BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tension-Type Headache Kronik - Perubahan Kadar TNF-α, Interleukin-1, Interleukin-6 Serum Setelah Pemberian Amitriptilin atau Deksketoprofen dan Korelasinya dengan Tingkat Intensitas Nyeri pada Penderita Tension-Type Headache K

  Tension Type Headache kronik adalah nyeri kepala yang berasal dari

  TTH episodik, dengan serangan setiap hari atau serangan episodik nyeri kepala yang lebih sering yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri kepala bersifat bilateral, menekan atau mengikat dalam kualitas dan intensitas ringan atau sedang, dan nyeri tidak bertambah memberat dengan aktifitas fisik yang rutin. Kemungkinan Suharjanti, Basir, Adnjana, 2013).

  Prevalensi nyeri kepala pada populasi dewasa berkisar 47% untuk nyeri kepala secara umum, di dalamnya termasuk 10% migren, 38% TTH dan 3% nyeri kepala kronik. Prevalensi migren lebih tinggi di Eropa dan Amerika Utara, sedangkan prevalensi TTH lebih tinggi di Eropa (80%) dibandingkan dengan Asia dan Amerika (20-30%) (Jensen dan Stovner, 2008). Sejumlah 1,4-2,2% dari populasi menderita migren kronik dan 2,2% menderita TTH Kronik, dimana penderitanya mengalami 15 hari atau lebih serangan setiap bulan (Houle, Butschek, Turner, Smitherman, Raphins, 2012).

  Pada penelitian klinis dengan follow-up selama 10 tahun terhadap 62 penderita yang di awal penelitian menderita TTH episodik, 75% tetap menderita TTH episodik dan 25% berubah menjadi TTH kronik. Pada yang awalnya menderita TTH kronik, 31% tetap menderita TTH kronik, 21% menjadi medication-overuse headache, dan sisanya berubah menjadi TTH episodik, dengan atau tanpa terapi profilaksis (Mork, 2000).

  Lyngberg dkk meneliti 146 penderita TTH episodik frequent, dan 15 penderita TTH kronik. Ternyata setelah difollow-up dijumpai 45% berubah menjadi TTH infrequent atau tidak ada nyeri kepala, 39% tetap menderita TTH episodik frequent, dan 16% menjadi TTH kronik. Luaran yang buruk berhubungan dengan TTH kronik sejak awal, menderita migren pada saat yang bersamaan, tidak menikah dan adanya gangguan tidur (Lyngberg, 2005). Beberapa faktor risiko kronifikasi nyeri kepala yang dapat sosioekonomi rendah, dan riwayat pernikahan sebelumnya. Sedangkan faktor risiko potensial yang dapat dimodifikasi meliputi obesitas, mengorok, komorbid dengan penyakit nyeri lainnya, cedera kepala atau leher, dan pengalaman hidup seperti kematian dan perceraian (Scher, Midgette, Lipton, 2008).

  Dampak yang diakibatkan oleh nyeri kepala tidak terbatas hanya pada oleh rasa nyerinya tetapi meliputi 3 dimensi, yaitu distres afektif, densitas nyeri dan disabilitas (Holroyd, Malinoskia, Davis, Lipchik,1999). Dampak TTH kronik terhadap hidup penderitanya ternyata lebih besar dari anggapan saat ini, dan distres afektif merupakan dampak yang penting (Holroyd, Stensland, Lipchik, Hill, O’Donnel, Cordingley, 2000). Ansietas atau depresi dapat berkontribusi terhadap sensitisasi sentral yang mendasari TTH frekuen. Penggunaan analgetik yang berlebihan, komorbid dengan gangguan psikiatris, atau pemicu nyeri kepala yang tidak jelas yang persisten dapat membatasi efektifitas pengobatan nyeri kepala. Obat-obatan dan terapi behavior saat ini efektif untuk ETTH tetapi kurang begitu efektif untuk CTTH. Kombinasi terapi behavior dan obat preventif mungkin dapat memperbaiki hasil pengobatan CTTH (Holroyd, 2002).

  Penelitian-penelitian terdahulu mengenai mekanisme patofisiologi TTH memfokuskan pada faktor muskuler. Namun, telah menjadi lebih nyata bahwa faktor sentral, khususnya sensitisasi sentral juga memiliki peranan yang penting (Matthews, 2006). neuron trigeminal sentral. Faktor-faktor miofasial dan sensitisasi perifer dari nosiseptor memegang peranan dalam kejadian TTH episodik, sedangkan sensitisasi sentral berperan dalam TTH kronik. Ketidakseimbangan antara faktor miofasial perifer dengan mekanisme sentral merupakan faktor dasar patogenetik sefalgia (Jensen, Ehde, Hoffman, Patterson, Czerniecki, Robnson, 2002; Sjahrir, 2008).

  Nyeri tekan jaringan miofasial perikranial merupakan gambaran klinis yang paling nyata pada TTH. Dianggap bahwa impuls nosiseptif dari otot-otot perikranial mungkin dijalarkan ke kepala dan akan dirasakan sebagai nyeri kepala. Oleh karenanya jaringan miofasial memiliki peran penting dalam TTH. Mekanisme patofisiologi yang meningkatkan nyeri tekan ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.

  Mekanisme yang mungkin yang menyebabkan nyeri miofasial dan nyeri tekan meliputi (Bendtsen, 2000) : 1. Sensitisasi nosiseptor miofasial;

  2. Sensitisasi second order neurons pada level spinal dorsal horn/

  trigeminal nucleus. ; 3. Sensitisasi neuron supraspinal ; dan 4. Penurunan aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal.

  Pada kondisi normal, nyeri miofasial dimediasi oleh serabut tipis bermielin (A δ) dan serabut C tidak bermielin, dan serabut bermielin yang tebal (A α dan Aβ) normalnya memediasi sensasi yang tidak berbahaya. mediator kimia dapat mengeksitasi dan mensensitisasi serabut A

  δ dan serabut C, dan oleh karenanya memiliki peran dalam peningkatan nyeri tekan pada TTH (Matthews, 2006)

  Selama bertahun-tahun dianggap bahwa kontraksi otot-otot kepala dan leher merupakan hal penting dalam perkembangan TTH, sebagaimana terefleksi dari terminologi sebelumnya dari penyakit ini, “muscle-contraction headache”. Namun berbagai studi elektromiografi (EMG) menunjukkan aktifitas otot yang normal atau hanya sedikit meninggi pada TTH. Hal ini mungkin tidak menimbulkan iskemia otot umum. Peningkatan aktifitas otot mungkin merupakan suatu adaptasi protektif terhadap nyeri, dibandingkan sebagai penyebab nyeri (Bendsten, 2000).

