BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

2.1 Uraian Tumbuhan

  Tumbuhan majakani pada dasarnya berasal dari daerah Allepo di

  Asiatic Turkey , juga ditemukan di Syria, Iran, Cyprus, dan Yunani (Claus, 1962; Rangari, 2007).

  Gal majakani bukan merupakan jenis buah-buahan atau bagian tumbuhan lainnya tetapi merupakan pertumbuhan abnormal (pembesaran menjadi bongkol) dari ranting tumbuhan Quercus infectoria G. Olivier atau disebut majakani.

  Sinonim : Nutgall,Aleppo gall, Smyrna gall, Turkey

  gall, Oak warts, Mad-Apple, Dead Sea-Apple, Apple of Sodom, Dyers’ Oak.

  Tumbuhan asli : Quercus infectoria G.Olivier Famili : Fagaceae Bagian yang digunakan : gal yang diperoleh dari ranting muda (Rangari,

  2007) dan disebut juga “cecidia” atau “galla” (Tjitrosoepomo, 1994).

  Majakani dalam taksonomi tumbuhan dliklasifikasikan sebagai: Devisi Sub devisi Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Fagales Suku : Fagaceae Marga : Quercus Jenis : Quercus infectoria G.Olivier (EOL, 2013)

2.1.1 Proses pembentukkan gal

  Gal merupakan perkembangan patologi yang dibentuk pada ranting pohon. Gal timbul sebagai reaksi akibat tusukan serangga kecil pada kulit rantingnya (Claus, 1962). Serangga tersebut adalah Cynips gallaetinctoria Hartig atau Adleria galaetinctoriae Olivier, famili Cynipidae (Rangari, 2007).

  Serangga lain yaitu Aphis (kutu tanaman), dan beberapa oleh jamur. Tahap pembentukkan gal (Pratt dan Herber, 1956):

  a. Pada awal musim semi, serangga meletakkan telur-telurnya pada ranting b. Larva menetas dari telur dan mensekresikan enzim yang menghidrolisis pati di daerah ranting tersebut sehingga dihasilkan gula dan peninggkatan potensial energi.

  c. Hal ini memicu pertumbuhan larva dan pembelahan sel di daerah ranting d. Pada tahap pupa, terbentuk komponen polifenol dari tanin berupa asam tanat pada jaringan gal sebelah luar dan asam galat pada jaringan gal disebelah dalam.

  e. Kemudian rongga tengah terbentuk dimana pupa tumbuh dan menjadi serangga dewasa f. Serangga yang dewasa kemudian melubangi gal dan keluar dari gal

2.1.2 Jenis-jenis gal

  pertumbuhan telur serangga yang diletakkan oleh induknya pada pada bagian tanaman tertentu. Gal terdapat di beberapa negara, perbedaan gal dari negara- negara ini terletak pada jenis serangga yang menginduksi ataupun berbeda pada jenis tanamannya. Berdasarkan hal ini gal dapat dibedakan menjadi: a. Gal Cina dan Jepang

  Gal ini dihasilkan oleh induksi kutu (Schlechtendalia chinensis), pada tangkai daun Rhus chinensis family Anacardiaceae. Banyak terdapat dipasaran mengandung 55-77% tanin dan digunakan sebagai astringen juga obat anti pendarahan (Claus, 1962; Trease, et al., 1983).

  b. Gal Aleppo atau gal Turki Gal ini diinduksi oleh serangga Adleria gallaetinctoriae Olivier (=

  Cynips gallaetinctoriae Hartig) pada ranting muda Quercus infectoria

  G. Olivier (majakani)

  c. Gal mahkota Aleppo Gal ini berasal dari Aleppo Syiria utara, berukuran seperti kacang dan memiliki mahkota tertegak mengarah ke pucuk. Serangga yang menginduki adalah Cynips polycera (Trease, et al., 1983).

  d. Gal Amerika Dibentuk oleh Quercus coccinea dan Quercus imbricaria oleh Cynips

  aciculate berdiameter 1,5-3 cm, berbintik-bintik dan berwarna

  kekuning-kuningan. Ketika kering mereka menjadi berwarna kuning kecoklatan dan banyak kerutan. Gal Texas dibentuk pada oak Quercus Quercus lobata dan banyak mengadung asam tanat (Claus, 1962).

  e. Gal Hungaria Gal ini diinduksi oleh serangga Cynips lignicola pada Quercus robur yang tumbuh di Yugoslavia dan digunakan untuk penyamakan (Trease, et al., 1983).

  f. Gal oak Inggris Gal ini diinduksi oleh Adleria kollari pada Quercus robur, berisi 15- 20% tanin (Trease, et al., 1983).

