BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Efek Ekstrak Etanol Buah Inggir-Inggir (Solanum sanitwongsei Craib.) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Tikus Wistar Normotensi dan Hipertensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  Tumbuhan inggir-inggir (Solanum sanitwongsei Craib.) adalah tumbuhan yang secara morfologi hampir mirip dengan tomat (Solanum lycopersicum), tekokak (Solanum torvum) dan terong (Solanum melongena). Tumbuhan ini mudah tumbuh di berbagai tempat seperti di semak dan pekarangan rumah.

Gambar 2.1 daun dan buah inggir-inggir (Solanum sanitwongsei Craib)

2.1.1 Sistematika tumbuhan

  Tumbuhan inggir-inggir memiliki sistematika sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Solanales Suku : Solanaceae Marga : Solanum Spesies : Solanum sanitwongsei Craib (Widyaningrum, 2011).

  2.1.2 Nama lain

  Tumbuhan inggir-inggir memiliki nama lain yaitu: Sinonim : Solanum kurzii Brace.

  Nama daerah : Inggir-inggir (Batak), Terung siam (Jawa) Nama asing : Talong siam (Tagalog), Ma kae kom; Ma waeng dton; Ma waeng khruea (Thailand).

  2.1.3 Habitat

  Tumbuhan inggir-inggir umumnya tumbuh di semak dan di pekarangan rumah dengan tinggi ± 2 m (Widyaningrum, 2011).

  2.1.4 Morfologi

  Inggir-inggir berbatang tegak, bulat, berkayu, berbulu halus, dan berwarna putih putih kotor. Daun tunggal, lonjong, panjang 4-10 cm, lebar 3-7 cm, tepi rata, ujung runcing, berbulu, tangkai panjang ±0,5 cm dan berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk tandan, berbulu, tangkai panjang ±2 cm, bewarna ungu, kelopak bertajuk lima, hijau keunguan, benang sari kuning, putik berbulu, kuning, mahkota bentuk bintang dan berwarna ungu. Buah berbentuk bulat, masih muda hijau setelah tua kuning atau jingga. Biji bulat pipih, kecil, kuning muda serta mempunyai akar tunggang berwarna coklat kotor (Widyaningrum, 2011).

  2.1.5 Khasiat dan penggunaan

  Buah Inggir-inggir berkhasiat meredakan nyeri haid, obat kencing manis, obat tekanan darah tinggi dan obat jerawat, bijinya digunakan untuk sakit gigi dan obat pada gusi bengkak (Widyaningrum, 2011). Buah inggir-inggir efektif dalam menyembuhkan diabetes, mengobati batuk dan sebagai diuretik (Batugal, 2004).

2.1.6 Kandungan kimia

  Buah inggir-inggir mengandung saponin dan tanin, buah dan akarnya mengandung polifenol, di samping itu akarnya juga mengandung alkaloida, buahnya juga mengandung flavonoida (Widyaningrum, 2011).

2.2 Ekstrak

  Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

  Metode ekstraksi menurut Ditjen POM (1995) ada beberapa cara, yaitu: cara dingin dan cara panas.

2.2.1 Cara dingin a.

  Maserasi Maserasi merupakan suatu proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

  b.

  Perkolasi Perkolasi merupakan suatu cara penyarian simplisia dengan menggunakan perkolator di mana simplisianya terendam dalam pelarut yang selalu baru dan umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan dan penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

2.2.2 Cara panas a.

  Refluks Refluks merupakan suatu cara ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  b.

  Sokletasi Sokletasi merupakan suatu cara ekstraksi kontinu dengan menggunakan alat soklet, di mana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu.

  c.

  Digesti Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan pada

  o

  suhu 40-50 C.

  d.

  Infundasi Infundasi merupakan suatu cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air

  o pada temperatur 90 C selama 15 menit.

  e.

  Dekoktasi

  o

  Dekoktasi merupakan suatu cara ekstraksi pada suhu 90 C dengan menggunakan pelarut air selama 30 menit.

2.3 Tekanan Darah

  Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan aliran darah terhadap setiap satuan luas dari dinding pembuluh darah. Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam milimeter air raksa (mmHg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer total (Guyton, 1993). tekanan darah = curah jantung x tahanan perifer total

  Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa setiap keadaan yang meningkatkan baik curah jantung maupun tahanan perifer total akan meningkatkan tekanan darah. Namun, pada dasarnya tekanan darah tidak hanya diatur oleh satu sistem pengatur tekanan darah melainkan oleh beberapa sistem yang saling berkaitan satu sama lain (Guyton, 1993).

