BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Analisis Indeks Glikemik (IG) pada Nasi Campuran antara Beras (Oriza sp) dan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beras (Oriza sp)

  Beras adalah tanaman sereal yang paling penting dan makanan pokok lebih dari setengah populasi dunia. Ini menyediakan 20% dari pasokan energi makanan didunia. Sebagai sumber utama makanan berkarbohidrat, beras memainkan peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (FAO, 2004 dalam Yusof, 2005).

  Beras merupakan makanan sumber energi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi namun proteinnya rendah. Kandungan gizi beras per 100 gram bahan adalah 360 kkal energi, 6,6gr protein, 0,58gr lemak, dan 79,34gr karbohidrat. Beras putih merupakan bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi beras putih berkaitan dengan peningkatan resiko diabetes tipe 2 (Larasati, 2013).

  Beras merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Jenis beras di Indonesia ada banyak. Jenis beras orisinil Indonesia yang dapat dinikmati oleh masyarakat yaitu beras pandan wangi, IR 64 atau beras setra ramos, rojolele, IR 42, IR 36, ciherang, taj mahal, martapura, cisokan, margasari, logawa, beras merah.

  Beras terdiri dari beberapa komponen yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan komponen lainnya. Besar masing-masing komponen dipengaruhi oleh varietas, lingkungan budidaya dan metode analisa yang dilakukan. (Riwan Kusmiadi, 2004 dalam Susilowati, 2010).

2.2 Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.)

  Ubi jalar atau ketela rambat atau

  “sweet potato” diduga berasal dari Benua

  Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika bagian tengah. Ubi jalar (Ipomoea batatas

  L) mulai menyebar keseluruh dunia, terutama negara-negara berklim tropika,

  diperkirakan pada abad ke 16. Penyebaran ubi jalar pertama kali terjadi ke Spanyol melalui Tahiti, Kepulauan Guam, Fiji dan Selandia Baru. Orang-orang Spanyol dianggap berjasa menyebarkan ubi jalar (Ipomoea batatas L) ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang dan Indonesia (Rukmana, 1997).

  Ubi jalar (Ipomoea batatas L) memiliki ukuran bentuk, warna kulit dan warna daging bermacam-macam tergantung pada varietasnya. Ukuran umbi tanaman ubi jalar bervariasi, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Bentuk umbi tanaman ubi jalar ada yang bulat, bulat lonjong (oval) dan bulat panjang. Kulit umbi ada yang berwarna putih, kuning, ungu, orange dan merah. Demikian juga daging umbi tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L) ada yang berwarna kuning, orange dan ungu. Struktur kulit tanaman ubi jalar juga bervariasi antara tipis sampai tebal dan bergetah. Umbi tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L) memiliki terkstur daging yang juga bervariasi, ada yang masir (mempur) dan ada pula yang benyek berair. Rasa umbi tanaman ubi jalar pun bervariasi, ada yang manis, kurang manis, dan ada pula yang gurih.

  Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan sumber karbohidrat yang berasa manis dan indeks glikemik lebih rendah dibanding beras, sehingga baik dikonsumsi sebagai pengganti beras bagi penderita diabetes. Jika dilihat dari warna kulitnya, ubi jalar ini ada dua jenis, yaitu ubi jalar merah dan ubi jalar putih. Adapun jika dilihat dari warna dagingnya ada ubi jalar kuning, ubi jalar ungu, dan ubi jalar putih. Ubi jalar kuning kaya antioksidan betakaroten(provitamin A) dan vitamin C. (Murdiati & Amaliah, 2013). Daging umbi yang berwarna orange memiliki rasa yang lebih manis daripada daging umbi yang berwarna lain (Dede & Bambang, 2009). Sementara itu ubi jalar berdaging putih sangat sedikit mengandung vitamin itu, namun ubi jalar putih dapat dijadikan tepung karena berkadar bahan kering tinggi (Purwono & Purnamawati, 2007).

