BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tanaman - Pengaruh Pemberian Salep Ekstrak Etanol Kulit Buah Dari Tumbuhan Petai (Parkia Speciosa Hassk.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada Kelinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian tanaman

  Uraian tanaman meliputi sistematika tanaman, nama daerah, morfologi tanaman, kandungan kimia tanaman, dan khasiat tanaman.

  2.1.1 Sistematika tanaman

  Sistematika tanaman petai adalah sebagai berikut (Susilo, 2012): Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Leguminosae Genus : Parkia Species : Parkia speciosa Hassk.

  2.1.2 Nama daerah

  Di Indonesia, pete mempunyai nama-nama daerah antara lain: Pateh (Ambon), Parira (Batak Karo), Pelia (Batak toba), Petar (Lampung), Pete (Jawa Tengah dan Jawa timur) (Susilo, 2012).

  2.1.3 Nama lain

  Tanaman petai memiliki nama lain dari negara-negara lain: Ta Khao (Burma), Petai Bean (Inggris), Nejire Fusa Mame No Ki (Jepang), Petai (Malaysia), Patag (Borneo), Kupang (Tagalog), To atau To Kkhao (Thailand) (Anonim, 2011).

  2.1.4 Morfologi tanaman

  Tanaman ini berbentuk pohon dengan tinggi 5-25 m, bercabang banyak, kulit batang berwarna coklat kemerah-merahan dan daun menyirip ganda. Bunga ketika masih muda (belum tumbuh benang sari dan putik) berwarna hijau, keras dan berbentuk bongkol. Bunga ini setelah dewasa ditumbuhi benang sari dan putik berwarna kuning hingga ukuran membesar dan empuk seperti spon. Bentuk buah polong-polongan, berisi biji dan biji tersebut agak lunak ketika masih muda dan keras setelah tua. Awal buah petai berwarna hijau muda, kemudian semakin lama menjadi hijau tua dan setelah masak akan berwarna hitam. Tiap satu papan buah petai mempunyai biji benih antara 12-18 biji (Susilo, 2012).

  2.1.5 Kandungan kimia tanaman

  Dalam biji tanaman petai memiliki banyak kandungan bahan alam yang berkhasiat seperti karbohidrat, protein, lemak, fosfor, zat besi, sulfur, vitamin A, vitamin C, sukrosa, fruktosa, glukosa, tanin, saponin, flavonoida dan polifenol (Susilo, 2012).

  2.1.6 Khasiat tanaman

  Buah petai secara umum dimanfaatkan sebagai obat diabetes melitus dan cacingan. Petai merupakan bagian dari makanan yang berpengaruh baik bagi pencernaan karena memiliki tekstur yang lembut, halus, mampu menetralkan asam lambung, mengurangi iritasi dan melapisi permukaan dalam lambung. Kulit buah petai secara tradisional dimanfaatkan untuk pengobatan eksim, luka, dan bisul (Susilo, 2012).

2.2 Ekstrak

  Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 2000).

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain.

  Diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

2.2.1 Metode-metode ekstraksi

  Menurut Ditjen POM (2000) metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara yaitu: a.

  Cara dingin 1. Maserasi, adalah proses pengektraksian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

  Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

  b.

  Cara panas 1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

  2. Sokletasi, adalah suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyarian berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan akan terisolasi.

  3. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

  4. Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96- 98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

  5. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.3 Bentuk Sediaan Topikal

  Penggunaan obat secara topikal diberikan melalui kulit terutama pada bagian superfisial epidermis untuk tujuan lokal. Bentuk sediaan topikal apabila diberikan bahan aktif akan dilepas dari pembawa dan masuk ke dalam jaringan kulit secara difusi pasif dimana yang berperan adalah laju absorpsi dan jumlah zat yang terabsorpsi (Jas, 2004).

  Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat dapat terpenetrasi dengan cara difusi pasif. Bahan yang mempunyai sifat yang larut dalam minyak dan air merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989).

2.4 Salep

  Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir.

  Salep tidak boleh berbau tengik, kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep yang mengandung obat keras atau narkotika adalah 10 %.

  Menurut Syamsuni (2007), penggolongan salep menurut efek terapinya, salep dibagi atas:

  1. Salep Epidermik (Salep Penutup) Digunakan pada permukaan kulit yang berfungsi hanya untuk melindungi kulit dan menghasilkan efek lokal, karena bahan obat tidak diabsorbsi. Kadang- kadang ditambahkan antiseptik, astringen untuk meredakan rangsangan. Dasar salep yang terbaik adalah senyawa hidrokarbon (vaselin).

  2. Salep Endodermik Salep dimana bahan obatnya menembus ke dalam tetapi tidak melalui kulit dan terabsorbsi sebagian. Untuk melunakkan kulit atau selaput lendir diberi lokal iritan. Dasar salep yang baik adalah minyak lemak.

  3. Salep Diadermik (Salep Serap) Salep dimana bahan obatnya menembus ke dalam melalui kulit dan mencapai efek yang diinginkan karena diabsorbsi seluruhnya, misalnya pada salep yang mengandung senyawa mercuri, iodida, belladonnae. Dasar salep yang baik adalah adeps lanae dan oleum cacao.

  Menurut Farmakope Indonesia edisi IV (1995), dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok, yaitu dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah satu dasar salep tersebut.

  1. Dasar Salep Hidrokarbon Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak, antara lain vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair yang dapat dicampurkan kedalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, sukar dicuci, tidak mengering dan tidak tampak berubah dalam waktu lama.

  2. Dasar Salep Serap Dasar salep serap ini dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air dalam minyak (parafin hidrofilik dan lanolin anhidrat), dan kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (lanolin). Dasar salep ini juga berfungsi sebagai emolien.

