BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Benalu Kakao (Dendropthoe pentandra (L.) Miq.) - Uji Skrining Fitokimia, Aktivitas Antioksidan Dan Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat Dan N-Heksana Daun Benalu Kakao(Dendrophthoe Pentandra (L.) Miq.)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Benalu Kakao (Dendropthoe pentandra (L.) Miq.)

  Benalu merupakan tanaman unik, satu sisi benalu merupakan parasit bagi inang tempat tumbuhnya, tetapi disisi lain benalu merupakan tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Keunikan lain dari benalu adalah benalu yang sama dapat tumbuh pada inang yang berbeda. Begitu pula sebaliknya, benalu dengan spesies yang berbeda juga dapat tumbuh pada spesies inang yang sama (Soejono, 1995).

  Benalu ada yang dapat hidup dengan baik di daerah bercurah hujan sedikit, maupun di daerah bercurah hujan banyak. Selain itu, ada pula benalu yang dapat hidup di daerah berbulan basah sedikit maupun di daerah yang memiliki bulan basah banyak. Selain di benua Eropa, benalu juga telah ditemukan di Indonesia antara laindi Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Salah satu contoh tumbuhan benalu yang ditemukan antara lain benalu kakao (Pitojo, 1996).

  Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. merupakan benalu yang dapat tumbuh

  diberbagai inang yaitu pada inang lobi-lobi, mangga, nangka, jambu air dan juga cokelat (kakao). Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. merupakan salah satu jenis benalu yang digunakan sebagai tanaman obat tradisional yang tersebar luas di Indonesia. Perbedaan inang benalu diperkirakan menghasilkan metabolit sekunder yang berbeda, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat inang dari tanaman apa yang mempunyai khasiat paling baik dalam mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan khususnya pada bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus,

  

Bacillus cereus, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (Nasution et al,

2008).

  Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. digunakan untuk mengobati flu, batuk,

  diare, luka, borok, sakit pinggang, rematik, memperlancar aliran darah, antialergi, antikanker dan antitumor. Bagian tumbuhan benalu yang sering digunakan sebagai obat yaitu daun atau seluruh bagian tumbuhan dalam keadaan segar atau setelah dikeringkan (Anita et al, 2014). Adapun klasifikasi ilmiah benalu kakao

  Kingdom : Plantae Divisio : Mognoliophyta Classis : Mognoliopsida Sub Classis : Rosidae Ordo : Santalales Familia : Loranthaceae Genus : Scurrula Species : Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.

2.2 Senyawa Metabolit

  Senyawa metabolit adalah senyawa yang digolongkan berdasarkan biogenesisnya, artinya berdasarkan sumber bahan baku dan jalur biosintesisnya. Terdapat 2 jenis metabolit yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer (polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat merupakan penyusun utama makhluk hidup, sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies lain. Misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks dan feromon (Rustaman, 2006). Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan langkah awal yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari bahan alam yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau prototipe obat beraktivitas tertentu (Rasyid, 2012). Identifikasi ini merupakan uji fitokimia. Metode yang dilakukan merupakan metode uji berdasarkan (Harborne, 1987) yang telah dimodifikasi. Uji yang dilakukan antara lain uji flavonoid, senyawa fenolik, alkaloid, saponin, tanin dan terpenoid.

  Senyawa kimia sebagai hasil metabolit sekunder atau metabolit sekunder telah banyak digunakan sebagai zat warna, racun, aroma makanan, obat-obatan dan sebagainya serta sangat banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional sehingga diperlukan penelitian tentang penggunaan tumbuhan berkhasiat dan mengetahui senyawa kimia yang berfungsi sebagai obat. Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid, saponin dan tanin (Lenny, 2006).

2.2.1 Alkaloida

  Alkaloida adalah kelompok beragam dari berat molekul yang rendah, nitrogen yang mengandung komponen-komponen yang sebagian besar berasal dari asam-asam amino. Alkaloida merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Alkaloida pada umumnya mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida pada umumnya juga mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloida sering dimanfaatkan sebagai pengobatan. Secara kimia, alkaloida merupakan suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne, 1987).

  Struktur dari alkaloid beranekaragam, dari mulai alkaloid berstrukur sederhana sampai yang rumit. Banyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa sebaiknya ditinjau dari segi biosintesis sebagai terpenoid termodifikasi, misalnya solanin, alkaloid-alkaloid kentang dan Solanum tuberosum. Banyak sekali alkaloid yang khas pada suatu tumbuhan atau beberapa tumbuhan sekerabat, sehingga nama alkaloid sering diturunkan dari sumber tumbuhan penghasilnya. Misalnya alkaloid atropa atau alkaloid tropana, dan sebagainya (Rustaman, 2006).

  Akaloid tanaman diturunkan saat ini digunakan secara klinis termasuk analgesik, agen anti-neoplastik, relaksan otot, antivirus, sitotoksik, antinosiseptik, antikolinergik, antiinflamasi dan aktivitas pengikatan DNA dan beberapa dari alkaloid juga telah digunakan dalam pengobatan penyakit, miastenia gravis dan miopati (Seifu, D et al, 2002). Alkaloid dikelompokkan atas 3 bagian sebagai berikut : a.

