Politik Transaksional Antara Calon Bupati Dengan Masyarakat Pemilih Di Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara Tahun 2013

(1)

ABSTRAK

POLITIK TRANSAKSIONAL ANTARA CALON BUPATI DENGAN MASYARAKAT PEMILIH DI KECAMATAN KOTABUMI

SELATAN PADA PEMILIHAN BUPATI LAMPUNG UTARA TAHUN 2013

Oleh

ANGGA FERDIANSYAH

Politik transaksional antara calon bupati dengan masyarakat pemilih di Kecamatan Kotabumi Selatan yaitu, seperti yang terjadi pada Kelurahan Kelapa Tujuh, dimana seseorang mendapatkan uang disertai gambar dari salah satu calon bupati, selain itu terjadi juga pada Kelurahan Tanjung Aman, dengan membagikan sarung, sembako dan bantuan sosial lainnya untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih calon tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan Politik Transaksional antara calon bupati dengan masyarakat pemilih di Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Proses politik transaksional dilakukan oleh tim pemenangan calon kepala daerah kepada masyarakat untuk mengangkat perolehan suara calon kepala daerah adalah dengan memberikan sembako, uang, ataupun bantun sosial lainnya; (2) Bentuk politik transaksional


(2)

adalah berupa money politic, pemberian sembako, media promosi dan fasilitas umum pada masyarakat yang dilakukan oleh tim dari pasangan calon kandidat untuk memberikan langsung kepada masyarakat pemilih; (3) Penyebab politik transaksional adalah dimana masyarakat menerima pemberian dan janji yang diberikan oleh salah satu tim pemenangan, serta adanya anggapan masyarakat bahwa hak pilih merupakan aset yang berharga, sehingga siapapun yang menginginkannya harus mengeluarkan biaya yang sepadan; (4) Dampak politik transaksional adalah suara yang masuk terhadap salah satu calon kepala daerah tidak murni dari aspirasi masyarakat sendiri dimana adanya indikasi politik transaksional dalam pilkada yang dilakukan di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara.

Kata kunci: Politik Transaksional, Calon Bupati, Masyarakat pemilih


(3)

THE TRANSACTIONAL POLITIC BETWEEN REGENT CANDIDATE AND VOTERS IN SOUTH KOTABUMI DISTRICT ON NORTH

LAMPUNG REGENTIAL ELECTION 2013 By

ANGGA FERDIANSYAH

The transactional politic between regent candidate and society as voters in South Kotabumi, like occured in Kelapa Tujuh Village,voters received money along with the picture of one of the candidates, likewise it happened in Tanjung Aman Village where saroong (clothing), sembako (the nine daily primary foods), and other social aids were distributed to the society in order to influence the floating voters to elect that candidate. The purpose of this study is to find out and describe the transactional politic between the regent candidate and voters in South Kotabumi district on North Lampung regential election 2013. This study employed qualitative method. The data were gathered through observation, interviews and documentation.

The result showed that: (1) the process of thetransactional politic was executed by the winning team of the regent candidate to the voters in order to gain votesand were done in form of distributing sembako, money, and other form of social aids; (2) the form of transactional politic are in form of money politic, sembako


(4)

the society; (3) the cause of transactional politic were when society received aids and promises from the candidates and also when society assumed that their votes are worthy and therefore whoever needs their votes must spend much; (4) the impact of the transactional politic was that the votes were invalid since they were not from the society aspiration, like what happened in South Kotabumi district, North Lampung.


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

Penulis dilahirkan di Kotabumi Kabupaten Lampung Utara pada tanggal 31 Januari 1992, anak ketiga dari empat bersaudara, buah cinta dari pasangan ayahanda Piyus Rianto, S.H dan Ibunda Harlina, S.Pd.SD

Dilahirkan ditengah-tengah keluarga sederhana, ayah dan bunda mengabdi pada negara berprofesi sebagai pegawai negeri sipil menjadikan motivasi penulis menempuh pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Jenjang Akademisi Penulis dimulai dengan menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Kemala Bhayangkari diselesaikan tahun 1998, Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Gapura Kotabumi diselesaikan tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 7 Kotabumi pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 3 Kotabumi yang diselesaikan pada tahun 2010.

Tahun 2010, Penulis terdaftar sebagai Mahasiswi S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan di Universitas Lampung melalui jalur Mandiri, yang saat itu Penulis pilih untuk melanjutkan pendidikan dan selesai ditahun 2014.

Sesuai dengan program studi yang penulis pilih, maka organisasi dijadikan sebagai pilihan dalam beraktifitas. Selama kuliah penulis sempat aktif pada


(10)

Cendekia dan sebagai pengurus dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Pemerintahan. Pada ekstra kampus penulis berproses di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komsospol Unila, amanah yang pernah diemban antara lain sebagai Wasekum Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi tahun 2014.

Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Pringsewu Pekon Mulyo Rejo tahun 2013. Pelatihan yang pernah diikuti penulis antara lain Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar (LKMMTD), Latihan Kader HMI Tingkat Pertama (Basic Training) di Lampung tahun 2011.


(11)

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada Papah

Piyus Rianto, S.H atas setiap tetes keringat yang

tertumpah demi masa depan seluruh putra putri dan

Mamah Harlina, S.Pd.SD atas curahan

Kasih dan doa kepada penulis dalam perjalanan

penantian menggapai sarjana. Tiada mampu membalas

budi baik mereka, hanyalah kepada Allah kupanjatkan

agar keduanya selalu mendapat kebahagiaan, berkah

dan rahmat NYA.

Kuhadirkan kepada orang-orang yang sangat

kusayangi, kakak dan adikku, gusti Rika Meirina, S.Pd,

ota Ria Anggraeni, A.Md, dan sibungsu Aditya Saputra

Yang kebersamaan kita adalah sebuah harapan yang tak

pernah putus terucap dari hati terdalam.

Keponakan-keponakanku yang tersayang, berkat

kehadiran dan cinta yang diberikan hidup terasa jadi

lebih bermakna.

Almamater tercinta Universitas Lampung dan

Himpunan Mahasiswa Islam


(12)

MOTO

Yang terlihat susah akan mejadi mudah jika dijalani,

Dan begitupun sebaliknya yang terlihat sepele

Akan menjadi sulit jika dibiarkan begitu saja

Hidup merupakan sebuah perjuangan

Seberapa berat apapun rintangan yang dilalui

Jika dijalankan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh

Yakin akan menuai hasil yang maksimal

Maju terus pantang mundur

Demi menggapai cita-cita

(ANGGA FERDIANSYAH)


(13)

SANWACANA

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidah-Nya skripsi yang berjudul “Politik Transaksional Antara Calon Bupati dengan Masyarakat Pemilih di Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara Tahun 2013” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari banyak kesulitan yang dihadapi dari awal pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini, karena bantuan, bimbingan, dorongan dan saran dari berbagai pihak terutama dosen pembimbing yang sudah memberi banyak masukan, kritik dan saran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. 3. Bapak Robi Cahyadi Kurniawan, S.IP, M.A. selaku Pembimbing Akademik.


(14)

membantu, membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Arizka Warganegara, S.IP, M.A. selaku Pembimbing Kedua yang telah banyak memberikan masukan, saran, semangat dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Dr. Suwondo, M.A. selaku penguji dan pembahas yang telah memberikan kritik dan saran kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini..

7.

Seluruh dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unila, terimakasih atas ilmu yang

diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan.

8. Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan, mb Nurma (pengawas ruang baca) yang telah membantu kelancaran administrasi dan skripsi.

9. Tedi Yunada, S.H selaku anggota divisi pengawasan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Lampung Utara atas segala bantuan dan informasi yang sangat berguna dalam penyelesain skripsi ini

10.Bapak Tohir Hasyim selaku tim pemenangan pasangan Agung dan Paryadi (ABDI) yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai sehingga penulis mendapatkan data yang diperlukan dalam penyelesaian skripsi ini. 11.Bapak Joni Sukirwan. AT selalu tim pemenangan pasangan Zainal Abidin dan

Anshori Djausal (ZA) yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai sehingga penulis mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.


(15)

waktunya untuk diwawancarai sehingga penulis bisa mendapatkan informasi terkait dengan yang diteliti dalam penyelesaian skripsi ini.

