BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian - Perlindungan Hukum Perjanjian Kredit dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan (Studi Bank Sumut Pusat)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian Sebagaimana yang termuat didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

  perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut

  18

  dalam persetujuan itu .”

  Kamus h ukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”

  Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

  19 orang atau lebih”.

  Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga 18 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka. 2012), hal. 458. 19 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007), hal. 363.

  mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan

  20 hukum ini tidak ada unsur persetujuan.

  R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

  21 menimbulkan akibat hukum.

  Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah

  22

  disepakatinya.” Abdul Kadir Muhammad memberikan rumusan perjanjian yaitu suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

  23 melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.

  Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak

  24 yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.

  Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang- 20 undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan

  Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan , (Bandung: Alumi. 2005), hal. 89. 21 RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 97. 22 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 27 23 24 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 2010), hal. 95 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa), 2005 hal 1

  yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUHPerdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).

  Ketentuan Pasal 2 UU Perbankan, bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat harus menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam penjelasan Pasal 8 Undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa dalam melakukan perjanjian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Dari penjelasan dua pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa prinsip utama perkreditan adalah bersandar pada kepercayaan dan kehati-hatian.

  Penjelasan Pasal 8 angka (1) UU Perbankan menegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka sebelum melakukan kredit bank harus melakukan penilaian-penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari nasabah. Dalam praktik perbankan hal tersebut dikenal dengan istilah “The Five C’s of Analysis”.

  Prinsip-prinsip yang biasa dijadikan acuan dalam penilaian pemberian

  25

  kredit perbankan tersebut adalah:

25 Munir Fuadi, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Citra aditya Bakti, 1996),

  hal. 24-28 a.

  Prinsip kepercayaan setiap pemberian kredit sebenarnya harus selalu disertai oleh kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan bahwa debitur dapat membayar kembali kreditnya.

  b.

  Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan prinsip ini maka berbagai jenis usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank yang bersangkutan (internal) maupun oleh bank luar (eksternal) yang dalam hal ini adalah bank sentral.

  c. Prinsip 5 C

  1) Character (kepribadian) Bank sebagai kreditur harus terlebih dahulu

  melakukan penilaian terhadap watak atau kepribadian calon debiturnya sebelum kredit diberikan. Jika debitur memiliki watak yang buruk maka akan menimbulkan perilaku yang buruk pula, dan hal ini sangat berpengaruh kepada perilaku debitur dalam hal membayar hutangnya.

  2) Capacity (kemampuan)

  Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk membayar hutangnya

  3) Capital (modal)

  Permodalan yang dimiliki debitur juga merupakan hal penting yang harus diketahui calon krediturnya, karena permodalan dan kemampuan keuangan seorang debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan dalam pembayaran kredit. Hal ini dapat diketahui melalui laporan keuangan bisnis atau perusahaan debitur.

  4. Condition of Economy (kondisi ekonomi) Kondisi perekonomian secara makro maupun mikro merupakan faktor penting untuk dianalisis sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur.

  5. Colateral (agunan) Agunan dalam setiap pemberian kredit sangatlah penting, bahkan Undang- undang mensyaratkan bahwa agunan itu harus ada dalam setiap perjanjian kredit. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terhadap debitur yang benar-benar mengalami kredit macet, sehingga agunan dapat dieksekusi d. Prinsip 5P

  Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Debitur harus memperoleh suatu kepercayaan dari kreditur mengenai karakter, kemampuan, dan sebagainya.

  1) Party (para pihak)

  Merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampaunnya, dan sebagainya;

  2) Purpose (tujuan)

  Kreditur harus dapat melihat dan mencermati apakah kredit yang akan disalurkan untuk hal-hal yang positf dan benar-benar dapat menaikkan

  income usaha debitur. Perlu pula dilakukan pengawasan terhadap

  penggunaan dana pinjaman tersebut, apakah benar-benar digunakan untuk tujuan sesuai dengan yang diperjanjikan.