   Elemen yang mengandung N terlibat pada pembentukan alkaloid

  Lebih dari dua puluh asama amino yang sering ditemukan sebagai elemen N dari alkaloid, antara lain: prolina, histidina, fenilalanina, tirosin (= hidroksi fenilalanina) dan triptofan. Asam amino alifatik termasuk lisin, juga termasuk pada pembentukan alkaloid.

b. Elemen tanpa N

  Pada umumnya terdapat kemiripan elemen tanpa N dari alkaloid senyawa kimia tanaman tanpa N seperti inti C1 (gugus metil), inti C2 (elemen asetat), inti C5 (isoprena, kebanyakan sebagai dimer “monoterpenoida”) dan senyawa aromatik tipe fenilpropana (tipe asam sinamat benzoat C6-C1). Dua pengamatan memerlukan uraian khusus, yaitu pertama, suatu jenis hubungan antara elemen tanpa N dan elemen dengan N dari alkaloid, kemudian variasi khusus komponen monoterpenoida pada keluarga alkaloid tertentu.

  c.

  

Reaksi yang mungkin memegang peranan penting pada biosintesis

alkaloid

  Sangat sedikit yang sudah diketahui tentang mekanisme yang tepat untuk mengikatkan elemen-elemen menjadi alkaloida menggunakan enzim. Pengamatan pembanding suatu alkaloida dalam pembentukannya, demikian pula analogi reaksi-reaksinya yang penting dalam metabolisme primer tanaman, memberikan dugaan yang masuk akal, tentang jenis reaksi yang dapat mengaitkan elemen sederhana menjadi alkaloid yang rumit (Sirait, 2006).

2.2.2 Flavonoida

  Flavonoida adalah kelompok polifenol yang secara luas didistribusikan ke seluruh bagian kerajaan tumbuhan. Flavonoid memiliki banyak toksisitas rendah pada mamalia. Flavonoid menunjukkan beberapa efek biologis seperti anti- inflamasi, anti-hepatotoksik dan anti-ulkus. Flavonoid juga menghambat enzim seperrti reduktase aldosa dan oksidasi xantin. Banyak memiliki aktivitas antivirus dan beberapa dari flavonoid memiliki perlindungan terhadap mortalitas kardiovaskular. Flavonoid telah terbukti menghambat pertumbuhan berbagai jalur sel kanker in vitro dan mengurangi perkembangan tumor pada hewan percobaan (Seifu, D, et all, 2002).

  Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C

  15 terdiri atas dua inti

  fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki karateristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo, 1996). Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoida berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne, 1987).

  Flavonoida pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995). Adapun fungsi flavonoida dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulat pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi bekerja sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait, 2007).

  Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase. Flavonoid lain menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, balik

  

transkriptase , DNA polimerase dan lipooksigenase . Penghambatan

lipooksigenase dapat menimbulkan pengaruh lebih luas karena lipooksigenase

  merupakan langkah pertama pada jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan. Memang, karena flavonoid sering merupakan senyawa pereduksi yang baik, mereka menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun nonenzim. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida dan dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak (Robinson. 1995).

2.2.3 Terpenoid

  Bentuk terpen diubah ke molekul hidrokarbon, sedangkan terpenoid mengacu pada terpen yang telah dimodifikasi, misalnya dengan penambahan oksigen. Terpen atau isoprenoidnya adalah salah satu kelas yang paling beragam dari metabolit sekunder yang berperan fungsional pada berbagai tanaman seperti hormon (giberelin, asam absisat), pigmen-pigmen fotosintesis (pitol, karetonoid), pembawa elektron (ubikuinon, plastokuinon), mediator perakitan polisakarida

  (polifrenil fosfat), dan komponen struktural membran (pitosterol) (Seifu, D, et al, 2002).

  Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid ditemui tidak saja pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprena, CH

  2 =C(CH 3 )-CH=CH 2 ,

  kerangka terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprena (C5). Terpenoid yang disebut juga isoprenoid, diklasifikasikan atas jumlah unit isoprena yang membangunnya, dengan demikian ada yang terdiri atas dua (C10), tiga (C

  15 ), empat (C20), enam (C30), atau delapan (C40) isoprena. Terpenoid

  dapat juga dikelompokkan menjadi monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen dan tetraterpen. Senyawa terpenoid berkisar dari senyawa volatil, yaitu komponen minyak atsiri, yang merupakan mono dan seskuiterpen (C10 dan C15), senyawa yang kurang volatil, yakni diterpen (C20), sampai senyawa nonvolatil seperti triterpenoid dan sterol (C30) seperti karatenoid (Sirait, 2007).

  Berbagai macam aktivitas fisiologi yang menarik ditunjukkan oleh beberapa triterpenoid, dan senyawa ini merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Beberapa senyawa mungkin mempunyai nilai ekologi bagi tumbuhan yang mengandungnya karena senyawa ini bekerja sebagai antifungus, insektisida atau antipemangsa. Akan tetapi senyawa lain menstimulasi serangga bertelur. Beberapa senyawa menunjukkan aktivitas antibakteri atau antivirus (Robinson. 1995).

2.2.4 Saponin

  Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin bekerja sebagai antimikroba juga. Pada beberapa tahun terakhir ini saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Penyebaran saponin dalam tumbuhan ditinjau dalam (Robinson, 1995).