13.Bapak Sihombing, S.E, Bapak Satar, Bang Jaya selaku perwakilan dari masyarakat kelurahan kecamatan kotabumi selatan yang telah meluangkan waktunya untuk di wawancarai sehingga penulis bisa mendapatkan informasi terkait dengan yang diteliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Buat para sahabat se-zaman Jurusan Ilmu Pemeritahan 2010 (Sebay) Indra Jaya Negara, S.IP, “semangat bay tidak ada kata terlambat selagi masih mau ngerubahnya gw yakin lo bisa”, (Mamak) Ardi Yuzka, S.IP, “fokus dulu geh mak jangan ngedepo mulu hahaha”, Pangky Saputra Jaya, S.IP, “tancep gas rey, jangan ngerem lagi skripsinya”, Eki Julian DS, S.IP, “gw akuin bro lo emang pintar dalam beretorika dan punya loyalitas yang sangat bagus secara tidak langsung omongan lo juga banyak yang gw ambil dan gw pake, sukses

ya bro”, Tano Gupala, S.IP, “sang king makrab pemerintahan angkatan 2010” Okta Purnama, S.IP, “terus semangat rey jadi ketua angkatan yang bijak sekaligus senior yang serem buat adek-adek hehe”, Reddiyah Renata Suharno, S.IP “thanks ya nyom yang udah ngebantuin gw dalam urusan konsumsi usul hehe”, Budi Setia Aji, S.IP “satu perguruan satu ilmu harus kompak haha”, Yulius Leo Nardo, S.IP “jangan terlalu selow poy ntar ketinggalan banyak sampean , (Mamak) Harizon, S.IP, “orang yang paling kedot sejurusan pemerintahan angkatan 2010 haha”,


(16)

Angga Jevi Surya, S.IP, “selamat ya rek lo sekarang sudah sukses duluan jadi wakil rakyat yang amanah yoo hehe”, Siska Fitria, S.IP, “selamat ya ka jadi orang yang pertama kompre dijurusan ilmu pemerintahan 2010 dan udah wisuda duluan dari kita-kita”, Syarif, S.IP, “sukses cek buat usaha tour travel nya”, Ricky Ardian, S.IP, “Leader terdasyat haha makasih ya der selama ini sudah ngasih pengarahan serta masukan dalam menyelesaikan skripsi ini dan semoga sukses buat kita semuaa”, Iin Tajudin, S.IP “sang ketum putra daerah asli tulang bawang”, Viol Anda, S.IP “suku nya sih lampung tapi mukanya kayak cina yang tengil haha”, Yoan Yunita, S.IP “thanks yo yang sudah ngebantuan gw dalam hal penyiapan konsumsi pas seminar hasil, semoga

lancar yo usahanya haha” Dani Kurniawan, S.IP “kemane aja dan gak pernah nongol lagi”, Rike Prisina, S.IP “sorry ya klo gw sering ngerepotin lo dan buat lo jengkel haha makasih atas kerjasamanya ”, Dwi Haryanti, S.IP,

“wanita kalem yang selalu bisa diajak berkompromi haha”, Maulana Rendra Yudha, S.IP, “wak kita satu ini orangnya juga kalem santai, tapi pasti”, Ridho Jupanter, S.IP, Azmi, S.IP, Ikhwan, S.IP, Aditia Arief, S.IP, Putra Ramadhan, S.IP, Robby Ruyudha, S.IP, Anugerah Robbian Tori (Obi), S.IP, Raditya FC, S.IP, Gandi Afriandi, S.IP, Ilham Kurniawan, S.IP, Agus Priyadi (Sule), S.IP, Ahlan, S.IP, Dimas Tangguh, S.IP, Kevin, S.IP, Jaseng, S.IP, Novandra Yudha, S.IP, Aditya Darmawan (Nabu), S.IP, Novrico, S.IP, Bela, S.IP, Deovita, S.IP, Anis Septiana, S.IP, Yusi Alvita, S.IP, Betty, S.IP, Anggesti, S.IP, Anggi Dwi Pramono, S.IP, Dwi Kusuma Yanti, S.IP, Ocha, S.IP, Annisa Rhafirna, S.IP, Shiawlin Ratu Ajeng, S.IP, Riska Ersi, S.IP, Devi


(17)

S.IP, Dita, S.IP, Bundo, S.IP, Ali Wirawan, S.IP, Rangga Giri Bowo, S.IP, Prananda, S.IP, Antariski, S.IP, Andrialius Feraera, S.IP, Komang Jaka, S.IP, Prasaputra Sanjaya, S.IP, Dicky Rinaldi, S.IP, Mirzan, S.IP, Riendi, S.IP, Dani Setiawan, S.IP, Aris Gunawansyah, S.IP pokoknya semua yang tidak dapat penulis tulis satu persatu Semangat ya sahabat-sahabat semua, semoga Allah SWT memberikan nikmat sehat, rezeki yang berlimpah, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin. Ingattt masa depan cerah ada ditangan kita. 15. Buat Kanda Yunda di ruang lingkup HMI Komsospol Unila, terima kasih atas

didikan, bimbingan serta motivasi yang menjadikan penulis berani merevolusi hidup, terkhusus buat kawan seperjuangan angkatan 2010, semoga perjuangan serta proses yang kita lalui dalam pengkaderan dapat bermanfaat dan berguna bagi nusa dan bangsa serta kebersamaan selama berproses menjadikan kita berteman lebih dari saudara.

16. Terima Kasih buat Sahabat seperjuangan SMA Negeri 3 Kotabumi Kabupaten Lampung Utara terkhusus kepada saudara Wahyudi Jupan (JAW) yang sudah banyak sekali membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi terimakasih dukungannya yoo, semoga kelak kita sukses semua. 17. Temen-temen KKN yang super gokil abizzz: Siti Soraya Mandasari (Danru),

Enisa Resti, (si Punyul), Siti Akmalia Novira Amir (Danrem), Lina Febri Yanti, Rizky Fajri Moro Handayani (Ingek), Elychia Roly Putri (Echa), Rifatunnisa (Bodrek), Alam Patria (Wakss), Danny Candra (Pak Kordes AYY), Rona Alvan (Kiay), Florentius Yogi A. “walaupun pada awalnya kita


(18)

terlupakan sampai kapanpun” .

18. Teristimewa kepada kedua orang tuaku, Papah Piyus Rianto, S.H dan Mamah Harlina, S.Pd.SD terimakasih telah menjadi orang tua yang sempurna, yang selalu memberikan motivasi, yang selalu bekerja keras mendidik untuk menjadikan Penulis manusia yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain, semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan nikmat-Nya untuk Papah dan Mamah. Ku persembahkan karya sederhana ini untuk kalian. 19. Spesial buat Kakakku Gusti Rika Meirina, S.Pd dan Tuan Hadopan, A.Md

Kakakku Ota Ria Anggraeni, A.Md dan Pduka Menak, dan si Bungsu Aditya Saputra. (kita akan tetap menjadi kebanggaan dan memberi jalan surga bagi papah dan mamah)

20. Para keponakan tersayang Sasi Kirani (Uni), Abdillah Fadhlan Adzikri Arga Bela (Kiay), Muhammad Jonatan Ilyas (Pak Jo), yang telah memberi senyum kehangatan dan sinar atas kebahagiaan keluarga besar kita, Papah Tuan sayang kalian semua semoga kalian menjadi anak shaleh dan sholeha, berbakti kepada kedua orang tua sekaligus berguna bagi nusa dan bangsa amin.

21. Manda Umsir AS dan Mada Rosuna dan para putra-putri serta keponakan-keponakan dari keluarga besar (SIRONA) yang telah memberi penulis sisi lain kehidupan dan memberi kesempatan penulis berdiam diri untuk tinggal bersama selama berproses dari awal hingga akhir dalam mendapatkan gelar Sarjana.


(19)

Cucung Badarzen, atas segala kehangatan keluarga besar kepada penulis menjadikan keluarga kita keluarga ternama.

23. Seseorang yang sempat hadir selama berproses dan yang akan hadir menemani hari-hari panjang, mengarungi samudra tuk sampai pada pelabuhan hidup menggapai cita. Bidadari solehah, wanita pendamping yang menjadi sinar bagi cerahnya dunia dan berkahnya surga.

24. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala kontribusi kebersamaan dan pembelajaran selama berproses mengenal hidup dan mencapai kehidupan.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan kita semua dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 6 September 2014 Penulis


(20)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Transaksional ... 8

1. Pengertian Politik Transaksional ... 8

2. Proses Politik Transaksional ... 10

3. Bentuk Politik Transaksional ... 12

4. Penyebab Politik Transaksional... 13

5. Dampak Politik Transaksional... 15

B. Perilaku Memilih ... 16

C. Pemilihan Kepala Daerah ... 26

1. Pengertian Pemilihan Kepala Daerah ... 26

2. Tahap Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah... 31

3. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung ... 33


(21)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ... 38

B. Lokasi Penelitian ... 39

C. Fokus Penelitian ... 39

D. Jenis Data Penelitian ... 40

1. Data Primer ... 40

2. Data Sekunder ... 41

E. Penentuan Informan ... 41

F. Teknik Pengumpulan Data ... 42

1. Observasi ... 42

2. Wawancara ... 43

3. Dokumentasi... 43

G. Teknik Pengolahan Data ... 44

1. Editing ... 44

2. Interpretasi ... 44

H. Teknik Analisis Data ... 44

1. Reduksi Data ... 45

2. Display Data ... 46

3. Conclusion ... 46

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN A.Kabupaten Lampung Utara ... 47