3. Dasar Salep yang dapat dicuci dengan air.

  Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air, antara lain salep hidrofilik (krim). Dasar salep ini dinyatakan juga sebagai dapat dicuci dengan air, karena mudah dicuci dari kulit atau dilap basah sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetika. Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini dari pada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan dermatologik.

  4. Dasar Salep Larut Dalam Air Kelompok ini disebut juga dasar salep tak berlemak dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungannya seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung bahan tak larut dalam air, seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam. Dasar salep ini lebih tepat disebut gel.

  Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor yaitu khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu menggunakan dasar salep yang kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas yang diinginkan. Misalnya obat-obat yang cepat terhidrolisis, lebih stabil dalam dasar salep hidrokarbon daripada dasar salep yang mengandung air, meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mangandung air.

  Menurut Syamsuni (2007), kualitas dasar salep yang baik adalah:

  1. Stabil, selama dipakai harus bebas dari inkompatibilitas, tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembaban kamar.

  2. Lunak, semua zat yang ada dalam salep harus dalam keadaan halus, dan seluruh produk harus lunak dan homogen.

  3. Mudah dipakai dan dapat terdistribusi merata.

  4. Dasar salep yang cocok.

2.5 Kulit

  Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7-3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5- 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat (Perdanakusuma, 2007).

  Gambar 1. Struktur skematis kulit (Sumber: Yahya. 2008).

2.5.1 Epidermis

  Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan tidak terdapat pembuluh darah. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu.

  Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit. Fungsi Epidermis: Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan sel Langerhans (Arisanty, 2013).

  Menurut Arisanty (2013), Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam): a.

  Stratum Korneum: terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.

  b.

  Stratum Lusidum: biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.

  c.

  Stratum Granulosum: ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans.

  d.

  Stratum Spinosum: terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. e.

  Stratum Basale (Stratum Germinativum): terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan.

  2.5.2 Dermis

  Merupakan bagian yang paling penting di kulit. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis.

  Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan: a.

  Lapisan papiler: tipis mengandung jaringan ikat jarang.

  b.

  Lapisan retikuler: tebal terdiri dari jaringan ikat padat.

  Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi dermis adalah sebagai struktur penunjang,

  

mechanical strength , suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi

(Arisanty,2013).

  2.5.3 Subkutis

  Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi subkutis/hipodermis adalah sebagai pelekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.

2.5.4 Fisiologi Kulit

  Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan melalui keringat, insensible

  

loss dari kulit, paru-paru dan mukosa bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan

  dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas (Arisanty,2013).

2.6 Luka

  Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya integritas epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fungsinya (Yuliani, 2012).

  Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi 4 jenis: a. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema): yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

  b.

  Stadium II, luka partial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

  c.

  Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

  d.

  Stadium IV, luka full thickness: yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas (Baroroh, 2011).

  Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak (Boyle, 2009). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Arisanty, 2013).

  Pada fase inflamasi atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya luka. terjadi peningkatan aliran darah ke daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri. Pada fase ini, juga terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi untuk memakan mikroorganisme dan sisa sel-sel yang mati (Dewi, dkk., 2013).

  Fase berikutnya adalah fase proliperasi (perlekatan). Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20. Pada fase ini fibroblas membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan (Dewi, dkk., 2013). Proses ini sangat penting, karena tidak ada jaringan baru yang dapat dibentuk tanpa suplai oksigen dan nutrient yang dibawa oleh pembuluh darah yang baru (Boyle, 2009). Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan berkembang menjadi keropeng yang terdiri dari plasma yang bercampur dengan sel-sel mati (Dewi, dkk., 2013).

  Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi (Arisanty, 2013). Fase inflamasi ditandai dengan adanya pembengkakan dan kemerahan, fase proliferasi ditandai dengan adanya pembentukan eksudat dan fibroblast yang terlihat seperti kerak pada bagian permukaan luka, dan fase diferensiasi yang ditandai dengan terbentuknya jaringan baru yang berarti luka mengecil ataupun sembuh (Sjamsuhidajat, dkk., 1997). Fase pematangan atau fase diferensiasi atau fase

  

remodeling yang dapat berlangsung diatas 21 hari sampai lebih dari 2 bulan

  bahkan beberapa tahun setelah luka. Pada fase ini terjadi ikatan kolagen yang mengawetkan jaringan bekas luka dan proses epitelisasi yang melapisi kulit (Dewi, dkk., 2013).

  Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka, meliputi (Perdanakusuma, 2007): a.

  Faktor lokal: Suplai pembuluh darah yang kurang, infeksi, iradiasi, teknik bedah, material pisau bedah, irigasi, antibiotik, tipe jaringan, dan elektrokoagulasi.

  b.

  Faktor umum: Usia, anemia, obat anti inflamasi, diabetes melitus, hormon, infeksi sistemik, penyakit menular, malnutrisi, obesitas, temperatur, trauma, vitamin C dan vitamin A.

2.7 Pengaruh Senyawa Kimia Tumbuhan Terhadap Penyembuhan Luka

  2.7.1 Flavonoid

  Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Jika dipakai di kulit, flavonoid juga dapat menghambat pendarahan (Robinson, 1995). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, 2013).

  2.7.2 Tanin

  Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman, bersifat antioksidan. Antioksidan berperan dalam perbaikan jaringan karena secara signifikan mencegah kerusakan jaringan yang merangsang proses penyembuhan luka (Barku, 2013). Tanin juga berkhasiat sebagai astringen yang mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan, dan sebagai antibakteri dengan mekanisme tanin merusak dinding sel bakteri (Mun’im, dkk., 2010).

  2.7.3 Saponin

  Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Mappa, dkk., 2013).

  Sedangkan menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.

  2.7.4 Terpenoid

  Terpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).