2.2.5 Tanin

  Tanin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan tumbuhan untuk melindungi dari seragam bakteri dan cendawan (Salisbury, 1995). Tanin tersebar luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Rustaman, 2006).

  Secara kimiawi tanin merupakan senyawa kompleks, biasanya merupakan campuran polifenol yang sulit dipisahkan karena tidak mengkristal. Apabila tanin direaksikan dengan air akan membentuk larutan koloid yang memberikan reaksi asam dan reaksi yang tajam (Harborne, 1996). Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).

2.3 Ekstraksi

  Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati dan simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yangtersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan. Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu (Depkes RI, 2000).

  Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, begitu juga sebaliknya. Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selekstivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga (Harborne, 1987).

  Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

A. Cara Dingin 1.

  Maserasi Maserasi berasal dari kata macerace yang artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes, 2000).

  Keuntungan dari metode maserasi adalah prosedur dan peralatannya sederhana, sedangkan kerugiannya adalah pelarut yang digunakan lebih banyak (Agoes, 2007).

2. Perkolasi

  Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Harborne, 1987).

B. Cara Panas 1.

  Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulang- ulang (Depkes, 2000).

  2. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali ke labu (Depkes, 2000).

  3. Infudasi Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana

  o

  infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98

  C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).

  4. Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

2.4 Radikal Bebas

  Menurut Soematmaji (1998), yang dimaksud radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya penyakit degeneratif (Leong dan Shui, 2001).

  Keseimbangan antara kandungan antioksidan dan radikal bebas di dalam tubuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan tubuh. Apabila jumlah radikal bebas terus bertambah sedangkan antioksidan endogen jumlahnya tetap, maka kelebihan radikal bebas tidak dapat dinetralkan. Akibatnya radikal bebas akan bereaksi dengan komponen-komponen sel dan akan menimbulkan kerusakan sel (Arnelia, 2002). Secara umum sumber radikal bebas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endogen dan eksogen. Radikal bebas endogen dapat terbentuk melalui autoksidasi, oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transfor elektron di mitokondria dan oksidasi ion-ion ologam transisi. Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari luar sistem tubuh, misalnya sinar UV. Di samping itu, radikal bebas eksogen dapat berasal dari aktifitas lingkungan (Rohhmatusolihat, 2009).

2.5 Antioksidan

  Antioksidan didefinisikan sebagai zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar and Rossell, 1990). Antioksidan merupakan zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal bebas yang terbentuk sebagai hasil metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi didalam tubuh. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa antioksidan mengurangi resiko terhadap penyakit kronis, seperti kanker dan penyakit jantung koroner (Amrun et al, 2007).

  Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi superoksida dimutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten (pro vitamin A) dan asam askorbat (vitamin C). Superoksida dismutase berperan dalam melawan radikal bebas pada mitokondria, sitoplasma dan bakteri aerob dengan mengurangi bentuk radikal bebas superoksida. SOD murni berupa peptida orgoteina yang disebut agen anti peradangan. Kerja SOD akan semakin aktif dengan adanya poliferon yang diperoleh dari konsumsi teh. Enzim yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen adalah katalase. Fungsinya menetralkan hidrogen peroksida beracun dan mencegah formasi gelembung CO 2 dalam darah (Rohmatussolihat, 2009).

  Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan oleh 4 (empat) tahap mekanisme reaksi, yaitu : 1.

  Pelepasan hidrogen dari antioksidan 2. Pelepasan elektron dari antioksidan 3. Addisi lemak kedalam cincin aromatik pada antioksidan, dan 4. Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari

  Antioksidan dapat menghambat setiap proses oksidasi. Tahapan proses oksidasi tersebut adalah :

  1. Inisiasi RH R + H 2.

  Propagasi R + O2 ROO ROO + RH ROOH + R 3.

  Terminasi ROO + ROO ROOR + O2 ROO + R ROOR R + R RR (Cahyadi, 2009)

  Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : 1. Antioksidan Primer

  Antioksidan primer berfungsi untuk mencegah pembentukan senyawa radikal baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelumnya radikal bebas ini sempat bereaksi. Contoh enzim superoksida dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh karena radikal bebas (Kumalaningsih, 2006).

  2. Antioksidan Sekunder Antioksidan sekunder adalah senyawa yang berfungsi menangkap serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan sekunder : vitamin E, vitamin C, betakaroten, asam urat, bilirubin dan albumin (Kumalaningsih, 2006).

  3. Antioksidan Tersier Antioksidan tersier adalah senyawa yang memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas. Contoh enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah metionin sulfoksidan reduktase. Enzim-enzim yang dapat membuat perbaikan DNA ini berguna untuk mencegah penyakit misalnya kanker (Kosasih et al, 2004).

2.5.1 Metode Pengukuran Aktivitas Antioksidan

  Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu :

1. Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-pikril-hydrazyl)

  DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang (Erawati, 2002).

