BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenen (Agency Theory) - Pengaruh karakteristik perusahaan terhadap voluntary disclosure perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Keagenen (Agency Theory)

  Teori keagenan menggambarkan suatu hubungan antara pemegang saham (principals) dan manajemen (agent). Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Pihak manejemen yang dipilih harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.

  Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai “agency relationship as a contract under which one or more person (the

  

principals) engage another person (the agent) to perform some service on their

behalf which involves delegating some decision making authority to the agent ”.

  Ketika pemilik (manajer) mendelegasikan otoritas pangambilan keputusan pada pihak lain, terdapat hubungan keagenan antara kedua belah pihak. Hubungan keagenan, seperti hubungan antara pemegang saham dengan manajer, akan efektif selama manajer mengambil keputusan investasi yang konsisten dengan kepentingan pemegang saham. Namun, ketika kepentingan manajer berbeda maka keputusan yang diambil oleh manajer kemungkinan besar akan mencerminkan preferensi manajer dibanding dengan pemilik (Pearce dan Robinson, 2008:47).

  Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Proporsi kepemilikan yang hanya sebagian dari perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency

  

cost ). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah

  dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.

  Masdupi (2005) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengurangi masalah keagenan. Pertama, dengan meningkatkan insider

  

ownership . Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk

  mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan persentase kepemilikan, manajer menjadi termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham.Kedua, dengan pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui penggunaan hutang. Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham sehingga meminimalisasi biaya keagenan ekuitas. Akan tetapi, perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayarkan beban bunga secara periodik. Selain itu penggunaan hutang yang terlalu besar juga akan menimbulkan konflik keagenan antara shareholders dengan debtholders sehingga memunculkan biaya keagenan hutang.

  Ketiga, institusional investor sebagai monotoring agent.

  Moh’d etal, (1998) menyatakan bahwa bentuk distribusi saham dari luar (outside

  

shareholders ) yaitu institusional investor dan shareholders dispersion dapat

  mengurangi biaya keagenan ekuitas (agency cost). Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau menantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan dalam perusahaan.

  Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi konflik kepentingan, yaitu : a) meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership),

  b) meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih (earning after tax),

  c) meningkatkan sumber pendanaan melalui utang, d) kepemilikan saham oleh institusi (institutional holdings).

2.2 Luas Pengungkapan

  Pengungkapan (disclosure) adalah mengkomunikasikan mengenai posisi dari keuangan dengan tidak menyembunyikan informasi, apabila dikaitkan dengan laporan keuangan, disclosure mengandung makna bahwa laporan keuangan harus memberikan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha kondisi keuangan perusahaan kepada para pengguna laporan keuangan (Rinny, 2010).

  Dua jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan standar, yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)(Yuliansyah,2007). Pengungkapan wajib (mandatory disclosure) adalah pengungkapan minimum yangdisyaratkan oleh lembaga yang berwenang (BAPEPAM, SAK, Menteri Keuangan, Pajak, dan lain-lain), sedangkan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan butir-butir yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh lembaga yang berwenang (BAPEPAM, SAK, MenteriKeuangan, Pajak, dan lain-lain) antara lain informasi tentang kejadian setelah tanggal laporan, analisismanajemen atas operasi perusahaan yang akan datang, prakiraan keuangan dan operasi pada tahun yang akandatang, dan laporan keuangan, tambahan yang mencakup ungkapan menurut segmen dan informasi lainnya diluar harga perolehan.

  Menurut Hendriksen (1992) terdapat tiga konsep mengenai pengungkapan laporan keuangan, yaitu: adequate disclosure, fair disclosure, dan full disclosure.

  1. Pengungkapan yang cukup (adequate disclosure) Pengungkapan informasi oleh perusahaan dengan tujuan memenuhi kewajiban dalam menyampaikan informasi. Informasi yang diungkapkan sesuai dengan stadar minimum yang diwajibkan. terutama informasi yang menurut lembaga terkait wajib disajikan. Pengungkapan jenis ini banyak dilakukan oleh perusahaan.

  2. Pengungkapan yang wajar (fair disclosure) Pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan dengan menyajikan sejumlah informasi yang menurut perusahaan dapat memuaskan pengguna Laporan Keuangan yang potensial. Informasi minimum yang diwajibkan dan informasi tambahan lainnya untuk menghasilkan penyajian Laporan Keuangan yang wajar.

  3. Pengungkapan yang lengkap (full disclosure) Pengungkapan yang menyajikan semua informasi yang relevan. Informasi yang diungkapkan adalah informasi minimum yang diwajibkan ditambah dengan informasi lain yang diungkapkan secara suka rela. Full disclosure dapat membantu mengurangi terjadinya informasi asimetris, namun seringkali dinilai berlebihan.

  Dari ketiga konsep diatas yang sering digunakan adalah adequate disclosure .

2.3 PeraturanBapepam

  Sesuai dengan lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM No. Kep- 134/BL/2006 tanggal 7 desember 2006, laporan tahunan wajib dikeluarkan begi emiten atau perusahaan publik.