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

  2.4.1 Tekanan darah sistol dan diastol

  Tekanan darah sistol adalah tekanan yang terjadi ketika ventrikel kiri jantung berkontraksi untuk mengalirkan darah ke aorta sedangkan tekanan darah diastol terjadi ketika ventrikel kiri jantung relaksasi. Tekanan darah sistol normal berkisar antara 120 ± 10 mmHg dan tekanan darah diastol normal berkisar antara 80 ± 10 mmHg (Gunstream, 2000).

  2.4.2 Tekanan arteri rata-rata

  Tekanan darah arteri rata-rata adalah tekanan rata-rata selama satu siklus denyut jantung. Besarnya tekanan arteri biasanya sedikit lebih rendah daripada rata-rata tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Pada orang dewasa muda yang normal tekanan arteri rata-rata kira-kira 96 mmHg, sedikit lebih kecil dari rata- rata tekanan sistolik dan tekanan diastolik, yaitu 120 dan 80 mmHg (Guyton, 1993).

  Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong darah jaringan sistemik. Jika tekanan darah arteri rata-rata rendah, otak dan jaringan tidak akan menerima aliran darah dari jantung. Sebaliknya, jika terlalu tinggi menyebabkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh serta perdarahan pada arteri-arteri kecil (Sherwood, 2001).

  2.4.3 Curah jantung (Cardiac Output)

  Selama periode waktu tertentu, jumlah darah yang dipompa oleh ventrikel kiri dan ventrikel kanan sama besarnya. Jika tidak, akan terjadi penimbunan darah di tempat tertentu di jantung atau paru-paru. Volume darah yang dipompa oleh tiap-tiap ventrikel per menit disebut curah jantung. Peningkatan atau penurunan curah jantung berbanding lurus dengan perubahan tekanan darah. Curah jantung dipengaruhi oleh volume sekuncup dan denyut jantung (Sherwood, 2001). curah jantung = volume sekuncup x denyut Jantung

  Besar curah jantung seseorang tidak selalu sama, bergantung pada keaktifkan tubuhnya. Curah jantung orang dewasa pada keadaan istirahat kurang lebih 5 liter. Dengan kata lain, setiap menit ventrikel kanan memompa 5 liter darah ke paru-paru dan ventrikel kiri memompa 5 liter darah ke sirkulasi sistemik.

  Curah jantung akan meningkat saat bekerja berat, stres, dan olahraga lalu menurun saat tidur (Sherwood, 2001).

  2.4.4. Volume sekuncup (Stroke Volume)

  Volume sekuncup (SV) adalah jumlah darah yang dipompa ke luar dari ventrikel setiap berkontraksi. Volume sekuncup dipengaruhi oleh selisih antara volume diastolik akhir atau end diastolic volume (EDV) dengan volume sistolik akhir, end systolic volume (ESV).

  SV = EDV – ESV Volume diastolik akhir adalah jumlah darah di ventrikel sebelum berkontraksi sedangkan volume sistolik akhir adalah jumlah darah di ventrikel setelah berkontraksi. Dengan kata lain, semakin besar selisih antara volume diastolik akhir dan volume sistolik akhir semakin besar juga jumlah darah yang dialirkan ke sirkulasi sistemik saat ventrikel berkontraksi (Sherwood, 2001).

  Berdasarkan hukum Frank Starling menyatakan: a. Semakin besar darah di jantung saat diastol maka semakin besar jumlah darah yang dipompakan ke aorta.

  b.

  Dalam batas fisiologis, jantung memompakan darah kembali ke jantung tanpa menyebabkan penumpukan darah di vena.

  c.

  Jumlah darah yang dipompa oleh jantung bergantung pada jumlah darah yang mengalir kembali ke vena.

  Hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup bergantung pada panjang tegangan otot jantung disebut kontrol intrinsik. Pada keadaan istirahat, panjang serat otot jantung lebih kecil daripada panjang optimum. Peningkatan volume diastolik akan meningkatkan panjang serat otot awal sebelum kontraksi (preload) dan menyebabkan volume sekuncup lebih besar. Preload dinyatakan sebagai beban kerja yang diberikan jantung sebelum kontraksi dimulai. Ketika berkontraksi, ventrikel harus menghasilkan cukup tekanan untuk mengatasi tekanan darah di arteri-arteri besar agar katup-katup semilunaris dapat terbuka. Tekanan ini disebut dengan afterload. afterload adalah tekanan yang harus dilawan oleh jantung selama kontraksi untuk mempertahankan volume sekuncup normal. Volume sekuncup juga diatur oleh kontrol ekstrinsik melalui aktivitas sistem saraf simpatis dengan memperkuat kontraktilitas jantung dan meningkatkan aliran balik vena. Stimulasi simpatis menyebabkan konstriksi vena yang memeras lebih banyak darah dari vena ke jantung sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir dan secara langsung akan meningkatkan volume sekuncup (Sherwood, 2001).

2.4.5 Aliran balik vena

  Darah meninggalkan jaringan sistemik menuju pembuluh darah vena untuk dibawa kembali ke jantung. Selain berfungsi sebagai aliran bagi darah kembali ke jantung, vena juga berfungsi sebagai reservoir darah; yaitu, apabila kebutuhan akan darah rendah, vena-vena dapat menyimpan darah ekstra sebagai cadangan karena sifat mereka yang mudah diregangkan. Dalam keadaan istirahat, pembuluh darah vena mengandung 60% volume darah total. Apabila, simpadan darah dibutuhkan, faktor-faktor ekstrinsik melalui aktivitas saraf simpatis akan mendorong darah dari vena ke jantung. Darah yang tersimpan di vena terlalu banyak akan menyebabkan penurunan volume sekuncup dan curah jantung (Sherwood, 2001).

  Aliran balik vena adalah jumlah darah yang kembali ke jantung melalui vena cava superior (Scanlon, 2007). Aliran balik vena dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu aktivitas saraf simpatis, aktivitas otot rangka, efek katup vena, aktivitas pernafasan dan efek penghisapan oleh jantung (cardiac suction effect).

  a.

  Aktivitas saraf simpatis, otot polos vena dipersarafi oleh banyak saraf simpatis. Stimulasi saraf simpatis menimbulkan vasokontriksi vena yang cukup meningkatkan tekanan vena; hal ini kemudian meningkatkan gradien tekanan untuk mendorong lebih banyak darah dari vena ke dalam atrium kanan. b.

  Aktivitas otot rangka, vena-vena besar banyak terletak diantara otot-otot rangka sehingga pada saat otot-otot ini berkontraksi, vena-vena tersebut tertekan. Penekanan ini akan menurunkan kapasitas vena dan meningkatkan tekanan vena, sehingga darah mengalir ke jantung.

  c.

  Efek katup vena, katup vena berbeda dengan katup atrioventrikular (trikuspidalis dan bikuspidalis) dan katup semilunaris (aorta dan pulmonalis) pada jantung. Katup vena bersifat satu arah yang berfungsi mendorong darah ke jantung tetapi mencegah darah kembali ke jaringan. Katup-katup vena ini juga berperan melawan efek gravitasi yang ditimbulkan oleh posisi berdiri dengan memperkecil aliran balik darah yang cenderung terjadi ketika seseorang dalam posisi berdiri.

  d.

  Aktivitas pernafasan, Tekanan di dalam rongga dada rata-rata 5 mmHg di bawah tekanan atmosfer. Pada saat mengalir melalui rongga dada, sistem vena yang mengembalikan darah ke jantung dari bagian bawah tubuh terpapar ke tekanan subatmosfer tersebut. Karena sistem vena di tungkai dan abdomen mendapat tekanan normal, terjadi gradien tekanan eksternal antara vena-vena bawah (tekanan atmosfer) dan vena-vena dada (5 mmHg lebih kecil dari tekanan atmosfer). Perbedaan tekanan ini akan mendorong darah dari vena- vena bagian bawah menuju vena dada sehingga aliran balik vena meningkat.

  Mekanisme fasilitasi aliran balik vena ini dikenal sebagai pompa respirasi karena terjadi akibat aktivitas pernafasan. Peningkatan aktivitas respirasi akan meningkatkan aliran balik vena.

  e.

