BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Teori Agensi - Pengaruh Corporate Governance dan Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Teori Agensi

  Dalam rangka memahami tentang corporate governance maka digunakanlah dasar perspektif hubungan keagenan sebagai dasar pemikiran.

  Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik (principal), dan agar hubungan kontraktual ini dapat berjalan dengan baik, maka principal akan mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada agent. Hubungan inilah yang disebut dengan teori keagenan.

  Agency theory mengasumsikan bahwa manajer akan bertindak secara

  oportunistik dengan mengambil keuntungan pribadi sebelum memenuhi kepentingan pemegang saham. Teori Agensi ini timbul karena adanya perkembangan ilmu manajemen modern yang menggeser teori klasik, yaitu adanya aturan yang memisahkan pemilik perusahaan (principal) dengan para pengelola perusahaan (agent). Ketika perusahaan berkembang menjadi besar, apalagi pemegang saham semakin tersebar, semakin banyak agency cost yang terjadi dan pemilik semakin tidak dapat melakukan kontrol yang efektif terhadap manajer yang mengelola perusahaan (Prasetyo, 2009).

  Dalam hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah jika terdapat informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (1997) menyatakan bahwa apabila beberapa pihak dalam bisnis memiliki informasi yang lebih daripada pihak lainnya, maka kondisi tersebut dikatakan sebagai asimetri informasi. Hal ini menyebabkan agen cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya, salah satunya yang dilakukan oleh agen adalah pemanipulasian data dalam laporan keuangan agar sesuai dengan harapan prinsipal, walaupun laporan tersebut tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Pemanipulasian data dalam laporan keuangan tersebut dapat berupa praktek manajemen laba.

  Manajemen laba sebenarnya merupakan permasalahan agensi yang muncul dari penyerahan penegelolaan perusahaaan. Hal ini dilakukan sejalan dengan semakin membesar, melebar, dan meluasanya hubungan bisnis yang dijalin

  

perusahaan. Perkembangan inilah yang membuat perlunya keterlibatan orang luar

yang diberi wewenang untuk mengelola perusahaan secara penuh. Pemilik tidak lagi

harus mengoperasikan perusahaan secara langsung, namun cukup menyerahkan hak

dan kewenangan pengelolaan pada pihak lain yang dinilai lebih mampu. Pemilik hanya bertugas mengawasi, mengendalikan, dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan orang itu. Inilah awal berkembangnya teori agensi dalam dunia usaha (Sulistyanto, 2008).

  Didalam sebuah perusahaan ada tiga pihak utama yang memiliki kepentingan yang berbeda yaitu manajemen, pemegang saham sebagai pemilik, dan tenaga kerja. Prinsip pengambilan keputusan yang diambil oleh manajer adalah bahwa manajer harus memilih tindakan-tindakan yang dapat memaksimalkan kekayaan pemegang saham, atau dengan kata lain, pengambilan keputusan tidak dilakukan berdasarkan atas kepentingan manajemen tetapi harus mengacu pada kepentingan pemegang saham. Namun kenyataan yang terjadi dibanyak perusahaan adalah manajer lebih cenderung memilih tindakan-tindakan yang menguntungkan kepentingannya sendiri, misalnya yang dapat memaksimalkan kekayaannya daripada menguntungkan para pemegang saham.

  Dalam menerapkan teori agensi masih ditemukan banyak kendala sehingga diperlukan suatu konsep yang dapat melindungi para pihak yang terkait dengan kepemilikan dan operasional perusahaan (stakeholder), terutama yang menyangkut masalah kepentingan dan biaya agensi (agency cost) yang dapat timbul, dan berkembanglah suatu konsep baru yang lebih memperhatikan dan mengatur kepentingan-kepentingan para stakeholders yang dikenal dengan konsep

  corporate governance .

  Menurut Zehnder (2000) dalam Aji (2012) dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance. Dewan komisaris bertugas untuk memonitor dewan direksi terkait dengan pelaksanaan utama dewan direksi dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Dewan komisaris bertindak untuk menyelaraskan pendapat agar tidak terjadi perselisihan antar manajer dan tentunya mengontrol pelaporan keuangan dan dipastikan tidak ada monopoli sehingga tidak menimbulkan manajemen laba.