  Dalam peraturan ini, laporan tahunan perusahaan-perusahaan tersebut diwajibkan memuat :

  1. Tinjauan operasi per segmen usaha, antara lain memuat pembahasan mengenai:

  a. produksi;

  b. penjualan/pendapatan usaha;

  c. profitabilitas; dan

  d. peningkatan kapasitas produksi;

  2. Analisis kinerja keuangan yang mencakup perbandingan antara kinerja keuangan tahun yang bersangkutan dengan tahun sebelumnya, antara lain mengenai:

  a. aktiva lancar, aktiva tidak lancar, dan jumlah aktiva;

  b. kewajiban lancar, kewajiban tidak lancar, dan jumlah kewajiban;

  c. penjualan/pendapatan usaha;

  d. beban usaha; dan

  e. laba bersih;

  3. Bahasan dan analisis tentang kemampuan membayar hutang dan tingkat kolektibilitas piutang Perseroan;

  4. Bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal dengan penjelasan tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana yang diharapkan untuk memenuhi ikatan-ikatan tersebut, mata uang yang menjadi denominasi, dan langkah-langkah yang direncanakan perusahaan untuk melindungi risiko dari posisi mata uang asing yang terkait;

  5. Bahasan dan analisis tentang informasi keuangan yang telah dilaporkan yang mengandung kejadian yang sifatnya luar biasa dan jarang terjadi;

  6. Komponen-komponen substansial dari pendapatan atau beban lainnya, untuk dapat mengetahui hasil usaha perusahaan;

  7. Jika Laporan Keuangan mengungkapkan peningkatan atau penurunan yang material dari penjualan atau pendapatan bersih, maka wajib disertai dengan bahasan tentang sejauh mana perubahan tersebut dapat dikaitkan antara lain dengan jumlah barang atau jasa yang dijual, dan atau adanya produk atau jasa baru;

  8. Bahasan tentang dampak perubahan harga terhadap penjualan dan pendapatan bersih perusahaan serta laba operasi perusahaan selama 2 (dua) tahun atau sejak perusahaan memulai usahanya, jika baru memulai usahanya kurang dari 2 (dua) tahun;

  9. Informasi dan fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan akuntan;

  10. Prospek usaha dari perusahaan sehubungan dengan industri, ekonomi secara umum dan pasar internasional serta dapat disertai data pendukung kuantitatif jika ada sumber data yang layak dipercaya;

  11. Aspek pemasaran atas produk dan jasa perusahaan, antara lain: strategi pemasaran dan pangsa pasar;

  12. Kebijakan dividen dan tanggal serta jumlah dividen (kas per saham dan atau non kas) dan jumlah dividen per tahun yang diumumkan atau dibayar selama 2 (dua) tahun buku terakhir;

  13. Realisasi penggunaan dana hasil penawaran umum secara kumulatif sampai dengan saat terakhir apabila belum dinyatakan habis. Dalam hal terdapat perubahan dari Prospektus agar dijelaskan;

  14. Informasi material, antara lain mengenai investasi, ekspansi, divestasi, penggabungan/peleburan usaha, akuisisi, restrukturisasi utang/modal, transaksi yang mengandung benturan kepentingan dan sifat transaksi dengan Pihak Afiliasi;

  15. Perubahan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh signifikan terhadap perusahaan dan dampaknya terhadap Laporan Keuangan (jika ada); dan

  16. Perubahan kebijakan akuntansi, alasan dan dampaknya terhadap Laporan Keuangan (jika ada).

  Pengaturan pengungkapan informasi yang wajib disampaikan oleh perusahaan publik ini, nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan analisis dalam pengambilan keputusan.

2.4 Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)

  Pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan yang tidak diwajibkan oleh peraturan. Meek et al (1995) dalam Murtanto (2005) menyatakan bahwa pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan bebas, dimana manajemen dapat memilih jenis informasi yang akan diungkapkan yang dipandang relevan untuk pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang memakainya. Dalam penelitian kali ini yang akan diteliti adalah pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Pembatasan dilakukan mengingat alasan-alasan sebagai berikut:

  1. pemerintah sudah menetapkan aturan tentang mandatory disclosure sehingga perusahaan publik menaati peraturan tersebut.

  2. pemerintah Indonesia menunjuk Bapepam untuk mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut terhadap perusahaan.

  3. semakin meningkatnya kesadaran bagi manajemen perusahaan untuk membuka diri dalam melaksanakan disclosure pada laporan tahunan, guna mendukung strategi perusahaan.

  Informasi sukarela dalam laporan tahunan perusahaan dapatmemberikan sinyal positif dimana perusahaan memberikan informasi yang lebih detil yang tidak ditemukan dalam laporan keuangan. Hal ini dapat sejalan dengan teori sinyal yang memberikansinyal-sinyal positif dari suatu perusahaan kepada stakeholders yang dapat berpengaruhterhadap suatu keputusan yang akan diambil. Seperti halnya dengan memberikan pandangan proyeksi masa tahun depan akanmemperlihatkan pada stakeholders mengenai fokus kegiatan operasional dankemungkinan laba yang dapat diperoleh oleh perusahaan pada periode mendatang.