  Menurut kandungan tanin gal dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

  a. Gal biru Gal ini sebenarnya berwarna abu-abu atau abu-abu kehitaman (Trease, et al., 1983) sehingga juga disebut gal hitam, mempunyai kandungan tanin yang tinggi dan masih terdapat serangga didalamnya. Kandungan tanin pada gal ini tergantung pada pertumbuhan serangga. Jika telur gagal menetas, tidak ada tanin yang dihasilkan dan gal tidak terbentuk. Jika larva mati maka produksi tanin terhenti juga. Serangga mengalami masa pertumbuhan didalam gal selama 5-6 bulan (Walis, 1955).

  b. Gal putih Gal ini mempunyai lubang yang menandakan serangga telah keluar.

  Melalui lubang ini, oksigen dan kelembaban udara mempunyai akses langsung dengan jaringan gal sebelah dalam dan ini menyebabkan oksidasi tanin sehingga kandungan tanin pada gal ini lebih sedikit dari

  2.1.3 Karakteristik makroskopik gal majakani

  Bentuk gal bulat dan berdiameter 10-25 mm, memiliki tangkai yang pendek, batang bebentuk basal, dan mempunyai banyak tonjolan pada permukaanya. Gal ini berat dan biasanya tenggelam dalam air. Beberapa memiliki lubang yang melingkar untuk serangga keluar (Trease, et al., 1983).

  2.1.4 Karakteristik mikroskopik gal majakani

  Penampang melintang gal menunjukkan parenkim berdinding tipis di sebelah luar lebih banyak dibandingkan sebelah dalam. Setelah parenkim, kemudian diikuti oleh sebuah cincin sklerenkim yang terdiri atas satu atau dua lapis sel. Bagian dalam terdiri atas jaringan parenkim berdinding tebal yang mengelilingi rongga tengah. Jaringan parenkim berisi banyak pati, gumpalan tanin, kristal dalam bentuk rose atau prisma dari kalsium oksalat (Trease, et al., 1983)

  2.1.5 Kandungan kimia gal majakani

  Gal terdiri atas 50 – 70% tanin terutama asam galotanin yang merupakan tanin. Selain itu juga terdapat 2 – 4% asam galat, asam elagit, sitosterol, metil belulat dan metil oleanolat yang merupakan ester dari betulit dan asam oleanolit. Baru-baru ini beberapa komponen seperti asam niktantik, asam roburit, asam siringat dan pati (Rangari, 2007).Rumus struktur komponen gal majakani dapat dilihat pada Gambar 2.1.

  HO O OH O O OH OH H H HO OH HO O

OH HO

O H H

  Asam galat asam elagit sitosterol

Gambar 2.1 Rumus struktur komponen gal majakani (Pratt dan Herber, 1956)

  2.1.6 Uji kualitatif gal majakani

  Campuran air dengan serbuk gal (1:10.000) menunjukkan endapan biru gelap dengan 5% larutan feri sulfat, endapan berwarna coklat gelap dengan 1% larutan feri asetat, warna orange kecoklatan dan sedikit endapan dengan kalium dikromat jenuh ditambah sedikit asam asetat; serta coklat kekuningan dan endapan dengan 1% larutan natrium karbonat (Claus, 1962).

  2.1.7 Kegunaan gal majakani

  Secara tradisional gal majakani (Quercus infectoria G.Olivier) digunakan sebagai bahan astringen alami yang mengandung komponen antiseptik dan antioksidan (Pratt dan Herber, 1956). Beberapa penelitian juga telah membuktikan beberapa efek farmakologinya seperti sebagai antidiabetes (Hwang, et al., 2000), anastetik lokal, antivirus (Hussein, et al., 2000), dan antibakteri (Fatima, et al., 2001).

  Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji manfaat gal majakani (Quercus infectoriaG. Olivier), seperti khasiatnya sebagai obat luka bakar (Umachigi, et al., 2008) dan penelitian tentang daya antibakteri ekstrak alkohol gal majakani terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Leela dan Satirapipathkul., 2011).

2.2 Simplisia

  belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelican atau mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Dan untuk dapat memenuhi persyaratan minimal tersebut, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia (termasuk cara penyimpanan simplisia), cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes, 1985).

2.2.1 Tahap pembuatan simplisia

  Agar simplisia memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan, maka dilakukan tahapan kegiatan berikut ini.

  a. Sortasi Basah Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam- simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Depkes, 1985).

  b. Pencucian Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Depkes, 1985).

  c. Perajangan Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.

  Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan (Depkes, 1985).

  d. Pengeringan

  Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan permukaan bahan. Suhu yang terbaik dalam pengeringan adalah tidak melebihi 60°C, tetapi bahan aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30°C sampai 45°C. Terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan alamiah (dengan panas sinar matahari langsung atau dengan diangin-anginkan) dan pengeringan buatan (menggunakan instrument). Dengan menggunakan pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena pengeringan akan lebih cepat dan merata, tanpa dipengaruhi cuaca (Depkes, 1985).

  e. Sortasi Kering Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada untuk kemudian disimpan. Pada simplisia bentuk rimpang, sering jumlah akar yang melekat pada rimpang terlampau besar dan harus dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi dan benda- benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia dibungkus (Depkes, 1985).

  f. Penyimpanan Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan kemunduran mutu, sehingga simplisia bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan atau yang ditentukan. Oleh karena itu pada penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan, dan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu, serta cara pengawetannya. Penyebab kerusakan pada simplisia yang utama adalah air dan kelembapan. Cara menyimpan simplisia yang kurang tepat akan menyebabkan rusaknya simplisia akibat hewan pengerat. Cara pengemasan simplisia tergantung pada jenis simplisia dan tujuan penggunaan pengemasan. Bahan dan bentuk pengemasan harus sesuai. Wadah harus bersifat tidak beracun dan tidak bereaksi (inert) dengan isinya sehingga tidak menyebabkan terjadinya reaksi serta penyimpanan warna, rasa, bau, dan sebagainya pada simplisia

2.3 Ekstrak dan Ekstraksi

  Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 1995).

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.

  Simplisia yang akan diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut dan mempunyai struktur kimia yang berbeda- beda yang dapat mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap suhu, udara, cahaya, dan logam berat (Depkes, 2000).

2.3.1 Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut

  a. Cara dingin i. Maserasi

  Maserasi adalah suatu metode ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan ii. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan (Depkes, 2000).

  b. Cara panas i. Refluks

  Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes, 2000). ii. Soxhlet

  Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000). iii. Digesti temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperature 40 – 50°C (Depkes, 2000). iv. Infus

  Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C selama waktu tertentu (15 – 20 menit) (Depkes, 2000). v. Dekok

  Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30 °C dan temperatur sampai titik didih air (Depkes. 2000).

2.3.2 Pengeringan ekstrak dengan metode freeze drying

  Pengeringan secara umum bermaksud untuk menghilangkan pelarut dari material yang akan dikeringkan. Salah satu tipe pengeringan yaitu freeze- . Pengeringan-beku adalah proses pengeringan di mana pelarut dan atau

  drying

  media suspensi yang mengkristal pada temperatur rendah dan sesudahnya mensublimasi dari padat langsung ke fase uap. Pengeringan-beku lebih banyak dilakukan dengan air sebagai pelarut. Pengeringan mengubah es atau air dalam fase amorf menjadi uap. Karena tekanan uap es rendah, volume uap menjadi besar. Tujuan pengeringan-beku adalah untuk memproduksi suatu substansi dengan stabilitas yang baik dan tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air, meskipun hal ini sangat tergantung juga pada langkah terakhir proses pengemasan dan kondisi penyimpanan (Oetjen dan Haseley, 2004).