  Efek penghisapan oleh jantung, Jantung memiliki peran pengisian darah sendiri. Selama kontraksi ventrikel, katup-katup atrioventrkular (AV) tertarik ke bawah, sehingga rongga atrium membesar. Akibatnya, tekanan atrium sementara turun dibawah 0 mmHg. Sehingga gradien tekanan vena ke atrium meningkat dan aliran balik vena juga meningkat. Tekanan ventrikel akan lebih negatif dari pada tekanan vena dan atrium. Hal ini akan meningkatkan gradien tekanan vena ke atrium lalu ke ventrikel. Dengan demikian, jantung berfungsi sebagai “pompa penghisap” untuk mempermudah pengisian jantung (Sherwood, 2001).

  2.4.6 Tahanan perifer total

  Tahanan perifer total adalah gesekan antara darah melawan dinding pembuluh darah. Arteriol berperan penting dalam pengaturan tekanan darah berdasarkan perubahan diameternya, mengubah tahanan perifer total. Ketika arteriol berkontraksi, tahanan perifer dan tekanan darah meningkat. Namun sebaliknya, ketika arteriol dilatasi tahanan perifer total dan tekanan darah menurun (Gunstream, 2000).

  2.4.7 Denyut jantung

  Denyut jantung adalah denyut yang terjadi pada saat depolarisasai sinus atrial node berkisar antara 60-80 kali permenit. Perlambatan denyut jantung di bawah normal disebut bradikardia dan percepatan denyut jantung disebut takikardia. Denyut jantung sangat mempengaruhi curah jantung. Secara tidak langsung jika denyut jantung meningkat maka tekanan darah akan meningkat melalui peningkatan curah jantung (Sherwood, 2001).

  2.4.8 Elastisitas pembuluh arteri

  Ketika ventrikel kiri berkontraksi, darah masuk ke aorta dan meregangkan dinding pembuluh arteri. Dinding arteri bersifat elastis dan dapat menahan berbagai tekanan. Ketika ventrikel kiri relaksasi, pembuluh arteri kembali menjadi normal. Elastisitas normal arteri mengatur tekanan darah sistol maupun diastol (Scanlon, 2007).

2.4.9 Viskositas darah

  Viskositas darah normal bergantung pada jumlah sel-sel darah merah dan protein plasma, terutama albumin. Penurunan jumlah sel darah merah seperti pada penderita anemia, atau menurunnya albumin, penyakit hati dan ginjal kronik dapat menurunkan viskositas darah dan tekanan darah. Pada kondisi ini, mekanisme lain seperti vasokontriksi akan mengatur tekanan darah menjadi normal (Scanlon, 2007).

2.5 Pengaturan Tekanan Darah

  Mekanisme pengaturan tekanan darah dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu pengaturan tekanan darah jangka pendek dan pengaturan tekanan darah jangka pendek. Pengaturan tekanan darah jangka panjang diperantarai oleh mekanisme ginjal cairan tubuh dan sistem renin angiotensin aldosteron. Pengaturan tekanan darah jangka pendek bekerja melalui saraf dengan pengaturan baroreseptor dan kemoreseptor pembuluh darah arteri (Guyton, 1993).

2.5.1. Pengaturan tekanan darah jangka pendek

  Pengaturan tekanan darah jangka pendek melibatkan refleks neuronal susunan saraf pusat dan regulasi curah jantung. Mekanisme pengaturan tekanan darah ini berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit. Sistem refleks neuronal yang mengatur tekanan darah bekerja melalui baroreseptor, yaitu suatu reseptor regang yang mampu mendeteksi peregangan dinding pembuluh darah oleh peningkatan tekanan darah, dan kemoreseptor, yaitu sensor yang mendeteksi perubahan PO