  Pengungkapan sukarela pada laporan tahunan perusahaan dapat dipengaruhi olehbeberapa hal, diantaranya melalui karakteristik-karakteristik yang ada padaperusahaan itu sendiri.

  Karakteristik-karakteristik tersebut diantaranya adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan tipe kepemilikan publik perusahaan. Karakteristik- karakteristikperusahaan tersebut dapat mempengaruhi baik-buruknya sinyal-sinyal yang diberikan perusahaan.

2.5 Karakteristik Perusahaan

  Lang dan Lundholm (1993) dan Wallace et al. (1994) dalam Wicaksono (2011) menggunakan karakteristik perusahaan yang dianggap sebagai proksi potensial untuk luas pengungkapan yang diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu :

  1. Variabel yang berkaitan dengan struktur (structur-related variable)

  Variabel-variabel yang berkaitan dengan struktur tersebut dianggap cenderung stabil dan konstan sepanjang waktu (Wallace et al., 1994). Sejalan dengan penelitian terdahulu, variabel ukuran perusahaan, tipe kepemilikan akan diteliti kembali.

  2. Variabel yang berkaitan dengan kinerja (performance-related variable)

  Variabel kinerja merupakan variabel yang akan berbeda pada waktu-waktu yang spesifik. Selain itu variabel ini mewakili informasi yang mungkin relevan bagi pengguna informasi akuntansi (Wallace et al., 1994). Sejalan dengan penelitian terdahulu variabel profitabilitas dan leverage sebagai pengukuran yang berkaitan dengan kinerja.

2.6 Ukuran Perusahaan

  Ukuran perusahaan adalah rata-rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya, jika penjualan lebih kecil daripada biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian (Brigham dan Houston 2001:117-119).

  Menurut Ferry dan Jones dalam Sujianto (2001), ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh total aktiva, jumlah penjualan, rata-rata total penjualan dan rata-rata total aktiva. Jadi, ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya aset yang dimiliki perusahaan.

  Ukuran perusahaan merupakan proksi volalitas operasional dan inventory

  

controlabality yang seharusnya dalam skala ekonomis besarnya perusahaan

  menunjukkan pencapaian operasi lancar dan pengendalian persediaan (Mukhlasin,2002). Ukuran perusahaan diproksikan dari penjualan bersih (net

  

sales ). Total penjualan mengukur besarnya perusahaan. Hal ini dikarenakan biaya

  politik cenderung lebih besar, maka perusahaan dengan tingkat penjualan yang tinggi cenderung memilih kebijakan akuntansi yang mengurangi laba (Sidharta,2002).

  Keadaan yang dikehendaki oleh perusahaan adalah perolehan laba bersih sesudah pajak karena bersifat menambah modal sendiri. Laba operasi ini dapat diperoleh jika jumlah penjualan lebih besar dari pada jumlah biaya variabel dan biaya tetap. Agar laba bersih yang diperoleh memiliki jumlah yang dikehendaki maka pihak manajemen akan melakukan perencanaan penjualan secara seksama, serta dilakukan pengendalian secara tepat, guna mencapai jumlah penjualan yang dikehendaki. Manfaat pengendalian manajemen adalah untuk menjamin bahwa organisasi telah melaksanakan strategi usahanya dengan efektif dan efisien.

  Dalam aspek finansial, penjualan dapat dilihat dari sisi perencanaan dan sisi realisasi yang diukur dalam satuan rupiah. Dalam sisi perencanaan, penjualan direfleksikan dalam bentuk target yang diharapkan dapat direalisir oleh perusahaan.

  Perusahaan yang berada pada pertumbuhan penjualan yang tinggi membutuhkan dukungan sumber daya organisasi (modal) yang semakin besar, demikian juga sebaliknya, pada perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualannya rendah, kebutuhan terhadap sumber daya organisasi (modal) juga semakin kecil. Jadi konsep tingkat pertumbuhan penjualan tersebut memiliki hubungan positif tetapi implikasi tersebut dapat memberikan efek yang berbeda terhadap struktur modal yaitu dalam penentuan jenis modal yang akan digunakan.

  Apabila perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penjualan, dan dana dari sumber intern sudah digunakan seluruhnya, maka tidak ada pilihan lain lagi bagi perusahaan untuk menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan, baik hutang maupun dengan mengeluarkan saham baru. Menurut Riyanto (1995:229-300), suatu perusahaan yang besar yang sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya pengendalian dari pihak yang dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan, sebaliknya perusahaan yang kecil dimana sahamnya tersebar hanya dilingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya kontrol pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan.

  Dengan demikian, maka perusahaan yang besar akan lebih berani mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhan untuk membiayai pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan kecil.

  Perusahaan yang lebih besar mempunyai akses yang lebih besar untuk mendapatkan sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk memperoleh pinjaman dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan dalam industri. Di sisi lain, perusahaan dengan skala kecil lebih fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak. Oleh karena itu, memungkinkan perusahaan besar tingkat leveragenya akan lebih besar dari perusahaan yang berukuran kecil.

  Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya (ukuran) perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga perusahaan tersebut akan lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk menggunakan jumlah pinjaman akan semakin besar pula.

  Dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif, yang berarti kenaikan ukuran perusahaan akan diikuti dengan kenaikan struktur modal yang merupakan penelitian yang dilakukan oleh Sekar, Saidi, Harjudi, Augustinus dan Janny.

  Perusahaan besar mungkin akan mengungkapkan informasi yang lebih banyak sebagai upaya untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Menurut Meek, Roberts dan Grey (1995) dalam Almilia dan Retrinasari (2007) perusahaan besar mempunyai kemampuan untuk merekrut karyawan yang ahli, serta adanya tuntutan dari pemegang saham dan analisi, sehingga perusahaan besar memiliki insentif untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas dari perusahaan kecil.

  Perusahaan besar merupakan entitas yang banyak disorot oleh pasar maupun publik secara umum. Mengungkapkan lebih banyak informasi merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mewujudkan akuntabilitas publik.

  Penjelasan lain yang sering diajukan adalah karena perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar, sehingga perusahaan perlu dan mampu untuk membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal. Informasi tersebut sekaligus menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada pihak eksternal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat melakukan pengungkapan yang lebih lengkap, sebaliknya perusahaan dengan sumber daya yang relatif kecil mungkin tidak memiliki informasi siap saji sebagaimana perusahaan besar, sehingga perlu ada tambahan biaya yang relatif besar untuk dapat melakukan pengungkapan selengkapa yang dilakukan perusahaan besar. Perusahaan kecil pada umumnya berada pada situasi persaingan yang ketat dengan perusahaan lain. Mengungkapkan terlalu banyak tentang jati dirinya kepada pihak eksternal dapat membahayakan posisinya dalam persaingan sehingga perusahaan kecil cenderung tidak melakukan pengungkapan selengkap perusahaan besar (Shingvi dan Desai, 1971;Buzby ,1975) dalam Almilia dan Retrinasari (2007).

2.7 Profitabilitas

2.7.1 Pengertian Profitabilitas

  Profitabilitas merupakan salah satu dari rasio keuangan yang akan menjadi indikator pengukur baik atau buruknya suatu perusahaan. Ada beberapa pengertian dari profitabilitas menurut dari para ahli:

  Menurut Riyanto (2001:334), profitabilitas adalah rasio keuangan yang menunjukkan hasil akhir dari sejumlah kebijaksanaan dan keputusan-keputusan

  (profit margin on sales, return on total assets, return on net worth dan lain sebagainya).

  Profitabilitas dapat didefinisikan sebagai suatu rasio yang dapat mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan dan mengukur efisiensi dalam mengelola aset, kewajiban dan ekuitasnya Fraser dan Ormiston (1998:156) dalam Nadirsyah (2006).

  (Horne dan Wachowicz,2007:222), mengemukakan juga pengertian dari profitabilitas yaitu rasio yang menghubungkan laba dari penjualan dan investasi.

2.7.2 Jenis Rasio Profitabilitas

  Menurut Van Horne dan Machowicz (2007:222) ada dua jenis rasio profitabilitas, yaitu profitabilitas dalam kaitannya dalam penjualan dan profitabilitas dalam kaitannya dalam investasi.

  1. Profitabilitas dalam kaitannya dalam penjualan.

  Pada jenis ini rasio yang pertama dicermati adalah margin laba kotor: Pada jenis rasio profitabilitas ini, menjelaskan laba dari perusahaan yang berhubungan dengan penjualan, setelah dikurangi biaya untuk memproduksi barang yang dijual. Rasio ini merupakan pengukur efisiensi operasi perusahaan, serta merupakan indikasi dari cara produk menetapkan harganya.

  Pengukuran yang lebih spesifik untuk profitabilitas penjualan adalah margin laba bersih:

  Margin laba bersih adalah ukuran profitabilitas perusahaan dari penjualan setelah memperhitungkan semua biaya dan pajak penghasilan. Margin tersebut memberitahu kita penghasilan bersih perusahaan per satu dolar penjualan.

  2. Profitabilitas dalam hubungannya dengan investasi Kelompok kedua rasio profitabilitas ini menghubungkan laba dengan investasi. Salah satu pengukurannya adalah dengan tingkat pengembalian atas investasi (Return On Investment – ROI), tingkat pengembalian atas aktiva (Return

  On Asset

  • – ROA), dan tingkat pengembalian modal sendiri (Return On Equity – ROE).

2.7.2.1 Return On Investment (ROI)

  Menurut Munawir (2004:89),Return On Investment itu sendiri adalah salah satu bentuk rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk dapat mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan untuk operasi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan.

  Menurut Husnanet al (2006:74) ROI menunjukkan seberapa banyak laba bersih yang bisa diperoleh dari seluruh kekayaan yang dimiliki perusahaan, karena itu dipergunakan angka laba setelah pajak dan (rata-rata) kekayaan perusahaan. Rasio ROI dinyatakan sebagai berikut :

  

ROI = laba setelah pajak/kekayaan x 100%

  Komponennya adalah sebagai berikut : 1. laba setelah pajak

  Laba yang digunakan dalam perhitungan ini adalah laba setelah pajak. Laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan baik dari usaha pokok (Net Operating Income) ataupun diluar usaha pokok perusahaan (Non Operating Income) selama satu periode setelah dikurangi pajak penghasilan.