  Peningkatan kekerasan otot perikranial dijumpai pada penderita TTH kronik, namun hanya sedikit hubungan antara kekerasan dan intensitas nyeri kepala. Pada penelitian oleh Rollnik dkk yang memberikan injeksi toksin botulinum dengan tujuan untuk menurunkan kekerasan otot temporalis dinilai dengan pemeriksaan EMG dan dievalusi setelah 12 minggu, ternyata tidak ditemukan penurunan dalam nyeri kepala (Rollnik, Karst, Fink, Dengler, 2001). Selama istirahat atau olahraga, konsentrasi laktat di otot trapezius tidak berbeda antara penderita TTH kronik dibandingkan dengan orang sehat. Namun peningkatan aliran darah yang diinduksi olahraga berkurang (blunted) pada penderita TTH kronik, sehubungan dengan hipereksitabilitas neuron-neuron SSP (Fernandez- de-las-Penas, Bueno, Ferrando, Elliot, Cuadrado, Pareja, 2007).

  Peningkatan nyeri tekan perikranial mungkin disebabkan adanya peningkatan aktifitas pada myofascial trigger points (MTPs). Myofascial

  trigger points adalah suatu tempat yang hyperirritable yang berhubungan

  dengan berkas yang rapat pada otot skeletal. Myofascial trigger points ini memberikan respon nyeri terhadap tekanan dan regangan, dan selalu menyebabkan pola karakteristik nyeri rujukan (referred pain) (Fernandez- de-las-Penas dan Schoenen, 2009). Aktifitas EMG spontan ditemukan dalam nidus 1-2 mm dari seluruh MTP pada penderita TTH kronik. Diduga MTP yang aktif menyebabkan kadar mediator kimia yang lebih tinggi, seperti bradikinin, CGRP, substansi P, serotonin, norepinefrin, dan lain- lain, tidak hanya di sekitar MTP, namun juga di regio yang jauh yang bebas nyeri (Shah, Danoff, Desai, Parikh, Nakamura, Philips, et.al. 2008). Bila hal ini benar, maka teori MTP aktif yang dapat menyebabkan sensitisasi nosiseptor perifer, yang selanjutnya melalui input nosiseptif yang persisten, berkontribusi terhadap sensitisasi sentral dan kronifikasi dari TTH. Selanjutnya kronifikasi TTH akan menimbulkan peningkatan nyeri tekan perikranial (Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2010). Couppe´ dkk menemukan bahwa trigger points (TPs) aktif jauh lebih sering ditemukan pada TTH kronik dibanding kontrol, dan jumlah serta intensitas nyeri dari TPs dapat digunakan untuk membedakan kedua grup (Couppe, Torelli, Fuglsang-Frederiksen, Andersen, Jensen, 2007). Trigger points anterior dan di medial perut otot (muscle belly) . Lokasi TPs yang aktif di otot temporalis berhubungan dengan area otot dengan ambang nyeri tekan yang rendah, mendukung adanya hubungan antara TPs aktif multipel dengan peta topografis sensitifitas terhadap tekanan pada wanita dengan TTH kronik (Ferna´ndez-de-las-Pen˜as, Caminero, Madeleine, Guillem-Mesado, Ge, Arendt-Nielsen, et.al., 2009). Pada penderita TTH kronik, nyeri lokal dan nyeri referal dari TPs aktif di otot temporalis mungkin berkontribusi terhadap karakteristik nyeri pada TTH kronik (Ferna´ndez-de-las-Pen˜as, Bueno, Ferrando, Elliot, Cuadrado, Pareja, 2007).

  Myofascial trigger points yang aktif ditemukan di otot-otot yang

  dipersarafi nervus trigeminal, seperti temporalis, masseter, otot-otot ekstraokular, dan di otot-otot yang dipersarafi oleh segmen C1-C3, seperti sternokleidomastoideus, suboksipital dan trapezius atas. Penderita TTH kronik memiliki MTP yang lebih banyak dibandingkan dengan orang sehat.

  Hal ini menunjukkan kemungkinan peranan MTP dalam patofisiologi TTH (Marcus, Scharff, Mercer, Turk,1999).

  Gambar 1 di bawah ini menunjukkan bagaimana terjadinya konversi dari TTH episodik menjadi TTH kronik. Masukan nyeri yang terus menerus dari jaringan miofasial perikranium menginduksi terjadinya sensitisasi sentral, sehingga lama kelamaan stimulus yang seharusnya tidak menimbulkan nyeri, diterjemahkan sebagai nyeri (Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011).

  Gambar 1.

  Input nosiseptif perifer yang berkelanjutan sebagai kemungkinan penyebab sensitisasi sentral dan kronifikasi nyeri kepala. Dikutip dari : Bezov, Ashina, Jensen, Bendsten (2011)

  Sel imun dan glia berinteraksi dengan neuron untuk meningkatkan sensitifitas terhadap nyeri dan untuk memediasi transisi dari nyeri akut menjadi nyeri kronik. Sebagai respon terhadap cedera, sel-sel imun diaktifasi dan sel imun di dalam darah akan menuju lokasi cedera. Sel-sel imun ini tidak hanya bertanggung jawab untuk mekanisme pertahanan tubuh tetapi juga menginisiasi sensitisasi nosiseptor perifer. Melalui sintesis dan pelepasan mediator inflamasi dan interaksinya dengan neurotransmitter dan reseptornya, sel-sel imun, glia dan neuron-neuron membentuk jaringan yang terintegrasi yang mengkoordinasikan respon imun dan memodulasi eksitabilitas jalur nyeri. Sistem imun juga akan mengurangi sensitisasi dengan menghasilkan immune-derived analgetic dan anti inflamasi atau agen proresolusi (Ren dan Dubner, 2010).

  Studi oleh Hubbard dan Berkoff (1993) yang menggunakan elektroda jarum, melaporkan aktifitas EMG pada MTP meningkat secara

  

tender). Selanjutnya, aktifitas EMG pada trigger points secara signifikan

  lebih tinggi pada penderita TTH kronik dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Trigger point tersebut ternyata hanya berdiameter beberapa milimeter, yang mungkin dapat menjelaskan mengapa peningkatan aktifitas EMG hanya dapat dideteksi sebahagian pada elektroda permukaan. Aktifitas yang terus-menerus pada beberapa motor unit sepanjang waktu yang lama mungkin cukup untuk perkembangan nyeri miofasial dan nyeri kepala. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa nyeri tekan miofasial tidak disebabkan kontraksi otot berlebihan yang menyeluruh sehingga menyebabkan iskemia otot, seperti yang sebelumnya diyakini (Bendsten, 2000).

  Ambang nyeri (pain treshold) pada penderita TTH dapat diteliti menggunakan tekanan, elektrik dan termal (panas dan atau dingin). Untuk semua modalitas stimulus, ambang deteksi nyeri, ambang toleransi nyeri dan laporan nyeri dapat dinilai. Ambang deteksi nyeri adalah kemungkinan stimulus terendah yang menimbulkan sensasi nyeri. Ambang toleransi nyeri adalah stimulus nyeri maksimal yang dapat ditoleransi seseorang.