  2 , PCO 2 dan pH darah. Baroreseptor dapat dijumpai di hampir

  semua arteri besar yang terletak di daerah toraks dan leher. Tetapi dijumpai terutama dalam: dinding arteri karotis interna yang terletak di atas sinus karotikus dan dinding arkus aorta. Sinus karotikus adalah bagian pembuluh darah yang paling mudah teregang. Sinyal yang dijalarkan dari setiap sinus karotikus akan melewati saraf hering yang sangat kecil ke saraf kranial ke-9 (glosofaringeal) dan kemudian ke nukleus traktus solitarius (NTS) di daerah medula oblongata. Arkus aorta adalah bagian yang paling teregang setiap kali terjadi ejeksi ventrikel kiri. Sinyal dari arkus aorta dijalarkan melalui saraf kranial ke-10 (vagus) ke dalam area yang sama di medula oblongata. Perangsangan vagus pada jantung akan mengatur denyut, frekuensi dan kontraksi jantung. Pada keadaan normal sinus karotikus lebih berperan dalam mengendalikan tekanan darah dibanding arkus aorta, dimana arkus aorta memiliki ambang rangsang yang lebih tinggi dibanding sinus karotikus. Baroresepor lebih banyak berespon terhadap tekanan yang berubah cepat daripada tekanan yang menetap. Banyaknya jalur neuronal yang saling berinteraksi untuk mengatur impuls saraf otonom dipengaruhu oleh berbagai stimulus yang mempengaruhi tekanan darah seperti: emosi (takut, marah dan cemas) dan stres fisik (Sherwood, 2001).

  Kendali kemoreseptor pada sistem kardiovaskuler mencakup kemoreseptor sentral dan perifer. Kemoreseptor sentral di medulla oblongata sensitif terhadap PCO

  2 arteri yang tinggi. Peningkatan PCO 2 arteri menstimulasi kemoreseptor

  sentral untuk menghambat area vasomotor yang menyebabkan aktivasi saraf simpatis kemudia vasokontriksi pembuluh darah. Kemoreseptor perifer berperan mengendalikan ventilasi paru dan terletak dekat baroreseptor, yaitu badan karotis dan arkus aorta. Penurunan PO

  2 arteri menstimulasi kemoreseptor untuk menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah (Sherwood, 2001).

2.5.2 Pengaturan tekanan darah jangka panjang

  Pengaturan tekanan darah jangka panjang berfungsi mengatur homeostatis sirkulasi melalui sistem humoral endokrin yang melibatkan ginjal sebagai organ pengatur utama distribusi cairan ekstraseluler. Mekanisme pengaturan tekanan darah jangka panjang diperantarai oleh sistem sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) merupakan sistem endogen kompleks yang dipengaruhi oleh ginjal dan hati. Sistem ini berperan dalam pengaturan keseimbangan elektrolit baik secara

  intraselular maupun ekstraselular, seperti ion Na , K dan Cl melalui pengaktifan atau penghambatan hormon seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Sistem renin angiotensin aldosteron (Scanlon, 2007) a.

  Renin, enzim yang terdapat di sel-sel juxtaglomerular pada arteriol aferen ginjal dan dilepaskan ke pembuluh darah sebagai respon terhadap sirkulasi tekanan darah sistemik. Enzim ini berfungsi mengkatalisis pelepasan hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari ujung amino terminal angiotensinogen (Guyton, 1993).

  b.

  Angiotensinogen, disebut juga sebagai substrat renin, di sirkulasi dijumpai dalam fraksi α2 globulin plasma. Angiotensinogen disintesa di dalam hati, mengandung sekitar 13% karbohidrat dan dibentuk dari 453 residu asam amino. Angiotensinogen akan memicu pelepasan angiotensin I ke pembuluh darah (Guyton, 1993).

  c.

  Angiotensin I, peptida asam amino-10 yang merupakan vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup kuat untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Selama beberapa waktu, angiotensin I akan berubah menjadi angiotensin II melalui bantuan enzim pengubah angiotensin (ACE) (Guyton, 1993).

  d.

  ACE atau Angiotensin Converting Enzyme, terdapat di endotelium pembuluh paru-paru dan epitel pembuluh darah yang berfungsi mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II (Scanlon, 2007).

  e.

  Angiotensin II, vasokonstriktor yang sangat kuat terhadap sistem sirkulasi.

  Angiotensin II berada dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit, karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah yang secara bersama-sama disebut angiotensinase. Angiotensin II akan berikatan dengan reseptornya yaitu AT(1), AT(2) dan AT(3). AT(1) adalah reseptor angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah melalui peningkatan efek saraf simpatis dan merangsang korteks adrenal untuk melepaskan aldosteron. AT(2) juga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan pembuluh darah dan kontrol aliran darah (Guyton, 1993). f.