  Metode DPPH (2,2-difenil-1 pikrilhidrazil) merupakan senyawa radikalnitrogen. DPPH akan mengambil atom hidrogen yang terdapat dalam suatu senyawa, misalnya senyawaan fenol. Mekanisme terjadinya reaksi DPPH ini berlangsungmelalui transfer elektron. DPPH menggunakanpelarut metanol sehingga kemungkinansenyawa hidrofilik yang terekstrak dalammetanol lebih banyak dibandingkan dalampelarut etanol. Metode DPPH ini mudahdigunakan, cepat, cukup teliti dan baik digunakan dalam pelarut organik,khususnya alkohol. Metodeini juga sensitif untuk menguji aktivitasantioksidan dalam ekstrak tanaman. Akan tetapi, metodeDPPH kurang sensitif untuk mengukur aktivitas antioksidan selain dari senyawaanfenol (Widyastuti, 2010).

  Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan inkubasi DPPH dengan ekstrak selama 30 menit sehingga menghasilkan larutan ungu yang lebih memudar kemudian dilakukan pengukuran panjang gelombang pada 517 nm (Mosquera, 2007).

Gambar 2.1 Mekanisme Penghambatan Radikal DPPH

  Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC

  50 (Inhibitor sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin besar aktivitas antioksidan maka nilai IC akan semakin kecil. Suatu senyawa

  50

  antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC 50 -nya semakin kecil (Molyneux, 2004).

  2. Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode FRAP (Ferric Reducing

  

Antioxidant Power ) didasarkan atas kemampuan senyawa antioksidan dalam

  mereduksi senyawa besi(III)-tripridil-triazin menjadi besi(II)-tripiridil triazin pada pH 3,6. Pengukuran FRAPmemberikan urutan respon yang samadengan metode CUPRAC. Namun hasilnyamenunjukkan aktivitas yang lebih kecildibandingkan dengan data pengujianCUPRAC ataupun DPPH. Hal ini didugakarena larutan FRAP bersifat kurang stabilsehingga harus dibuat secara in time dan harussegera dipergunakan (Widyastuti, 2010). Reaksinya sebagai berikut :

  • 3+ 2+

  Fe(TPTZ)

  2 + AgOH Fe(TPTZ) 2 + H + Ag=O

  Menurut Ou et al. (2002), pengukuranantioksidan dengan metode FRAP dapatberjalan akurat apabila dilakukan padasenyawaan antioksidan yang bisa mereduksiFe(III)TPTZ pada kodisi reaksi secaratermodinamika dan memiliki laju reaksi yangcukup cepat. Selain itu, antioksidan yangteroksidasi dan semua produk reaksisekundernya harus tidak memiliki serapanmaksimum pada absorbansi 598 nm atauserapan Fe(II)TPTZ (Widyastuti, 2010).

  3. Metode CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity) Prinsip dari uji CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capasity) adalah pembentukan kelat oleh bis (neukropin) besi(II) menggunakan pereaksi redoks kromogenik pada pH 7. Absorbansi dari pembentukan kelat Cu(I) merupakan hasil reaksi redoks dengan mereduksi polifenol yang diukur pada panjang gelombang 450 nm. Untuk spektrum Cu(I) Ne diperoleh dengan mereaksikan asam askorbat berbagai konsentrasi reagen, pH dan waktu oksidasi pada suhu kamar dan peningkatan suhu pada percobaan dapat berasal dari sumber lain. Reaksinya sebagai berikut :

  • 2+ 2+

  nCu(Nc)

  2 + AR(OH)n nCu(Nc) + AR(=O)n + nH Kelebihan dari metode CUPRAC adalah pereaksi yang digunakan cukup cepat bekerja, selektif, lebih stabil, mudah didapatkan dan mudah untuk diaplikasikan (Erawati, 2002).

2.6 Bakteri

  

Haeckel pada tahun 1866 mengusulkan agar jasad renik ditempatkan dalam

  dunia yang terpisah, yakni Protista (artinya kehidupan yang pertama). Organisme protista semuanya bersifat uniseluler. Menurut defenisi Haeckel, dalam Protista tergolong algae, protozoa, jamur dan kuman (bakteri). Namun pada pertengahan abad ini, teknik mikroskopi elektron yang baru mengungkapkan bahwa kuman (bakteri) secara fundanmental berbeda dari jamur, alga, dan protozoa dalam struktur sel. Ketiga kelompok yang terakhir memiliki tipe struktur sel yang lebih maju, sama dengan sel-sel tumbuhan dan hewan, yang dinamakan eukariotik, sedangkan bakteri memiliki struktur sel yang lebih primitif, yang dinamakan prokariotik. Istilah protista sekarang ini untuk menunjukkan jasad-jasad eukariotik, sedangkan semua kuman secara kolektif digolongkan prokariota. Dunia mikroba terdiri dari berbagai kelompok jasad renik. Kebanyakan bersel satu atau uniseluler. Ada yang mempunyai ciri-ciri sel hewan dan ada yang memiliki ciri-ciri sel tumbuhan, dan ada juga yang mempunyai ciri-ciri keduanya. Secara umum jasad renik juga disebut Protista. Keseluruhan klasifikasi jasad renik adalah :

1. Protista (Eukariotik); Protista tingkat tinggi

  Protozoa

  • Algae -

  Jamur (Cendawan)

  • Jamur berlendir (kadang-kadang digolongkan jamur)
  • 2.