  Ubi jalar (Ipomoea batatas L) dapat dikonsumsi sebagai makanan utama maupun kudapan. Sebagai makanan utama ubi ini dapat diolah menjadi nasi, yaitu nasi yang dicampur dengan ubi jalar. Ubi jalarnya dapat dicampurkan dalam bentuk pasta. Jika dibandingkan dengan nasi biasa, nasi ubi jalar orange ini lebih bergizi karena mengandung antioksidan. Adapun kudapan ubi diolah menjadi donat, ubi bakar, ubi rebus dan ubi goreng maupun timus. Selain itu, ubi jalar (Ipomoea batatas L) juga dapat diambil pati dan tepungnya serta digunakan sebagai campuran dalam pembuatan saos tomat (Murdiati & Amaliah, 2013).

  Ubi jalar mempunyai nama botani Ipomoea batatas (L.) Lam, tergolong family Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan). Menurut Dede Juanda dan Bambang Cahyono (2009) taksonomi klasifikasi ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbunga) Sub divisio : Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup) Kelas : Dicotylae (tumbuhan berkeping dua) Ordo : Convolvulales Familia : Convolvulaceae Genus : Ipomoea Spesies : Ipomoea batatas L. Sin batatas edulis choisy Tujuan pokok bertanam ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah untuk menghasilkan umbi sebagai sumber karbohidrat non-beras, disamping fungsi lainnya sebagai bahan sayuran.

Gambar 2.1 Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) OrangeGambar 2.2 Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Putih

  Budidaya ubi jalar cocok dilakukan didaerah tropis yang panas dan

  lembab. Suhu ideal bagi tanaman ini adalah 21-27 C dengan curah hujan 750 1500 mm pertahun. Budidaya ubi jalar memerlukan penyinaran matahari sekitar 11-12 jam sehari (Priyowidodo, 2014).

  • – o

2.3 Kandungan Gizi dan Manfaat Ubi Jalar

  Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori (energi) yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki peringkat keempat setelah padi, jagung dan ubi kayu. Ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan mineral sehingga cukup baik untuk memenuhi gizi dan kesehatan masyarakat. Vitamin yang terkandung dalam ubi jalar adalah vitamin A (betakaroten), vitamin C, thiamin (vitamin B1) dan rebovlavi (vitamin B2).

  Sedangkan mineral yang terkandung dalam ubi jalar adalah zat besi (Fe), fosfor (P), kalsium (Ca) dan natrium (Na). Kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam ubi jalar adalah protein, lemak, serat kasar, kalori dan abu (Dede & Bambang, 2009).

  Menurut Hasyim dkk (2008) dalam Jairani (2010) karbohidrat yang dikandung ubi jalar (Ipomoea batatas L) masuk dalam klasifikasi low glycemic

  index artinya komoditi ini sangat cocok untuk penderita diabetes. Mengonsumsi

  ubi jalar tidak secara drastis menaikkan gula darah, berbeda halnya dengan sifat karbohidrat dengan glycemic index tinggi, seperti beras dan jagung. Sebagian besar serat ubi jalar merah merupakan serat larut yang menyerap kelebihan lemak/kolesterol darah, sehingga kadar lemak/kolesterol dalam darah tetap aman terkendali.