  3. Payment (pembayaran) kreditur harus dapat melihat dan menganalisis sumber pendapatan debitur dan apakah sumber pendapatannya mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.

  4. Profability (perolehan laba) Kreditur harus dapat mengantisipasi, apakah laba yang akan diperoleh oleh debitur lebih besar dari biaya pinjaman dan apakah pendapatan debitur lebih besar dari biaya pinjaman dan apakah pendapatan debitur dapat menutupi pembayaran kembali kredit.

5. Protection (perlidungan)

  Dalam hal ini dilakukan analisis tentang cukup tidaknya jaminan yang diberikan untuk calon debitur sebagai upaya pengamanan terhadap kredit yang akan diberikan.

  e. Prinsip 3R

1) Return (hasil yang diperoleh)

  Penilaian harus dilakukan terhadap hasil usaha yang akan dapat dicapai oleh calon debitur. Terhadap hasil usaha yang akan dicapai tersebut kemudian dianalisis tentang adanya kemungkinan pengembalian kredit beserta bunganya

  2. Repayment (pembayaran kembali) Kemampuan calon debitur untuk mengembalikan kredit harus sudah diperkirakan sejak dini oleh pihak kreditur.

  3. Risk Bearing Ability (kemampuan mengandung risiko) Analisis harus dilakukan juga terhadap kemampuan calon debitur untuk menanggung risiko. Hal ini dimungkinkan apabila terjadi kegagalan pada usaha calon debitur, atau kemungkinan terjadinya kerugian yang mungkin terjadi karena hal-hal yang tidak dapat diperkirakan sejak semula.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

  Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:

  26 1.

  Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi;

  27

  2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka; 3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum; 26 Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta:Sarana Bhakti Persada, 2005), hal 5-6. 27 Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian,http://hermansh.blogspot.com/2012/02

  Syarat-Sahnya-Suatu-Perjanjian .html, diakses tanggal 2 Mei 2015

  4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;

  5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada; 6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu

  Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam

Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu; dan d. Suatu sebab yang halal Adapun penjelasan tersebut adalah sebagai berikut :

  1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya

  

28

paksaan, kekeliruan, dan penipuan.

  2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian

  Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan

  29 hukum yang sah.

  3) Suatu hal tertentu Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.

  Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau

  30 ditetapkan.

  Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata 28 dinyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang

  Ridhuan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 214. 29 30 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan , (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal 25.

  Subekti, Op.cit, hal 19. dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 4)

  Suatu sebab yang halal Sebab yang halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut

  Pasal 1337 KUH Perdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang- undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal iniharus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri

  Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini dinyatakan bahwa pada Pasal 1337 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja,

  31 31 untuk mengacaukan ketertiban umum. Sahnya causa dari suatu

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Adtya Bakti,1992), hal 95 persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang- undang.

32 Keempat syarat tersebut di atas, dapat diklasifikasikan menjadi dua

  kelompok, yaitu : 1.

  Syarat subjektif Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh subjek perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah dapat dibatalkannya perjanjian (vernietigbaar)

2. Syarat objektif

  Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian. Apabila syarat objektif tidak dapat dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah bahwa perjanjian itu batal demi hukum (van rechtswege nietig)

C. Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

  Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata seperti telah diuraikan di depan. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang 32 SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id /Informasi Hukum/Perjanjian.pdf, diakses tanggal 2 Mei 2015. komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Menyimpan tabungan atau deposito di Bank maka akan memperoleh buku tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian

  33 sebagai alat bukti.

  Berdasarkan Pasal 1 angka (11) UU Perbankan, yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam adalah bentuk perjanjian kredit, sehingga nama perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit. Meskipun pada umumnya perjanjian tidak perlu dibuat secara tertulis (asalkan kedua belah pihak sepihak, cakap hukum, tentang suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang membolehkan kesepakatan pada perjanjian dapat dilakukan dalam bentuk lisan maupun tulisan) namun kiranya kesepakatan pada perjanjian perbankan harus dibuat dalam sebuah perjanjian tertulis.