  Protista (Prokariota); Protista tingkat rendah, yang terdiri dari: Kuman (bakteri)

  • Sianobakteria -
  • Untuk menyebutkan nama bakteri, seperti pada organisme lainnya yakni dengan

  Arkahebakteria dengan spesies. Huruf pertama dari nama genus ditulis dengan huruf besar, sedangkan nama keterangan spesiesnya ditulis dengan huruf kecil. Pada klasifikasi Bergey’s tahun 1994 edisi ke-9. Kelompok bakteri secara garis besar digolongkan menjadi 4 kategori besar, yakni :

  • 16 GRUP.

  Kategori Besar I : Eubacteria Gram Negatif dengan Dinding Sel, terdiri

  • terdiri dari 6 GRUP.

  Kategori Besar II : Eubacteria Gram Positif dengan Dinding Sel, yang

  • saja, yakni Mycoplasma atau Mollicula.

  Kategori Besar II : Eubacteria Tanpa Dinding Sel, terdiri hanya 1 GRUP

  • Jadi dari empat kategori besar (Kategori I, Kategori II, Kategori III dan Kategori

  Kategori Besar IV : Archeobacteria, yang terdiri 5 GRUP.

  IV) dibagi menjadi 35 GRUP. Masing-masing grup adalah : Kategori Besar I : Eubacteria Gram Negatif, GRUP 1 sampai dengan

  • GRUP 16.
  • 17 sampai dengan GRUP 29.

  Kategori Besar II : Eubacteria Gram Positif dengan dinding sel dari GRUP

  • GRUP, yakni MYCOPLASMA (GRUP 30).

  Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel dari hanya terdiri dari 1

  • GRUP 35 (Waluyo, 2010).

  Kategori Besar IV : Archeobacteria terdiri dari GRUP 31 sampai dengan

  Berdasarkan komposisi dinding sel serta sifat pewarnaannya, bakteri dibedakan atas dua kelompok yaitu :

2.6.1 Bakteri Gram Positif

  Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap penisilin, tetapi lebih tahan terhadap perlakuan fisik dibandingkan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif sering berubah sifat pewarnaannya sehingga menunjukkan reaksi gram variabel. Sebagai contoh, kultur gram positif yang sudah tua dapat kehilangan kemampuannya untuk menyerap pewarna violet kristal sehingga dapat berwarna merah seperti bakteri gram negatif. Perubahan tersebut dapat juga disebabkan oleh perubahan

  Dinding sel bakteri gram positif tersusun atas beberapa lapisan peptidoglikan dan strukturnya tebal dan keras. Dinding selnya juga tersusun atas teichonic acid yang mengandung alkohol (seperti gliserol) dan posfat (Tortora, 2001). Contoh bakteri Gram-positif yaitu bakteri Staphylococcus aureus.

a. Staphylococcus aureus

  

Staphylococcus aureus adalah bakteri genus kokus Gram-positif utama penyebab

  penyakit. Bakteri ini bersifat positi-koagulase (memulai pembentukan bekuan fibrin), β-hemolitik, dan toleran garam (halodurik). Staphylococcus aureus memiliki protein A pada permukaannya, yang mengikat Fc Ig (menghambat fagositosis), menghasilkan pigmen kuning dan mungkin memproduksi eksotoksin.

  

Staphylococcus aureus berdiam di mukosa hidung manusia atau di kulit; kuman

ini menyebar melalui tangan, bersin dan lesi kulit (Hawley, 2003).

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus

  

Staphylococcus aureus diidentifikasi sebagai stafilokokus Gram-positif yang

  merupakan beta-hemolitik dan positif-katalase dan negatif-koagulase. Organisme tumbuh pada medium garam-manitol (medium penapisan untuk Staphylococcus

  

aureus ), meragikan manitol. Strain Staphylococcus aureus resisten metisilin

  (MRSA) memiliki suatu protein pengikat penisilin (PBP) kromosomal utama yang mengalami modifikasi. Sebagian besar strain MRSA juga memiliki resistensi terhadap semua obat yang diperantarai oleh plasmid kecuali terhadap glikopeptida (vankomisin). Resistensi obat Staphylococcus aureus dipindahkan melalui faga (transduksi) (Hawley, 2003).

  Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus sebagai berikut : a.

  Keracunan makanan Staphylococcus aureus dari enterotoksin stabil terhadap panas yang terjadi akibat makanan yang kurang mendapat pendinginan dan tercemar oleh Staphylococcus aureus (misal, ham, daging yang diasinkan atau dikalengkan, kue custard, atau salad kentang). Ingesti toksin menyebabkan nyeri abdomen, muntah dan diare dengan onset cepat (1-6 jam).

  b.

  Infeksi kulit atau subkutis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus sering muncul sebagai nyeri dan panas, kemerahan dan pembengkakan subkutis.

  Pembedahan atau neutropenia merupakan faktor predisposisi. Infeksi dapat menyebabkan penyakit kulit eksfoliativa (scalded skin syndrome) bila strainnya menghasilkan eksofoliatin. Impetigo stafilokokus umumnya menimbulkan bula (vesikel besar).

  c.

  Sindrom syok toksik (TSS). Pemakaian balut bedah atau tampon super merupakan predisposisi. TSST-1, suatu eksotoksin yang dihasilkan oleh

  Staphylococcus aureus , menghambat bersihan eksotoksin endogen oleh hati.

