.lumbricoides dan T.trichiura akan bermanfaat untuk memprediksi infeksi ini pada anggota keluarga. Hubungan antara rasio pencemaran tanah oleh telur STH dengan prevalensi kecacingan adalah signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan tingkat pencemaran tanah oleh telur STH merupakan refleksi status infeksi cacing pada masyarakat (Gyoten, 2010).

2.2.2 Fasilitas Jamban Yang Belum Memadai Fasilitas jamban dapat mengurangi setengah resiko terinfeksi oleh STH.

  Ziegelbauer (2012) menemukan bahwa ketersediaan dan penggunaan jamban berhubungan signifikan terhadap pencegahan infeksi STH yaitu odds ratio (OR) = 0,51 (95% CI= 0,44–0,61). Dibandingkan dengan orang tanpa akses ke jamban, kesempatan terinfeksi STH orang-orang yang memiliki akses ke jamban adalah 0,49. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan orang-orang yang menggunakan jamban lebih kecil untuk terinfeksi parasit cacing. Penyediaan sarana pembuangan tinja masyarakat tidaklah mudah, karena menyangkut peran serta masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya dengan perilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Pembuangan tinja perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan satu bahan buangan yang banyak mendatangkan masalah dalam bidang kesehatan dan sebagai media bibit penyakit. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta estetika. Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia yang lazim disebut kakus atau WC. Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Tujuan program JAGA (jamban keluarga) yaitu tidak membuang tinja ditempat terbuka melainkan membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga. Penggunaan jamban yang baik adalah kotoran yang masuk hendaknya disiram dengan air yang cukup, hal ini selalu dikerjakan sehabis buang air besar sehingga kotoran tidak tampak lagi. Secara periodik, leher angsa dan lantai jamban digunakan dan dipelihara dengan baik, sedangkan pada jamban cemplung lubang harus selalu ditutup jika jamban tidak digunakan lagi agar tidak kemasukan benda-benda lain. Umar (2006) menyatakan bahwa perilaku buang air besar tidak di jamban menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing yang dapat menginfeksi anak- anak karena menelan tanah yang tercemar telur cacing atau melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing.

2.2.3 Higiene Pribadi Yang Buruk

  Higiene perorangan atau usaha kesehatan pribadi merupakan upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri, yang meliputi: memelihara kebersihan, makanan yang sehat, cara hidup yang teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari terjadinya penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat, dan pemeriksaan kesehatan (Entjang, 2001). Menurut WHO (2008) higiene adalah merupakan praktek atau tindakan untuk menjaga diri dan lingkungan seseorang agar tetap bersih dan bebas dari resiko infeksi. Ada banyak praktek higiene yang dapat membantu mencegah penyakit, salah satunya yang terbukti efektif dan efisien di negara berkembang adalah cuci tangan pakai sabun.

  Ada beberapa aspek higiene pribadi yang berhubungan dengan infeksi STH seperti mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar, buang air besar di jamban, kebersihan kuku, dan memakai alas kaki.

  Mencuci tangan menggunakan air dan sabun memiliki peran yang penting dalam pencegahan infeksi STH. Tangan adalah merupakan vektor yang dapat membawa agan penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau makanan yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur cacing (WHO, 2008). Mencuci tangan dengan air saja lebih umum dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan dibandingkan dengan mencuci tangan dengan sabun. Penggunaan sabun menjadi efektif karena meningkatkan waktu kontak kedua tangan, memfasilitasi gesekan, dan memecah lemak dan kotoran sehingga lemak dan kotoran yang menempel akan terlepas saat tangan digosok dan bergesekan pada waktu mencuci tangan. Di dalam lemak dan kotoran yang menempel di tangan inilah kuman penyakit hidup. Transmisi STH dapat dicegah dengan mencuci tangan dengan sabun oleh karena dapat memindahkan secara mekanis debu, tanah, atau kotoran yang mengandung telur cacing dari tangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara mencuci tangan pakai sabun biasa dengan mencuci tangan pakai sabun anti septik. Hal ini karena patogen lepas dari tangan oleh sabun dan air, bukan karena aktifitas antiseptik yang mematikan kuman (Luby, 2005).

  Pada anak-anak infeksi sering terjadi melalui tangan yang tercemar telur yang infektif karena anak-anak suka memasukkan jari-jari ke dalam mulut, atau makan tanpa mencuci tangan. Transmisi STH pada manusia melalui tangan atau kuku jari yang kotor mengandung telur cacing (Sofiana, 2011).

  Manusia yang terinfeksi STH akan mengeluarkan telur cacing bersama fesesnya sehingga di daerah dimana masyarakatnya lazim buang air besar di tempat terbuka seperti di sungai, selokan air, di bawah pohon dan di sekitar rumah pada anak-anak, maka akan mencemari lingkungan dan pada kondisi yang sesuai telur cacing tersebut akan berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi terjadi bila tertelan telur yang infektif melalui makanan atau minuman, seperti makan sayur mentah yang tidak dicuci bersih, tidak mencuci tangan setelah memegang tanah yang tercemar telur cacing, atau pada infeksi cacing tambang terjadi saat larva filariform menembus kulit manusia yang tidak memakai alas kaki (Ziegelbauer, 2012).

  2.2.4 Rendahnya Tingkat Pendidikan

  Pendidikan orang tua terutama ibu adalah faktor penting yang mempengaruhi infeksi parasit usus pada anak-anak. Ibu yang berpendidikan akan lebih peduli atau memperhatikan pentingnya sanitasi dan kebersihan, sehingga bisa menerapkan higiene yang baik pada anak-anaknya yang berdampak pada menurunnya prevalensi infeksi parasit usus. Anak-anak yang dibesarkan ibu dengan pendidikan minimal SMA memiliki prevalensi parasit usus lebih rendah (17,1%) dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan atau berpendidikan lebih rendah (59,8%) (Chaudry, 2004).

