BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi - Hubungan Antara Rinitis Alergi Dan Otitis Media Pada Anak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rinitis alergi

  2.1.1. Definisi

  Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E mediated) terhadap paparan

  19,20 alergen pada membran nasal.

  Rinitis alergi dapat juga didefinisikan sebagai gangguan pada hidung yang diinduksi oleh paparan terhadap alergen melalui reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE, yang ditandai dengan 4 gejala utama yaitu rhinorrhea (hidung berair), nasal obstruction (hidung tersumbat), nasal itching (hidung gatal) dan sneezing

  21,22 (bersin) yang bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

  2.1.2.Epidemiologi Prevalensi RA pada beberapa studi epidemiologi bervariasi antara 3% sampai 19%.

  23 Disebutkan pula bahwa sekitar 42% anak didiagnosis dengan RA pada usia 6 tahun.

  Suatu studi epidemiologi menyebutkan bahwa RA musiman (hay fever) ditemukan sekitar 10% pada populasi umum dan RA parennial sekitar 10% sampai 20% pada

  24 populasi.

  Frekuensi RA pada populasi umum semakin meningkat. Proporsi angka kejadian RA meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Pada satu penelitian terhadap 564 anak usia 5 bulan sampai 17 tahun, didapatkan sekitar 30% anak usia 5 bulan sampai 4 tahun menunjukkan gejala saluran pernapasan (berupa RA dan asma). Angka ini

  25 meningkat menjadi 85% pada usia 10 tahun sampai 17 tahun.

  Prevalensi kejadian RA pada populasi anak juga terlihat mengalami peningkatan dimana meningkat dari 9% menjadi 12.3%. Secara umum, RA merupakan penyakit alergi yang paling umum ditemukan dan merupakan keadaan kronis yang paling sering

  24,26 ditemukan pada anak usia kurang dari 18 tahun.

  2.1.3 Faktor risiko

  Faktor risiko RA diduga berkaitan dengan usia. Faktor risiko untuk RA termasuk yaitu faktor genetik (riwayat keluarga atopi), pemberian makanan padat terlalu dini, ibu

  19 merokok selama kehamilan, serta ibu perokok berat selama menyusui.

  Sedangkanfaktor usia ibu dimana saat hamil ibu berusia muda, kehamilan multipel, bayi lahir prematur, berat badan lahir rendah, gangguan pertumbuhan serta perinatal asfiksia secara signifikan berhubungan dengan penurunan risiko seorang anak

  19 untuk menderita RA.

  2.1.4 Etiologi dan klasifikasi

  Secara umum, rinitis terbagi atas 2 yaitu rinitis alergi dan rinitis non alergi. Walaupun belum ada metode baku yang diterima secara luas dalam menentukan derajat keparahan rinitis alergi, badan internasional Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) pada tahun 2001 yang kemudian dipertegas kembali pada tahun 2008 telah menyusun klasifikasi rinitis alergi berdasarkan tingkat keparahan gejala dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup seperti pada tabel 2.1

Tabel 2.1. Klasifikasi rinitis alergi

  19,20

  1 “Intermittent” bila gejala ditemukan:

  • kurang dari 4 hari dalam seminggu,
  • atau berlangsung kurang dari 4 minggu 2 “Persistent” bila gejala ditemukan:
  • lebih dari 4 hari dalam seminggu,
  • dan berlangsung lebih dari 4 minggu 3 “Mild”bila tidak dijumpai gejala-gejala berikut:
  • gangguan tidur,
  • gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga,
  • gangguan kegiatan sekolah atau kerja,
  • gejala lainnya yang mengganggu 4 ”Moderate-severe” bila dijumpai satu atau lebih gejala berikut:
  • gangguan tidur,
  • gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga,
  • gangguan kegiatan sekolah atau kerja,
  • gejala lainnya yang mengganggu Berdasarkan klasifikasi di atas, seorang pasien dengan RA dapat dimasukkan dalam salah satu dari 4 kategori: (1) mild intermittent, (2) mild persistent, (3)

  

moderate/severe intermittent, dan (4) moderate/severe persistent. Klasifikasi tersebut

  tidak menggunakan istilah ‘seasonal’ dan ‘perennial’, dan menekankan bahwa suatu alergen inhalan (seperti grass pollen) yang terdapat secara musiman pada suatu daerah geografis tertentu kemungkinkan bisa terdeteksi sepanjang tahun di area geografis lainnya.