  TSST-1 juga merupakan suatu superantigen yang mengaktifkan berbagai sel T penolong. Gejala meliputi demam, hipotensi, ruam skarlatiniformis, deskuamasi (terutama di telapak tangan dan kaki), dan kegagalan multiorgan.

  d.

  Endokarditis. Staphylococcus aureus adalah penyebab utama endokarditis akut, termasuk yang terjadi pada pengguna obat IV terlarang (yang sering mengalami kolonisasi berat Staphylococcus aureus pada kulit mereka). Toksin alfa (suatu sitolisin pembentuk pori) dan toksin-toksin sitolitik lain dengan cepat merusak jantung (Hawley, 2003).

b. Bacillus cereus

  Bakteri ini adalah gram positif berbentuk batang, bergerak, dapat membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob dan tersebar secara luas dalam tanah dan air. Sampai akhir-akhir ini organisme tersebut tidak digolongkan sebagai patogenik, akan tetapi sejumlah keracunan bahan pangan yang berhubungan dengan daging saus berempah dan nasi goreng ditemukan tercemar oleh banyak sel-sel Bacillus

  

cereus . Kemampuan membentuk spora memungkinkan mikroorganisme ini tetap bahan pangan yang tercemar oleh bakteri ini termasuk diare, sakit perut dan kadang muntah-muntah (Buckle et al, 2009).

Gambar 2.3 Bakteri Bacillus cereus ditemukan secara alamiah pada beras dan sayuran. Sporanya

  Bacillus cereus

  tidak terbunuh dengan merebus; apabila dibuat menjadi makanan yang berprotein lebih tinggi (biasanya nasi goreng) ditangani serta didinginkan secara kurang tepat maka dapat terbentuk toksin. Saat dipanaskan ulang dan dimakan, toksinmenyebabkan mual, muntah, dan diare akut (1-6 jam) serupa dengan gejala keracunan makanan stafilokokus (Hawley, 2003).

2.6.2 Bakteri Gram Negatif

  Bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti streptomisin dan bersifat lebih konstan terhadap reaksi pewarnaan (Fardiaz, 1992). Dinding sel bakteri gram negatif tersusun atas satu lapisan peptidoglikan dan membran luar. Dinding selnya tidak mengandung teichoic acid. Membran luar terususun atas lipopolisakarida, lipoprotein dan pospolipid (Tortora, 2001). Contoh bakteri Gram-negatif yaitu bakteri Escherichia coli.

c. Escherichia coli

  Karateristik dari bakteri Esherichia dimana genus ini terdiri dari

  

Enterobacteriaceae peragi-laktosa . Escherichia coli adalah patogen manusia

  terpenting pada genus ini. Sebagian besar strain Escherichia coli adalah flora usus normal nonpatogenik; strain-strain lain bersifat patogenik dengan faktor virulensi

Gambar 2.4 Bakteri Escherichia coli

  Adapun penyakit yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli adalah sebagai berikut :

2.1.1 Diare a.

  

Escherichia coli Enterotoksik. ETEC adalah penyebab utama traveller’s

diarrhea (diare pelancong) dan diare bayi di negara-negara berkembang.

1. Faktor virulensi meliputi toksin labil-panas (LT), suatu toksin komponen

  A-B dengan aktivitas ADP-ribosil transferase yang merangsang G ; toksin

  s

  ini meningkatkan aktivitas adenilat siklase dan cAMP. Juga terdapat toksin stabil-panas (ST) yang mengaktifkan guanilat siklase. Escherichia coli menyebabkan diare encer noninvasif disertai kram abdomen yang hanya memerlukan pengobatan suportif.

  2. Reservoir dan penularan. Di negara-negara berkembang, ETEC ditularkan melalui pemakaian feses manusia sebagai pupuk tanaman dan umumnya pada sanitasi yang buruk.

  b.

  

Escherichia coli Enteropatogen. EPEC adalah penyebab utama diare kronik

  dan kegagalan tumbuh kembang bayi di negara-negara berkembang (walaupun rotavirus lebih sering). EPEC tidak dianggap invasif tetapi melekat (faktor virulensi), menyebabkan lesi melalui pengikisan permukaan.

  c.

  

Escherichia coli Enteroinvasif. EIEC menyebabkan disentri yang serupa

  dengan yang ditimbulkan oleh shigellosis (demam, diare, muntah, kram abdomen dan tenesmus); banyak pasien memperlihatkan darah dan pus dalam tinja, walaupun sebagian mungkin hanya mengalami diare cair. Virulensi EIC disebabkan oleh invasi epitel usus. Penularan mungkin berkaitan dengan makanan yang tercemar.

  d.

  

Escherichia coli Enterohemoragik. Strain EHEC yang paling sering

dijumpai adalah O157:H7.

1. Reservoir dan penularan. EHEC dapat dijumpai dalam makanan yang tercemar oleh feses sapi (terutama hamburger).

  2. Infeksi dan toksisitas. EHEC menghasilkan suatu toksin hemoragik yang disebut verotoksin, yaitu toksin mirip shiga. Secara klinis, infeksi ini (disebut juga Escherichia coli verotoksik atau VTEC) ditandai dengan diare yang jelas berdarah (kolitis hemoragik) dan dapat berkembang menjadi sindrom uremik hemolitik (SUH) dan gagal ginjal akut. Antibiotik merupakan kontraindikasi; antibiotik meningkatkan risiko kerusakan ginjal.