1. Sejarah Kabupaten Lampung Utara ... 47

2. Lokasi dan Luas Wilayah ... 51

B.Kecamatan Kotabumi Selatan ... 52

1. Gambaran Umum Kecamatan Kotabumi Selatan ... 52

2. Orbitasi Kecamatan Kotabumi Selatan ... 54

3. KeadaanDemografi... 55

4. Keadaan Sosial Budaya ... 55

5. Pendidikan ... 57

6. Kesehatan ... 58

7. Agama ... 59

8. Pemerintahan ... 60

9. Kewenangan, Tugas Pokok dan StrukturOrganisasi. ... 62

10. Sarana danPrasarana Penunjang Kerja ... 67

11. Lokasi Penelitian ... 68

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Identitas Informan Penelitian ... 70

1. Perwakilan Anggota Panwaslu Kabupaten Lampung Utara ... 70

2. Perwakilan Tim Pemenangan Agung dan Paryadi (ABDI) ... 70

3. Perwakilan Tim Pemenangan Zainal Abidin dan Ansori Djausal (ZA) ... 71


(22)

a. Masyarakat Desa Alam Jaya ... 71 b. Masyarakat Desa Curup Kagungan ... 71 c. Masyarakat Desa Mulang Maya ... 71 5. Perwakilan masyarakat kelurahan di Kecamatan Kotabumi

Selatan ... 72 a. Masyarakat Kelurahan Kelapa Tujuh ... 72 b. Masyarakat Kelurahan Kota Alam ... 72 c. Masyarakat Kelurahan Tanjung Aman ... 72 B.Politik Transaksional Antara Calon Bupati Dengan Masyarakat

Pemilih di Kecamatan Kotabumi Selatan pada Pemilihan

Bupati Lampung Utara Tahun 2013 ... 72 1. Proses Politik Transaksional ... 75 2. Bentuk Politik Transaksional ... 80

a. Perwakilan masyarakat desa di Kecamatan

Kotabumi Selatan ... 81 b. Perwakilan masyarakat kelurahan di Kecamatan

Kotabumi Selatan ... 87 3. Penyebab Politik Transaksional ... 91

a. Perwakilan masyarakat desa di Kecamatan

Kotabumi Selatan ... 92 b. Perwakilan masyarakat kelurahan di Kecamatan

Kotabumi Selatan ... 97 4. Dampak Politik Transaksional Terhadap Perolehan

Suara Calon Kepala Daerah ... ... 107 a. Perwakilan masyarakat desa di Kecamatan

Kotabumi Selatan ... ... 107 b. Perwakilan masyarakat kelurahan di Kecamatan

Kotabumi Selatan ... ... 111 VI. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan ... ... 117 B.Saran ...

... 118 DAFTAR PUSTAKA


(23)

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Lokasi Penelitian ... 68 2. Deskripsi Pandangan Informan tentang Proses Politik Transaksional ... 79 3. Deskripsi Pandangan Informan tentang Bentuk Politik Transaksional... 86 4. Deskripsi Pandangan Informan tentang Bentuk Politik Transaksional... 89 5. Deskripsi Pandangan Informan tentang Penyebab Politik Transaksional . 96 6. Deskripsi Pandangan Informan tentang Penyebab Politik Transaksional . 105 7. Deskripsi Pandangan Informan tentang Dampak Politik

Transaksional Terhadap Perolehan Suara Calon Kepala Daerah ... 110 8. Deskripsi Pandangan Informan tentang Dampak Politik


(24)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halam an

1.1Kerangka Pikir Penelitian ... 37 4.1Lambang Kabupaten Lampung Utara ... 49


(25)

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi merupakan sebuah wacana yang dikembangkan dengan tujuan untuk menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat. Secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, pemerintahan demokrasi adalah milik rakyat, dijalankan oleh rakyat dan diperuntukkan untuk rakyat. Pemilihan umum merupakan bagian dari perwujudan hak-hak asasi yaitu kebebasan berbicara dan berpendapat, juga kebebasan berserikat, melalui pemilihan ini pula rakyat membatasi kekuasaan pemerintah, sebab setiap pemilih dapat menikmati kebebasan yang dimilikinya tanpa intimidasi dan kecurangan yang membuat kebebasan pemilih terganggu.

Salah satu pertimbangan peralihan mekanisme pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi pilkada langsung adalah untuk memangkas adanya politik transaksional atau lebih dikenal dengan politik uang (money politics), pada prakteknya calon tidak punya kemampuan untuk membeli suara rakyat yang jumlahnya banyak. Namun, pada kenyataannya dengan adanya pemilihan secara langsung dimanfaatkan oleh calon kepala daerah untuk mempengaruhi masyarakat dengan cara-cara yang tidak diperkenankan dalam aturan pilkada yang berlaku.


(26)

Sewaktu pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah politik uang juga mengemuka namun dalam pilkada secara langsung semakin meluas, misalnya, 147 warga Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta pilkada (Kompas, 10 April 2008).

Uang ini digunakan mulai dari menentukan partai politik pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya mempengaruhi pilihan masyarakat. Haris mengatakan bahwa partai politik dalam mengusung calon di pemilihan kepala daerah lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang bersangkutan. Rekrutmen lebih terkesan para

sang calon yang membutuhkan “perahu” partai politik (www.komunitas -demokrasi.or.id/pilkada, diunduh tanggal. 27 Maret 2014).

Disebutkan harga yang dipatok oleh partai politik antara Rp 1 miliar hingga 2 miliar bagi satu calon bupati yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (Kompas, 19 April 2005). Pada Pemilihan Gubernur Riau seorang

kandidat harus menyediakan “uang pinangan” sedikitnya Rp 400 juta per kursi demi mendapatkan “perahu”. Dalam hal ini semakin strategis posisi parpol, jumlah uang lamaran semakin besar (Kompas, 6 Juli 2011).

Pada saat kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan masuknya dana ilegal. Modal yang dimiliki oleh masing-masing kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah cenderung merupakan kombinasi


(27)

antara modal pribadi dan bantuan donator politik (pengusaha), serta sumber-sumber lain (Hidayat, 2006: 276).

Pendanaan berbagai biaya aktivitas kampanye, biaya menyewa pakar political marketing, biaya untuk membangun sarana fisik di kantung-kantung pundi, biaya image building dan image bubbling (pensuksesan diri calon) dan banyak lagi), banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon kepala daerah acap kali mencari para pengusaha untuk bergabung sebagai investor politik. Sebagai imbalan investasi atas keikutsertaan mereka (sebagai investor politik) dalam menjayakan calon dalam pilkada, maka para pengusaha dijanjikan akan mendapat banyak hak istimewa (Agustino dan Yusoff, 2010: 25).

Pada dasarnya mereka yang berhutang untuk biaya pilkada, akan membalas jasa melalui berbagai kesepakatan kepada pihak yang mengongkosinya paska pilkada, dan pada akhirnya mengesampingkan aspirasi masyarakat luas. Situasi ini pula yang belakangan melahirkan perilaku korupsi para kepala daerah guna mengembalikan hutang-hutang semasa pilkada, karena seperti pendapat Prasojo, bahwa biaya yang dikeluarkan ini harus diganti oleh uang rakyat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada. Selain secara finansial merugikan masyarakat daerah dengan korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, praktik politik uang juga mencendarai terwujudnya pemilu yang demokratis. Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair elections) adalah pemilu yang bebas dari kekerasan, penyuapan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. (http: //ditpolkom.bappenas.go.id, diunduh tanggal 24 Maret 2014).

Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di


(28)

Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya, mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi.

Studi di Kecamatan Suruh misalnya, menemukan bahwa pemberian uang (money politics) sudah biasa berlangsung di tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali asih (Kana, 2001: 9). Perihal politik uang dari sudut pemilih di pilkada, dijelaskan bahwa politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya dialektika untuk mencari nilai-nilai ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main, dan seterusnya (Eko, 2004: 48). Pemilih lebih menyukai bentuk kampanye terbuka dan sebagian besar dari mereka menyarankan bagi yang ikut kampanye layak diberi uang saku sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 pertiap kampanye (Yani, 2008: 15).

Salah satu politik transaksional dalam Pilkada adalah dengan adanya transaksi material. Transaksi material yang juga sering disebut sebagai politik transaksional. Politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang diberi dan ada yang menerima. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Jika dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.


(29)

Praktik politik praktis hampir pasti ada politik transaksional, karena pada dasarnya politik adalah kompromi dan sharing kekuasaan. Harus dipahami bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Dimana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan akan berbagi kekuasaan dengan orang lain.

Salah satu bentuk dari politik transaksional dalam Pilkada di Kabupaten Lampung Utara yang paling banyak terjadi di masyarakat adalah seperti pemberian uang, sembako, sarung, media promosi seperti kalender, stiker dan kartu nama bergambar pasangan calon Bupati dan Wakil bupati dan fasilitas umum seperti pembuatan sumur bor dan mesin pertanian kepada kelompok tani. Seperti yang terjadi di Kelurahan Kelapa Tujuh Kecamatan Kotabumi Selatan, menurut salah satu warga yang bernama Jufan yang berstatus mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Lampung dan selaku warga asli di Kelurahan Kelapa Tujuh membenarkan bahwa ia mendapatkan uang sebesar Rp. 100.000 yang disertai oleh gambar salah satu calon bupati yang ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara.