  Studi ambang nyeri pada penderita TTH menunjukkan perbedaan antara penderita TTH episodik dan TTH kronik. Deteksi ambang nyeri tekan yang normal ditemukan pada penderita TTH episodik pada beberapa studi (Gobel, Weigle, Kropp, Soyka,1992; Jensen, Rasmussen, Pedersen, Olesen, 1993; Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011). Namun pada penderita TTH kronik, berbagai studi melaporkan adanya ambang nyeri dibandingkan kontrol. Bendsten dan Jensen juga menemukan adanya penurunan ambang nyeri dan toleransi nyeri pada penderita TTH kronik (Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011).

  Peningkatan sensitifitas nyeri miofasial dapat merupakan akibat dari pelepasan mediator-mediator inflamasi, yang menghasilkan eksitasi dan sensitisasi aferen sensorik perifer (Bendsten, 2000). Penelitian Bo dan kawan-kawan (2008) menemukan peningkatan kadar sitokin IL-1,

TGF- β1 dan MCP-1 pada CSS penderita TTH episodik dan migren

  Peningkatan konsentrasi protein CSS yang ditemukan pada penderita nyeri kepala menunjukkan bahwa sawar darah otak mungkin agak rentan (compromised), dan peningkatan sitokin dapat merupakan perembesan melalui sawar darah otak dari plasma (Bo, Davidsen, Gulbrandsen, Dietrichs, Bovim, Stovner, et.al., 2008).

  Meskipun fungsi fisiologis sitokin di otak adalah sebagai neuromodulator dan memiliki fungsi imunologik untuk preservasi atau restorasi hemostasis, telah diketahui bahwa sedikit saja perubahan pada kadarnya di otak (yang mungkin tidak dapat diukur di CSS) terkadang dapat mengakibatkan reaksi sistemik dan sintesis sitokin perifer (Rothwell, 1995). Mungkin juga bahwa faktor-faktor seperti sitokin dapat memicu sistem trigeminovaskuler, yang dianggap sebagai bagian dari sistem pertahanan otak. Dalam memicu pelepasan neuropeptida vasoaktif dan nosiseptif, sitokin dapat berkontribusi terhadap terjadinya nyeri kepala.

  Bisa juga sitokin dilepaskan oleh karena aktifasi trigeminovaskuler (Bo, Mediator-mediator kimia juga dapat mensensitisasi ujung saraf nosiseptif. Khususnya stimulan-stimulan yang efektif untuk nosiseptor- nosiseptor otot skelet adalah substansi endogen, seperti serotonin, bradikinin dan ion potassium. Substansi-substansi ini dapat dihasilkan melalui berbagai mekanisme. Misalnya, serotonin dilepaskan oleh platelet, bradikinin dapat dipecah dari molekul plasma prekursornya kallin, dan potassium dapat dilepaskan dari sel-sel otot, bila kondisi patologik terjadi (penurunan pH selama iskemia, kerusakan vaskuler, dan cedera terhadap sel otot) (Bendsten, 2000).

  Peningkatan sensitifitas nyeri miofasial pada TTH kronik juga dapat disebabkan faktor-faktor sentral, seperti sensitisasi second-order neurons pada level spinal dorsal horn/ trigeminal nucleus, sensitisasi neuron supraspinal dan penurunan aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal (Matthew, 2006)

  Mekanisme sentral merupakan hal yang sangat penting dalam patofisiologi TTH kronik. Telah diketahui bahwa deteksi nyeri tekan dan ambang toleransi terhadap stimulus mekanik menurun pada penderita TTH kronik. Selanjutnya, Bendsten (1996) menunjukkan bahwa penderita dengan TTH kronik mengalami persepsi nyeri yang terganggu secara kualitatif. Menurut model yang diajukan oleh Bendtsen pada tahun 2000, masalah utama pada TTH kronik adalah sensitisasi sentral pada level sensisitasi sentral. Perubahan neuroplastik sentral dapat mempengaruhi regulasi mekanisme perifer dan menyebabkan peningkatan aktifitas otot perikranial atau pelepasan neurotransmitter di jaringan miofasial (Bendtsen, 2000). Berdasarkan hal ini, dianggap bahwa sensitisasi sentral dan keadaan nyeri kronik pada penderita TTH kronik mungkin berhubungan dengan sensitisasi pada level spinal dorsal horn atau

  trigeminal nucleus, atau keduanya, diinduksi oleh input nosiseptif yang berkelanjutan dari jaringan miofasial perikranial (Ashina, 2007).

  Peningkatan sensitifitas nyeri pada TTH kronik dapat disebabkan penurunan aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal, yaitu terganggunya modulasi nyeri sentral. Nociceptive flexion reflex (NFR) adalah refleks withdrawal yang diorganisasi oleh spinal, yang merupakan subjek terhadap pengaruh supraspinal dan dapat tertekan (peningkatan ambang) oleh diffuse noxious inhibitory control (DNIC). Diffuse noxious

  inhibitory control yang dipicu oleh serabut A

  δ perifer dan serabut C, dapat berasal dari aktifasi fisiologis dari beberapa struktur otak yang diduga terlibat dalam inhibisi descending (descending inhibition). Langemark (1993) menemukan penurunan ambang NFR pada penderita TTH kronik dibandingkan kontrol. Studi oleh Pielsticker (2005) menemukan adanya gangguan pada mekanisme inhibisi DNIC pada penderita TTH kronik. Sementara itu, studi Catchart (2010) menunjukkan bahwa respons DNIC menurun pada penderita TTH kronik dalam responsnya terhadap 10 denyut algometer dan inflasi cuff, dibandingkan dengan kontrol yang DNIC pada penderita TTH kronik (Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011).

  Calcitonin-gene-related peptide (CGRP) adalah neurotransmitter

  yang aktif pada sistem trigeminovaskuler. Konsentrasi plasma CGRP meningkat selama serangan migren dan nyeri kepala klaster. Pada penderita TTH kronik, konsentrasi plasma CGRP normal, tidak bergantung pada keadaan nyeri kepala, dan tidak meningkat setelah pemberian

  

glyceril trinitrate. Namun, pada penderita TTH kronik dengan nyeri yang

  berpulsasi, konsentrasi CGRP meningkat pada periode interiktal (Ashina, Bendtsen, Jensen, Schifter, Olesen, 2000).

  Neurotransmitter diketahui terlibat dalam perkembangan sensitisasi sentral, termasuk takikinin, substansi P, neurokinin A, dan asam amino eksitasi glutamat. Pelepasan neurotransmitter-neurotransmitter ini yang berlama-lama dapat mengaktifasi reseptor post-sinaptik yang pada keadaan normal terblok, misalnya reseptor N-methyl D-aspartate (NMDA).

  Aktifasi reseptor NMDA menyebabkan peningkatan influks kalsium, yang menginisiasi kaskade biokimia, termasuk peningkatan produksi nitric

  

oxide, prostaglandin, dan protein-protein kinase. Hal ini dapat

  menyebabkan perubahan metabolik jangka panjang dan meningkatkan eksitabilitas sel yang terkena (Coderre, Katz, Vaccarino, Melzack, 1993; Yakhs dan Malmberg 1994; Dickenson, 1996).