  2. total aktiva atau total aset Aset adalah harta yang dimiliki perusahaan yang berperan dalam operasi perusahaan, misalnya : kas, persediaan, aktiva tetap dan aktiva yang tidak berwujud.

2.7.2.2 Return On Asset (ROA)

  Hansen dan Mowen (1997:68) dalam Nadirsyah (2006), ROA merupakan suatu cara untuk mengaitkan laba operasi dengan aktiva yang digunakan adalah melalui perhitungan laba yang diperoleh per dolar investasi. Pengembalian atas aset (ROA) adalah pengukuran kinerja yang paling lazim bagi suatu pusat investasi. ROA didefinisikan sebagai berikut :

  

ROA=Laba Bersih / Total Aset X 100%

  ROA memberikan suatu dasar yang berguna tidak hanya untuk mengevaluasi kinerja manajer unit tetapi juga untuk mengevaluasi kinerja seluruh perusahaan secara stategis.

  Blocher et al (2001:963) mengemukaan keuntungan ROA, diantaranya : 1. lebih mudah dimengerti, 2. perbandingan antara tingkat bunga dan tingkat pengembalian dalam investasi, 3. lebih luas digunakan.

  Rasio ini mengukur kemampuan aktiva perusahaan memperoleh laba dari operasi perusahaan. Adanya hasil operasi yang ingin diukur, maka digunakan laba sebelum bunga dan pajak. Aktiva yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan memperoleh laba operasi adalah aktiva operasional atau lebih jelasnya rasio ini diukur dengan menghubungkan antara keuntunganatau laba dari kegiatan pokok perusahaan dengan kekayaan atau aset yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut (operating assets).

  Hansen dan Mowen (1997:70) dalam Nadirsyah (2006) mengemukakan sedikitnya ada tiga hasil yang positif penggunaan ROA, yaitu : 1. mendorong manejer untuk memfokuskan pada hubungan antara penjualan, beban, investasi, sebagaimana diharapkan dari manejer pusat investasi,

  2. mendorong manejer memfokuskan pada efisiensi, 3. mendorong manejer memfokuskan pada efisiensi aktiva operasi. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan return on assets

  (ROA) untuk menilai baik buruknya kinerja suatu perusahaan tidak hanya berguna untuk menggambarkan kemampuan aktiva perusahaan dalam menghasilkan laba.

  Akan tetapi juga dapat menjadi pendorong bagi manejer untuk memfokuskan pada efisiensi penggunaan aktiva operasi.

2.7.2.3 Retun On Equity (ROE)

  ROE membandingkan laba bersih setelah pajak (dikurangi dividen biasa) dengan ekuitas yang telah diinvestasikan pemegang saham di perusahaan.

  Rasio ini menunjukkan daya untuk menghasilkan laba atas investasi berdasarkan nilai buku pemegang saham, dan sering kali digunakan dalam membandingkan dua atau lebih perusahaan dalam satu industri yang sama. ROE yang tinggi sering kali mencerminkan penerimaan perusahaan atas peluang investasi yang baik dan manajemen biaya yang efektif. Akan tetapi jika perusahaan telah memilih untuk menerapkan tingkat hutang yang tinggi berdasarkan standar industri, ROE yang tinggi hanyalah merupakan hasil dari asumsi resiko keuangan yang berlebihan.

2.8 Leverage

2.8.2 Pengertian Leverage

  Leverage merupakan instrumen keuangan yang termasuk dalam rasio

  keuangan.Leverage adalah rasio yang digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang (Riyanto,2001:332)Menurut Van Home dan Wachowicz (2007:209), leverage didefinisikan sebagai rasio yang digunakan untuk menunjukkan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang. juga didefinisikan oleh Dermawan Sjahrial (2009:154) adalah

  Leverage

  penggunaan sumber dana yang dimiliki beban tetap dengan harapan akan memperoleh tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham.

  Pada variabel leverage ini, peneliti menggunakan leverage keuangan. Hal ini disebutkan karena leverage keuangan digunakan untuk mengukur total aktiva yang dibiayai oleh hutang. Leverage keuangan melibatkan penggunaan pendanaan biaya tetap.

  Disisi lain, leverage keuangan adalah hal yang selalu menjadi pilihan. Tidak ada perusahaan yang disyaratkan untuk memiliki utang jangka panjang apapun atau pendanaan dengan saham preferen. Sebagai alternatif, perusahaan dapat membiayai pengeluaran operasional dan modalnya dari sumber-sumber internal dan penerbitan saham biasa. Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal yang seperti itu lebih tinggi (Jensen dan Meckling, 1976) dalam Mawarta (2001).

  Leverage keuangan menjelaskan bagaimana pembelanjaan kebutuhan dana

  dilakukan agar memberikan efek yang menguntungkan terhadap earning per

  

share (EPS) dan rentabilitas modal sendiri (ROE) dengan menentukan tingkat

  finansial leverage dapat diketahui bahwa semakin besar pula pengaruh yang diberikan oleh perubahan EBIT terhadap laba perlembar saham (Dermawan Sjahrial,2009:154).