2.4 Inflamasi

  Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akut ditandai oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler dan venula, disertai peningkatan permeabilitas aliran darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan migrasi leukosit kedalam fokus peradangan. Respon ini disebabkan oleh pembebasan mediator (histamin, serotonin, prostaglandin, kinin) yang berperan mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun jaringan dan kemudian dapat timbul gelaja dari jaringan yang cidera (Soenarto, 2007).

2.4.2 Mediator inflamasi

  Banyak substansi endogen yang ditemukan dikenal sebagai mediator peradangan di antaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, dan leukotrien. Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dari sekian banyak mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik setelah diinduksi yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilasi asam amino histidin yang terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru, kulit dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leukosit basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik dan tersimpan terikat reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler, 1999).

  Bradikinin dan kalidin adalah mediator radang yang secara lokal menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer, 2003). Serotonin (5- hidroksitriptamin, 5-HT), berasal dari asam amino esensial triptamin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan di beberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin disimpan dalam granula, terikat dengan ATP serta protein dan dibebaskan jika sel dirangsang melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada trombosit, serotonin berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan dara sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999).

  Asam arakhidonat merupakan precursor sejumlah besar mediator inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dalam jumlah kecil, sebagian besar berada dalam bentuk posfolipid membrane sel. Bila membran sel kerusakan oleh suatu noksi (rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis) maka enzim posfolipase akan diaktifasi untuk mengubah posfolipid menjadi asam arakhidonat. Asam lemak C

  20 ini selanjutnya akan diubah menjadi senyawa mediator melalui dua alur utama yaitu alur siklooksigenase dan alur lipooksigenase (Mutschler, 1999).

  Pada alur siklooksigenase sebagian asam arakhidonat akan diubah oleh prostaglandin (PG), prostasiklin dan tromboksan, sebagian lagi asam arakhidonat akan diubah menjadi enzim lipooksigenase menjadi asam hidroperoksida dan seterusnya menjadi leukotrien yang disebut juga Slow

  Reacting Subtances of Anaphilaxis (SRSA). Baik prostaglandin maupun

  leukotrien, bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala peradangan (Mutschler, 1999).

  Prostaglandin bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau subtansi lain yang dibebaskan secra lokal seperti histamin, serotonin dan leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat menjadi nyeri, radang, demam dan diare. Dari alur lipooksigenase dihasilkan mediator leukotrien. Mediator LTB

  4 potensial kemotaktik terhadap leukosit polimorfonuklear,

  eosinofil dan monosit. Pada konsentrasi tinggi, LTB menstimulasi agregasi

  4

  leukosit polimorfonuklear. Selain itu LTB

  4 mempunyai kemampuan

  meningkatkan eksudasi plasma dan mengakibatkan hiperalgesia. Kombinasi dua senyawa leukotrien yaitu LTC dan LTD dapat menyebabkan peradangan,

  4

  4

  reaksi anafilaksis, reaksi alergi dan asma. LTE

  4 menyebabkan gejala

  hipersensitifitas, bronkokronstriksi, kontraksi otot polos dan permeabilitas vascular. Aktivitasnya jauh lebih kecil dari prazatnya yaitu LTC

  4 dan LTD

  4 tetapi lebih stabil secara biologis dari ketiga leukotrien lain (Mansjoer, 2003).

2.4.3 Sistem pertahanan tubuh pada inflamasi

  a. Sistem imun nonspesifik (bawaan) Sel-sel dari sistem ini adalah neutrofil fagositosis, makrofag, basofil, sel-sel

  

mast , eosinofil, trombosit, monosit dan sel-sel pembunuh alami (Natural

Killer (NK) sel). Faktor-faktor yang larut adalah lisozim sitokin, INF,

  komplemen, protein fase akut (Soenarto, 2010).

  b. Sistem imun spesifik (penyesuaian) Zat yang larut termasuk pada sistem ini adalah antibody, immunoglobulin yang dihasilkan oleh limposit B dan sel plasma, dan limpokin-limpokin yang kebanyakan diproduksi oleh limposit T. Sedangkan faktor-faktor yang larut lainya adalah lisosim, interferon, sitokin, komplemen protein fase akut (Soenarto, 2010).