  Konsentrasi plasma substansi P, neuropeptida Y dan peptida vasoaktif intestinal di sirkulasi kranial dan perifer tidak berbeda antara berhubungan dengan ada tidaknya nyeri kepala. Pada penderita TTH episodik, konsentrasi substansi P yang lebih tinggi ditemukan di platelet, dan konsentrasi yang lebih rendah dari

  β-endorphin ditemukan pada sel mononuklear darah perifer, konsentrasi substansi P dan β-endorphin berhubungan terbalik, dan ambang nyeri tekan berhubungan negatif dengan konsentrasi substansi P. Suatu studi yang membandingkan penderita migren dengan penderita TTH menunjukkan bahwa pada penderita TTH ditemukan platelet yang rendah dan konsentrasi met- enkephalin yang tinggi, dimana yang bertentangan ditemukan pada penderita migren. Peningkatan konsentrasi metenkephalin ditemukan pada penderita TTH kronik, yang selanjutnya mendukung hipotesis bahwa dijumpai ketidakseimbangan antara mekanisme pronosiseptif dan dan antinosiseptif pada penyakit ini (Langemark, Bach, Ekman, Olesen, 1995; Furnal dan Schoenen, 2008).

  Studi pada binatang menunjukkan bahwa sensitisasi pathway nyeri dapat disebabkan atau berhubungan dengan aktifasi nitric oxide synthase (NOS) dan pembentukan nitric oxide (NO). Inhibitor NOS mengurangi sensitisasi sentral pada nyeri persisten pada model binatang dengan mengurangi sensitisasi spinal dorsal horn yang diinduksi oleh input nyeri yang berkelanjutan dari perifer. Ashina dan kawan-kawan (1999) meneliti efek analgesik inhibitor NOS, NG-monomethyl-L-arginine hydrochloride ( -

  L

  NMMA). Obat ini secara signifikan menurunkan nyeri kepala dan nyeri memberikan informasi penting mengenai mekanisme aksi antinosiseptif dari inhibisi NOS pada TTH kronik (Ashina, Bendtsen, Jensen, Lassen, Sakai, Olesen,1999; Matthew, 2006). Percobaan hewan menunjukkan inhibisi NOS mengurangi sensitisasi sentral pada nyeri persisten.

  Pemberian L-NG-methylarginine hydrochloride secara bermakna mengurangi nyeri kepala dan faktor miofasial pada penderita TTH kronik.

  Mekanisme kerjanya diduga terutama dengan mengurangi sensitisasi sentral pada level kornu posterior medulla spinalis atau nukleus trigeminal atau keduanya (Ashina dan Bendtsen, 2001)

  Gangguan pada pain-modulating transmitters, begitu juga dengan perubahan seluler pada SSP tampaknya terlibat dalam perubahan persepsi nyeri pada penderita TTH kronik. Serotonin (5-hydroxytriptamine, 5-HT) merupakan neurotransmitter yang penting namun memiliki peran yang kompleks dalam modulasi nyeri. Serotonin memiliki aksi algogenik (menghasilkan nyeri) pada saraf perifer, namun tampaknya memiliki efek antinosiseptif yang predominan pada SSP. Serotonin adalah neurotransmitter penting pada pathway anti-nosiseptif yang descending dari brainstem ke spinal dorsal horn, dan mungkin juga terlibat dalam

  

pathway ascending anti-nosiseptif. Efek anti-nosiseptif 5-HT dimediasi

  oleh banyak subtipe reseptor 5-HT, yaitu : reseptor 5-HT1, 5-HT2 dan 5- HT3. Kompleksitas sistem modulasi nyeri ditekankan pada fakta bahwa efek 5-HT dapat bervariasi, meskipun pada subtipe reseptor yang sama.

  Misalnya, 5-HT dapat memiliki aksi fasilitasi serta inhibisi sekaligus pada lagi, 5-HT memiliki efek pada modalitas nyeri yang lain, misalnya efek vaskuler, yang secara tidak langsung mempengaruhi mekanisme nyeri (Bendsten, 2000). Jensen dan kawan-kawan (1994) menemukan bahwa konsentrasi plasma 5-HT meningkat selama serangan nyeri kepala pada grup mixed (TTH episodik dan TTH kronik), dan Bendsten (1997) tidak menemukan hubungan antara konsentrasi plasma dengan frekuensi nyeri kepala (Furnal dan Schoenen, 2008). Sekresi growth hormone dan prolaktin terhambat pada penderita TTH kronik, sebagai respons dari injeksi subkutan sumatriptan, yang menunjukkan adanya penurunan sensitifitas reseptor serotonin 5-HT1 di hipotalamus. Hal ini menunjukkan bahwa sumatriptan, agonis serotonin 5-HT1, memiliki efektifitas tinggi untuk serangan migren akut, juga efektif pada penderita TTH (Furnal dan Schoenen, 2008).

  Kriteria diagnostik TTH kronik sesuai The International

  

Classification of Headache Disorders, 2nd Edition (2004) adalah sebagai

  berikut (Headache Classification Subcommittee of t 2004 ; Sjahrir, Machfoed, Suharjanti, Basir, Adnjana, 2013) :

  A. Nyeri kepala timbul ≥ 15 hari/b ulan, berlangsung > 3 bulan ( ≥ 180 hari/tahun) dan juga memenuhi kriteria B-D

  B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus-menerus

  C. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 karakteristik berikut :

  1. Lokasi bilateral

  3. Ringan atau sedang

  4. Tidak memberat dengan aktifitas fisik yang rutin

  D. Tidak didapatkan :

  1. Lebih dari satu : fotofobia, fonofobia atau mual yang ringan

  2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah E. Tidak ada kaitan dengan penyakit lain.

  2.2 . Tension-Type Headache Kronik dan Stres Psikologis

  Selain faktor-faktor biologis seperti yang telah dijabarkan di atas, faktor psikologis juga berperan dalam perkembangan TTH. Nyeri kepala ini dapat diperburuk oleh stres psikologis. Sejalan dengan ini telah diketahui bahwa stres dan ketegangan mental adalah faktor presipitasi yang nyata pada TTH. Sejumlah studi eksperimental telah menunjukkan bahwa TTH dapat diinduksi oleh stres psikologis, dan terapi psikologis dan perilaku tampaknya efektif untuk terapi TTH, seperti halnya dengan farmakoterapi. Mekanisme bagaimana stres psikologis berperan dalam TTH belum dimengerti sepenuhnya, namun faktor sentral seperti kontraksi involunter dari otot-otot sefalik, penurunan aktifitas penghambat nyeri

  

descending supraspinal, hipersensitifitas supraspinal terhadap stimulus

  nosiseptif mungkin terlibat (Bendsten, 2000). Walaupun banyak penelitian menunjukkan adanya dasar perubahan biokimiawi yang mendasari patologi terjadinya nyeri kepala, masih banyak klinisi yang tetap percaya adanya kontribusi kondisi psikologis dalam proses kronifikasi nyeri kepala Janke dan kawan-kawan, depresi meningkatkan dan dihubungkan dengan meningkatnya pericranial muscle tenderness. Pada individu dengan

  

frequent headache depresi meningkatkan sensitisasi sentral dan

  meningkatkan kerentanan terhadap TTH (Janke, Holroyd, Romanek, 2004). Faktor genetik kelihatannya lebih berperan dalam patofisiologi migren bila dibandingkan dengan TTH. Walaupun konsep TTH menunjukkan adanya hubungan dengan faktor psikologis, penelitian menunjukkan profil psikologis penderita ETTH tidak berbeda dengan kontrol (Kelman, 2011).