  2.2.5 Status Sosial Ekonomi

  Status sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor resiko infeksi parasit usus. Dampak status sosial ekonomi yang rendah terhadap resiko penyakit infeksi secara umum, dimana infeksi parasit merupakan bagiannya adalah kompleks dan berkontribusi dengan beberapa faktor lain seperti minimnya fasilitas air bersih, higiene lingkungan yang buruk, rendahnya akses pendidikan dan kondisi tempat tinggal yang padat (Mehraj, 2008).

2.3 Gejala klinik

  Gejala klinik dari infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta kronik akibat dari cacing dewasa berada di saluran pencernaan (Bethony, 2006).

2.3.1 Migrasi larva

  Migrasi larva STH dapat menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilalui. Larva ascaris yang melalui paru-paru dapat menimbulkan reaksi hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat menyebabkan gejala seperti asma, misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik granuloma pada jaringan paru yang dikenal dengan sindrom Loffler’s, dan hipersensitifitas lokal menyebabkan peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar, dan eksudat serosa. Larva yang mati saat migrasi menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Larva filariform cacing tambang saat penetrasi menembus kulit menyebabkan perubahan pada kulit seperti pruritus dan eritema yang disebut Ground itch. Bila larva cacing tambang masuk secara oral dapat mengakibatkan nausea, muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas, dan suara serak (Bethony, 2006).

2.3.2 Parasit di intestinal

  Manifestasi klinik akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal umumnya terjadi bila intensitas infeksinya sedang dan berat, dengan intensitas infeksi yang paling tinggi pada anak-anak (Suriptiastuti, 2006).

  Cacing dewasa A.lumbricoides dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan rasa sakit, juga dapat membentuk bolus yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal. Juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorpsi vitamin A, dan menghisap karbohidrat dan protein yang berpengaruh pada gangguan nutrisi dan pertumbuhan. Migrasi cacing dewasa dari duodenum ke saluran empedu bisa menyebabkan kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, abses hepar, migrasi ke saluran appendiks menyebabkan appendiksitis (Soedarto, 2008).

  Cacing cambuk dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan pada jaringan usus sehingga sering terjadi infeksi sekunder dengan parasit usus lainnya seperti Entamoeba histolityca, Shigella. Pada infeksi berat akan timbul gejala berupa anemia, diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah, berat badan menurun, kadang terjadi prolaps rectum. Kelainan akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah yang disebabkan invasi ke mukosa dan sub mukosa usus halus. Hal ini menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi, daya kognitif yang menurun, dan malnutrisi protein (Bethony, 2006).

  2.4 Diagnosa

  Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur, atau larva, atau cacing dewasa dalam feses (Soedarto, 2008)

  2.5 Pencegahan dan pemberantasan

  Secara garis besar dapat dilakukan dengan tiga intervensi untuk mengendalikan infeksi STH, yaitu pemberian obat antelmintik, sanitasi dan pendidikan kesehatan (Serra, 2011). Tujuan pemberian obat antelmintik adalah mengurangi kesakitan dengan menurunkan gangguan akibat infeksi STH dan memutuskan rantai penularan. Pemberian obat berulang kali secara teratur dengan interval tertentu pada kelompok resiko tinggi mampu menurunkan angka kesakitan dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Anak usia pra sekolah (1-5 tahun) dan anak usia sekolah (5-15 tahun) merupakan kelompok resiko tinggi untuk menderita infeksi STH dengan intensitas yang tinggi. Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole, mebendazole, levamisole, atau

  

pyrantel pamoate (Kappagoda, 2011). Sanitasi atau fasilitas jamban bertujuan

  untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan infeksi STH, tetapi agar efektif harus mencakup populasi yang luas dan memerlukan waktu bertahun-tahun serta memerlukan biaya yang tidak sedikit (Serra, 2011) . Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Dengan pendidikan kesehatan diharapkan dapat mengurangi kontaminasi STH dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar tidak di jamban, pengobatan secara teratur tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi STH, hal ini karena setelah keberhasilan pengobatan akan terjadi lagi reinfeksi (Ziegelbauer, 2012).

2.6 Kerangka Konsep Higiene Perorangan

  Cuci tangan sebelum makan CTPS sebelum makan Cuci tangan setelah main tanah CTPS setelah main tanah

  Infeksi STH

  Main di tanah Memakai alas kaki Makan jajanan/makanan waktu main di tanah Menghisap jari/gigit kuku Kuku pendek dan bersih BAB di wc

  Keterangan: CTPS : Cuci tangan pakai sabun BAB : Buang air besar

Dokumen yang terkait

Strategi Mekanisme Koping Orangtua yang Memiliki Anak dengan Retardas Mental di Sekolah Luar Biasa (SLB) E Negeri Kecamatan Sei Agul Medan

0 0 28

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Strategi Mekanisme Koping Orangtua yang Memiliki Anak dengan Retardas Mental di Sekolah Luar Biasa (SLB) E Negeri Kecamatan Sei Agul Medan

0 0 17

2. Setelah selesai pengobatan obat cacing selama 3 hari, maka pemeriksaan tinja akan dilakukan pada hari ke-7. 14, 21 dan 28. Pemeriksaan tinja - Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 Dan 3 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiura Pada

0 1 28

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura - Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 Dan 3 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiura Pada Anak SDN 102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 10

Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 1 52

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja - Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Defenisi - Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Pre-hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kerasaan Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 17

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Pre-hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kerasaan Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 15

Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

0 20 20