  Fungsi makrofag, sel mast, neutrofil dan limposit dalam proses inflamasi yaitu menangkap, menghalau, memangsa, membersihkan dan berusaha menyingkirkan antigen pada jaringan cidera. Usaha tersebut dapat dilaksanakan karena sel-sel yang berfungsi melawan antigen atau protogen telah memiliki zat-zat yang ada dalam sel yang telah siap dibentuk sebelum ada rangsang atau pacu. Kemudian dapat dikeluarkan dan berfungsi dalam pertahanan tubuh untuk mengatasi inflamasi, dengan zat atau bahan yang berfungsi sebagai mediator (Soenarto, 2010).

  Sel-sel pemangsa (fagosit) merupakan pertahanan dalam lini pertama termasuk makrofag dan neutrofil (Soenarto, 2010).

  Sel-sel yang ada didalam tubuh dilengkapi dengan reseptor-reseptor yang ada dipermukaan sel. Disamping itu dari sel-sel dilengkapi pula zat yang dapat dikeluarkan dengan fungsi untuk pengaktifan atau pemicu terhadap sel lain agar menjadi aktif. Zat-zat tersebut merupakan mediator (Soenarto, 2010).

2.4.4 Mekanisme terjadinya inflamasi

  Inflamasi terjadi dengan diawali adanya stimulus yang merusak jaringan (noksi), baik karena bakteri, trauma, bahan kimiawi, panas atau fenomena lainnya, mengakibatkan sel mast pecah dan terlepasnya mediator- mediator inflamasi. Kemudian terjadi vasodilatasi dari seluruh pembuluh darah pada daerah inflamasi sehingga aliran darah meningkat. Perubahan volume darah dalam kapiler dan venula, yang menyebabkan sel-sel endotel pembuluh darah meregang dan kemudian meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, protein plasma keluar dari pembuluh darah lalu menimbulkan udem. Infiltrasi leukosit ke tempat inflamasi, pada tingkat awal infiltrasi oleh neutrofil, selanjutnya infiltrasi oleh sel monosit. Sel monosit akan berubah menjadi makrofag. Baik neutrofil maupun makrofag dapat melepaskan enzim lisosom untuk membantu mencerna eksudat radang. Bila tidak terjadi resolusi, maka dapat meningkat menjadi inflamasi kronik (Underwood, 1999). Patogenesis dan gejala peradangan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

  Noksi Kerusakan Jaringan

  Emigrasi Leukosit

  Pembebasan Mediator Proliferasi sel

  Gangguan sirkulasi Eksudasi Perangsangan lokal reseptor nyeri

  Panas Kemerahan Pembengkakan Ganguan fungsi Nyeri

Gambar 2.2 Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler,1999)

2.4.5 Macam-macam inflamasi

  Berdasarkan waktu kejadiannya, inflamasi terbagi atas 2 macam:

  a. Inflamasi Akut Inflamasi ini merupakan respon langsung dari tubuh terhadap cedera atau kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan akut mencakup kemerahan (rubor), panas (kalor), rasa sakit (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi (fungsio laesa). Peristiwa penting pada peradangan akut adalah dilatasi pembuluh darah dan perubahan permeabilitas pembuluh- pembuluh yang sangat kecil yang mengakibatkan kebocoran protein, sehingga terjadi pembentukan eksudat seluler berupa emigrasi neutrofil polimmorf ke dalam rongga ekstravaskuler yang kemudian menimbulkan pembengkakan jaringan (Price dan Wilson, 1995; Underwood, 1999). b. Inflamasi kronik plasma, dan makrofag lebih banyak ditemukan, dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan granulasi, yang menghasilkan fibrosis. Radang akut dapat menjadi radang kronik apabila pusat membentuk rongga abses yang terletak di dalam, dan pembuangannya berlangsung lama atau tidak lancar, sewaktu proses pembuangan berlangsung, terbentuk pula penebalan dinding abses yang terdiri dari jaringan granulasi dan jaringan ikat fibrosa. Oleh karena itu dinding abses yang kaku menyebabkan tidak terjadinya penyatuan sewaktu pembuangan berlangsung, dan sisa pus di dalam rongga abses mengalami organisasi dengan tumbuhnya jaringan granulasi, yang pada akhirnya akan diganti dengan jaringan parut fibrosa.