  Zivadinov (2003) mengadakan suatu survei menggunakan metode wawancara “face-to-face, door-to-door” pada populasi kota Bakar (Kroasia) untuk memperkirakan prevalensi TTH dan menetapkan frekuensi faktor yang mempresitasi pada subjek dengan migren dan TTH. Mereka mengidentifikasi 1319 penderita mengalami TTH dan stres merupakan faktor yang mempresipitasi serangan nyeri kepala pada 651 orang (49,4%, odds ratio 1,4; 95% CI 1,17-1,69) (Torelli, Abrignani, Castellini, Lambru, Manzoni, 2008).

  Suatu studi di Italia oleh Beghi yang meneliti komorbiditas nyeri kepala dengan penyakit psikiatrik menemukan bahwa dari 374 penderita yang ikut serta, gangguan psikiatri ditemukan pada 49 penderita (14,6%; 10,9% penderita migren, 12,8% penderita TTH dan 21,4% penderita nyeri kepala tipe mixed). Dari Mini International Neuropsychiatry Interview (MINI) dideteksi adanya episode depresif pada 59,9% penderita migren, Allais, Cortelli, D’Amico, De Simone, d’Onofrio, et.al., 2007; Beghi, Bussone, D’Amico, Cortelli, Cevoli, Manzoni, et.al., 2010). Ansietas ditemukan pada 18,4% penderita migren, 19,3% penderita TTH, dan 18,4% penderita nyeri kepala tipe mixed (Torelli, Abrignani, Castellini, Lambru, Manzoni, 2008). Peneliti lain menemukan bahwa penderita migren dan TTH memiliki tingkat ansietas dan depresi yang lebih tinggi.

  Mereka menyimpulkan bahwa penderita migren dan TTH memiliki coping

  

responses yang maladaptif dan inefektif, serta gambaran kepribadian

  neurotik dibandingkan dengan individu sehat. Hal ini mungkin berperan penting dalam perkembangan dan beratnya nyeri kepala (Ozdemir, Aykan, Ozdemir, 2014).

  Maladaptive cognitions ditemukan pada kebanyakan penderita

  nyeri dan befperan penting dalam perkembangan nyeri kronik (Borkum,

  2010). Namun Puretic dkk yang meneliti penderita TTH dan individu sehat di Zagreab, Kroasia berpendapat bahwa bahwa TTH yang merupakan suatu kondisi nyeri kronik mungkin merupakan konsekuensi dan bukan penyebab dari gejala-gejala depresi (Puretic, Lovrencic-Huzjan, Cvetkovic, Kes, 2014).

  Penelitian Yucel (2002) mengevaluasi automatic thoughts,

  

alexithymia dan assertiveness (ketegasan) menemukan bahwa

  dibandingkan dengan kontrol, penderita nyeri kepala memiliki skor yang lebih tinggi pada pengukuran automatic thoughts dan alexithymia, dan skor assertiveness yang lebih rendah. Penderita TTH kronik memiliki skor TTH episodik. Penemuan ini menunjukkan bahwa penderita TTH mungkin memiliki kesulitan dalam mengekspresikan emosinya (Yucel, Kora, Ozylcin, Alcalar, Ozay Ozdemir, Yucel, 2002). Sementara Autret dan kawan-kawan menemukan penderita migren lebih rentan terhadap munculnya gejala somatik dan memiliki predisposisi untuk mengembangkan dampak negatif dari nyeri (Autret, Roux, Ribaux-Lepage, Valade, Debiasis, 2010). Penelitian lain menunjukkan bahwa frekuensi nyeri kepala memiliki dampak terhadap kualitas hidup penderitanya pada usia lanjut, khususnya berkaitan dengan nyeri tengkuk dan disabilitas yang diakibatkannya (Uthaikup, Sterling, Jull, 2009).

  Banyak regio di otak yang berhubungan dengan proses pemrosesan nyeri juga terlibat dengan fenomena psikologis (misalnya : emosi, atensi, stres), oleh karenanya modulasi nyeri oleh faktor-faktor psikologis dapat terjadi melalui sirkuit yang sama ini, mempengaruhi sinyal nyeri di dalam otak (Nicholson, Houle, Rhudy, Norton, 2007).

  Mekanisme yang paling banyak diketahui yang memodifikasi nyeri adalah sirkuit yang terdiri dari neuron-neuron periaquaductal gray (PAG), 5-hydroxytriptamine (5-HT) dari rostral ventromedial medulla (RVM), dan neuron-neuron norepinefrin (NE) dari dorsolateral pontomesencephalic tegmentum (MLPT). Setidaknya beberapa efek pereda nyeri dari analgesik opioid, agonis 5-HT, dan agonis NE terjadi melalui sirkuit ini.

  Sirkuit PAG-RVM-MLPT menerima input dari banyak regio forebrain yang terlibat juga dalam proses psikologis, khususnya sistem limbik. mengaktifasi sirkuit ini dan penting untuk modulasi nyeri oleh faktor kognitif-emosional. Sementara itu, korteks anterior cingulate, korteks orbitofrontal, insula dan hipokampus terlibat dalam modulasi nyeri yang berasal dari atensi, ekspetasi, persepsi dari pengendalian (controllability) dan atau ansietas (kecemasan). Penemuan-penemuan ini mendukung pandangan biopsikososial dari nyeri kepala (Nicholson, Houle, Rhudy, Norton, 2007).

  Stres dan ketegangan mental adalah keluhan utama dalam TTH, dan telah dijumpai hubungan antara stres dan nyeri kepala (Clark, Sakai, Merrill, Flack, McCreary, 1995). Meskipun stres sendiri penting untuk

  

survival, peningkatan stres yang kronik memiliki hubungan langsung

terhadap onset, progresi atau outcome dari berbagai kondisi patofisiologik.

  Namun masih menjadi pertanyaan bagaimana stres diterjemahkan dalam patofisiologi nyeri pada penderita TTH. Satu hubungan yang menarik mengenai nyeri adalah aktifasi faktor transkripsi, faktor nuklear κ-light chain (NF

  κB). Stres mengaktifasi NFκB dalam 4 jam setelah inisiasi stimulus stres pada tikus (Madrigal, Garcia-Bueno, Caso, Perez-Nievaz, Leza, 2006). Ketika NF κB diaktifasi, ia meningkatkan perubahan post- transkripsional yang mengakibatkan aktifasi iNOS (inducible nitric oxyde

  synthase) dan COX-2 (cyclo-oxygenase-2) yang berperan dalam nyeri.