19 Namun, American Academy of Allergy, Asthma & Immunology

  (AAAAI), American College of Allergy, Asthma and Immunology (ACAAI)dan Joint

  

Council of Allergy, Asthma and Immunology Joint Task Force on Practice Parameters

  pada tahun 2008 tetap mempertahankan istilah ‘seasonal’ dan ‘perennial’ dalam klasifikasi pasien rinitis alergi. Istilah klasik ini berguna secara klinis dalam menggolongkan pasien secara akurat ke dalam kategori rinitis alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perennial), atau rinitis alergi sepanjang tahun dengan

  21,27 eksaserbasi musiman .

2.1.5 Patofisiologi

  Patofisiologi RA diawali ketika alergen pada udara masuk ke dalam mukosa hidung,

  28

  menyebabkan terbentuknya alergen imunoglobulin E spesifik (IgE). Paparan berulang terhadap alergen akan menghasilkan presentasi alergen oleh antigen presenting cells (APC) ke limfosit T-CD4+ yang menyebabkan pelepasan interleukin (IL)-3, IL-4, IL-5 dan sitokin Th-2 lainnya. Sitokin-sitokin tersebut memiliki efek proinflamasi yang melibatkan produksi IgE, sel plasma, sel mast dan eosinofil dan berlanjut dengan terjadinya kaskade respons imun sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis

  24 24,29 RA. Respons alergi pada rinitis alergi dibagi atas fase awal dan fase lambat.

  Selama fase awal, terjadi peningkatan IgE yang berikatan pada sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator yang telah terbentuk (preformed mediators) seperti histamin, triptase, kininogenase (menghasilkan bradikinin), heparin dan enzim-enzim lainnya. Selain itu, sel mast juga mensekresi mediator seperti prostaglandin-D2 (PGD2) dan sulfidopeptidyl leukotrienes (LT)C4,

24 LTD4, dan LTE4. Mediator-mediator tersebut menyebabkan peningkatan

  permeabilitas pembuluh darah, menimbulkan gejala klinis bersin, edema mukosa, hidung berair dan gatal yang merupakan karakteristik rinitis alergi. Respons imun fase

  24,29 awal timbul dalam beberapa menit segera setelah paparan alergen.

  Pada fase akhir gejala klinis yang paling dominan yaitu gejala kongesti.Sekitar 50% gejala rinitis alergi merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala timbul setelah 4 sampai 6 jam pasca paparan alergen akibat reaksi

  29

  inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Gejala rinitis alergi fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman dan hipereaktivitas hidung disebabkan oleh eosinofilia pada mukosa hidung dengan mekanisme yang belum sepenuhnya

  19,21,29 dimengerti.

2.1.6 Tanda dan gejala rinitis alergi

  Manifestasi klinis RA baru ditemukan pada anak berusia 4-5 tahun dan insidensinya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10% sampai 15% pada usia dewasa. Pada anak, manifestasi klinis alergi dapat berupa rinosinusitis berulang,

  29 adenoiditis, otitis media dan tonsilitis.

  Gejala RA mencakup rhinorrhea (hidung berair), nasal obstruction (hidung tersumbat), nasal itching (hidung gatal) dan sneezing (bersin) yang bersifat reversibel

  20,21

  dengan atau tanpa pengobatan. Rasa gatal di hidung akan menyebabkan bersin berulang (paroxysmal sneezing). Sekret hidung yang timbul dapat keluar melalui lubang

  12,29

  hidung atau berupa post -nasal drip yang tertelan. Hidung tersumbat dapat terjadi

  29 bilateral, unilateral atau bergantian.

  Pasien RA dapat mempunyai wajah khas berupa warna gelap atau sianosis

  28,30

  infraorbital (allergic shiners) dan bengkak pada palpebra inferior. Anak yang sering menggosok hidung akibat rasa gatal memberikan gambaran khas allergic salute dan

  29,30 menimbulkan bekas melintang pada bagian bawah hidung (allergic crease). Pemeriksaan rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. Pada rinoskopi anterior akan ditemukan tanda klasik berupa mukosa nasal yang edema

  29 dan berwarna pucat kebiruan (lividae) disertai sekret yang encer.

2.1.7 Diagnosis

  Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi RA yang terpenting pada

  29

  anak. Anamnesis yang efektif sangat penting dalam mengevaluasi dan diagnosis

  12,19

  pasien. Anamnesis harus mencakup informasi pola penyakit, lama penyakit, variasi gejala sepanjang tahun dan gejala lain yang berhubungan, respons pengobatan, ada

  19 tidaknya penyakit penyerta, serta paparan lingkungan dan faktor-faktor pencetus.