2.8.3 Jenis Rasio Leverage

  Menurut Horne dan Wachowicz (2007:208), ada dua jenis rasio leverage keuangan yang biasa lazim digunakan oleh perusahaan yang go public.

  1. Rasio hutang terhadap ekuitas. Agar dapat menilai sejauh mana perusahaan menggunakan uang yang dipinjamkan, kita dapat menggunakan beberapa rasio hutang (debt ratio) yang berbeda. Rasio hutang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) dihitung hanya dengan membagi total utang perusahaan (termasuk kewajiban jangka pendek) dengan ekuitas pemegang saham.

  Para kreditor secara umum akan lebih suka jika rasio ini lebih rendah. Semakin rendah rasio ini, maka semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham dan semakin besar perlindungan bagi kreditor jika terjadi penyusutan nilai aktiva atau kerugian besar.

  2. Rasio hutang terhadap total aktiva. Rasio hutang terhadap total aktiva (debt to total assets ratio) didapat dari membagi total utang perusahaan dengan total aktivanya: Rasio ini menekankan pada peran penting pendanaan yang didukung oleh pendanaan hutang. Jadi 45%dari aktiva perusahaan didanai oleh hutang, sementara sisanya sebesar 55% pendanaan berasal dari ekuitas pemegang saham.

  Jadi hal ini menunjukkan bahwa semakin besar presentase pendanaan yang disediakan oleh ekuitas pemegang saham, semakin besar jaminan perlindungan yang didapat oleh kreditor perusahaan. Semakin tinggi debt to total assets ratio, semakin besar resiko keuangannya. Sebaliknya,semakin rendah rasio ini maka semakin rendah resiko keuangannya.

2.9 Tipe Kepemilikan Publik

  Tipe kepemilikan perusahaan adalah proporsi kepemilikan asing (multinasional), manajemen perusahaan (insider ownership), institusional, publik dan individual.

1. Kepemilikan Asing (Multinasional)

  Chibber dan Mujamdar (1999 (dalam Herdinata, 2007), meneliti kepemilikan asing terhadap kinerja perusahaan di India dengan 1000 perusahaan dalam periode 1988-1991. Hasilnya memperlihatkan bahwa semakin meningkatnya kepemilikan orang asing semakin meningkat pulakinerja perusahaan di India. Ketika kepemilikan orang asing lebih besar dari40%, yakni tingkat kepemilikan yang mengontrol secara total, kinerja perusahaan jauh lebih baik dan signifikan daripada tingkat kepemilikan yang lebih rendah. Wiwattanakantang (2001) (dalam Herdinata, 2007), menjelaskan perusahaan yang dikontrol oleh pemegang saham asing mempunyai beberapa keunggulan seperti know-how teknologi.

  Menurut Susanto (1992) dalam Almilia dan Retrinasari(2007), afiliasi perusahaan dengan perusahaan asing (multinasional) mungkin akan melakukan pengungkapan yang lebih luas. Terdapat beberapa alasan mengenai dugaan ini. Pertama, perusahaan berbasis asing mendapatkan pelatihan yang lebih baik, misalnya dalam bidang akuntansi, dari perusahaan induknya dari luar negeri. Kedua, perusahaan berbasis asing mungkin mempunyai sistem informasi manajemen yang lebih efisien yang memenuhi kebutuhan pengendalian internal dan kebutuhan informasi perusahaan induknya. Ketiga kemungkinan juga terdapat permintaan informasi yang lebih besar kepada perusahaan berbasis asing dari pelanggan, pemasok, analisis dan masyarakat pada umumnya. Perusahaan dengan status berbeda akan memiliki

  

stakeholders yang berbeda, sehingga tingkat kelengkapan pengungkapan

yang harus dilakukan pun berbeda.

  Perusahaan dengan status penanaman modal asing (PMA) akan memberikan pengungkapan yang lebih luas dibanding perusahaan domestik.

  Perusahaan besar dianggap memiliki informasi yang lebih banyak dibanding perusahaan kecil. Fitriani (2001) dalam Almilia dan Retrinasari (2007), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa status perusahaan mempunyai hubungan negatif dengan kelengkapan pengungkapan. Perusahaan dengan status PMA akan indeks kelengkapan pengungkapannya lebih rendah jika dibandingkan dengan perusahaan yang berstatus lainnya.

2. Kepemilikan Manajemen Perusahaan (Insider Ownership)

  Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa adanya kepemilikan oleh manajemen akan mengurangi secara signifikan konflik keagenan antara pemilik dan agen (manajemen). Konflik yang terjadi didalam perusahaan akan dipersepsikan negatif oleh pasar. Jika konflik terjadi pemegang saham harus mengeluarkan sejumlah biaya baik dalam bentuk biaya monitoring (monitoring cost), bonding cost dan biaya residual (residual loss) sebagai akibat dari problema keagenan tersebut.