  Dilihat dari kandungan gizinya yang cukup lengkap, ubi jalar dapat memenuhi kebutuhan gizi bagi kesehatan tubuh. Zat-zat yang terkandung didalamnya dapat mencegah berbagai penyakit, membangun sel-sel tubuh, menghasilkan energi dan meningkatkan proses metabolisme tubuh. Selain mengandung zat gizi, ubi jalar juga mengandung zat antigizi yang dapat menurunkan cita rasa sehingga masyarakat banyak yang tidak menyukainya. Zat antigizi tersebut adalah trypsin inhibitor. Zat ini dapat menghambat kerja tripsin dalam mengurai protein sehingga menyebabkan terganggunya pencernaan protein dalam usus. Akibatnya, tingkat penyerapan protein dalam tubuh menurun yang ditunjukkan dengan timbulnya gejala mencret. Selain itu, ubi jalar juga mengandung senyawa-senyawa seperti ipomaemarone, furanoterpen, koumarin dan polifenol yang menimbulkan rasa pahit. Senyawa-senyawa tersebut terbentuk dalam jaringan karena adanya luka serangan hama (tsou, et.al., 1989 dikutip Djoko Said Damardjati, 1994). Selain menimbulkan rasa pahit, senyawa polifenol khususnya juga dapat menyebabkan warna umbi menjadi gelap/coklat yang dapat terikut pada produk akhirnya. Gambaran diatas menunjukkan, bahwa sifat fisik dan kimia umbi merupakan informasi yang penting pada pengembangan teknologi pengolahan ubi jalar sebagai dasar ataupun penentu kriteria kualitas produk yang dihasilkan dan teknik atau proses yang akan dilakukan.

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Umbi Ubi Jalar per 100 gram Bahan No. Komposisi Kimia (%) Komposisi

  Sumber: Sentra Informasi Iptek, (2005) dalam Putri, dkk (2015)

  9. Antosianin (mg/100gr) 0,06 0,456

  8. Vitamin (C) (mg) 28,68 29,22

  7. Serat (%) 25 2,79

  6. Abu (g) 0,93 0,99

  5. Air (%) 62,24 68,78

  4. Protein (%) 0,89 0,49

  3. Lemak (%) 0,77 0,68

  2. Gula reduksi (%) 0,32 0,11

  1. Zat pati (%) 28,79 24,47

  Komposisi Kimia (%) Jenis Warna Daging Umbi Putih Kuning

Tabel 2.2 Kandungan Gizi dari Umbi Ubi Jalar Putih, Kuning No.

  13. Air 83,3

  1. Energi (kl/100gram) 71,1

  12. Vitamin C (mg/100gram) 24,0

  11. Vitamin B1 (mg/100gram) 0,09

  10. Vitamin A (mg/100gram) 0,01

  9. Besi (mg/100gram) 0,49

  8. Fosfor (mg/100gram) 51,0

  7. Kalsium (mg/100gram) 29,0

  6. Serat makanan (%) 1,6

  5. Gula (%) 2,4

  4. Pati (%) 22,4

  3. Lemak (%) 0,17

  2. Protein (%) 1,43

  Sumber:Suprapta (2003) dalam Susilowati (2010)

  Komposisi kimia. Ubi jalar yang digoreng akan meningkat bioavailabilitas betakarotennya karena minyak berperan sebagai pelarut senyawa tersebut.

  Didalam tubuh, betakaroten menjadi lebih mudah diserap dan akan mengalami metabolisme lanjutan. Satu hal yang menggembirakan, perebusan hanya merusak 10% kadar betakaroten, sedangkan penggorengan atau pemanggangan betakaroten dalam oven 20%. Namun penjemuran menghilangkan 40% kandungan betakaroten.

2.3.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Ubi Jalar Orange

  Ubi jalar orange memiliki daging buah berwarna kekuningan hingga jingga atau orange. Dibanding ubi jalar putih, tekstur ubi jalar orange memang lebih berair dan kurang masir tetapi lebih lembut. Semakin pekat warna jingganya, maka s emakin tinggi kadar β-karoten yang merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh.

  Zat gizi lain dalam ubi jalar orange adalah kalium, fosfor, mangan dan vitamin B6. Jika dimakan mentah, ubi jalar orange menyumbang cukup vitamin C. Disamping itu, ubi jalar orange lebih kaya serat, khususnya oligosakarida. Konsumsi ubi jalar orange 2-3 kali seminggu membantu kecukupan serat. Apabila dimakan bersama kulitnya menyumbang serat lebih banyak. Ubi jalar orange merupakan umbi-umbian yang mengandung senyawa antioksidan paling lengkap. Selain vitamin A, C dan E, ubi jalar orange juga mengandung vitamin B6 (pirodoksin) yang berperan penting dalam mendukung kekebalan tubuh. Hampir semua zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar orange mendukung kemampuannya memerangi serangan jantung coroner. Kesimpulan sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa kalium pada ubi jalar orange memangkas 40% resiko penderita hipertensi terserang stroke fatal dan menurunkan tekanan darah

  c yang berlebihan hingga 25% (Anonim , 2009).