  Ketentuan ini terdapat pada penjelasan Pasal 8 UU Perbankan yang mewajibkan kepada Bank pemberi kredit untuk membuat perjanjian secara tertulis. Keharusan perjanjian perbankan harus berbentuk tulisan telah ditetapkan dalam pokok-pokok ketentuan perkreditan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 angka (2) UU Perbankan.

33 Sutarno, Aspek –Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Jakarta: Alfabeta, 2003), hal.

  99.

  Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1996 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya angka 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat

  34 perjanjian kredit.

  Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga jenis perjanjian tertulis:

  Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Perjanjian ynag dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hdapan dan di muka pejabat

  35 yang berwenang untuk itu.

  Pasal 8 angka (2) huruf a UU Perbankan menjelaskan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bank dalam memberikan kredit wajib mempergunakan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis. 34 35 Ibid. hal 99

  

diakses tanggal 20 Maret 2015) Bentuk perjanjian kredit secara tertulis tersebut bertujuan untuk memudahkan pihak bank maupun nasabah dalam pelaksanaan kredit, karena dalam isi perjanjian dapat diketahui secara jelas mengenai subjek, objek, maupun hal-hal lain yang diperjanjikan. Bentuk perjanjian ini juga dianggap lebih aman bagi para pihak apabila dibandingkan dengan bentuk lisan, karena dengan bentuk tertulis tersebut para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu terhadap kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh para pihak.

  Perjanjian yang dibuat secara tertulis dalam praktek perbankan dibedakan

  

36

  lagi menjadi dua bentuk perjanjian yaitu :

  1. Akta di bawah tangan; dan

  2. Akta autentik Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yurudis dan fungsi ekonomis. Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi. Biaya dalam Pembuatan Perjanjian Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang mana yang diinginkan dan biaya penentuan bernegosiasi, Biaya negosiasi, meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak, dan biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci, Biaya monitoring, yaitu biaya

36 Badriyah Harun , Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal. 24.

  penyelidikan tentang objek, biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan

  37 arbitrase, Biaya kekliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.

D. Berakhirnya Perjanjian

  Suatu perjanjian berakhir apabila tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai, yaitu dengan terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini hapusnya perjanjian dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat daripada pembatalan berdasarkan wanprestasi Pasal 1266 KUHPerdata, maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan Dalam Pasal 1381 KUHPerdata dinyatakan tentang cara berakhimya suatu perikatan, yaitu : “Perikatan-perikatan hapus karena : a.

  Pembayaran adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhiperjanjian yang telah diadakan. Dengan adanya pembayaran oleh seorang debitur atau pihak yang berhutang berarti Debitur telah melakukan prestasi sesuai perjanjian. Dengan dilakukannya pembayaran oleh Debitur maka perjanjian kredit/hutang menjadi hapus atau berakhir.

  b.

  Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; Prestasi debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti denganpenitipan dapat mengakhiri atau menghapuskan perjanjian. Untuk 37 menerangkan maksud kalimat ini perlu diberikan contoh, misalnya

  diakses tanggal 1 Mei 2015). seorang debitur bernama Mr. X memperoleh pinjaman dari Bank 5 juta rupiah dengan bunga 6% pertahun dan jangka waktu satu tahun. Sebelum jangka waktu berakhir debitur memiliki uang yang cukup sehingga menawarkan kepada kreditur untuk melunasi hutang pokok tersebut sebelum jangka waktu berakhir. Jika kreditur menyetujui tawaran debitur tersebut maka terjadilah pembayaran tunai yang mengakhiri perjanjian.

  Tetapi kalau kreditur menolak tawaran tersebut maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan di Pengadilan Negeri. Ketentuan pembayaran tunai yang diikuti penitipan ini prosedurnya diatur dalam Pasal 1404 s/d 1412 KUH Perdata. Tetapi hanya berlaku untuk perjanjian yang prestasinya“memberi barang-barang bergerak” sedangkan untuk memberi barang tidak bergerak Undang- undang tidak mengatur.

  c.