Selain itu penulis sendiri selaku warga di Kabupaten Lampung Utara, menemukan fakta di lapangan bahwa politik transaksional dilakukan oleh oknum mantan Lurah Tanjung Aman yang mengumpulkan warga dan memberikan sarung kepada masyarakat di sekitar Kelurahan Tanjung Aman dengan tujuan untuk memilih salah satu calon Bupati Lampung Utara dan diperkuat dengan putusan dari Pengadilan Negeri Kotabumi Kabupaten


(30)

Lampung Utara dengan Nomor Putusan 01/Pid.S/Pemilu Kada/2013/PN.KB yang menyatakan dan menindaklanjuti atas kecurangan yang diperbuat. Putusan tersebut menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Megarani Binti M Tohir dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 10 (sepuluh) hari kurungan, dengan perintah agar terdakwa ditahan.

Politik transaksional yang terjadi di masyarakat pada umumnya dilakukan oleh pihak pemenangan calon kepala daerah kepada masyarakat dengan adanya perjanjian politik baik berupa imbalan materi maupun non materi seperti jabatan tertentu. Terdapat perbedaan pada masyarakat akan politik transaksional yang dilakukan oleh tim pemenganan calon kepala daerah, dimana ada masyarakat yang menerima dan memilih calon tersebut, namun ada juga masyarakat yang menerima tetapi tidak memilih calon tersebut.

Kondisi wilayah mempengaruhi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap politik transaksional yang terjadi pada masa pemilihan calon kepala daerah, dimana masyarakat di perkotaan akan lebih selektif dalam menerima pemberian atau perjanjian yang dilakukan dibandingkan dengan masyarakat yang ada di pedesaan yang lebih banyak menerima politik transaksional yang terjadi.

Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk meneliti fenomena permasalahan yang terjadi dalam Pilkada Lampung Utara dengan judul


(31)

Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara tahun 2013”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah: “Bagaimana politik transaksional antara calon bupati dengan masyarakat pemilih di Kecamatan Kotabumi Selatan pada Pemilihan Bupati Lampung Utara tahun 2013?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan Politik Transaksional Antara Calon Bupati dengan Masyarakat Pemilih Di Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara Tahun 2013.

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dalam bidang Akademik mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan dan menambah pengetahuan politik, khususnya yang berkaitan dengan politik transaksional dalam pemilihan kepala daerah.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi masyarakat pada umumnya agar dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap pemilihan kepala daerah.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Politik Transaksional

1. Pengertian Politik Transaksional

Politik transaksional berarti politik dagang, ada yang menjual dan ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Jika dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Pada praktik politik, jika terjadi politik transaksional, ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik tersebut (Muamar Riza Pahlevi, http: //metrobali.com, diakses tanggal 3 Maret 2014).

Menurut Boissevain pendekatan transaksional terdapat pada peraturan normatif dan peraturan pragmatif. Peraturan normatif adalah menggariskan panduan umum terhadap tingkah laku anggota masyarakat, membentuk peraturan umum terhadap tingkah laku anggota masyarakat, membentuk peraturan umum yang formal dan unggul dalam masyarakat , sedangkan yang dimaksud peraturan pragmatik adalah peraturan permainan atau tidak melanggar norma. Menurut Boissevain, transaksional adalah menjelaskan hubungan pertemanan atau persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Faktor persahabatan adalah penting dan jadi


(33)

keutamaan. Pada kondisi tertentu pendekatan transaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dan tidak terikat kepada peraturan atau sistem (Sulaiman, 2002: 82).

Persaingan dalam hubungan transaksional hanya boleh berjalan apabila semua peraturan telah ditentukan, dipahami dan dipersetujui. Dalam hubungan transaksional terdapat individu yang mencari kesempatan, menipu, memaksimumkan keuntungan dan mencari jalan pintas untuk menang.

Menurut Boissevain fokus pendekatan hubungan transaksional adalah, pergerakan yang bersifat pragmatis, berada diluar peraturan yang sewajarnya. Pendekatan transaksional coba membongkar ruang pribadi dalam masyarakat, mencoba membedah fakta sosial yang tersembunyi (Sulaiman, 2002: 83).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik transaksional adalah suatu bentuk transaksi atau perjanjian antar dua pihak yang saling mempunyai kebutuhan terutama pada praktik politik dimana terdapat proses ada yang memberi dan menerima sesuatu baik berupa materi maupun non materi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Seperti yang terjadi pada pemilihan kepala daerah di Kabupaten Lampung Utara yang terindikasi adanya politik transaksional yang dilakukan oleh tim pemenangan calon kepala daerah kepada masyarakat.


(34)

2. Proses Politik Transaksional

Menurut kamus politik kapitalisme, politik dipandang sebagai seni mendapat kekuasaan dengan modal besar walaupun kadang minus gagasan. Konsekuensi paham politik demikian, berbagai carapun digunakan untuk mendapatkannya. Salah satu cara dengan praktik politik transaksional. Politik transaksional dapat berupa perjanjian politik antar beberapa pihak dalam usaha menerima serta memperalat kekuasaan (Santoso, 2010: 56).

Praktik politik transaksional ini mulai subur semenjak pemilu tahun 50-an, dalam sistem presidensial, presiden terpilih akan menjatah menteri kepada anggota koalisi, bukan oposisi (Syihab dalam Santoso, 2010: 58).

Proses politik transaksional yang dilakukan pun bergeser dengan tindakan yang disertai perjanjian menggunakan meterai yang selama ini lazim dipakai untuk perjanjian yang berimplikasi hukum bagi yang mengkhianatinya, tindakan kecurangan tersebut lebih banyak dilakukan tim sukses dan aparat pemerintah. Sepertinya politik transaksional ini selalu saja ada dalam setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, masyarakat dapat diperalat dengan mudah (Syihab dalam Santoso, 2010: 58).

Salah satu dari kader bakal calon membagi-bagikan uang kepada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu, dengan


(35)

masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang (http: //wirawan88.blogspot.com/2011/05/money-politik.html).

Model pemberian uang atau barang dari calon kepala daerah maupun dari tim sukses calon kepala daerah yang terjadi sangat tidak mendidik. Selain mencederai sistem demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, pada pemilu-pemilu selanjutnya rakyat dan calon kepala daerah akan terbiasa melakukan pola seperti itu lagi. Pada masa kampanye para calon kepala daerah yang paham aturan main, akan lebih hati-hati mengumbar pemberian uang atau barang ke konstituen. Sebab, sanksinya cukup berat. Karena itu beberapa calon kepala daerah harus memiliki strategi untuk menyiasati larangan politik transaksional itu (Sunaryo, 2009: 23).

Pelanggaran dalam bentuk politik transaksional itu telah diatur dalam Pasal 274 Undang-Undang Pemilihan Umum Legislatif Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan bahwa:

Pelaksanaan kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Selain itu, juga masih dikenai denda paling sedikit Rp 6.000.000 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah). Serta dalam kegiatan tersebut calon kepala daerah tersebut


(36)

terancam Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara. Sedangkan dari Panwaslu sendiri akan memutuskan calon kepala daerah yang bersangkutat terancam dicoret dari pencalonannya (Sunaryo, 2009: 23).

Berdasarkan uraian di atas, bila dikaitkan dengan pelaksanaan pemilihan-pemilihan kepala daerah Kabupaten Lampung Utara, proses politik transaksional dilakukan oleh tim pemenangan calon kepala daerah kepada masyarakat dengan cara-cara yang dirancang untuk mengangkat perolehan suara calon kepala daerah. Proses yang terjadi adalah terdapatnya transaksi untuk menjual dan membeli yang tentunya dibutuhkan alat pembayaran jual-beli tersebut, baik berupa uang ataupun lainnya sehingga dapat mempengaruhi masyarakat dalam pelaksanaan pilkada berlangsung.

3. Bentuk Politik Transaksional

Politik transaksional dapat dikategorikan ke dalam money politic. Uang

mempunyai “keuntungan” dibandingkan dengan sumber daya lainnya

seperti jasa maupun bentuk natura lainnya. Uang sangat mudah untuk ditransfer dan dapat digunakan untuk aktivitias apa saja tanpa perlu diketahui sumbernya (Alexander 2006: 3).

Mendefinisikan “bantuan”, “sumbangan” secara luas dan terperinci untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan (conflict of interest), ataupun


(37)

pengaruh berlebihan (excessive and abusive influence) sehingga segala bentuk sumbangan harus diatur dalam undang-undang serta dapat dikontrol. Sumbangan dalam dana kampanye sebagai segala yang memiliki nilai (anything of value), termasuk barang dan jasa, dalam bentuk uang maupun natura (Alexander 2006: 3).

Adanya pihak ketiga yang melakukan kampanye baik secara langsung maupun tidak langsung bisa menjadi celah pemanfaatan untuk mendukung partai maupun kandidat dalam jumlah yang tidak terbatas. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan mengkampanyekan seorang kandidat secara langsung maupun melalui isu-isu yang diusung oleh kandidat.