  Konsisten dengan ini, imobilisasi stres meningkatkan ekspresi iNOS and aktifitasnya pada jam ke-6, dimana inhibisi NF κB oleh pyrrolidine menurunkan ekspresi dan aktifitas iNOS pada binatang yang stres

  Glyceril trinitrate (GTN), suatu penginduksi TTH, menginduksi aktifasi NF κB pada duramater tikus, seiring dengan peningkatan kadar mRNA iNOS. Selain itu, reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) memainkan peran esensial dalam aktifasi NF κB. Blokade reseptor NMDA menurunkan translokasi NF

  κB dan secara bersamaan menghambat secara parsial ekspresi iNOS yang diinduksi stres dan aktifasinya di otak (Munhoz, Lepsch, Kawamoto, Malta, de Sa Lima, Avellar, et.al.,2006; Chen, 2009).

  Respons stres yang normal melibatkan aktifasi inisial dari aksis glukokortikoid adrenal, yang akan meningkatkan eksitasi glutaminergik di SSP. Peningkatan glutamat dan sitokin-sitokin dapat mengaktifasi reseptor NMDA dan pathway second-messenger yang lain, mengakibatkan aktifasi NF

  κB, peningkatan iNOS dan produksi NO, yang menghasilkan perubahan vasodilatasi dan perubahan-perubahan oksidatif. Hal ini akan menghasilkan nyeri yang berasal dari dilatasi pembuluh darah intrakranial, dura dan struktur-struktur yang lain, dan bila hal ini persisten, akan menyebabkan TTH dan mempotensiasi nyeri pada otot-otot perikranial melalui sensitisasi perifer dan sentral (Chen, 2009).

  Gambar 2.

  Patofisiologi Tension-Type Headache kronik (chronic tension-

  type headache, TTH Kronik), evolusi dari Tension-Type Headache

  episodik (episodic tension-type headache, TTH episodik) Dikutip dari : Chen (2009).

  Gambar 3.

  Gambar model patofisiologi TTH Kronik Input nosiseptif dari jaringan miofasial perikranial (garis merah) meningkat karena sebab yang tidak diketahui, yang menghasilkan perubahan- perubahan plastis (sensitisasi nosiseptif second order neuron) pada spinal dorsal horn (segmen C2-C3) dan trigeminal nucleus. Input nosiseptif ke struktur supraspinal akan meningkat, yang akan meningkatkan eksitabilitas neuron supraspinal dan menurunkan inhibisi dari transmisi nosiseptif yang meningkat pada spinal dorsal horn dan nucleus trigeminal (garis hijau). Perubahan-perubahan neuroplastis sentral juga dapat meningkatkan perangsangan ke motor neuron pada level supraspinal dan segmental, yang menghasilkan sedikit peningkatan aktifitas otot dan peningkatan kekerasan otot. PMT= pericranial myofascial tissue, BI= brainstem interneurons, MN= motor nuclei, SH/TNC= spinal horn / trigeminal nucleus caudalis.

  Dikutip dari : Furnal dan Schoenen (2008).

  Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lainnya yang memediasi dan meregulasi reaksi imun dan inflamasi (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007). Sitokin merupakan peptida pengatur (regulator) yang dapat diproduksi oleh hampir semua sel yang berinti dalam tubuh. Sitokin dikelompokkan dalam mediator yang berfungsi dalam komunikasi antar sel yang berfungsi membawa sinyal yang dikirimkan ke sel sasaran agar melakukan perubahan perilaku. Dalam komunikasi antar sel dibutuhkan sel penghasil mediator, pembawa sinyal dan sel sasaran yang akan menerima sinyal. Sinyal yang dibawa oleh pesan melalui mekanisme transduksi yang berakhir dalam aktifasi gena- gena dalam inti sel sasaran (Subowo, 2009).

  Sitokin biasanya mempunyai sel-sel sasaran yang tidak terlalu jauh letaknya, sehingga sitokin tidak bergantung pada peredaran darah, namun tidak berarti bahwa sitokin tidak dapat ditemukan dalam darah. Walaupun umumnya sitokin mempunyai efek pada sel-sel sasaran yang berada di dekatnya, beberapa jenis sitokin, misalnya IL-3 dan GM-CSF

  • yang dilepaskan oleh sel TCD4 membantu merekrut sel-sel efektor di daerah infeksi dengan cara menginduksi sumsum tulang untuk meningkatkan mielopoiesis sehingga terjadi penambahan sel-sel granulosit dan makrofag di daerah infeksi (Subowo, 2009).

  Sitokin, menurut definisi yang diusulkan oleh Jan Vilcek tahun 1998, adalah protein regulator yang dilepaskan oleh sel-sel lekosit dan berbagai jenis sel lain dalam tubuh; kegiatan pleiotropik sitokin mencakup efek pada sel dari sistem imun dan modulasi respon radang. Karena tidak ada definisi singkat yang dapat mencakup sifat-sifat utama yang dimiliki sitokin, paling tepat kiranya ditetapkan dalam bentuk senarai uraian sifat- sifat sitokin seperti yang diusulkan Jan Vilcek sebagai berikut : 1. Sebagian besar sitokin berbentuk polipeptida atau glikoprotein sederhana dengan BM sebesar 30 kd atau kurang (tetapi banyak sitokin membentuk molekul oligomer dengan BM lebih dan satu sitokin (IL-2) merupakan heterodimer) ; 2. Umumnya produksi sitokin sangat rendah atau sama sekali tidak diproduksi, produksi sitokin diatur oleh berbagai rangsang sitokin hanya selintas dan jarak kegiatannya dengan sel sasaran biasanya pendek (sangat jelas pada autokrin atau parakrin yang berbeda dengan endokrin) ; 4. Mekanisme kerja sitokin pada sel sasarannya melalui ikatan dengan reseptor permukaan sel sasarannya yang bersifat sangat spesifik dengan afinitas tinggi ; 5. Sebagian besar mekanisme kerja sitokin dimanifestasikan dalam pola alternatif pada ekspresi gena dalam sel sasarannya. Mekanisme kerja tersebut mendorong ke arah peningkatan atau pengurangan rasio pembelahan sel, perubahan status diferensiasi sel dan/atau perubahan ekspresi beberapa fungsi diferensiasi ; 6.

  Walaupun rentang efek dari masing-masing sitokin dapat sangat lebar dan beraneka ragam, paling sedikit beberapa efek setiap sitokin ditujukan pada sel-sel hematopoetik (Subowo, 2009).