2.4 Tepung Ubi Jalar

  Ubi jalar dapat diproses menjadi tepung yang biasa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli pangan bahwa pemanfaatan bahan pangan berkarbohidrat tinggi dalam bentuk tepung lebih menguntungkan, karena lebih fleksibel, mudah di campur, dapat diperkaya zat gizinya (fortifikasi), ruang tempat lebih efisien, daya tahan simpan lebih lama dan sesuai dengan tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000).

  Tepung ubi jalar dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari gaplek ubi jalar yang dihaluskan (digiling) dan kemudian diayak (disaring). Pembuatan tepung ubi jalar dilakukan dengan cara pengeringan/penjemuran irisan tipis daging ubi jalar yang telah dikupas dan dicuci bersih. Pengeringan tepung ubi jalar dengan pengering oven adalah pada suhu 60°C selama 10 jam, sedangkan dengan pengering kabinet adalah pada suhu 60ºC selama 5 jam, dan dengan pengering tipe drum (drum dryer) adalah pada suhu 110°C dengan tekanan 80 psia dan kecepatan putar 17 rpm. Setelah kering, irisan ini dihancurkan dan diayak sampai menjadi tepung dengan tingkat kehalusan tertentu (80-100 mesh). Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pembuatan tepung ubi jalar adalah pembersihan dan pengupasan umbi, pensawutan ataupun pengirisan umbi, pengeringan, dan pengayakan hingga diperoleh produk dalam bentuk tepung halus (Ambarsari, dkk, 2009).

  Menurut Susilawati dan Medikasari (2008) dalam Ginting (2010) komposisi kimia tepung ubi jalar tergantung pada varietas ubi jalar dan lingkungan. Hasil pengamatan warna dan analisis proksimat tepung dari ketigas varietas ubi jalar yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Kandungan Gizi dari Tepung Umbi Ubi Jalar Putih dan Kuning

  No. Parameter Tepung Ubi Jalar Tepung Ubi Jalar ( % ) Putih Orange

  1. Kadar air 10,99 6,77

  2. Kadar abu 3,14 4,71

  3. Protein 4,46 4,42

  4. Lemak 1,02 0,91

  5. Karbohidrat 84,83 83,19

  6. Serat 4,44 5,54

  Sumber: Susilawati dan Medikasari, (2008)

2.5 Campuran antara Beras dan Ubi

2.5.1 Campuran Beras dan Ubi Orange

  Bebilar merupakan singkatan dari nasi beras ubi jalar. Istilah ini digunakan untuk memperkenalkan pangan alternatif yang mensubstitusi beras dengan ubi jalar. Ubi jalar orange kaya akan

  β-karoten sehingga menjadikan nasi beras ubi jalar sebagai nasi yang kaya antioksidan. Ubi jalar mampu mensubstitusi beras (nasi) sebanyak 30%-40%, sehingga secara signifikan dapat mengurangi konsumsi beras. Teknik pembuatan relatif mudah, sama halnya seperti memasak nasi yang dilakukan para ibu rumah tangga setiap harinya (Susilowati, 2010). Keunggulan nasi bebilar adalah kandungan β-karoten dan serat makanan yang tinggi, sehingga cocok sebagai pangan fungsional yang dapat mencegah kanker dan diabetes

  b mellitus (Anonim , 2008).