Berdasarkan uraian di atas, bentuk politik transaksional pada Pilkada di Kabupaten Lampung Utara adalah berupa money politic, pemberian sembako, media promosi dan fasilitas umum pada masyarakat yang dilakukan oleh tim dari pasangan calon kandidat untuk memberikan langsung kepada masyarakat pemilih.

4. Penyebab Politik Transaksional

Ada empat penyebab terjadinya praktek politik uang dan tingginya biaya politik dalam pilkada adalah imbas dari liberalisasi sistem pilkada, efek dari kegagalan partai dan calon kepala daerah mengikat dan memikat pemilih, dampak dari menguatnya pragmatisme pemilih dan kader partai, serta implikasi dari rapuhnya sistem rekrutmen calon kepala daerah di


(38)

lingkup internal partai (http://antikorupsi.org/id/content/korupsi-dan-industrialisasi-pilkada, diunduh tanggal 11 Juni 2014).

Kondisi masyarakat saat ini, secara nyata masih menyediakan celah besar bagi keberlangsungan praktik politik uang. Ada empat hal yang bisa ditelaah terkait celah besar yang menimbulkan praktik politik uang ini tetap tumbuh subur di masyarakat, yaitu:

1. Anggapan bahwa pemilu adalah waktu bagi masyarakat untuk

“mengeruk” keuntungan sesaat. Kondisi ekonomi masyarakat yang

semakin sulit, dan tingkat kesejahteraan yang tak kunjung membaik, menciptakan saluran-saluran bagi masyarakat untuk mendapatkan uang secara mudah.

2. Paradigma bahwa pemilu adalah waktu bagi masyarakat untuk

“membalas” kepada para kepala daerah karena selama ini tidak

mampu menjalankan serta telah banyak mengecewakan masyarakat akan janji-janji yang diucapkan pada saat kampanye.

3. Masyarakat menganggap hak pilih itu adalah aset yang berharga. Sehingga, siapapun yang menginginkannya harus mengeluarkan biaya yang sepadan. Paradigma ini bahkan berpotensi meningkatkan angka golput karena ketika harga yang diinginkan

atas “aset” tersebut tidak sesuai, maka masyarakat cenderung tidak akan menggunakan hak pilihnya itu.

4. Keengganan masyarakat dalam berpartisipasi sebagai pemilih aktif. Harus diakui, masyarakat sudah mulai jenuh dengan kondisi politik yang tidak juga dapat melahirkan pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyat secara lahir maupun batin.

(Hidayat, http://www.banjarmasin.tribunnews.com/mewaspadai-nalar-politik-transaksional, diunduh tanggal 11 Juni 2014)

Berdasarkan uraian di atas, penyebab politik transaksional pada Pilkada di Kabupaten Lampung Utara adalah masyarakat menganggap hak pilih itu adalah aset yang berharga dan adanya keengganan masyarakat dalam berpartisipasi sebagai pemilih aktif sehingga dengan sengaja menyiasati


(39)

dengan memberikan imbalan kepada masyarakat agar pada saat pemilihan berlangsung dapat mempengaruhi suara.

5. Dampak Politik Transaksional

Politik transaksional berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya akan memunculkan pejabat yang tidak berintegritas. Banyak pejabat yang sejatinya tidak layak menduduki jabatan, tetapi terpilih karena didorong politik transaksional. Selain itu, politik transaksional dapat menciptakan pemimpin transaksional (Sumaryono, 2013: 16).

Pemimpin model ini sangat suka mengambil kebijakan-kebijakan berdasar transaksi-transaksi politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik maupun pihak-pihak lain. Hasilnya implementasi kebijakan penguasa ini banyak tidak berpihak kepada rakyat. Di samping itu, politik transaksional juga akan memunculkan maraknya korupsi. Lemahnya penegakan hukum akibat politik transaksional tersebut menjadikan korupsi semakin tak terkendali (Sumaryono, 2013: 17).

Sistem hukumnya sendiri masih lemah dari awal sehingga makin sulit mengatasi persoalan hukum yang muncul. Ketika kekuasaan memerlukan finansial besar untuk membiayai transaksi-transaksi politik, implikasinya mereka akan terus berusaha untuk mencari cara mengembalikan modal (Sumaryono, 2013: 17).

Berdasarkan uraian di atas, dampak politik transaksional pada Pilkada di Kabupaten Lampung Utara adalah suara yang masuk terhadap salah satu


(40)

calon kepala daerah tidak murni dari aspirasi masyarakat sendiri dimana telah terjadi perjanjian atau kontrak politik dengan salah satu calon kepala daerah dalam Pilkada yang dilakukan Kabupaten Lampung Utara. Selain itu dengan penggunaan politik transaksional dalam mengumpulkan suara pemilih merupakan salah satu kecurangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam Pilkada tersebut.

B. Perilaku Memilih

Perilaku memilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung. Pemberian suara atau voting secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan ikut menentukan konsensus atau kesepakatan bersama diantara anggota kelompok seorang pejabat maupun keputusan yang diambil. Pemberian suara dalam pemilukada secara langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Kristiadi, 2006: 11).

Perilaku pemilih adalah akivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih di dalam suatu pemilihan umum (Pemilukada secara langsung). Bila pemilih memutuskan untuk memilih maka pemilih akan memilih dan mendukung kandidat tertentu (Kristiadi, 2006: 17).


(41)

Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.

Perilaku memilih juga sarat dengan ideologi antara pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang saling berinteraksi. Selama periode kampanye, muncul kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa masing-masing calon. Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada kandidat yang memiliki ideologi yang sama dan menjauhkan diri dari ideologi yang berseberangan dengan mereka.

Selama ini penjelasan-penjelasan teoritis tentang voting behavior didasarkan pada tiga model pendekatan yaitu model pendekatan sosiologis, model pendekatan psikologis dan model pendekatan politik rasional. Pendekatan-pendekatan tersebut berasumsi memilih merupakan kegiatan yang otonom, tanpa ada desakan dan paksaan dari pihak lain. Akan tetapi, dalam negara-negara berkembang, masih terdapat paksaan dari pihak luar dan kelompok kepentingan (Kristiadi, 2006: 17).

Perilaku memilih ialah keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan


(42)

internal. Secara eksternal perilaku politik merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki (Kristiadi, 2006: 11).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang yang memilih kandidat karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu.

Hal yang paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi kepartaian sistem sosial, media massa dan aliran politik. Pemilu, sebagai medium pilihan publik, seyogyanya mengkondisikan seluruh pihak yang terlibat untuk belajar berbagi peran sehingga tidak semuanya harus berpusat pada salah satu aktor atau salah satu fokus (pusat) proses pemilihan kepala daerah atau Pilkada (Ahmad, 2009: 35).

Seiring dengan konstalasi politik di era reformasi penguatan demokrasi yang legitimate sebagai harapan dari hasil akhir transisi demokrasi, semakin dapat dirasakan oleh masyarakat melalui pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau pilkada secara langsung. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan atmosfir politik tersebut, maka dinamika dan intensitas artikulasi politik pun makin tampak ditengah ranah kehidupan sosial politik.


(43)

Secara khusus perubahan yang terjadi dalam sistem pemilu kepala daerah, yakni dari sistem pengangkatan langsung oleh pejabat pusat, kemudian menjadi sistem pemilihan perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang senantiasa mengandung kultur vested interest (kepentingan pribadi) di kalangan elit, dan akhirnya menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian, pemilu kepala daerah secara langsung merupakan indikator pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokratis (Upe, 2008: 44-45).

Salah satu wujud dari perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat adalah Perilaku politik sebagai Perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik, untuk membedakannya dari perilaku ekonomi, keluarga, agama dan budaya. Sedangkan politik adalah interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah (Arifin, 2014: 45).

Perbedaan antara pilihan politik sebagai wujud perilaku politik dengan pilihan pribadi terhadap produk-produk konsumtif sebagaimana dalam perilaku ekonomi. Menurutnya ada empat hal yang membedakan perilaku tersebut. Pertama, memilih kandidat politik tidak langsung dirasakan manfaatnya sebagaimana pilihan terhadap pilihan konsumtif, melainkan manfaatnya diperoleh di masa depan. Kedua, pilihan politik merupakan tindakan kolektif di mana kemenangan ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Jadi pilihan


(44)

seseorang senantiasa mempertimbangkan pilihan orang lain. Ketiga, pilihan politik senantiasa diperhadapkan dengan ketidakpastian utamanya politisi untuk memenuhi janji politiknya. Keempat, pilihan politik membutuhkan informasi yang intensif demi tercapainya manfaat di masa depan (Arifin, 2014: 45).

Beberapa karakteristik tentang Perilaku memilih tersebut, tentunya akan berimplikasi dalam pemberian suara pada proses Pemilihan Umum (Pemilu). Memberikan suara adalah salah satu tindakan sosial dalam proses pemilihan Kepala Daerah, di mana pemilih banyak menggunakan pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan putusan mereka dengan pemberian suara melalui Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung.

Pemilihan umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.