  Walaupun berbagai jenis sitokin secara struktural berbeda, mereka memilki beberapa kesamaan : 1. Sekresi sitokin berlangsung singkat dan

  

self-limited. Sitokin biasanya tidak disimpan dan sintesanya diinisiasi oleh

  transkripsi gena yang baru sebagai akibat aktifasi seluler. Transkripsi ini bersifat transien, dan m-RNA yang membawa kode sebagian besar sitokin bersifat tidak stabil, jadi sintesa sitokin juga bersifat transien ; 2. Kerja sitokin bersifat pleiotropik dan redundant. Pleiotropik artinya satu sitokin bekerja pada berbagai jenis sel sedangkan redundancy artinya beberapa sitokin yang berbeda memiliki efek yang sama ; 3. Sitokin sering mempengaruhi dan bekerja pada sitokin lainnya ; 4. Kerja sitokin dapat tempatnya dihasilkan, apakah pada sel penghasilnya sendiri (autokrin) atau sel-sel di sekitarnya (parakrin). Jika dihasilkan dalam jumlah besar, sitokin dapat memasuki sirkulasi darah dan bekerja di tempat yang jauh (endokrin) ; 5. Sitokin memulai kerjanya dengan berikatan pada reseptor di membran sel sasaran. Reseptor sitokin memiliki afinitas yang tinggi terhadap ligandnya. Sehingga untuk menghasilkan efek biologisnya, cukup hanya sejumlah kecil sitokin yang berikatan dengan reseptornya ; 6 Sinyal eksternal meregulasi ekspresi reseptor sitokin dan juga respon sel terhadap sitokin ; 7. Respon sel sasaran terhadap sebagian besar sitokin berupa perubahan ekspresi gena sehingga menghasilkan fungsi yang baru dan kadang-kadang menyebabkan proliferasi sel sasaran ; 8.

  Respon sel terhadap sitokin diatur secara ketat melalui mekanisme inhibisi umpan balik untuk menghentikan efeknya (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

  Secara fungsional, sitokin dapat dibagi atas 3 kategori berdasarkan kerja biologis utamanya, yaitu : 1. Mediator dan regulator dari innate

  

immunity yang terutama dihasilkan oleh fagosit mononuklear sebagai

  respon terhadap agen infeksius, misalnya TNF, IL-1, IL-12 dan IFN- γ ; 2. Mediator dan regulator adaptive immunity yang terutama dihasilkan oleh limfosit T sebagai respon terhadap pengenalan spesifik antigen asing, misalnya IL-2, IL-4, IL-5 dan IFN-

  γ ; 3. Stimulator hematopoesis yang dihasilkan oleh sel stroma sumsum tulang, lekosit dan sel-sel lainnya dan berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi lekosit immature (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

  Gambar 4

  . Respon Imun Pada Infeksi Bakteri Patogen Dikutip dari : D’Elia, et.al (2013) Selama terjadi infeksi, tubuh mengenali bakteri patogen yang mengarah kepada cellular recruitment dan timbulnya respon sitokin proinflamatori termasuk IL-6 dan TNF-

  α. Respon inflamasi ini berlanjut ke pembersihan bakteri patogen dan memungkinkan tubuh kembali ke keadaan homeostasis imunitas dan penderita selamat. Pada beberapa kasus infeksi, bakteri patogen terlambat diidentifikasi sehingga respon imun pun terlambat muncul. Hal ini memungkinkan bakteri patogen berproliferasi dan memicu hipersitokinemia sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan, bahkan kematian (D’Elia, Harrison, Oyston, Lukaszewski, Clark, 2013).

  Gambar 5.

  “Cytokine Storm” Dikutip dari : D’Elia, et.al.(2013)

  Ketika “cytokine storm” telah terjadi, terapi konvensional mungkin tidak lagi memadai. Strategi untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan zat yang bekerja pada jalur immune fundamental misalnya jaringan chemokine dan pada jalur anti inflamasi kolinergik, dan strategi lebih spesifik termasuk dengan menggunakan antibodi HMGB1 da inhibitor COX-2. Semua strategi ini akan meredakan “cytokine storm” dan mengurangi risiko kerusakan jaringan dan memberikan waktu bagi terapi konvensional untuk bekerja secara langsung terhadap bakteri patogen (D’Elia, Harrison, Oyston, Lukaszewski, Clark, 2013).

  Gambar 6. Summary of actions of cytokines and chemokines Dikutip dari : Borish dan Steinke, (2003)

  Tumor Necrosis Factor 2.3.1.

  Tumor Necrosis Factor pada awalnya ditemukan pada tumor

  tertentu yang mengalami perdarahan yang ternyata disebabkan adanya nekrosis jaringan. Tumor necrosis factor terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel jenis lain dengan berbagai aktifitas biologik pada sel- sel sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan. Sejumlah sel baru dapat menghasilkan TNF setelah mendapatkan rangsangan yang cocok, misalnya dari limfosit dan sel NK (Subowo, 2009).

  Tumor Necrosis Factor merupakan mediator utama pada respon

  inflamasi akut terhadap infeksi bakteri gram negatif dan mikroba lainnya, pada infeksi berat. Stimulus terkuat terhadap produksi TNF oleh makrofag adalah berikatannya TLR dengan LPS dan produk mikroba lainnya. Produksi IFN-

  γ oleh limfosit T dan sel NK akan meningkatkan produksi TNF oleh makrofag yang distimulasi oleh LPS. Fungsi fisiologis utama dari TNF adalah menstimulasi rekrutmen netrofil dan monosit ke lokasi infeksi dan mengaktifkan sel-sel ini untuk menghilangkan mikroba (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

  Tumor Necrosis Factor memiliki jejaring pengawasan induksi dan

  efek. Misalnya IL-1 menginduksi produksi TNF dan sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1 oleh sel makrofag, produksi IFN- , dan IFN- β

  1

2 oleh fibroblast dan produksi GM-CSF oleh beberapa jenis sel. Tumor

  β Necrosis Factor- 1, sebagian oleh limfosit

  α dihasilkan oleh sel limfosit T

  Н T 2 dan sel T sitotoksik (Subowo, 2009). Н Gena untuk TNF terdapat pada bagian lengan pendek kromosom 6 yang diduga di dekat atau di dalam kompleks MHC. Molekul TNF manusia memiliki homologi sebesar 80% dengan TNF mencit atau kelinci dan 28% dengan limfotoksin. Limfotoksin yang mempunyai mekanisme kerja dan reseptor yang sama dengan TNF disebut sebagai TNF- β (Subowo, 2009). Terdapat 2 jenis reseptor TNF yaitu reseptor TNF tipe I (TNF-RI, 55 kD) dan tipe II (TNF-RII, 75 kD) (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

  Tumor Necrosis Factor memiliki berbagai efek dengan manifestasi

  sebagai berikut : 1. Efek sitotoksik. Efek sitotoksik terlihat pada beberapa jenis jaringan tumor yang mengalami kemunduran dan nekrosis yang belum jelas, tetapi yang jelas bahwa kematian sel tumor membutuhkan reseptor untuk TNF. Kematian sel tumor akan dipercepat jika terdapat hambatan sintesis protein dalam sel tumor. Tetapi mekanisme kematian sel tumor secara in vivo bukan pengaruh langsung TNF melainkan secara tidak langsung. Kemungkinan kematian sel tumor karena terjadinya nekrosis jaringan tumor sebagai akibat gangguan vaskularisasi untuk jaringan tumor. Terdapat bukti bahwa sel makrofag teraktifkan dapat membunuh sel-sel tumor, sedang TNF merupakan produk sel makrofag; 2.