  Pembaharuan hutang; Novasi merupakan salah satu cara untuk menghapuskan atau mengakhiri suatu perjanjian. Novasi atau pembaruan utang adalah suatu perjanjian baru yang menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang sama memunculkan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama. Pasal 1413 KUHPerdata menetapkan 3 (tiga) macam cara untuk terjadinya Nova d. Perjumpaan hutang atau kompensasi;

  Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generische ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun kreditur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.

  38 e.

  Kompensasi atau perjumpaan utang kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis

  

(generische ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal

  balik, dimana masing-masing pihak berkedudukanbaik sebagai kreditur maupun kreditur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.

  39 f.

  Percampuran hutang; percampuran hutang terjadi apabila kedudukan Kreditur dan Debitur bersatu pada satu orang, maka demi hukum atau otomatis suatu percampuran utang terjadi dan perjanjian ini menjadi hapus atau berakhir. Contoh terjadinyapernikahan antara kreditur dan debitur dan ada persatuan harta pernikahan maka terjadi percampuran hutang.

  g.

  Pembebasan hutangnya Pasal 1438-1443 KUH Perdata Undang-undang tidak memberikan definisi apa yang disebutkqn dengan pembebasan utang. Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman pembebasan utang adalah pembuatan atau pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.

  40 Menurut Pasal 1439 KUH Perdata, pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi hari dibuktikan.

  Misalnya, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya 38 Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 280 39 Ibid. 40 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit.,hal 78 h.

  Musnahnya barang yang terhutang; Apabila barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, hilang, tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang itu tidak diketahui lagi apakah barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus asal musnahnya barang, hilangnya barang bukan kesalahan Debitur dan sebelum debitur lalai menyerahkan barangnya kepada kreditur. i.

  Pembatalan; Jika syarat subyektif (sepakat dan cakap) tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan artinya para pihak dapat menggunakan hak untuk membatalkan atau tidak menggunakan hak untuk membatalkan. Bila syarat obyektif (obyek tertentu dan sebab yang halal) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu sejak semuladianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang dilahirkan. Meskipun syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian telah dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh salah satu pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan wanprestasi (Pasal 1266 KUHPerdata). j.

  Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang diperjanjikan sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut. Selain cara berakhirnya perjanjian seperti yang disebutkan di atas,

  41

  terdapat beberapa cara lain untuk mengakhiri perjanjian, yaitu : 1.

  Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam perjanjian itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam waktu tertentu

  2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya Pasal 1250 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu tidak boleh lebih dari 5 tahun.

  3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian akan menjadi hapus sesuai dengan Pasal 1603 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh.

4. Karena persetujuan para pihak.

  5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian yang bersifat sementara.

  6. Musnahnya barang yang terhutang apabila barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, hilang, tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang itu tidak diketahui lagi apakah barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus asal musnahnya barang, hilangnya 41 barang bukan kesalahan debitur dan sebelum debitur lalai menyerahkan

  Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 387 barangnya kepada kreditur. Apabila debitur dibebaskan untuk memenuhi perjanjian yang disebabkan peristiwa musnahnya atau hilangnya barang.

  7. Pembatalan perjanjian jika syarat subyektif (sepakat dan cakap) tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan artinya para pihak dapat menggunakan hak untuk membatalkan atau tidak menggunakan hak untuk membatalkan.Bila syarat obyektif (obyek tertentu dan sebab yang halal) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang dilahirkan. Meskipun syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian telah dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh salah satu pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan wanprestasi Pasal 1266 KUHPerdata hak-hak berkaitan dengan barang yang musnah atau hilang, misalnya hak asuransi atas barang tersebut maka Debitur diwajibkan menyerahkan kepada Kreditur 8. Karena pembebasan utang.

  Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum yang dilakukan Kreditur denganmenyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran hutang dari debitur. Artinya kreditur memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada debitur bahwa kreditur membebaskan kepada debitur untuk tidak membayar lagi hutangnya. Jadi pembebasan hutang ini dapat dilakukan secara sepihak yang berupa pernyataan atau pemberitahuan tertulis kepada Debitur yang isinya Kreditur membebaskan hutangnya dan Debitur menerima pemberitahuan itu atau membalas surat Kreditur yang menyetujui pembebasan hutang tersebut.