  Pemeriksaan fisik menyeluruh dengan memfokuskan pada saluran nafas atas harus dilakukan pada semua pasien dengan riwayat rinitis, baik dengan atau tanpa riwayat

  19-21 atopi.

  Pada anak terdapat tanda karakteristik rinitis alergi, namun demikian, tidak satupun yang patognomonik.Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi, sekaligus dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal atau tumor.Pada RA ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya dapat ditemukan pada pasien yang sedang dalam

  29 serangan.

  Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) dalam laporannya tahun 2001

  memperkenalkan suatu kuesioner standar yang dapat digunakan sebagai alat diagnosis untuk identifikasi gejala dan evaluasi keparahan rinitis alergi terutama pada negara

  19

  berkembang. Beberapa pertanyaan pada kuesioner tersebut diadaptasi dari penelitian

  31 epidemiologi ISAAC.

2.1.8 Komplikasi RA

  Komplikasi yang dapat terjadi bersifat psikososial dan fisik. Komorbiditas utama pasien

  22 dengan RA yaitu asma, rinosinusitis (RS), OME, dan gangguan tidur.

  Data menggambarkan bahwa RA merupakan penyakit kronis yang sering diderita oleh anak. Pengaruh RA terhadap seorang anak berhubungan dengan kehidupan sehari - hari. Anak dapat menjadi iritabilitas, mengalami gangguan tidur, keterbatasan aktivitas di sekolah, mudah lelah serta dapat dijumpai adanya gangguan

  22,32 fungsi kognisi dan memori pada anak.

2.2 Otitis media

  Otitis media adalah proses inflamasi yang terjadi pada telinga bagian tengah tanpa

  33,34

  melihat penyebab maupun patogenesisnya. Otitis media dapat diklasifikasikan menjadi otitis media akut (OMA) dan otitis media dengan efusi (OME) serta kelainan

  34 yang menyertai seperti disfungsi tuba eustasius.

  Pada anak dengan OME, penyebab utama berhubungan dengan adanya keterlibatan disfungsi tuba eustasius yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada

  34,35

  nasofaring. Otitis media tanpa efusi merupakan inflamasi pada telinga bagian

  34 tengah yang melibatkan mukosa, tetapi efusi sudah tidak tampak lagi.

2.2.1Epidemiologi otitis media

  Suatu studi prospektif yang dilakukan di Boston, didapatkan angka kejadian otitis media pada tahun pertama sekitar 1.2% dan sekitar 17% memiliki 3 atau lebih episode berulang. Pada usia 6 tahun pertama, sekitar 75% anak sedikitnya menderita otitis 1

  36 kali dalam 1 tahun. Otitis media akut merupakan penyakit utama pada bayi dan anak anak, dengan usia terbanyak penderita antara usia 6 bulan sampai 18 bulan. Sekitar 9% sampai 62% anak akan mengalami otitis media pada usia 1 tahun, dan sekitar 50% mengalami 3 atau lebih episode otitis media akut. Prevalensi OME sulit diketahui oleh karena gejala klinis yang ditimbulkan tidak begitu berat. Akan tetapi, uji tapis yang dilakukan dengan menggunakan timpanometri dalam 1 tahun dengan interval 3 bulan sampai 4 bulan didapati sekitar 26% sampai 41% anak dengan adanya penumpukan cairan pada

  37

  telinga tengah. Disebutkan pula bahwa sedikitnya 90% anak usia presekolah pernah

  38 mengalami OME.

  Suatu studi klinis dan epidemiologi menyebutkan adanya hubungan antara otitis dengan kejadian atopi, serta atopi sebagai penyerta kejadian otitis media dilaporkan

  39

  sekitar 10% sampai 80%. Suatu studi terhadap 209 anak dengan riwayat otitis media kronis maupun berulang ditemukan bahwa sekitar 89% anak menderita rinitis, 36%

  40 anak dengan asma serta sekitar 24% anak menderita eksema.

2.2.2 Faktor risiko kejadian otitis media

  Faktor risiko terjadinya otitis media yaitu :

  • Faktor lingkungan seperti riwayat pemberian ASI, paparan asap rokok, infeksi saluran pernapasan

  42 - Faktor host seperti genetika, imunodefisiensi, bibir sumbing, down sindrom.