2.1.2 Corporate Governance

  Istilah corporate governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporan mereka yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report. Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning point) yang sangat menentukan bagi praktik good corporate governance di seluruh dunia.

  Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2000) pengertian corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu system yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

  Definisi lain juga diberikan Organization for Economic Cooperation

  

and Development (OECD) tentang corporate governance yaitu sekumpulan

  hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate

  

governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan

  dan pengawasan atas kinerja. Adanya sistem corporate governance yang efektif, baik di dalam individu perusahaan dan di dalam perekonomian secara menyeluruh, membantu meningkatkan derajat kepercayaan yang diperlukan untuk berfungsinya ekonomi pasar.

  Dari beberapa definisi yang di atas dapat disimpulkan bahwa

  

corporate governance adalah suatu sistem yang dibuat untuk mengarahkan dan

  mengendalikan perusahaan sehingga tercipta suatu hubungan yang baik, adil, dan transparan di antara berbagai pihak yang terkait dan yang memiliki kepentingan dalam perusahaan. Pihak-pihak terkait (stakeholder) yang dimaksud adalah pihak internal yang bertugas mengelola perusahaan dan pihak eksternal yang meliputi pemegang saham, kreditur dan lain-lain. Hubungan yang seperti itulah yang ingin diwujudkan oleh corporate governance.

2.1.2.1 Mekanisme Corporate Governance

  Menurut Barnhart dan Rosenstein (1998) terdapat dua mekanisme dalam penerapan corporate governance yaitu internal mechanism (mekanisme internal) yang berkaitan dengan pengendalian intern perusahaan seperti dewan direksi, kepemilikan manajerial, serta komposisi eksekutif, dan external

  

mechanism (mekanisme eksternal) berupa pasar untuk pengendalian perusahaan,

kepemilikan institusional, dan level debt of financing.

  Mekanisme internal adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham, komposisi dewan komisaris, komposisi dewan direksi dan pertemuan dengan board of directors. Sedangkan mekanisme eksternal adalah mekanisme kontrol yang memanfaatkan semua perangkat yang ada di luar perusahaan, baik ekonomi, hukum maupun sosial untuk mengontrol jalannya perusahaan agar sesuai dengan keinginan para pemegang saham dan para stakeholders lainnya.

2.1.2.2 Asas Corporate Governance

  Ada lima asas corporate governance menurut Pedoman GCG Indonesia (2006) yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), yaitu:

  1. Transparansi (Transparency): Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

  2. Akuntabilitas (Accountability): Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.

  Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

  3. Responsibilitas (Responsibility): Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen .

  4. Independensi (Independency): Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing- masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

  5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness): Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

2.1.2.3 Tujuan Penerapan Corporate Governance

  Komite Nasional Kebijakan Governance menjelaskan bahwa merupakan acuan bagi perusahaan dalam rangka:

  corporate governance 1.

  Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.

  2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing

  organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham.

  3. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris, dan anggota

  direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

  4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial

  perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

  5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

  6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun

  internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

2.1.3 Dewan Komisaris

  Dewan komisaris berperan penting dalam penerapan good corporate .