  Aldosteron, yaitu hormon steroid yang bekerja pada tubulus ginjal untuk mempertahankan ion natrium dan klorida dan mengekskresikan kalium, Jika natrium direabsorpsi maka akan diikuti masuknya air ke dalam pembuluh darah, yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga tekanan darah meningkat (Guyton, 1993).

  Sistem RAAS merupakan sistem umpan balik kompleks yang berfungsi dalam homeostasis sistemik. Penurunan atau peningkatan tekanan darah akan memicu perubahan hormon-hormon dalam sistem renin angiotensin aldosteron (Sherwood, 2001).

2.6 Hipertensi

  Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80 mmHg). Para ahli medis menetapkan bahwa 120 - 139/80 - 89 dikatakan sebagai prehipertensi (Scanlon, 2007). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII (Dipiro, et al., 2008).

  Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg) Normal <120 <80

  Pre Hipertensi 120-139 80-89 Stadium I 140-159 90-99

  Stadium II ≥160 ≥100

  Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi penyakit penderita. Hipertensi yang disertai komplikasi penyakit lain memiliki target terapi tekanan darah yang berbeda-beda yang akan dibahas pada sub bab 2.8 (James, et al., 2014).

  Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer (e sensial) yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder (non esensial) yang diketahui penyebabnya (Depkes RI, 2006).

  2.6.1 Hipertensi primer (esensial)

  Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.

  Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah pelepasan nitrit oksida, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Depkes RI, 2006).

  2.6.2 Hipertensi sekunder (non esensial)

  Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

2.7 Patofisiologi Hipertensi

  Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam penyebab hipertensi seperti meningkatnya aktivititas sistem saraf simpatis yang mungkin berhubungan dengan pertambahan umur dan kondisi stres, berlebihnya kadar natrium dan vasokonstriktor dalam tubuh, asupan garam tinggi, gangguan pada sistem renin-angiotensin sehingga meningkatkan produksi aldosteron, menurunnya kadar nitrit oksida (NO), dan meningkatnya viskositas darah (Oparil, et al., 2003).

Gambar 2.3 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008) Korteks adrenal adalah bagian ginjal yang memproduksi hormon mineral kortikoid dan glukokortikoid, yaitu aldosteron dan kortisol. Kelebihan aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi air dan natrium, sedangkan kelebihan kortisol meningkatkan sintesa epinefrin dan norepinefrin yang bertindak sebagai vasokonstriktor pembuluh darah. Secara tidak langsung, ini akan mempengaruhi peningkatan volume darah, curah jantung dan menyebabkan peningkatan tahanan perifer total (Dipiro, et al., 2008).

2.8 Farmakoterapi Hipertensi

  Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis (Dipiro, et al., 2008). Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi (James, et

  al., 2014) Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pengunaan obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (Depkes RI, 2006).

  Komplikasi penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh hipertensi seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan stroke memiliki algoritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit (Dipiro, et al., 2008).

2.9 Obat Antihipertensi

2.9.1 Diuretik

  Diuretik adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan meningkatkan pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi empat golongan obat yaitu: a.

  Diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena bekerja di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na

  • , K
  • dan Cl
    • di ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl
    • yang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat yang termasuk diuretik kuat adalah furosemida, asam etakrinat dan bumetamida.

  b.

  Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na

  • dan Cl
    • di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama
    dibanding diuretik kuat. Obat-obat yang termasuk diuretik tiazid adalah hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan siklotiazid.

  c.

  Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya. Obat-obat golongan diuretik osmotik adalah mannitol, sorbitol, gliserin, dan isosorbid.

  d.

  Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium. Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran natrium, yaitu: triamteren dan amilorid.

  e.

  Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat-obat dari golongan ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid.

  Efek samping diuretik umumnya berupa hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual (Depkes RI, 2006).

  2.9.2 Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi)

  ACEi menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam darah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril, enalapril, ramipril, lisinoril. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Fauci, et al., 2008).

  2.9.3 Antagonis kalsium

  Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, et al., 2008).

  2.9.4 Penghambat reseptor angiotensin (ARB)

  ARB bekerja dengan cara menghambat ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya . Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi.

  Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).

2.9.5 Penghambat reseptor beta (

  β blocker)

  Penghambat β menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama penghambat

  β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan men urunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat

  β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua reseptor baik

  β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor

  β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri.

  Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor

  β2 menghasilkan bronkodilatatasi dan vasodilatasi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat

  β yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Depkes RI, 2006).

  Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang berfungsi sebaga i vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati. Penghambatan reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis (Fauzi, et al., 2008).

  Carvedilol dan nebivolol adalah β blocker generasi ketiga yang memiliki efek lain. Carvedilol adalah β blocker non selektif yang bekerja dengan cara menghambat reseptor β1, β2 dan α1 serta mempunyai efek antagonis kalsium sehingga efek antihipertensi yang ditimbulkan lebih kuat dibandingka n dengan β blocker lain.

  Nebivolol adalah β blocker selektif yang bekerja dengan cara menghambat reseptor β1 di jantung dan menstimulasi pelepasan vasodilator endogen di jantung, yakni nitrit oksida (Erdogan, et al., 2011).

2.9.6 Penghambat reseptor alfa (

  α blocker)

  Reseptor α terdiri dari α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat di jantung sedangkan reseptor

  α2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini memiliki peran yang berlawanan. Aktivasi dari reseptor α1 akan meningkatkan peningkatan senyawa katekolamin, yakni epinefrin, nor epinefrin dan dopamin yang akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah. Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penghambat reseptor

  α1 selektif. Obat-obat ini bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pelepasan katekolamin pada sel otot jantung, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Efek samping yang tidak disukai dari penghambat reseptor alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan dan palpitasi (Depkes RI, 2006).

2.9.7 Agonis α2 sentral

  Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2 di presinap di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak. Penurunan aktivitas aimpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan refleks baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten, dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan.

  Penghentian agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound

  

hypertension , yaitu peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Efek ini diduga

  disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba (Depkes RI, 2006).

2.10 Metode Pengukuran Tekanan darah Secara Non Invasif

  Pengukuran tekanan darah secara noninvasif yaitu mengukur tekanan darah tanpa mengorbankan objek yang diukur. Tekanan darah diukur dengan menggunakan instrumen analisis yang dapat mengukur tekanan darah tikus melalui ekor. Metode tersebut disebut juga metode non invasif atau tidak langsung. Nilai tekanan darah dapat diukur melalui cuff yang memiliki sensor cahaya. Sensor akan membaca aliran tekanan darah yang melewati pangkal ekor secara dinamis akibat penekanan terhadap pembuluh darah oleh pompa yang tersedia pada alat. Nilai tekanan darah akan terbaca melalui interpretasi grafik (oscillograph) yang berbentuk kerucut (Sanjaya, 2010).

  Suatu pengukuran tekanan darah secara noninvasif harus dilakukan secara tenang. Hal ini bertujuan menurunkan tingkat stres hewan agar aliran darah menuju ekor lancar. Pengaturan suhu tubuh hewan adalah langkah penting yang harus dilakukan. Hewan harus merasa nyaman dan hangat. Media penghangat seperti air dan lampu penghangat dapat digunakan untuk mengatur suhu tubuh hewan (Malkoff, 2005).

Dokumen yang terkait

Efek Ekstrak Etanol Buah Inggir-Inggir (Solanum sanitwongsei Craib.) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Tikus Wistar Normotensi dan Hipertensi

13 202 136

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas AntioksidanN Ekstrak Etanol Daun Cincau Perdu

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tanaman - Pengaruh Pemberian Salep Ekstrak Etanol Kulit Buah Dari Tumbuhan Petai (Parkia Speciosa Hassk.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada Kelinci

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Skrining Fitokimia dan Karakterisasi Simplisia serta Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Majakani Terhadap Tikus

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Penggunaan Ekstrak Buah Senduduk (Melastoma malabathricum L.) Sebagai Pewarna Dalam Sediaan Lipstik

1 4 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan

0 4 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Efek Ekstrak Etanol Daun Puguh Tanoh (Curanga fel-terrae Merr.) Terhadap Kadar Nitrogen Monooksida Plasma Darah Tikus Sebagai Terapi Pendamping Pada Penggunaan Doksorubisin

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Efek Ekstrak Etanol Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Yang Diinduksi Aloksan

0 1 25

Efek Ekstrak Etanol Buah Inggir-Inggir (Solanum sanitwongsei Craib.) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Tikus Wistar Normotensi dan Hipertensi

0 0 32