  Semakin besar kepemilikan manajer didalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi perusahaan dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut (Grey, et. Al., 1998).

3. Kepemilkan Institusional

  Kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan saham oleh institusi pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham publik yang diukur dengan presentase jumlah saham yang dimiliki oleh investor institusi intern (Sudarma,2003, Fried dan Hasbrouk,1998).

  Dengan tingginya kepemilikan manajerial, para investor institusional akan mendapatkan kesempatan kontrol perusahaan yang lebih sedikit. Ini berarti hubungan antara kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah negatif. Hubungan ini sesuai dengan penelitian Fitriani dan Mamduh (2003).

  Resiko mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap kepemilikan institusional. Tingginya resiko yang dihadapi perusahaan meningkatkan resiko kebangkrutan dan volalitas dari pendapatan, hal ini akan mengurangi minat institusi untuk melakukan investasi pada saham perusahaan tersebut karena institusi lebih mementingkan pada stabilitas pendapatan (Fitri dan Mamduh,2003).

  Dengan jumlah investasi yang tinggi, investor institusional melakukan

monitoring yang semakin ketat dan menghalangi perilaku oportunis manajer.

  

Monitoring oleh investor institusional ini dapat mengurangi agency cost

  dalam hal ini yaitu biaya yang ditanggung pemilik untuk mengawasi agen seperti biaya audit, sehingga dividen yang dibayarkan juga menurun.

  Kehadiran kepemilikan institusional memiliki efek substitusi bagi pembayaran dividen untuk mengurangi biaya keagenan.

4. Kepemilikan Publik

  Pemegang saham publik merupakan bagian dari stakeholder yang membutuhkan informasi untuk menganalisis imbal hasil atas investasi saham yang ditanamkan pada perusahaan tersebut, sehingga pemegang saham publik juga memiliki kepentingan terhadap informasi kelangsungan usaha perusahaan. Dengan demikian, semakin besar kepemilikan publik terhadap perusahaan, maka diharapkan pengungkapan laporan tahunan perusahaan sebagai alat untuk pengawasan kinerja perusahaan juga semakin luas (Wardani:2012). Penelitian yang dilakukan oleh Yularto dan Chariri (2000) membuktikan bahwa presentase pemegang saham publik (masyarakat) mempunyai pengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela perusahaan di Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan (Hadi dan Sabeni, (2002), serta Yularto dan Chariri, (2003) variabel tipe kepemilikan diukur dengan presentase saham yang dimiliki oleh publik (masyarakat). Pengertian publik disini adalah pihak masyarakat yang ada di luar manajemen dan tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan.

  Menurut Rosma (2007) kepemilikan publik menunjukkan besarnyaprivate

  

information yang harus dibagikan manajer kepada publik.Private

information tersebut merupakan informasi internal yang semula hanya

  diketahui oleh manajer,seperti standar yang dipakai dalam pengukuran kinerja perusahaan dan keberadaan perencanaan bonus.

  Jensen (1976) menyatakan bahwa publik mempunyai peran penting dalammenciptakanwell functioning government system karena mereka memiliki financial interest dan bertindak independen dalam menilai manajemen. Semakinbesar persentase saham yang ditawarkan kepada publik, maka semakin besar pulainternal yang harus diungkapkan kepada publik. sehingga kemungkinan dapatmengurangi intensitas terjadinya biaya agensi. Oleh karena itu kepemilikanpublik dianggap berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela.

5. Kepemilikan Individual

  Kepemilikan individu atau keluarga sering dihubungkan peran ganda mereka didalam perusahaan, yaitu sebagai pemilik dan sebagai pengelola (manajemen) perusahaan. Menurut sudut pandang ekonomi, individu atau keluarga membuat investasi khusus didalam perusahaan dalam hal human

  

capital sehingga mereka sering enggan untuk melakukan kontrol yang ketat

(Fitriani,2001).

  Pada sisi lain, kepemilikan individu atau keluarga juga cenderung mendapatkan manfaat pribadi (private benefit) ketika menjalankan perusahaan atas pemegang saham minoritas.

  Struktur kepemilikan akan mempengaruhi perilaku dan performasi perusahaan. Menurut Suripto (1998), kepemilikan keluarga akan menciptakan nilai serta memperbaiki kinerja perusahaannya jika disertai beberapa bentuk kontrol dan manajemen keluarga tersebut.

2.10 Penelitian Terdahulu

  1. Julia Halim, Carmel Maiden dan Rudolf lumban tobing (2005), yang melakukan penelitian pengaruh manajemen laba pada tingkat pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan manufaktur yang termasuk dalam indeks LQ45. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah manajemen laba dan tingkat pengungkapan laporan keuangan. Sedangkan, pada variabel independennya terdapat adanya asimetri informasi, kinerja masa kini/current industry relative performance (CRP), kinerja masa mendatang/future industry relative performance (FRP), leverage, ukuran perusahaan, return kumulatif dan current rasio. Objek penelitian mencangkup 34 perusahaan manufaktur yang terdapat di bursa efek Jakarta dan termasuk indeks LQ45 berdasarkan JSX value line tahun 2001-2002. Hasil yang didapat dari penelitian ini menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan pada 34 perusahaan manufaktur yang termasuk indeks LQ-45 terlihat melakukan tindakan manajemen laba. Dalam melihat hubungan manajemen laba dengan indeks pengungkapan ternyata manajemen laba berpengaruh signifikan positif pada tingkat pengungkapan laporan keuangan sejalan dengan perspektif