Perbedaan dua tipe karakter utama pemilih yang ekstrovert dan Introvert. Introvert berbalik kedalam diri manusia itu sendiri, kepada dunia ide tidak peduli dengan pendapat orang lain seorang ekstrovert berminat dengan sesuatu syang berada disekitarnya, dalam kekayaan, prestise, persetujuan sosial, dan konformitasi (Arifin, 2014: 45).

Pendekatan perilaku pemilih dalam kehidupan suatu masyarakat selalu terdapat pola-pola dan cara-cara tertentu yang dianut oleh warga masyarakat.


(45)

Pola dan cara-cara tersebut merupakan tingkah laku masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang sukarela atau dengan terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan yang diharapkannya, maka keputusan yang diambilnya itu amat dipengaruhi oleh pola dan cara fikir yang dianutnya.

Hal tersebut di atas tentu tidak bisa dilepaskan dari kondisi psikis dan pola pikir tokoh masyarakat, terlebih lagi oleh kuatnya dorongan dalam rangka memperebutkan ataupun mempertahankan sumber-sumber yang dianggap perlu. Dengan demikian, dalam melihat perilaku politik seseorang perlu menggunakan beberapa pendekatan. Dalam menganalisis perilaku pemilih dapat digunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan rasional.

1. Pendekatan Sosiologis (Mahzab Columbia)

Pendekatan yang pertama adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan ini merupakan pendekatan perilaku memilih yang berasal dari Eropa, kemudian dikembangkan oleh ilmuwan sosial yang berlatar belakang pendidikan Eropa. Pendekatan ini disebut dengan Mahzab Columbia. Sedangkan Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa. Ketika David Denver menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, ia menyebutnya dengan sosial determinism approach (Asfar, 2006: 137).

Pendekatan ini lebih menekankan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan ini pada dasarnya


(46)

menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokkan-pengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial seperti pekerjaan, pendidikan, organisasi dan sebagainya serta karakteristik sosiologis seperti agama, umur, jenis kelamin, dan sebagainya merupakan faktor penting untuk menjelaskan pilihan politik. Pendeknya, perilaku memilih dapat dijelaskan akibat pengaruh identifikasi seseorang terhadap suatu kelompok sosial dan norma-norma yang dianut oleh kelompok atau organisasinya.

Lazarsfeld menjelaskan perilaku politik sosiologis merupakan:“A person thinks, politically as he is sosially. Sosial characteristics determine

political reference.” Teori yang menggunakan pendekatan ini adalah contagion theory atau teori penularan. Menurut teori ini, pilihan politik seseorang dan partisipanship (semangat berpartisipasi seseorang dalam kehidupan politik) dapat menular kepada orang lain melalui kontak sosial seperti penyakit infeksi. Dengan kata lain, perilaku politik seseorang disebabkan apa yang dibicarakan bersama yang akhirnya menjadi pilihan bersama (Riswanda & Gafar 2003: 15).

Menurut pandangan-pandangan dalam pendekatan sosiologis ini, faktor eksternal sangat dominan dalam membentuk kondisi sosiologis yang membentuk perilaku politik dari luar melalui nilai-nilai yang ditanamkan dalam proses sosialisasi yang dialami individu seumur hidupnya. Ada beberapa kritik dalam pendekatan sosiologis ini yaitu kenyataan bahwa


(47)

perilaku memilih tidak hanya suatu tindakan kolektif tetapi merupakan tindakan individual. Dapat saja seseorang dijejali dengan berbagai norma sosial yang berlaku, tetapi tidak ada jaminan bahwa ketika akan memberikan suara, individu tersebut tidak akan menyimpang dari norma dan nilai yang dimilikinya. Selalu ada kemungkinan individu tersebut menyimpang dari keyakinan kelompoknya ketika dia akan melakukan tindakan politik.

2. Pendekatan Psikologis (Mahzab Michigan)

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini dikembangkan sebagai respons atas pendekatan sosiologis. Pendekatan psikologis dikembangkan di University of Michigan di Amerika Serikat, sehingga kemudian pendekatan perilaku memilih ini dikenal dengan sebutan Mahzab Michigan (Michigan School). Pelopor pendekatan ini adalah August Campbell (Asfar, 2006: 141).

Kemunculan pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap secara metodologis sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Apalagi pendekatan ini hanya sebatas menggambarkan dukungan suatu kelompok terhadap kandidat atau partai politik tertentu. Tidak sampai pada penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu memilih sekaligus mendukung suatu partai tertentu sementara yang lain tidak.


(48)

Menurut pendekatan ini, salah satu kekuatan politik adalah produk dari sikap dan disposisi seorang pemilih. Pendekatan ini lebih mendasarkan faktor psikologis dalam diri seseorang. Faktor psikologis ini, dideteksi dengan dua konsep: Political involvement, yakni perasaan penting atau tidak ingin terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum. Party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka seseorang terhadap satu partai politik atau kelompok elit tertentu) (Imawan, 2003: 12‐13).

Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku memilih. Menurut pendekatan ini, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan perilaku memilih maupun perilaku politik seseorang, bukan karakter sosiologis. Selain itu, pendekatan ini juga menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang.

Terdapat tiga alasan mengapa sikap sebagai variabel sentral untuk menjelaskan prilaku memilih. Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya penilaian terhadap suatu objek diberikan bedasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Seseorang bersikap tertentu sesuai dengan kepentingan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutannya. Ketiga sikap merupakan


(49)

eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, rasionalisasi, dan identifikasi. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek utama yaitu, ikatan emosional pada partai politik atau kandidat, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi pada kandidat (Anwar, 2006: 26).

3. Pendekatan Rasional

Selain dua pendekatan tersebut, perilaku dapat didekati dengan pendekatan rasional. Pendekatan ini berkembang atas kritik kepada kedua pendekatan dalam perilaku memilih baik pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis yang menempatkan pemilih pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih seakan-akan menjadi pion yang mudah ditebak langkahnya. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan perilaku memilih tidaklah harus permanen, seperti karakteristik sosiologis dan identifikasi partai tetapi berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa dramatik yang juga menyangkut peristiwa-peristiwa yang mendasar.

Penggunaan pendekatan rasional dalam perilaku memilih oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Masyarakat dapat bertindak rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Maka dalam perilaku memilih rasional (rational choice), pemilih bertindak rasional yaitu memilih kandidat atau partai politik yang dianggap mendatangkan keuntungan yang


(50)

sebesar-besarnya dan menekan kerugian sekecil-kecilnya. Dengan begitu, para pemilih diasumsikan mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan dan mampu menilai isu-isu tersebut. Penilaian rasional terhadap isu politik dan kandidat ini dapat berupa jabatan, informasi, pribadi yang popular karena prestasi di bidangnya masing-masing seperti seni, olahraga, film, organisasi politik, dan semacamnya.

Pilihan pemilih berdasarkan pertimbangan isu dan kandidat di atas juga dikenal dengan teori spasial. Teori ini mengasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan aspirasi mereka. Hucfedlt Carmines menjelaskan bahwa perilaku memilih yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan kepentingan diri sendiri disebut sebagai tradisi ekonomi politik (political economy tradition) (Asfar, 2006: 148).

C. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 1. Pengertian Pemilihan Kepala Daerah

Pilkada bukan hanya memilih penguasa daerah tetapi lebih merupakan mencari pemimpin yang mampu melayani dan mengabdi untuk kepentingan sebuah rakyatnya. Pola pikir lama yang lebih menempatkan kepala daerah sebagai penguasa yang harus diubah secara radikal menjadi pemimpin yang sesungguhnya bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat (Kristiadi, 2008: 115).


(51)

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, maka pada hakikatnya pilkada adalah sebuah peristiwa luar biasa yang dapat membuat perubahan berarti bagi daerah. Ini merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dari demokrasi. Oleh karena itu, esensi dari demokrasi yang melekat pada pilkada hendaknya disambut masyarakat secara sadar dan cerdas dalam menggunakan hak politiknya. Antusias, aktif, cermat dan jeli hendaknya menjadi bentuk kesadaran politik yang harus dimiliki oleh masyarakat daerah dalam pilkada ini.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan utama dari pemilihan kepala daerah adalah penguatan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal dan peningkatan harga diri masyarakat yang sudah sekian lama termarginalkan. Keunggulan pilkada dalam demokrasi lokal sangat menguntungkan karena di depan mata masa depan demokrasi lokal akan semakin bersinar meskipun tidak menjadi hal terpenting dalam mencapai demokrasi yang diinginkan.