  Wijaya & Widya (2015) mengatakan bahwa ubi jalar orange dapat diolah menjadi beberapa produk olahan, salah satunya menjadi tepung. Melalui tepung ubi jalar orange juga dapat diolah menjadi nasi ubi jalar orange. Tahap

  • –tahap pembuatan nasi ubi orange dimulai dari pembuatan tepung ubi jalar orange. Ubi jalar orange yang digunakan adalah dengan kriteria ubi yang masih segar, tidak bercak hitam, tidak berlubang. Ubi jalar orange yang telah didapat segera dikupas dan dicuci. Lalu dilakukan blanching (pengukusan) selama 10 menit, dan dilakukan proses fermentasi alami dengan air selama 12 jam. Proses fermentasi tersebut berfungsi untuk memodifikasi sel ubi, sehingga menyebabkan perubahan karakteristik yang lebih baik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan larut. Setelah proses fermentasi, dilakukan proses pengeringan. Pengeringan terbaik dengan menggunakan sinar matahari. Oleh karena itu, dapat dilakukan pemotongan berbentuk chips pada ubi jalar untuk mempercepat proses pengeringan. Proses berikutnya adalah pengayakan untuk mendapatkan tepung ubi jalar yang halus (Wartadiani, 2014). Pada prinsipnya penanakan beras dilakukan dengan cara memanaskannya dalam air sampai tingkat yang enak dimakan (Susilowati, 2010).

2.6 Indeks Glikemik (IG)

  Konsep Indeks Glikemik (IG) ini awalnya dikembangkan oleh tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Ilmu Gizi di University of Toronto tahun 1981(Ide, 2007). Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk memberikan klasifikasi numerik dari makanan sumber karbohidrat yang diasumsikan bahwa data tersebut akan berguna dalam situasi dimana toleransi glukosa terganggu (Jenkins, dkk., 1981). Konsep indeks glikemik adalah perpanjangan dari hipotesis serat dari Burkitt dan Trowell yang menyatakan bahwa makanan yang mengandung serat akan lebih lambat diserap oleh usus, sehingga makanan tersebut memiliki manfaat metabolik dalam kaitannya dengan diabetes dan pengurangan resiko penyakit jantung koroner (Burkitt dan Trowell, 1977 dalam Jenkins, dkk., 2002).

  Menurut FAO (1998), Indeks Glikemik didefinisikan sebagai luas area dibawah kurva respon glukosa darah dari 50g karbohidrat dari makanan uji yang dinyatakan sebagai persen terhadap 50g karbohidrat dari makanan standar yang diambil dari bunjek yang sama. Pada awalnya, pangan karbohidrat yang digunakan sebagai pangan standar untuk mengukur IG adalah glukosa murni dengan IG sebesar 100, tetapi saat ini pangan standar yang sering digunakan adalah roti putih (Jenkins, dkk. 2002).

  Menurut Sarwono W (2002) dalam Adya (2011) Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan.

  Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet. Indeks glikemik membantu penderita diabetes dalam menentukan jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Dengan mengetahui indeks glikemik pangan, penderita diabetes dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk menunjang penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks glikemik rendah akan dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot secara perlahan sehingga glukosa ekstra akan tersedia sampai akhir pertandingan.

  Dengan cara ini, pangan ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan & Siagian, 2004).

  Indeks glikemik menunjukkan jenis karbohidrat yang terkandung dalam makanan, bukan jumlah karbohidrat. Peningkatan kadar gula darah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan jenis karbohidrat yang dikonsumsi. Pada sebagian besar orang, kadar glukosa darah lebih dipengaruhi oleh jumlah karbohidrat yang dikonsumsi. Namun jenis karbohidrat juga berpengaruh terhadap gula darah. Jadi strategi yang optimal adalah mengontrol kedua aspek tersebut yaitu jumlah dan jenis karbohidrat yang dikonsumsi.

  Pada kenyataannya, banyak pangan berkarbohidrat (roti, kentang, dan beras) dicerna dan diserap sangat cepat sehingga dengan cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Selain itu, pangan bergula tinggi (permen dan es krim) dalam jumlah sedang tidak meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis.

  Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama proses pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi, sebaliknya pangan yang indeks glikemiknya rendah, karbohidrat yang terkandung dalam pangan tersebut akan dipecah dengan lambat sehingga pelepasan glukosa ke dalam darah berjalan lambat (Rimbawan & Siagian, 2004).

  Efek metabolisme berhubungan dengan tingkat penyerapan glukosa di usus kecil. Tingkat penurunan penyerapan glukosa setelah mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat yang ber-IG rendah akan mengurangi kenaikan postprandial hormon di usus (misalnya, incretins) dan insulin. Penyerapan karbohidrat secara berkepanjangan akan mempertahankan penekanan asam lemak bebas (FFA) dan respon counterregulatory, sehingga pada saat yang sama konsentrasi glukosa darah rendah, begitu sebaliknya (Jenkins, dkk., 2002).

  Menurut Wirakusumah (2007) dalam Maulana (2012) indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah.

  Sebagai perbandingannya indeks glikemik glukosa murni adalah 100. Berdasarkan respon IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pangan ber

  IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang (intermediate) dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70 (IG<55), IG sedang (IG:55-70) dan IG tinggi (IG>70). Indeks glikemik (IG) ini merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh dan olaragawan (Rimbawan & Siagian, 2004).

2.6.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Indeks Glikemik Pangan

  Menurut Foster-Powell, dkk., (2002) dalam Sundari (2014) jenis pangan yang sama dapat memiliki IG yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengujian yang dilakukan dan juga karakter fisik dan kimia dari makanan. Dua makanan yang sama mungkin memiliki bahan yang berbeda atau mungkin telah diproses dengan metode yang berbeda, sehingga terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah karbohidrat dan nilai IG-nya. Dua merek yang berbeda dari jenis yang sama dari makanan, seperti kue polos, mungkin rasanya terlihat hampir sama, tapi perbedaan jenis tepung yang digunakan, kadar air, dan waktu memasak dapat mengakibatkan perbedaan derajat pati gelatinisasi dan akibatnya nilai IG-nya berbeda. Perbedaan dalam metode pengujian meliputi penggunaan berbagai jenis sampel darah (kapiler atau vena), periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagian-bagian yang berbeda dari makanan (50g dari total bukan dari karbohidrat yang tersedia).

  Berbagai faktor dapat menyebabkan perbedaan indeks glikemik pangan yang satu dengan pangan yang lain. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), beberapa faktor yang memengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-gizi pangan.

a. Proses Pengolahan

  Dewasa ini teknik pengolahan pangan menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran, dan rasa yang lebih enak. Menurut Waspadji, dkk (2003) perbedaan cara memasak dan mengolah bahan makanan akan menyebabkan respon glukosa yang berbeda. Proses pengilingan menyebabkan struktur pangan menjadi lebih halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap. Penyerapan yang cepat mengakibatkan timbulnya rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan diserap menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat ini memaksa pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak. Oleh Karena itu, kadar glukosa darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin (Osman, dkk., 2001 dalam Rimbawan & Siagian, 2004).

  Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabakan terjadinya proses gelatinisasi pada pati sehingga pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencernaan pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan. Ukuran partikel juga mempangaruhi indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004).

b. Kadar Amilosa dan Amilopektin Terdapat dua bentuk pati di dalam pangan yaitu amilosa dan amilopektin.

  Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang yang terdiri atas

  250-350 unit glukosa dengan ikatan alfa-1,4 glukosa (Meyer, 1976 dalam Gardjito, dkk, 2013).

  Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki IG tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi, dan mudah dicerna. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti, 2008).

c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan

  Jenis gula yang terdapat dalam pangan memengaruhi indeks glikmik pangan tersebut. Menurut Rimbawan & Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami terdapat dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa dan fruktosa) dalam berbagai proporsi, terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi.

  Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun strukturnya.