  Apabila dalam suatu perjanjian semua perikatan-perikatan telah berakhir, maka berakhir pulalah seluruh perjanjian tersebut. Dalam hal demikian berakhirnya seluruh perikatan yang terdapat dalam suatu perjanjian menyebabkan perjanjian berakhir, namun sebaliknya berakhirnya suatu perjanjian dapat mengakibatkan berakhirnya seluruh perikatan yang ada dalam perjanjian tersebut. Hal ini dapat terjadi pada perjanjian yang berakhir karena pembatalan berdasarkan wanprestasi. Pembatalan perjanjian tersebut menyebabkan seluruh perikatan- perikatan yang ada berakhir. Perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan segala apa yang telah dipenuhi harus berakhir. Akan tetapi dapat juga terjadi suatu perjanjian berakhir untuk waktu selanjutnya dan kewajiban yang telah ada tetap ada.

  Adapun mengenai berakhirnya suatu perjanjian dapat terjadi karena :

  a. Ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian. Suatu perjanjian berakhir pada saat yang telah ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian.

  b.

  Batas berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-undang, misalnya hak untuk membeli kembali suatu barang yang telah dijual tidak boleh diperjanjikan lebih dari 5 (lima) tahun (Pasal 1520 KUHPerdata) c. Apabila terjadi suatu peristiwa tertentu yang oleh para pihak atau undang- undang telah ditentukan sebagai sebab yang akan mengakibatkan berakhirnya perjanjian, misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia

  42 maka perjanjian akan menjadi hapus (pasal 1603 KUHPerdata).

  Jadi perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal didalam KUHPerdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang

  43

  termuat di dalam Buku II KUHPerdata . Akibat hukum suatu perjanjian dibatalkan karena syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian tidak dipenuhi atau karena dibatalkan salah satu pihak karena wanprestasi yaitu:

  1) Hak dan kewajiban para pihak kembali kepada keadaan semula sebelum adanya perjanjianPara pihak harus mengembalikan hak-hak yang telah dinikmati misalnya Debitur yang telah menerima uang pinjaman maka Debitur segera mengembalikan sebesar uang yang diterimanya. Pembeli yang telah menerima barangnya segera mengembalikan barangnya.

  Penjual yang telah menerima pembayaran segera mengembalikan uang

  Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata. Berlakunya suatu syarat batal 2) Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang lahirnya atau berakhirnyadigantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu masih belum tentu terjadi. Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan dengan terjadinya suatu peristiwa dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Apabila syarat batal dipenuhi maka akan menghentikan perjanjian itu dan membawa kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada perjanjian, akibatnya semua pihak 42 dalam perjanjian itu harus mengembalikan ke dalam keadaan semula. 43 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Binacipta,1997), hal.69 Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 84

  Misalnya, seorang yang berutang telah menerima uangnya, dan Kreditur menerima jaminannya, maka si berutang harus mengembalikan hutangnya dan Kreditur memberikan dokumen jaminannya (Pasal 1265 KUH Perdata).

E. Perjanjian Kredit Dilihat dari Dasar Haknya

  Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata merupakan pedoman bagi para pihak dalam membuat suatu perjanjian kredit, yaitu selain harus berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku, para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kredit harus tetap berpedoman pada kepatutan, kebiasaan serta itikad baik sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.

  Pihak bank dalam perjanjian kredit pada umumnya berada dalam posisi kuat, selain karena pihak bank selaku pelaku usaha yang menentukan isi perjanjian, pihak bank juga dilindungi oleh perjanjian standart perbankan dalam klausula baku dari pihak bank yang pada intinya menegaskan bahwa nasabah (debitur/konsumen) tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan masih akan diterapkan kemudian oleh pihak bank. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedudukan bank sebagai pemberi kredit dengan calon nasabah sebagai penerima kredit tidak seimbang. Hal ini tidak sesuai dengan kesetaraan, nasabah harus menerima jika masih ingin tetap melanjutkan perjanjian tersebut walaupun melemahkan posisinya, terutama mengenai hal-hal yang terjadi diluar kuasanya seperti keadaan memaksa (overmacht).