  Efek radang. Kini TNF lebih dianggap sebagai mediator utama dalam radang. Pada percobaan dapat ditunjukkan bahwa TNF yang diperoleh dalam bentuk murni secara biokimiawi ternyata bertanggung jawab kepada aktifitas cahectin yang umumnya bekerja pada penderita yang mengalami infeksi parasit. Mekanisme pada beberapa kejadian radang setempat diramalkan berdasarkan pengamatan dalam percobaan in vitro. Misalnya sel netrofil yang bereaksi dengan TNF meningkat pengikatannnya dengan sel endotel, letupan respiratori dan degranulasinya. Pola kerusakan jaringan radang mirip dengan kerusakan oleh IL-1. Demikian pula kemampuan TNF dalam menginduksi proliferasi fibroblas mirip IL-1, sehingga TNF dianggap penting dalam proses penyembuhan luka ; 3. Efek hematopoetik. Efek TNF terhadap aktifitas hematopoetik terlihat dalam bentuk hambatan pembentukan koloni biakan granulosit-monosit, eritroid dan koloni sel multi-potensial pada jaringan sumsum tulang manusia. Tetapi sebaliknya pada mencit, TNF percobaan in vitro ; 4. Efek imunologik. Walaupun TNF dalam beberapa aktifitas biologik mirip IL-1, namun ada beberapa perbedaan dalam mekanisme pengaturan imun. Secara umum nampak perbedaan bahwa TNF tidak banyak terlibat dalam pengaturan tersebut. Tumor Necrosis

  Factor mempunyai aktifitas perangsangan yang multipel terhadap limfosit

  T teraktifasi, misalnya respon proliferatif limfosit T terhadap antigen, peningkatan reseptor untuk IL-2 dan induksi produksi IFN- γ. Demikian juga imunitas spesifik terhadap tumor ditingkatkan oleh TNF. Tumor

  Necrosis Factor dapat meningkatkan ekspresi antigen MHC kelas I pada

  fibroblas dan sel endotel. Efek perlindungan non-spesifik terhadap patogen telah dilaporkan pula untuk TNF, misalnya aktifitas antivirus dan beberapa parasit (Subowo, 2009).

  Bila stimulus cukup kuat, TNF akan diproduksi dalam jumlah besar sehingga memasuki aliran darah dan bekerja di tempat yang jauh sebagai hormon endokrin. Salah satu aktifitas sistemik utama dari TNF adalah menginduksi hipotalamus dan menyebabkan terjadinya demam, sehingga disebut sebagai pirogen endogen untuk membedakannya dari LPS yang berfungsi sebagai pirogen eksogen yang berasal dari mikroba. Terjadinya demam sebagai respon terhadap TNF (dan IL-1) dimediasi oleh meningkatnya sintesa prostaglandin oleh sel-sel hipotalamus (proses ini distimulasi oleh sitokin). Inhibitor sintesa prostaglandin, misalnya apirin, dapat menghambat terjadinya demam dengan jalan menghambat aktifitas

  Gambar 7. Lokasi gene TNF- α pada kromosom 6 (6p21.3)

  Dikutip dari : Cereda, Gagliardi, Cova. Diamanti, Ceroni (2012)

  Gen TNF- α mengatur kode protein yang terdiri atas 233 asam amino dengan berat molekul 25,6 kDa. Pada awalnya, TNF-

  α merupakan suatu protein transmembran yang terdiri atas 212 yang terasosiasi dengan

  

homotrimer : bagian terminal N kehilangan 76 asam amino akibat

  pembelahan oleh TNF- α converting enzyme, menghasilkan satu bentuk monomer TNF- α yang dapat larut (17 kD) dan selanjutnya bentuk trimetrik

  (51 kD). Bentuk trimerik merupakan bentuk dapat larut yang aktif secara biologik karena kemampuannya untuk berikatan dengan reseptornya.

  Bentuk trimerik ini secara spontan cenderung segera terdisosiasi menjadi bentuk monomerik yang inaktf. Hal ini merupakan proses fisiologis yang peningkatan konsentrasi TNF-

  α yang berlebihan. Respon TNF-α terhadap berbagai sinyal ekstraseluler terjadi dengan sangat cepat dan transien, meliputi komponen transkripsional dan komponen posttranskripsional. Kontrol proses transkripsionalnya terjadi terutama pada tahap inisiasi transkripsional (Cereda, Gagliardi, Cova, Diamanti, Ceroni, 2012).

  Tumor Necrosis Factor-

Dokumen yang terkait

Tumor Necrosis Factor-α, Interleukin-1 And Interleukin-6 Serum Levels And Its Correlation With Pain Severity In Chronic Tension-Type Headache Patients : Before and After Dexketoprofen Administration

0 55 11

Amitriptyline Effect On Tissue Necrosis Factor-α, Interleukin-1 And Interleukin-6 Serum Level And Its Correlaton With Pain Severity In Chronic Tension-Type Headache Patients

0 44 12

Perubahan Kadar TNF-α, Interleukin-1, Interleukin-6 Serum Setelah Pemberian Amitriptilin atau Deksketoprofen dan Korelasinya dengan Tingkat Intensitas Nyeri pada Penderita Tension-Type Headache Kronik

5 122 241

Perbedaan Angka Kejadian Tension-Type Headache Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis dengan Orang Yang Sehat (Normal) di RSUP. H. Adam Malik Medan

3 60 60

Perbedaan Kadar Hormon Seksual antara Wanita Penderita Migren dengan Wanita Penderita Tension Type Headache

6 97 108

Perbedaan Angka Kejadian Tension-Type Headache Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis dengan Orang Yang Sehat (Normal) di RSUP. H. Adam Malik Medan

1 39 60

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Kadar Serum Seruloplasmin pada Preeklamsia Berat Early Onset dan Late Onset

0 0 18

Tumor Necrosis Factor-α, Interleukin-1 And Interleukin-6 Serum Levels And Its Correlation With Pain Severity In Chronic Tension-Type Headache Patients : Before and After Dexketoprofen Administration

0 0 11

Perubahan Kadar TNF-α, Interleukin-1, Interleukin-6 Serum Setelah Pemberian Amitriptilin atau Deksketoprofen dan Korelasinya dengan Tingkat Intensitas Nyeri pada Penderita Tension-Type Headache Kronik

0 0 29

Perubahan Kadar TNF-α, Interleukin-1, Interleukin-6 Serum Setelah Pemberian Amitriptilin atau Deksketoprofen dan Korelasinya dengan Tingkat Intensitas Nyeri pada Penderita Tension-Type Headache Kronik

0 0 16