  governance karena bertugas untuk menjamin pelaksanaan stategi perusahaan

  Agar pelaksanaan good corporate governance terjamin diperlukan anggota dewan komisaris yang memiliki integritas, kemampuan tidak cacat hukum dan tidak memiliki hubungan bisnis ataupun hubungan lainnya dengan pemegang saham pengendali baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Menurut Sulistyanto (2008) dewan komisaris juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable selain komite audit. Oleh sebab itu, keberadaan dewan ini akan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa keuangan yang dilakukan seorang manajer. Sejalan dengan pengujian yang membuktikan apakah besarnya dewan komisaris mempunyai hubungan yang positif dengan kemungkinan penyimpangan dalam pelaporan keuangan. Studi tersebut tidak menemukan hubungan antara kedua hal itu karena semakin besar dewan direktur semakin tidak efisien dan semakin lemah kontrolnya terhadap manajer. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada hubungan negatif antara proporsi independensi dewan komisaris dengan level manajemen laba. Demikian juga kompetensi dewan komisaris yang mempunyai hubungan negatif dengan level manipulasi. Atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris, semakin mengurangi kemungkinan penyimpangan dalam pelaporan keuangan. Komite Nasional Kebijakan Governance dalam Pedoman GCG Indonesia (2006) menyatakan bahwa komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota Direksi dan Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KNKG juga menjelaskan tentang tugas dari Komite Penunjang Dewan Komisaris, beberapa diantaranya yaitu:

  1. Komite Audit Komite Audit bertugas membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa: (i) laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, (ii) struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (iii) pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan (iv) tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.

  2. Komite Nominasi dan Remunerasi Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris dalam menetapkan kriteria pemilihan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta sistem remunerasinya; Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris mempersiapkan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi dan mengusulkan besaran remunerasinya:. Dewan Komisaris dapat mengajukan calon tersebut dan remunerasinya untuk memperoleh keputusan RUPS dengan cara sesuai ketentuan Anggaran Dasar.

  3. Komite Kebijakan Risiko Komite Kebijakan Risiko bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh perusahaan.

  4. Komite Kebijakan Corporate Governance Komite Kebijakan Corporate Governance bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

2.1.4 Manajemen Laba

  Manajer dapat melakukan tindakan untuk memaksimalkan kesejahteraan dengan memanfaatkan asimetri informasi dan dengan munculnya perilaku oportunistik yaitu perilaku yang mengeksploitasi peluang keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan keuntungan jangka panjang, salah satu tindakannya yaitu dengan memodifikasi laba atau dikenal dengan istilah manajemen laba (earning manajement). Menurut Schipper (1989) dalam Subramanyam dan Wild (2010) manajemen laba dapat didefinisi sebagai “intervensi manajemen dengan sengaja dalam proses penentuan laba, biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi”.

  Sering kali proses ini mencakup mempercantik laporan keuangan, terutama angka yang paling bawah, yaitu laba. Manajemen laba dapat dilakukan dengan dua cara: (1) mengubah metode akuntansi, yang merupakan bentuk manajemen laba yang paling jelas terlihat, dan (2) mengubah estimasi dan kebijakan akuntansi yang menentukan angka akuntansi, suatu bentuk manajemen laba yang lebih samar.

  Ada pihak yang mendefinisikan manajemen laba sebagai kecurangan yang dilakukan seorang manajer untuk mengelabui orang lain, sedangkan pihak lain mendefinisikannya sebagai aktivitas yang lumrah dilakukan manajer dalam menyusun laporan keuangan. Secara umum manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi- informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008).

2.1.4.1 Strategi Manajemen Laba

  Menurut Subramanyam dan Wild (2010) ada tiga jenis strategi manajemen laba yang satu atau kombinasi dari ketiga kombinasi strategi tersebut sering kali digunakan manajer pada waktu yang berbeda untuk mencapai tujuan manajemen laba jangka panjang. Ketiga strategi manajemen laba tersebut adalah:

  1. Meningkatkan Laba Salah satu strategi manajemen laba adalah meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode kini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik. Cara ini juga memungkinkan peningkatan laba selama beberapa periode.

2. Big Bath

  Strategi ini dilakukan dengan melakukan penghapusan (write-off) sebanyak mungkin pada satu periode. Periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yang buruk (sering kali pada masa resesi di mana perusahaan lain juga melaporkan laba yang buruk) atau peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa seperti perubahan manajemen, merger, atau restrukturisasi. Strategi big bath juga sering kali dilakukan setelah strategi peningkatan laba pada periode sebelumnya.