Terdapat 2 bentuk pilkada, yaitu:

a. Pilkada di mata masyarakat hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan oleh segelintir elite parpol untuk mendapatkan kekuasaan di lembaga eksekutif daerah. Partai politik sebagai instrumen yang seharusnya menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakat cenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada partai atau atasan dari pada calon diluar partai yang mungkin dianggap masyarakat lebih berkualitas dan pantas menjadi kepala daerah. Maka, dengan demikian pemilihan kepala


(52)

daerah hanya menjadi bagian dari ambisi elite partai untuk memupuk kekuasaan guna merebut posisi politik yang lebih strategis.

b. Setelah reformasi pemegang sejati kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri, dengan diadakannya pilkada telah memberikan secercah harapan bagi perkembangan demokrasi kedepan. Lahirnnya sikap optimis bahwa pilkada akan membawa perubahan kearah yang lebih baik dalam perkembangan demokrasi kepada masyarakat cukup mempunyai alasan yang kuat mengingat bagi masyarakat yang telah sekian lama dalam cengekraman kekuasaan dan kemudian melepaskan diri dari dominasi sistem tersebut. Pilkada bukan jawaban akhir dari proses demokrasi karena masih dihadapkan pada penyalahgunaan wewenang dan sentimen primordial oleh segelintir kalangan untuk mencapai tujuan yang sempit dan harus mengandalkan materi (uang) untuk mencapai kekuasaan, keadaan tersebut didasari pada tujuan agar pemilihan berlangsung secara demokratis (Amiruddin, 2006: 25)

Ciri penting yang dimiliki pilkada langsung adalah memiliki asas. Asas merupakan suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang dikehendaki. Asas pilkada merupakan prinsip-prinsip dasar atau pedoman yang harus mewarnai proses berjalannya pilkada dalam penyelenggaraannya. Asas pilkada juga berarti jalan atau sarana agar pilkada terlaksana secara demokratis, asas-asas pilkada harus tercermin dalam tahapan pilkada, asas-asas tersebut adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Melalui pemilihan kepala daerah diharapkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat langsung tertangani oleh kepala daerah yang terpilih, karena pengalaman selama ini kepala daerah yang dipilih oleh anggota DPRD dalam menyelenggarakan pemerintahan seringkali tidak sejalan dengan


(53)

aspirasi yang diberikan rakyat dalam pemilihan. Selain itu, kepala daerah juga lebih loyal kepada DPRD dibandingkan kepada rakyat.

Sebaliknya DPRD pun lebih loyal kepada kepentingan partai politik, dibandingkan memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat. Tujuan Pilkada adalah tercapainya tatanan pemerintahan yang demokratis yang memberikan nuansa baru bagi kedaulatan rakyat serta institusi-institusi lokal dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan rakyat yaitu dapat memperjuangkan aspirasi mereka.

Penyelenggaraan pemilu kepala daerah secara langsung merupakan amanat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilu kepala daerah langsung merupakan perwujudan dari prinsip otonomi daerah seluas-luasnya (Amirudin dan Bisri, 2006: 14).

Maksud dari otonomi seluas-luasnya adalah semua tingkatan daerah di Indonesia, diberikan hak untuk menyelenggarakan pemilu kepala daerah. Hal ini bertujuan agar rakyat di daerah yang bersangkutan dapat secara bebas dan bertanggung jawab memilih kepala daerahnya yang berkualitas tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat. Karena itu pemilu kepala daerah langsung dibiayai oleh APBD, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Penyelenggaraan pemilu kepala daerah merupakan bentuk konkrit dari pelaksanaan kedaulatan rakyat (demokrasi), maka sebagai wujud dari


(54)

otonomi seluas-luasnya. Pemilu kepala daerah juga pada hakikatnya bertujuan mengoptimalkan demokratisasi di daerah, sebagai bentuk pelaksana kedaulatan rakyat pemilu kepala daerah ini harus dapat menghasilkan pemerintahan daerah yang legitimasi dan dapat dipercaya oleh rakyat. Untuk mewujudkan demokrasi lokal terdapat sejumlah kendala, antara lain masih adanya kekerasan, bahkan di sejumlah daerah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terjadi konflik yang sampai-sampai memakan korban (fisik).

Kendala internal lainnya yang dapat menghambat demokrasi lokal yaitu masih melekatnya budaya paternalisme. Budaya paternalisme dapat menyebabkan hilangnya rasionalitas masyarakat. Selain itu dalam proses rekruitmen calon kepala daerah masih saja diwarnai elitisme partai, akibatnya munculnya oligarki partai. Elitisme dalam Pilkada langsung inilah menyebabkan terhambatnya demokrasi lokal. Apalagi calon diharuskan melalui pintu partai politik. Dari segi substansi Pilkada langsung dilaksanakan untuk mendapatkan kepemimpinan yang lebih akuntabel dan responsif (Irtanto, 2008: 163-164).

Mewujudkan pemerintahan daerah yang akuntabel adalah proses pembudayaan nilai-nilai yang selama ini belum dihayati, belum menjadi kesadaran masyarakat maupun pemerintah. Akuntabilitas publik adalah usaha kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan laporan dan mengungkapkan segala kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah


(55)

yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (Santoso dalam Afifi, 2005: 3).

2. Tahap Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah

Konsep pilkada langsung merupakan sistem yang dianggap paling demokratis karena rakyat memilih secara langsung kepala daerah sehingga legistimasi terhadap proses dan hasil pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat mampu dan mempunyai keluasaan untuk mengontrol jalannya kepemimpinan dan pemerintahan, oleh karena itu pemilihan kepala daerah secara langsung diniatkan sebagai upaya mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara di tingkat lokal. Pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal ini merupakan ikhtiar untuk mencari pemimpin lokal yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan representatif (Prihatmoko, 2005: 34).

Pilkada langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan main yang sama. Pilkada langsung dapat disebut pemilu apabila kedua prasarat dasar tersebut diterjemahkan dengan berbagai tahapan kegiatan dan penunjang tahapan kegiatan yang terbuka (transparan) dan dapat dipertanggung jawabkan (accountable) (Prihatmoko, 2005: 34).

Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur wakil gubernur maupun bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil


(56)

walikota. Pada kehidupan politik di daerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan, yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD.

Ekuivalensi tersebut ditujukan dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan kemitraan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme check dan balance. Oleh sebab itu pilkada sesungguhnya bagian dari sistem politik di daerah (Pramusinto dkk, 2009: 86).

Pilkada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memenuhi syarat disebut sebagai pilkada langsung karena dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan rakyat sebagai pemilih, memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui partai politik untuk menjadi calon, menjadi penyelenggara, dan mengawasi jalannya pelaksanaan kegiatan (Prihatmoko, 2005: 200).

Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap, yakni masa persiapan dan tahap pelaksanaan, yaitu:

a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan

b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah

c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah

d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau

(Prihatmoko, 2005: 201)

Kegiatan masa persiapan, keterlibatan rakyat sangat menonjol dalam pembentukan Panitia Pengawas (Panwas), Panitia Pengawas Kecamatan


(57)

(PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) serta memiliki akses untuk memantau melalui mekanisme uji publik melalui lembaga-lembaga tersebut. Selanjutnya tahap pelaksanaan terdiri dari 6 (enam) kegiatan, yaitu:

a. Penetapan daftar pemilih

b. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

c. Kampanye

d. Pemungutan suara e. Penghitungan suara

f. Penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan

Proses merupakan rangkaian berbagai kegiatan dari struktur yang bekerja dalam satu unit kesatuan. Proses pelaksanaan pilkada diartikan sebagai salah satu rangkaian kegiatan pencalonan kepala daerah oleh partai maupun gabungan partai kepada komisi pemilihan umum (KPU) sebagai lembaga yang diberi wewenang memprosesnya mulai dari penetapan hingga pelantikan kepala daerah (Harahap, 2006: 16-17).

3. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Sebagai suatu sistem, sistem pilkada mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah Electoral regulation, electoral process dan electoral law enforcemen. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, yang bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing (Pramusinto, 2009: 89).


(58)

Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcemen yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administrative atau pidana (Pramusinto, 2009: 89).

Ketiga bagian pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer (Pramusinto, 2009: 89)

Asas yang digunakan dalam pilkada langsung sama persis dengan asas yang dipakai dalam pemilu 2004, yakni langsung umum, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekrutmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka (Pramusinto, 2009: 89).

Pengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Langsung

Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tampa perantara.

2. Umum

Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.


(59)

3. Bebas

Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya sehingga memilih sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.

4. Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan dipilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. 5. Jujur

Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon atau peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Adil

Dalam penyelenggara pilkada, setiap pemilih dan calon atau peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun (Pramusinto, 2009: 89)

Pada perspektif teoritis, dapat dijelaskan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan suatu sistem yang selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-bagian (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung (3) mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain (Easton dalam Prihatmoko, 2005: 202).

Sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement (Prihatmoko, 2005: 202).


(60)

D. Kerangka Pikir Penelitian

Pada beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan kesepakatan dan imbalan tertentu di luar uang. Dalam praktik politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia, karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Dimana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan orang lain.

Indikator politik transaksional adalah proses yaitu adanya perjanjian antara tim pemenangan dengan masyarakat, pemberian uang atau barang. Bentuk money politic, sembako, media promosi dan fasilitas umum. Penyebab politik transaksional karena anggapan masyarakat hak pilih adalah aset yang berharga dan keengganan masyarakat dalam berpartisipasi sebagai pemilih aktif serta dampak yaitu perolehan suara calon kepala daerah.