  3. Septikemia dan meningitis neonatus. Strain-strain Escherichia coli yang terlibat dalam meningitis adalah strain-strain berselubung K1 yang resisten terhadap aktivitas fagositik dalam aliran darah (Catatan: Namun, perhatiakan bahwa streptokokus grup umumnya lebih sering ditemukan sebagai penyebab meningitis neonatus dibandingkan Escherichia coli.

2.1.2 Infeksi 1.

  ISK. Escherichia coli adalah penyebab tersering ISK nosokomial maupun yang diperoleh dalam masyarakat.

  a.

   Faktor virulensi. Strain yang menyebabkan pielonefritis biasanya

  memiliki pili-P (pili terkait-pielonefritis) atau x-adhesin, dan keduanya melekat ke uroepitel.

  b.

  

Penularan. Bakteri penginfeksi berasal dari feses kita sendiri.

  c.

   Identifikasi laboratorium. ISK yang pertama kali terjadi dianggap

  disebabkan oleh Escherichia coli dan diterapi secara empiris dengan trimetoprin-sulfametoksazol tanpa identifikasi laboratorium. Metode- metode diagnostik meliputi :

  (1) Tes Dipstick. Uji ini memperlihatkan leukosit esterase positif (tanda

  adanya pus di urine, tidak selalu berkaitan dengan bakteriuria), nitrit

  (2) Biakan kuantitatif. Hitung >1000/ml urine sekarang dianggap postif pada individu yang simtomatik (Hawley, 2003).

d. Pseudomonas aeruginosa

  

Pseudomonas aeruginosa adalah genus ini terdiri dari batang Gram-negatif,

katalase positif yang motil dan banyak dijumpai (biasanya di air dan tanah).

Pseudomonas aeruginosa (suatu oportunis penting) merupakan spesies yang

  paling penting secara medis. Pseudomonas aeruginosa memiliki bau mirip-anggur yang khas dan menghasilkan pigmen: piosianin, yang merupakan penyebab pus berwarna biru-hijau pada luka bakar, dan fluoresein. Pseudomonas aeruginosa memiliki sebuah lapisan ‘lendir’ (kapsul), eksotoksin A (suatu ADP-ribosil transferase yang menginaktifkan EF-2, menghentikan sintesis protein terutama di sel-sel hati), katalase, pigmen, endotoksin, dan suatu elastase, yang merusak imnoglobulin, elastin, dan beberapa kolagen (Hawley, 2003).

Gambar 2.5 Bakteri Pseudomonas aeruginosa

  

Pseudomonas aeruginosa kadang-kadang kedapatan didalam luka pada hewan

  atau manusia. Bakteri ini menyebabkan timbulnya nanah yang kebiruan (Irianto, 2007). Dan resistensinya terdapat banyak antibiotik, organisme ini dapat menyebabkan infeksi gawat pada orang-orang yang menerima pengobatan antibiotik untuk luka bakar atau luka biasa. Organisme ini juga dapat menimbulkan infeksi apabila secara mekanis ditempatkan dalam saluran kencing sewaktu penusukan lumbar (bagian pinggang) (Volk & Wheeler, 1989).

2.7 Struktur Bakteri 1. Selubung Sel

  Selubung sel (cell envelope) terdiri dari membran sitoplasma, dinding sel, membran luar (hanya bakteri Gram-negatif) dan pada sebagian bakteri, kapsul.

2. Tonjolan Permukaan a.

  Flagela (tidak terdapat di semua bakteri) adalah filamen-filamen heliks semi- kaku yang terbuat dari protein. Rotasi berlawanan arah jarum jam.

  b. menghasilkan gerakan terarah; rotasi searah jarum jam menghasilkan gerakan berguling.

  c.

  Fimbria (pili) adalah mikrofilamen berprotein yang menonjol menembus selubung sel. Mikrofilamen ini dapat dikategorikan sebagai adhesin atau lektin (mengikat reseptor sel pejamu spesifik), evasin (menghambat penyerapan fagositik pada individu yang tidak imun), atau pili jenis kelamin (membentuk kontak sel-ke-sel yang diperlukan untuk konjugasi bakteri).

  d.

  Antigen permukaan selubung adalah teichoic acid atau protein membran luar (PML) tertentu yang mempengaruhi daya lekat atau virulensi (seperti kemampuan menginvensi sel pejamu nonpatogen).

  e.

  Kapsul adalah polisakarida yang menghambat penyerapan fagositik oleh berbagai mekanisme pada individu yang tidak imun (Hawley, 2003).

2.8 Struktur Interior a.

  Granula. Bakteri melakukan polimerisasi dan menyimpan berbagai senyawa (misalnya fosfat) yang diperlukan dalam jumlah besar. Hal ini menurunkan tekanan osmotik sel bakteri dan dapat menyebabkan terbentuknya granula di sel.

  b.

  Tidak adanya organel yang terikat membran. Bakteri adalah sel prokariotik dan tidak memiliki organel (misal, mitokondria dan lisososm) yang terikat membran. Enzim-enzim pernapasan dan sitokrom terbenan dalam membran sitoplasma.

  c.

  Endospora. Endospora dijumpai pada dua genus bakteri Gram-negatif: pemusnahan dengan tindakan perebusan, pendinginan, pengeringan, dan antisepsis.

  d.