  Perjanjian kredit dapat juga ditinjau dari sudut subyek hukumnya, yaitu dari sisi kreditur maupun debitur. Dari sisi kreditur, perjanjian kredit dapat dilakukan antara dua kreditur dengan satu debitur, yang disebut sebagai kredit sindikasi. Dari sisi debitur, subyek hukumnya dapat berstatus badan hukum (korporasi) maupun perorangan. Walaupun badan hukum korporasi dan orang perseorangan dapat melakukan tindakan hukum (rechtsbevoegdheid), namun keduanya tetap memiliki pengecualian atau pembatasan. Pengecualian atau pembatasan ini biasanya diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

  Selain di dalam KUHPerdata, pada UU Perbankan, juga dikenal adanya beberapa ketentuan yang menjadi pedoman dalam memberikan kredit, sebagaimana disebutkan bahwa pada Pasal 11 angka (2) Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam angka (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

  Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pihak pemerintah di dalam Undang- Undang Perbankan mengenai ketentuan kredit pada dasarnya bukanlah untuk membatasi kegiatan Bank, melainkan untuk menerapkan prinsip kehati- hatian dalam mengelola dana masyarakat, memperkecil risiko kerugian yang

  44 mungkin timbul serta untuk melindungi kepentingan masyarakat.

44 Fuady Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002),

  hal 87

Dokumen yang terkait

a. Air Sungai Bagian Hulu Hamparan Perak - Efektivitas Koagulan Pac(Poly Aluminium Chloride) Dan Tawas (Alum)Terhadap Logam Besi (Fe) Pada Air Baku Pdam Tirtanadi Hamparan Perak

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Air - Efektivitas Koagulan Pac(Poly Aluminium Chloride) Dan Tawas (Alum)Terhadap Logam Besi (Fe) Pada Air Baku Pdam Tirtanadi Hamparan Perak

0 0 12

EFEKTIVITAS KOAGULAN PAC(POLY ALUMINIUM CHLORIDE) DAN TAWAS (ALUM)TERHADAP LOGAM BESI (Fe) PADA AIR BAKU PDAM TIRTANADI HAMPARAN PERAK TUGAS AKHIR - Efektivitas Koagulan Pac(Poly Aluminium Chloride) Dan Tawas (Alum)Terhadap Logam Besi (Fe) Pada Air Baku P

0 0 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Dokumen Elektronik - Analisis Pengolahan Skripsi Elektronik (E-Skripsi) Sebagai Salah Satu Bentuk Dokumen Elektronik Dengan Menggunakan Perangkat Lunak Aplikasi Senayan Pada Perpustakaan STMIK TIME

0 1 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Curah Hujan 2.1.1. Pengertian Hujan - Analisis Kejadian Cuaca Ekstrim Di Wilayah Sumatera Utara Berdasarkan Indeks Peringatan Dini

1 16 25

Hubungan Karateristik Dan Persepsi Masyarakat Tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Keikusertaan Menjadi Peserta JKN Di Kota Medan Tahun 2014

0 0 36

Hubungan Karateristik Dan Persepsi Masyarakat Tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Keikusertaan Menjadi Peserta JKN Di Kota Medan Tahun 2014

0 0 37

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karateristik Dan Persepsi Masyarakat Tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Keikusertaan Menjadi Peserta JKN Di Kota Medan Tahun 2014

0 0 10

Hubungan Karateristik Dan Persepsi Masyarakat Tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Keikusertaan Menjadi Peserta JKN Di Kota Medan Tahun 2014

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Steganografi - Penyisipan Pesan pada Gambar Menggunakan Pixel Indicator Technique (PIT) dan Pseudo Random Number Generator (PRNG)

0 0 11