  Contoh inflamasi kronik adalah inflamasi akibat tuberkolosis (Underwood, 1999).

  Inflamasi akut secara normal terjadi apabila faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dihilangkan oleh respon imun nonspesifik (respon imun bawaan), maka inflamasi terhenti, jika tidak maka respon imun spesifik akan diaktifkan untuk mengatasinya. Inflamasi kronis dapat terjadi karena faktor- faktor yang mempengaruhi tersebut tidak dapat dihilangkan oleh respon imun spesifik, dikarenakan faktor-faktor tersebut melengkapi diri atau mengekalkan diri, atau melalui mekanisme tubuh yang gagal dalam proses inflamasi. Kemudian proses inflamasi akan berubah bentuk dari mekanisme protektif, dan pada kebanyakan kasus menjadi kerusakan yang irreversibel dari jaringan normal (Santoso, 1999; Soenarto, 2010). Mekanisme sistem imun nonspesifik

  Rangsang Sistem imun Rangsang

  INFLAMASI AKUT nonspesifik (bawaan) dihilangkan diaktifkan

  Ransang tak KESEMBUHAN

  INFLAMASI KRONIS dihilangkan Sistem imun Ransang spesifik dihilangkan diaktifkan Menghasilkan JARINGAN

  Amplifikasi/ sel-sel pengingat RUSAK pengerasan spesifik

Gambar 2.3 Mekanisme sistem imun nonspesifik dan spesifik pada inflamasi akut dan kronis (Santoso, 1999; Soenarto, 2010).

2.4.6 Golongan obat antiinflamasi

  Obat-obat antiinflamasi memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang, menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Bagan penghambatan obat- obat antiradang terhadap pembentukan mediator radang dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Bagan penghambatan obat anti radang terhadap pembentukan mediator radang (Mansjoer, 2003).

  a. Antiinflamasi Steroid Obat ini bekerja dengan cara menghambat posfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran lipid.

  OAINS Lipooksigenase

  Leukotrien: LTB 4 , LTC 4, LTD 4 LTE 4 Siklooksigenase

  Prostaglandin Prostasiklin

  Asam hidroperoksida Tromboksan

  Kortikosteroid Endoperoksida

  d Asam arakhidonat

  Pospolipase

Posfolipi

  Termasuk golongan obat ini adalah prednison, hidrokortison, deksametason, dan betametason (Katzung, 1996).

  golongan:

  Keterangan: = efek penghambatan LTB

  4 Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi ke dalam

  = leukotrien E

  4

  4 LTE

  4 LTD 4 = leukotrien D

  4 = leukotrien C

  LTC

  4 = dihidroksi leukotrien B 4 ,

  Noksi Kerusakan membran sel b. Antiinflamasi Non Steroid konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Termasuk golongan obat ini adalah ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenilbutazon, dan pirosikam (Wilmana dan Gan, 2007).

2.4.7 Natrium diklofenak

  Natrium diklofenak merupakan obat antiinflamasi nonsteroid. Obat ini bekerja menghambat aktivitas enzim siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan salah satu mediator inflamasi (Kertia, 2009). Natrium diklofenak merupakan derivat fenilasetat yang termasuk NSAID yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek samping yang kurang dibandingkan dengan obat lainnya (seperti indometasin, piroxicam) (Tjay dan Raharja, 2002).

  Penghambatan OAINS terhadap enzim COX dapat ditunjukkan dengan logaritma perbandingan IC COX-2/COX-1. Inhibitory concentration 80

  80

  (IC

80 ) adalah konsentrasi yang dapat menghambat 80% aktivitas COX.

Berdasarkan logaritma perbandingan tersebut diklofenak mempunyai nilai logaritma perbandingan IC COX-2 /COX-1 lebih kecil dari 0 dan lebih besar

  80

  dari -1, hal ini berarti diklofenak lebih cenderung menghambat aktivitas COX- 2 tetapi juga masih mempengaruhi aktivitas COX-1 pada konsentrasi yang lebih besar, sehingga efek samping pada gastrointestinal lebih kecil (Kerr dan Gailer, 2010). Tingkat selektivitas dari diklofenak dan beberapa OAINS dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Selektif penghambat COX

  2 dan beberapa OAINS berdasarkan

  logaritma perbandingan inhibitory concentration (IC ). Garis 0

  80

  menunjukkan potensi yang sama dimana hasil perbandingan

  IC

  80 antara COX-2 dan COX-1 adalah 1) (Kerr dan Gailer, 2010).

  Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap yang terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal (first- pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, Na diklofenak diakumulasi di cairan sinovilia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim terjadi ialah mual, gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau 3 dosis (Wilmana dan Gan, 2007).

2.4.8 Beberapa metode uji antiinflamasi

  Salah satu teknik yang paling umum digunakan berdasarkan kemampuan agen tersebut untuk menghambat produksi udem di kaki belakang tikus setelah injeksi agen radang yang kemudian diukur volume radang. Volume udem diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji. Beberapa iritan yang dipakai sebagai penginduksi udem antara lain formalin, kaolin, ragi, dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan yang tinggi adalah karagen (Vogel, 2008).

  b. Metode pembentukan eritema Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Marmot secara kimiawi dihilangkan bulunya dengan suspense barium sulfat, 20 menit kemudian dibersihkan dengan air hangat. Hari esoknya senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengahnya lagi setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm diatas marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2008).

  c. Metode iritasi dengan panas Metode ini berdasarkan pengukuran luas radang dan berat udem yang terbentuk setelah diiritasi dengan panas. Mula-mula hewan diberi zat warna tripan biru yang disuntik secara IV, dimana zat ini akan berikatan dengan albumin plasma. Kemudian pada daerah penyuntikan tersebut dirangsang dengan panas yang cukup tinggi. Panas menyebabkan pembebasan histamin darah yang mengalami dilatasi bersama-sama dengan albumin plasma sehingga jaringan yang meradang kelihatan berwarna. Penilaian derajat inflamasi diketahui dengan mengukur luas radang akibat perembesan zat ke jaringan yang meradang. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan menimbang udem yang terbentuk, dimana jaringan yang meradang dipotong kemudian ditimbang (Vogel,2008).

  d. Metode pembentukan kantong granuloma Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk pellet yang terbuat dari kapas yang ditanam di bawah kulit abdomen tikus menembus lapisan linia alba. Respon yang terjadi berupa gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbul granuloma (Vogel, 2008).

  e. Metode iritasi pleura Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk karena iritasi dengan inductor radang. Adanya aktivitas obat yang diuji ditandai dengan berkurangnya volume eksudat. Obat diberikan secara oral. Satu jam kemudian disuntik dengan inductor radang seperti formalin secara intra pleura. Setelah 24 jam, hewan dibunuh dengan eter lalu rongga pleura dibuka dan volume eksudat diukur (Vogel,2008) f. Metode induksi oxazolon udem telinga mencit oxazolon ke dalam telinga kanan. Inflamasi terjadi dalam 24 jam. Kemudian hewan dikorbankan dibawah anastesi lalu dibuat preparat dengan 8 mm dan perbedaan berat preparat menjadi indicator inflamasi udem (Vogel, 2008).

2.4.9 Karagenan Karagenan diperoleh dari ekstrak rumput laut merah (Rhodopyceace).

  Penggunaan karagenan sebagai penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan antara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan jaringan dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi dibanding senyawa iritan lain seperti dextran 1% dan egg white

  fresh undiluted (Aggraini, 2008).

Dokumen yang terkait

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

0 0 12

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 - Implementasi Augmented Reality Pada Perancangan Sistem Katalog Digiprocreative Berbasis Android

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Usia Dewasa 2.1.1 Pengertian Usia Dewasa - Respon Psikososial Usia Dewasa Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batu Karang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

0 0 22

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Informasi Geografis - Digitasi Otomatis Objek Bangunan Pada Citra Satelit Menggunakan Metode Means Clustering

0 1 18

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Rekomendasi - Implementasi Metode Collaborative Tagging Pada Sistem Rekomendasi Artikel Publikasi Ilmiah

0 1 12

Lampiran 1 Lembar Persetujuan menjadi Responden Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas sehari-hari

0 0 45

Bab 3 Kerangka Penelitian - Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 0 34

Bab 2 Tinjauan Pustaka - Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 3 21

Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 2 12

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

0 2 6