  3. Perataan Laba Strategi perataan laba merupakan bentuk umum dari manajemen laba. Banyak perusahaan yang menggunakan bentuk strategi ini, dimana manajer meningkatkan atau, menurunkan laba yang dilaporkan untuk mengurangi fluktuasinya. Perataan laba juga mencakup tidak melaporkan bagian laba pada periode baik dengan menciptakan cadangan atau “bank” laba dan kemudian melaporkan laba ini saat periode buruk. Banyak perusahaaan menggunakan bentuk manajemen laba ini.

2.1.4.2 Motivasi Melakukan Manajemen Laba

  Banyak alasan yang menjadi pemicu dilakukannya manajemen laba, diantaranya yaitu adanya insentif perjanjian, dampak yang terjadi pada harga saham, dan insentif lain. Seperti yang dipaparkan oleh Subramanyam dan Wild (2010) berikut ini:

  1. Insentif Perjanjian Contoh dari adanya insentif perjanjian ini adalah persyaratan utang yang biasanya berdasarkan rasio yang menggunakan angka akuntansi sepeti laba, namun karena pelanggaran syarat utang menimbulkan biaya yang tinggi bagi manajer, maka mereka cenderung melakukan manajemen laba, yaitu dengan membuat laba menjadi lebih tinggi, untuk menghindari pelanggaran syarat utang tersebut.

  2. Dampak Harga Saham Manajer dapat meningkatkan laba dengan tujuan menaikkan harga saham perusahaan sementara selama satu satu kejadian tertentu, seperti merger yang akan dilakukan atau pada saat penawaran surat berharga, atau saat ada rencana untuk menjual saham. Contoh lainnya adalah manajer dapat melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi pasar akan resiko dan untuk menurunkan biaya modal.

  3. Insentif Lain Untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang dilakukan oleh badan pemerintah, laba sering kali diturunkan. Selain itu, perusahaan juga menurunkan laba untuk memperoleh keuntungan dari pemerintah, misalnya subsidi ataupun proteksi dari persaingan asing, serta untuk mengelak dari permintaan serikat buruh.

2.1.4.3 Dampak yang Dihasilkan Manajemen Laba terhadap Analisis Laporan Keuangan

  Manajemen laba dapat menyebabkan distorsi laporan keuangan, oleh karena itu identifikasi dan membuat penyesuaian manajemen laba menjadi tugas penting dalam menganalisis laporan keuangan. Menurut Subramanyam dan Wild (2010), sebelum menentukan apakah sebuah perusahaan melakukan manajemen laba, seorang analis harus memeriksa hal berikut:

  1. Insentif melakukan manajemen laba Manajemen laba tidak dilakukan kecuali jika terdapat insentif bagi manajer. Insentif ini telah dibahas sebelumnya dan seorang analis harus mempertimbangkan insentif tersebut.

  2. Reputasi dan masa lalu manajemen Perlu untuk menilai reputasi dan integritas manajemen. Membaca laporan keuangan periode lalu, persyaratan SEC, laporan audit, penggantian auditor, dan media keuangan memberikan informasi yang berguna untuk masalah ini.

  3. Pola yang konsisten Tujuan manajemen laba adalah memperngaruhi angka paling bawah seperti laba atau rasio utama seperti debt to equity atau interest coverage. Perlu diverifikasi apakah komponen laba (atau neraca) tertentu telah diubah untuk tujuan tertentu. Misalnya, jika suatu perusahaan terlihat meningkatkan laba melalui, katakanlah, kebijakan pengakuan pendapatan, sementara pada saat yang sama menurunkan laba melalui perubahan metode persediaan, maka kecil kemungkinan perusahaan melakukan manajemen laba.

  4. Kesempatan melakukan manajemen laba Sifat aktivitas usaha menentukan sejauh mana manajemen laba dapat dilakukan. Jika sifat aktivitas usaha membutuhkan penilaian yang cukup banyak untuk menentukan angka laporan keuangan, maka semakin besar kesempatan untuk melakukan manajemen laba.

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Judul Variabel Penelitian Kesimpulan Penelitian

  Muhammad Irsyad (2011)

  Pengaruh Good

  Corporate Governance

  terhadap Manajemen Laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI

  Manajemen laba, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit

  Beberapa hasil pengujian dari para penelitian terdahulu dapat dilihat dari sebagai berikut:

  (kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, komite audit) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dan kinerja perusahaan.