  Sukrosa memiliki IG 65, hal ini dikarenakan disakarida terdiri dari satu glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa diserap dan masuk ke dalam hati. Di dalam hati, kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa. Oleh karena itu, respon glukosa darah terhadap fruktosa murni sangat kecil (IG=23). Artinya, dengan mengkonsumsi sukrosa, kita hanya mengkonsumsi setengah glukosa (Rusilanti, 2008).

  d. Kadar Serat Pangan Keberadaan serat pangan memberikan pengaruh pada kadar gula darah.

  Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah lebih rendah (Rimbawan & Siagian, 2004).

  Menurut Chandalia et al. (2000), peningkatan konsumsi serat pangan, terutama serat pangan larut dapat menurunkan kolesterol plasma, dan meningkatkan kontrol glikemik. Serat pangan dapat meningkatkan control glikemik dengan menurunkan atau menunda penyerapan karbohidrat. Lamanya proses penyerapan mengakibatkan respon glukosa darah menjadi rendah.

  e. Kadar Lemak dan Protein Pangan

  Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berlemak rendah.

  Walaupun demikian, kita tetap memerlukan makanan berkadar lemak rendah. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan ber-IG rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana (Rimbawan & Siagian, 2004).

  f. Kadar Anti-Gizi Pangan

  Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat yang berpotensi menyebabkan efek merugikan terhadap status gizi disebut zat anti-gizi. Beberapa zat anti-gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada biji- bijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan menurun (Rimbawan & Siagian, 2004).

  g. Suhu Pangan saat Dikonsumsi

  Penelitian oleh Bahado Singh, Riley, Wheatley & Lowe (2011) dalam Maulana (2012) menyatakan bahwa pemberian produk olahan ubi jalar dalam keadaan dingin dapat memengaruhi struktur pati ubi jalar, yaitu proses retrogradasi pati yang menyebabkan ikatan hydrogen pada pati mengalami kristalisasi, sehingga terjadi proses melambatnya penyerapan dan daya cerna pati pada tubuh yang mengakibatkan IG produk olahan cenderung lebih rendah.

2.6.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan

  Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan dalam pengukuran IG, seperti metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subjek, dan perhitungan IAUC (Simila, 2012 dalam Sundari, 2014).

  Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan adalah roti putih atau glukosa murni. Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subjek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subjek. Dalam pengukuran indeks glikemik, porsi makanan yang diuji harus mengandung 50g karbohidrat (FAO, 1998). Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50g karbohidrat dalam pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut (FAO, 1998).

  Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di bawah kurva respon glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan & Siagian (2004), luas daerah dibawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon glikemik, tidak hanya satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang menggambarkan respon glukosa darah secara benar.

  Monro dan Shaw (2008) dalam Sundari (2014) mengatakan bahwa pengukuran nilai indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

  ( ) Dimana

  

⁄ ⁄

  dengan demikian, Keterangan:

  IG : Indeks Glikemik

  IAUC food : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji

  IAUC glucose : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni (pangan acuan) Wt : Berat (gr)

  Menurut Miller, dkk (1996) dalam Rimabawan & Siagian (2004), prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut: a.

  Pangan tunggal yang akan ditentukan indeks glikemiknya (mengandung 50 gram karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya).

  b.

  Selama dua jam pasca-pemberian (atau tiga jam bila relawan menderita diabetes), sampel darah sebanyak 50 µL

  • finger-prick capillary blood

  samples method

  • – diambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua yaitu berturut-turut pada menit ke 0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent .

  c.

  Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50gr glukosa murni atau white bread) diberikan kepada relawan. Hal ini dilakukan sebanyak dua kali (dilakukan pada hari lain, minimal tiga hari setelah perlakuan pertama) untuk mengurangi efek keragaman respon gula darah dari hari ke hari.

  d.

  Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu waktu (x) dan kadar glukosa darah (y).

  e.

  Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan.