  Sedangkan faktor risiko seseorang menderita OMA yaitu:

  • Jenis kelamin, dimana pria lebih berisiko menderita otitis media daripada wanita
  • Usia pada serangan pertama (makin muda menderita otitis media, maka angka kekambuhan semakin tinggi)
  • Faktor genetik

  15 - Faktor lingkungan seperti alergi, paparan asap rokok, breast-feeding,danmusim.

  Pada studi yang dilakukan di rumah sakit anak Pittsburgh yang melibatkan orang dewasa menggambarkan adanya hubungan antara percobaan antigen internasal, rinitis

  42 alergi dan obstruksi tuba eustasius.

2.3 Hubungan RA dan otitis media

  Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi bayi menderita infeksi telinga bagian tengah.Selain itu, pada bayi dan anak, tuba eustasius yang pendek dan posisinya yang lebih horizontal, dibandingkan dengan dewasa menyulitkan drainase, sehingga fungsi proteksi telinga tengah menjadi terganggu. Pada alergi, mediator inflamasi pada nasofaring menyumbat tuba eustasius, menyebabkan terjadinya edema pada jaringan sekitar tempat tuba eustasius membuka, sehingga mengganggu ventilasi dan

  

23,43

mukosiliari cleareance pada telinga tengah.

  Inflamasi pada mukosa telinga tengah diprovokasi oleh beberapa faktor seperti infeksi bakteri dan virus, reaksi alergi lokal dan refluk merupakan penyebab utama

  44

  terjadinya OME. Tuba eustasius berperan sebagai ventilasi, clearance, dan perlindungan terhadap telinga tengah.Suatu teori menyebutkan bahwa bagian superior tuba eustasius berperan sebagai ventilasi, dan bagian inferior sebagai clearance bahan asing melalui silia. Gangguan pada fungsi tuba ini dapat menyebabkan terjadinya otitis

  15,43 media.

  Adanya hubungan antara nasal allergy dan OME dijelaskan pada beberapa

  38,45

  literatur. Kongesti hidung dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya OME. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa kejadian otitis media sering pada pasien dengan atopi. Alergi menyebabkan terjadinya inflamasi, yang berperan secara tidak langsung terhadap terjadinya OME berulang. Inflamasi yeng terjadi mengakibatkan terjadinya blokade tuba eustasius, atau inflamasi pada telinga tengah itu sendiri yang

  46 menyebabkan terjadinya OME berulang.

  OME secara independent dapat dikaitkan dengan sensitisasi yang diperantarai

  47,48

  oleh IgE dan alergi pada saluran pernapasan. Satu studi menemukan adanya kesamaan antara mukosa telinga bagian tengah pada anak dengan OME dan respon

  49

  alergi ditempat lain seperti pada rinitis alergi, sinusitis dan asma. Dikatakan bahwa pasien dengan rinitis alergi memiliki insiden timpanogram yang abnormal lebih tinggi dibandingkan dengan pasien sehat. Timpanogram yang abnormal banyak ditemukan

  50 pada anak dengan rinitis alergi usia kurang dari 11 tahun.

  Pada suatu literatur disebutkan adanya hubungan antara rinitis alergi dengan otitis media, dilaporkan bahwa OME dihubungkan dengan kejadian alergi pada sekitar

  42

  35% sampai 40% kasus. Pada anak dengan rinitis alergi, sekitar 21% mengalami

  28 OME, dimana sekitar 50% anak dengan kronis menderita rinitis alergi berulang.

  Hubungan antara OME dan RA telah dibuktikan pada beberapa studi. Prevalensi RA pada pasien dengan OME kronis pada suatu studi digambarkan lebih tinggi berkisar antara 24% sampai 89% pada populasi, bergantung pada studi yang dilakukan serta kriteria diagnosis yang digunakan. Dikatakan pula bahwa RA diduga merupakan faktor

  49 predisposisi terjadinya OME, pengobatan terhadap RA dapat pula mengobati OME. Pada rinitis alergi, terjadi inflamasi pada membran mukosa hidung, mata, tuba eustasius, sinus paranasal, telinga tengah serta faring. Pajanan alergen pada nasofaring ditandai dengan pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya,menyebabkan terjadinya obstruksi tuba eustasius dan menyebabkan terjadinya

  51 efusi pada telinga tengah.

2.4 Kerangka Konseptual

  Asma Atopi Dermatitis Atopi Rinitis Alergi

  Disfungsi Tuba Otitis Media Infeksi Eustasius

  yang diamati dalam penelitian