  Thiodora Panjaitan (2012)

  Analisis Pengaruh Mekanisme Good

  Corporate Governance

  terhadap Manajemen Laba

  Manajemen laba, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan komite audit

  Secara simultan kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh secara signifikan

  Good Corporate Governance pada Perusahaan terhadap manajemen Manufaktur yang laba. Secara parsial terdaftar di BEI hanya kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan proporsi dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Pengaruh Good Isian Manajemen laba, Good corporate

  Corporate

  Mahdalena kinerja governance

  Governance

  Girsang perusahaan, (kepemilikan terhadap (2010) manajerial, proporsi

  Manajemen Laba kepemilikan dewan komisaris, dan dan Kinerja manajerial, komite audit) tidak

  Perusahaan Real proporsi dewan berpengaruh terhadap

  Estate dan komisaris dan Property yang manajemen laba dan komite audit terdaftar di BEI kinerja perusahaan secara parsial.

  Irsyad (2011) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Good Corporate

  

Governance terhadap Manajemen Laba pada perusahaan manufaktur yang

  terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Penelitian ini dilakukan terhadap 23 perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur dengan tahun pengamatan 2004-2008. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dan kinerja perusahaan.

  Panjaitan (2012) melakukan penelitian mengenai Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan komite audit. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Penelitian ini dilakukan terhadap 25 perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur dengan tahun pengamatan 2009-2011. Hasil penelitian ini menemukan bahwa hanya kepemilikan manajerial yang berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan proporsi dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Girsang (2010) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Good Corporate

  

Governance terhadap Manajemen Laba dan Kinerja Perusahaan Real Estate dan

  Property yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba dan kinerja keuangan. Penelitian ini dilakukan terhadap 17 perusahaan yang bergerak di bidang real estate dan property dengan tahun pengamatan 2007-2008. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dan kinerja perusahaan secara parsial.

2.3 Kerangka Konseptual

  Corporate Governance (X1) Manajemen Laba (Y) Dewan Komisaris (X2)

  

(X3)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual adalah modal konseptual mengenai bagaimana teori yang digunakan berhubungan dengan berbagai faktor yang telah peneliti identifikasikan sebagai masalah penting. Berdasarkan kerangka konseptual diatas, ditentukan bahwa variabel corporate governance dan dewan komisaris sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen.

  Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan yang diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan melakukan kecurangan dengan mencuri atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/modal yang telah ditanamkan oleh investor, dan bagaimana para investor mengontrol para manajer.

  Peranan dewan komisaris akan memberikan pengaruh terhadap manajemen laba. Dewan komisaris bertugas mengawasi keseimbangan kepentingan manajemen sehingga manajemen laba tidak akan terjadi. Dewan komisaris juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan karena apabila dewan komisaris menjalankan tugasnya dengan baik maka dapat meningkatkan kepercayaan investor kepada perusahaan.

2.4 Perumusan Hipotesis

  Berdasarkan uraian teoritis dan kerangka konseptual di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu :

  1. H1: Corporate Governance memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  2. H2: Dewan Komisaris memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  3. H3: Corporate Governance dan Dewan Komisaris secara simultan memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

Dokumen yang terkait

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)

0 0 15

2. Apakah yang dimaksud dengan makanan cepat saji (fast food)? a. Makanan yang penyajiannya cepat, praktis, rendah serat dan tinggi lemak. b. Makanan yang diolah secara alami c. Makanan yang dibeli di restoran 3. Menurut Anda, yang termasuk jenis-jenis da

0 0 42

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Makan Remaja - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 7

Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 0 13

Lampiran 1 Sampel dan Populasi NO NAMA PERUSAHAAN KRITERIA SAMPEL1 2 3

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenen (Agency Theory) - Pengaruh karakteristik perusahaan terhadap voluntary disclosure perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 1 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh karakteristik perusahaan terhadap voluntary disclosure perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

Pengaruh Corporate Governance dan Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 15