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

  Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Pada umumnya masyarakat Indonesia menggunakan beras untuk memenuhi kebutuhan akan pangan. Beras memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, tetapi rendah akan serat pangan dan antioksidan. Serat pangan dan antioksidan merupakan komponen yang penting bagi tubuh. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan dapat menghambat timbulnya penyakit degeneratif. Serat pangan dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik dalam usus sehingga membantu kesehatan pencernaan. Dengan demikian perlu dicari alternatif makanan pokok lain sebagai sumber karbohidrat yang juga mengandung serat pangan dan antioksidan.

  Ubi jalar merupakan salah satu komoditi lokal yang ketersediaannya melimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Pada ubi jalar terdapat antosianin dan β-karoten sebagai antioksidan serta serat pangan. Pencampuran beras/nasi dengan ubi jalar merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut sehingga kita tidak harus sepenuhnya meninggalkan nasi (Susilowati, 2010).

  Nasi ubi jalar dengan penambahan 50% tepung ubi jalar orange (Ipomoea batatas L)

  Tepung Ubi Jalar

  • Kandungan Gizi (Air, Abu, (Ipomoea batatas L))

  Lemak, Protein, Serat kasar dan Karbohidrat)

  • Nilai Indeks Glikemik

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

  Berdasarkan kerangka konsep diatas, tepung ubi jalar akan diolah menjadi nasi ubi jalar dengan penambahan 50% tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L). yang akan diukur IG-nya terlebih dahulu dianalisis profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan kandungan karbohidrat serta kadar amilosanya. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya, relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan nasi ubi jalarnya yang mengandung 50 gram karbohidrat kemudian diukur nilai indeks glikemiknya dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan pangan acuan berupa roti putih atau white bread .

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Pemanfaatan Serbuk Serat Ampas Tebu Termodifikasi sebagai Pengisi Komposit Hibrid Plastik Bekas Kemasan Gelas/Serat Ampas Tebu/Serat Kaca dengan Penambahan Bahan Penyerasi Maleat Anhidrida - g - Polipropilena

0 0 5

Pemanfaatan Serbuk Serat Ampas Tebu Termodifikasi sebagai Pengisi Komposit Hibrid Plastik Bekas Kemasan Gelas/Serat Ampas Tebu/Serat Kaca dengan Penambahan Bahan Penyerasi Maleat Anhidrida - g - Polipropilena

0 0 24

BAB II SEBUAH PENGALAMAN - Perancangan Museum Budaya dan Gereja sebagai Landmark Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Idealand, Teluk Dalam, Nias Selatan

0 0 27

BAB I PENGENALAN - Perancangan Pusat Konservasi Tanaman Siulu Garden By The Bay, Hotel & Cottage, Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata, Idealand, Teluk Dalam, Nias Selatan

0 0 10

BAB II PERJALANAN SINGKAT - Perancangan Omasi’Ö Club House di Kawasan Ekonomi Khusus Idealand, Teluk Dalam, Nias Selatan

0 1 18

BAB I PENGANTAR AWAL - Perancangan Omasi’Ö Club House di Kawasan Ekonomi Khusus Idealand, Teluk Dalam, Nias Selatan

0 1 9

BAB II PENGATURAN REKSA DANA DI PASAR MODAL INDONESIA A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Reksa dana - Exchange Traded Fund (Etf) Sebagai Instrumen Alternatif Dalam Investasi Di Pasar Modal Indonesia

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Exchange Traded Fund (Etf) Sebagai Instrumen Alternatif Dalam Investasi Di Pasar Modal Indonesia

0 0 17

BAB II TUGAS DAN FUNGSI PENGAWAS PERIKANAN SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL PERIKANAN YANG MELAKUKAN PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH LAUT INDONESIA A. Pengawasan Terhadap Perikanan di Wilayah Laut Indonesia - Tinjauan Yuridis Terhadap Pembakaran Dan/Atau Penengg

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Pembakaran Dan/Atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing Sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan

0 0 23