  

Efficient Earning Managements . Namun sebaliknya, tingkat pengungkapan

  berpengaruh signifikan negatif pada manajemen laba sejalan dengan

  

Oppurtunistic Earning Managements . Asimetri informasi, kinerja masa kini,

  kinerja masa mendatang, faktor leverage, ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Ukuran perusahaan dan return kumulatif berpengaruh signifikan pada tingkat pengungkapan namun belum cukup bukti untuk menyatakan faktor current ratio berpengaruh signifikan pada tingkat pengungkapan.

  2. Luciana Spica Almilia dan Ika Retrinasari (2007), yang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh rasio likuiditas, rasio leverage, net profit margin, ukuran perusahaan dan status perusahaan terhadap kelengkapan pengungkapan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah kelengkapan pengungkapan laporan keuangan tahun 2001-2004 pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dengan metode purposive sampling. Sedangkan variabel independen adalah ukuran perusahaan, rasio leverage, rasio likuiditas, net profit margin dan status perusahaan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa variabel yang mempengaruhi pengungkapan wajib yaitu variabel rasio likuiditas, rasio leverage, ukuran perusahaan dan status perusahaan. Kelengkapan perusahaan tidak dipengaruhi oleh semua variabel- variabel bebas tersebut, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan (wajib dan sukarela) adalah variabel rasio likuiditas, ukuran perusahaan dan status perusahaan yang berpengaruh signifikan <10%. Pada model 2 menunjukkan bahwa secara simultan dan parsial likuiditas, leverage, net profit margin, ukuran perusahaan dan status perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela. Hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat IKP sukarela, sehingga hasilnya tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya.

  Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa indeks kecukupan pengungkapan wajib adalah minimum 15,23% dan maksimum adalah 45,25% dengan rata-rata 28,09%. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua informasi yang diminta dalam peraturan Bapepam diungkapan oleh perusahaan. Hal tersebut disebabkan bukan semata-mata karena kesalahan perusahaan, tetapi karena memang perusahaan tidak memiliki item-item tersebut. Sedangkan indeks pengungkapan sukarela berkisar antara 3,8% sampai 34,62% dengan rata-rata 18,5%. Indeks kelengkapan pengungkapan (wajib dan sukarela) minimum adalah 29,55% dan maksimum adalah 66,56% dengan rata-rata 46,59%.

  3. Oma r Juhmani (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Struktur kepemilikan dan pengungkapan sukarela perusahaan : bukti dari Bahrain”.

  Dalam penelitian ini omar juhmani menjadikan Struktur kepemilikan (kepemilikan pemegang saham, kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik) sebagai variabel independen. Sedangkan variabel kontrol yang dipakainya adalah ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas. Variabel dependen dalam penelitisan ini adalah pengungkapan sukarela (voluntary

  

disclosure). Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan analisis data

  empiris dari 41 perusahaan di Bahrain: data yang dianalisis dengan menggunakan korelasi bivariat dan analisis regrasi linier berganda menggunakan SPSS sebagai alat untuk menjelaskan hubungan antara faktor- faktor struktur kepemilikan dan luas pengungkapan informasi sukarela oleh perusahaan di Bahrain. Selanjutnya hasil penelitian ini yakni struktur kepemilikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Selanjutnya, ukuran dan leverage perusahaan secara signifikan berpengaruh positif dengan tingkat pengungkapan informasi sukarela.

  4. Gary F. Peters dan Andrea M. Romi (2012) dalam penelitiannya berjudul

  Governance padaPengungkapanRisikoSukarela:

  “PengaruhCorporate BuktidariP elaporan Emisi Gas Rumah Kaca”. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengungkapan sukarela sebagai variabel dependennya dan

  

corporate governance sebagai variabel independennya. Dalam penelitian ini

  peneliti melakukan menggunakan datayang tersedia dari Carbon Disclosure

Project "Kuesioner Emisi Gas Rumah Kaca " dari tahun 2002hingga 2006.

  Sampel dari penelitian ini termasuk seluruh perusahaan Amerika Serikat di

  

FT 500, terdiri dari 500 perusahaan terbesar didunia berdasarkan pasar

Dokumen yang terkait

Faktor Dominan Anak Putus Sekolah di Kelurahan Sipolha Horisan Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Efektivitas. - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 10

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Di Indonesia(Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/Pn.Jkt.Tim)

0 0 17

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)

0 0 15

2. Apakah yang dimaksud dengan makanan cepat saji (fast food)? a. Makanan yang penyajiannya cepat, praktis, rendah serat dan tinggi lemak. b. Makanan yang diolah secara alami c. Makanan yang dibeli di restoran 3. Menurut Anda, yang termasuk jenis-jenis da

0 0 42

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Makan Remaja - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 7

Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 0 13