  Kromosom. Kromosom bakteri merupakan lingkaran tunggal DNA untai- ganda yang menutup secara kovalen. Mungkin terdapat salinan dari satu kromosom (Hawley, 2003).

2.9 Proses Pewarnaan Gram Sel Gram-positif dan Sel Gram-negatif

  Langkah dalam proses pewarnaan Gram Sel Gram-positif dan Sel Gram- negatif dapat dilakukan dalam beberapa langkah yang ditunjukkan dalam tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1 Prosedur Pewarnaan Gram

  Langkah Sel Gram-positif Sel Gram-negatif

  1. Ungu tua (partikel Ungu tua (partikel Ungu kristal Gram (suatu partikel zat warna kecil). zat warna kecil) zat warna kecil)

  2. Iodium Gram (suatu Ungu tua bahan yang menyebabkan Ungu tua (kompleks

  (kompleks zat terbentuknya kompleks zat warna besar) warna besar) atau mordant).

  3. Pengaburan warna Ungu Tidak berwarna alkohol aseton.

  4. Counterstain (zat warna tandingan) Safranin (zat Ungu/biru Merah/merah muda warna merah pucat).

2. Membran sitoplasma

  Metode perlekatan ke sel manusia Antigen permukaan

  Flagela Pili Faktor virulensi spesifik Antigen O (polisakarida LPS) Protein membran luar Fimbria dan pili Bahan kapsul Flagela

  Streptococcus pyogenes )

  Bahan kapsul (kecuali kapsul asam hialuronat

  

Staphylococcus aureus

  Mycobacterium tubercolosis

  (fimbria)

  

Streptococcus grup A

  juga pili (protein M) Faktor virulensi spesifik Teichoic acid Protein spesifik permukaan, misalnya:

  Streptococcus pyogenes :

  Teichoic acid

  Ruang periplasma (antara membran) Porin

  Antara bakteri Gram-Positif vs Gram-Negatif terdapat perbandingan gambaran selubung sel yang dapat dijelaskan dalam tabel 2.2 dibawah ini :

  ML mengurangi kerentanan terhadap lisozim, tetapi rentan terhadap kerusakan oleh antibodi dan komplemen. Gambaran khas Teichoic acid Membran luar dan endotoksin

  3. Membran dalam (hidrofobik)

  (terbuka, seperti jaring)

  Membran luar atau ML (hidrofobik) 2. Peptidoglikan

  Tiga lapisan: 1.

  (hidrofobik) Resisten terhadap pemusnahan oleh antibodi dan yang diperantarai oleh komplemen, tetapi rentan terhadap lisozim.

  Peptidoglikan (terbuka, seperti jaring)

  Dua lapisan: 1.

  Bakteri Gram-Positif Bakteri Gram-Negatif Lapisan Selubung

  Selubung Sel

Tabel 2.2 Bakteri Gram-Positif vs Gram-Negatif: Perbandingan Gambaran

  • Protein M:
  • Tuberkulin:
  • Protein A:

  Faktor kolonisasi/virulensi Faktor lain kolonisasi/virulensi lain Peptidoglikan Lapisan tebal, mengalami Lapisan tipis, tidak terlalu (seperti jaring, pengikatan-silang ekstensif mengalami pengikatan tidak hidrofobik) oleh jembatan pentaglisin. silang.

  Efek obat beta- Antibiotik dapat berdifusi Semua antibiotik harus laktam secara langsung melalui menembus porin. peptidoglikan dan berikatan Sebagian, misalnya dengan penicilin binding vankomisin, tidak dapat.

  protein , menghambat Pseudomonas tidak

  pengikatan-silang dinding memiliki porin berafinitas sel. tinggi.

  Ruang periplasma memungkinkan akumulasi beta laktamase (apabila diproduksi). Bakteri Gram-positif Bakteri Gram-negatif umumnya lebih rentan umumnya kurang rentan. terhadap obat golongan beta-laktam. Obat golongan beta- laktam merupakan obat pilihan untuk beberapa bakteri Gram-negatif, seperti T.pallidum.

  Pemicu utama Peptidoglikan-teichoic acid Endotoksin peradangan

2.10Spektrofotometri UV-Visible Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer.

  Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat terseleksi yang diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating ataupun celah optis

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 7

Lampiran 1 Sampel dan Populasi NO NAMA PERUSAHAAN KRITERIA SAMPEL1 2 3

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenen (Agency Theory) - Pengaruh karakteristik perusahaan terhadap voluntary disclosure perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 1 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh karakteristik perusahaan terhadap voluntary disclosure perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

Uji Lethal Concentration (Lc50)Ekstrak Etanol Daun Legundi (Vitex Trifolia L.)Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Teori Agensi - Pengaruh Corporate Governance dan Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah - Pengaruh Corporate Governance dan Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 3 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Menolong - Hubungan antara belief in just world dengan perilaku menolong pengemis

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Analisis Algoritma Baby-Step Giant-Step dan Pohlig-Hellman untuk Menyelesaikan Masalah Logaritma Diskrit

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Pati Jagung - Penggunaan Pati Jagung Gelatinasi Sebagai Bahan Pengikat Pada Formulasi Tablet Allopurinol

0 0 15