Politik transaksional yang terjadi di masyarakat pada umumnya dilakukan oleh pihak pemenangan calon kepala daerah kepada masyarakat dengan adanya perjanjian politik baik berupa imbalan materi maupun non materi. Terdapat perbedaan pada masyarakat akan politik transaksional yang dilakukan oleh tim pemenangan calon kepala daerah, dimana ada masyarakat yang menerima dan memilih calon tersebut, namun ada juga masyarakat yang menerima tetapi tidak memilih calon tersebut.


(1)

VI . SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa politik transaksional antara calon bupati dengan masyarakat pemilih di Kecamatan Kotabumi Selatan pada pemilihan Bupati Lampung Utara mempunyai pengaruh yang besar dalam perolehan suara baik dari masyarakat desa maupun masyarakat kelurahan, sebagai berikut :

1. Proses politik transaksional melalui tim pemenangan calon kepala daerah kepada masyarakat untuk mengangkat perolehan suara calon kepala daerah adalah dengan cara memberikan sembako, uang, ataupun bantuan sosial lainnya sehingga dapat mempengaruhi masyarakat dalam pelaksanaan pilkada berlangsung.

2. Bentuk politik transaksional pada Pilkada di Kabupaten Lampung Utara adalah berupa money politic, pemberian sembako, media promosi dan fasilitas umum pada masyarakat yang dilakukan oleh tim dari pasangan calon kandidat untuk memberikan langsung kepada masyarakat pemilih. 3. Penyebab politik transaksional pada Pilkada di Kabupaten Lampung Utara

adalah dimana masyarakat menerima pemberian dan janji yang diberikan oleh salah satu tim pemenangan, serta adanya anggapan masyarakat bahwa hak pilih aset yang berharga, sehingga siapapun yang menginginkannya harus mengeluarkan biaya yang sepadan.


(2)

118

4. Dampak politik transaksional pada Pilkada di Kabupaten Lampung Utara adalah suara yang masuk terhadap salah satu calon kepala daerah tidak murni dari aspirasi masyarakat sendiri dimana adanya indikasi politik transaksional dalam Pilkada yang dilakukan di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara.

Berdasarkan pada penelitian ini diperoleh hasil penelitian politik transaksional masih terjadi dalam pemilihan kepala daerah dan mempunyai pengaruh yang besar dalam perolehan suara baik dari masyarakat desa maupun masyarakat kelurahan. Ada perbedaan antara masyarakat desa dengan masyarakat kelurahan dalam menanggapi politik transaksional yang terjadi. Masyarakat desa yang menerima pemberian dari salah satu tim pemenangan calon kepala daerah cenderung memilih calon kepala daerah tersebut, sedangkan masyarakat kelurahan walaupun telah menerima pemberian tetap memilih calon kepala daerah sesuai dengan pilihan hati nuraninya.

B. Saran

Berdasarkan uraian dan pembahasan diatas, maka penulis memberikan beberapa saran antara lain:

1. Diharapkan KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum untuk bersikap tegas dan netral dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah sehingga tidak ada oknum penyelenggara yang memihak dari pasangan calon kandidat. Selain itu pihak KPU pun harus benar-benar bekerja secara maksimal, sehingga pada saat pelaksanaan berlangsung dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan peraturan pelaksaksanaan yang berlaku.


(3)

119

2. Untuk pihak Panwaslu yang mempunyai kewenangan dalam pengawasan penyelenggaraan pilkada harus lebih intens lagi dalam mengawasi dan mengontrol setiap jalannya pelaksanaan pemilu, apabila menemukan kejanggalan dalam pelaksanaannya di lapangan maka harus segera ditindaklanjuti dengan tegas dan diperoses secara hukum yang berlaku, agar pada pelaksanaan pilkada berlangsung tidak lagi ada yang melakukan kecurangan.

3. Kepada calon pemimpin politik di Lampung Utara, penulis menyarankan agar selalu menegakkan prinsip Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil agar nilai-nilai demokrasi yang ada di Indonesia tetap berjalan sesuai dengan peraturan dan konstitusi yang telah ditetapkan bersama.

4. Untuk seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Lampung Utara khususnya di Kecamatan Kotabumi Selatan disarankan harus lebih selektif dalam memilih pasangan calon kepala daerah yang akan dipilih, jangan karena ada faktor pemberian maupun imbalan yang diberikan oleh oknum pemenangan sehingga dapat mempengaruhi pilihan yang mungkin bukan sesuai dengan pilihannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Afifi, Loy. DN (Ed). 2005. Pilkada Langsung dan Akuntabilitas Pemda. Gadjah Mada Press. JogJakarta.

Agustino, Leo dan Agus Yusoff, Muhammad. 2010. Daripada Orde Baru ke Orde Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru. Univeristi Kebangsaan Malaysia.

Ahmad, Nadir. 2009. Pemilukada Langsung dan Masa Depan Demokrasi. Averroes Press. Malang.

Alexander. 2006. Financing Politics: Money. Election. and Political Reform. Washington. D.C: Congressional Quarterly Press.

Amirudin dan Bisri. 2006. Pilkada Langsung. Problem dan Prospek. Pustaka Pelajar. JogJakarta.

Arifin, Anwar. 2014. Politik Pencitraan. Graha Ilmu. JogJakarta.

Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Pustaka Eureka. Jakarta.

Harahap, Asri. 2005. Manajemen dan Resolusi Konflik Pilkada. PT. Pustaka Cidesindo : Jakarta.

Hidayat, Syarief. 2006. Pilkada. Money Politics and the Dangers of “Informal Governance. The Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Jakarta.

Irtanto. 2008. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

J. Prihatmoko, Joko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Filosofi. Sistem dan Problema Penerapan Di Indoensia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Kana, L. 2001. Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Perubahan. Tantangan dan Harapan. Pustaka Percik. Salatiga.


(5)

Mukhtar. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Referensi. Jakarta.

Pramusinto, Agus. Erwan Agus Purwanto dkk. 2009 Reformasi Birokrasi. Kepemimpinan dan pelayanan Publik. Kajian Tentang pelaksanaan otonomi Daerah di Indoensia. Gaya Media. Yogyakarta.

Riswanda, Imawan & Gafar, Afan: 2003. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Rajawali. Jakarta.

Riswanda, Imawan. 2003. Membedah Politik Orde Baru. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Santoso, Budi 2010. Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Sulaiman, Nizam. 2002. Politik Malaysia: Perspektif Teori dan Praktik. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Sumaryono. 2013. Heurmeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Kanisius. Yogyakarta. Sunaryo. 2009. Money Politic OK. Rakyat Menyambut. SPDT. Bandung.

Upe, Ambo. 2008. Sosiologi Politik Kontemprer. Jakarta. Prestasi Pustakarya.

Skripsi:

Eko dan Atiq, Komariah. 2004. Perubahan Pilihan Masyarakat pada Pemilihan Umum Legislatif 2004 (Studi Kasus di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang). Semarang: Jurnal Intergralistik Jurusan HKn FIS UNNES.

Molani. 2013. Money Politic Calon Kepala Desa dalam Proses Pemilihan Kepala Desa Putra Aji II Tahun 2011 di Kabupaten Lampung Timur. Skripsi S1 FISIP Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Yani. 2008. Pengaruh Interaksi Sosial terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa Tengguli Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Semarang: Jurnal Integralistik Jurusan HKn FIS UNNES.

Yansirona, Fery Rudi. 2006. Kualitas Penyelenggaraan Pemilihan Kepada Daerah Kota Bandar Lampung Ditinjau dari Kelengkapan Administrasi Pemilih. Skripsi S1 FISIP Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(6)

Website:

Muhtadi. Burhanuddin http://www.indikator.co.id/laporan-konpers-rilis-survei-sikap-dan-perilaku-pemilih-terhadap-money-politics.

Prasojo, Eko http://ditpolkom.bappenas.go.id. diunduh tanggal 24 Maret 2014. Riza Pahlevi, Muamar

http://metrobali.com/2013/10/01/ideologi-transaksional-parpol-cederai-nilai-pancasila/. diakses tanggal 3 Maret 2014.

T. Hidayat, Pangki http://www.banjarmasin.tribunnews.com/mewaspadai-nalar-politik-transaksional. diunduh tanggal 11 Juni 2014.

Yuda AR, Hanta Korupsi dan Industrialisasi Pilkada. www.komunitasdemokrasi.or.id/pilkada. diunduh tanggal. 27 Maret 2014. www.komunitasdemokrasi.or.id/article/pilkada.pdf. diunduh tanggal. 27 Maret

2014.

http://wirawan88.blogspot.com/2011/05/money-politik.html.

Media Cetak:

Kompas. Survei Kompas tentang Politik Uang Edisi 10 April 2008.

Kompas. Saldi Isra. Menuju Pilkada yang Demokratis. Edisi 19 April 2005. Kompas. Harkrisnowo. Perundang-undangan Pilkada Tidak Tegas Pelaku Politik

Uang Sulit Dijerat. Edisi 6 Juli 2011.

Sumber Lain:

Pengadilan Tinggi Negeri Kabupaten Lampung Utara Nomor Putusan 01/Pid.S/Pemilu Kada/2013/PN.KB

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Legislatif Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Politik Transaksional