Perbedaan Kadar Hormon Seksual antara Wanita Penderita Migren dengan Wanita Penderita Tension Type Headache

(1)

PERBEDAAN KADAR HORMON SEKSUAL ANTARA

WANITA PENDERITA MIGREN DENGAN WANITA

PENDERITA

TENSION TYPE HEADACHE

TESIS

Oleh

INTA LISMAYANI

097112005

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

PERBEDAAN KADAR HORMON SEKSUAL ANTARA

WANITA PENDERITA MIGREN DENGAN WANITA

PENDERITA

TENSION TYPE HEADACHE

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Saraf

Pada Program Studi Ilmu Penyakit Saraf Pada Pogram Pendidikan Dokter

Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

INTA LISMAYANI

097112005

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Perbedaan Kadar Hormon Seksual antara

Wanita Penderita Migren dengan Wanita

Penderita

Tension Type Headache

Nama

: Inta Lismayani

NIM

: 097112005

Program Studi

: Ilmu Penyakit Saraf

Hari /Tanggal

: Selasa, 17 Juni 2014

Pembimbing I

Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir , Sp.S(K)

NIP. 19470930197902 1 001

Pembimbing II

Dr. Khairul P Surbakti, Sp.S

NIP. 19621221 199012 1 001

Pembimbing III

Dr. Alfansuri Kadri Sp.S

NIP.19781109200312 1 001

Mengetahui / Mengesahkan :

Ketua Departemen / SMF

Ilmu Penyakit Saraf

FK USU/RSUPHAM Medan

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)

NIP. 19530916 198203 1 003

Ketua Program Studi/ SMF

Ilmu Penyakit Saraf

FK USU/ RSUP HAM Medan

Dr. Yuneldi Anwar , Sp.S (K)

NIP. 19530601 198103 1 004


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 17 Juni 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K)

Anggota

: 1. Prof. dr. Darulkutni Nasution,Sp.S(K)

2. dr. Darlan Djali Chan,Sp.S

3. dr. Yuneldi Anwar,Sp.S(K)

4. dr. Rusli Dhanu,Sp.S(K)

(Penguji)

5. dr. Kiking Ritarwan,MKT,Sp.S(K)

6. dr. Aldy S Rambe,Sp.S(K)

7. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S

8. dr. Khairul P. Surbakti,Sp.S

9. dr. Cut Aria Arina,Sp.S

10. dr. Kiki M. Iqbal,Sp.S

11. dr. Alfansuri Kadri,Sp.S

12. dr. Aida Fithrie, Sp.S

13. dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S

14. dr.Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S

15. dr.Fasihah Irfani Fitri,M.Ked(Neu),Sp.S

16. dr.Iskandar Nasution, Sp.S,FINS


(5)

PERNYATAAN

PERBEDAAN KADAR HORMON SEKSUAL ANTARA WANITA

PENDERITA MIGREN DENGAN WANITA PENDERITA

TENSION

TYPE HEADACHE

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu

perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat

karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang

lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan

dalam daftar pustaka.

Medan, 17 Juni 2014


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa yang telah memberikan segala berkat, rahmat dan kasih-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan

tugas akhir dalam program pendidikan di Bidang Ilmu Penyakit Saraf di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum

Pusat H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian

dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab

itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan

yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan di masa yang akan

datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan

penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.DR.dr. H. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc (CTM),Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan dokter spesialis.

2. Prof.dr.H. Chairuddin P.Lubis, DTM&H,Sp.A(K),Rektor Universitas

Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan.

3. Dekan

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Sumatera

Utara,

Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan

dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan.

4. Dr. H. Rusli Dhanu, Sp.S (K), Ketua Departemen Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis melakukan

penelitian dan sebagai Ketua Departemen Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

dan sebagai guru penulis yang tidak pernah bosan dan penuh


(7)

kesabaran dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan

masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan

Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis

melakukan penelitian dan sebagai Ketua Program Studi PPDS-I

Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP

H. Adam Malik Medan guru penulis yang tidak pernah bosan dan

penuh

kesabaran

dalam

membimbing,

mengarahkan

serta

memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam

menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit

Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S (K),dr. Khairul P.Surbakti , Sp.S

dan dr.Alfansuri Kadri ,Sp.S selaku pembimbing penulis yang

dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi

dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan

penyelesaian tesis ini.

7. Guru-guru penulis: Prof. dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S (K); dr.

Darlan Djali Chan, Sp.S; dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); dr. Aldy

S.Rambe,Sp.S(K), dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S; dr. Puji Pinta O.

Sinurat, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; dr.S. Irwansyah,Sp.S (Alm);

dr. Antun Subono, Sp.S; dr. Kiki M.Iqbal, Sp.S; dr.Aida Fithrie,Sp.S ;

dr. Irina Kemala Nasution,Sp.S; dr.Haflin Soraya Hutagalung,Sp.S ,

dr.Iskandar

Nasution,Sp.S,FINS,

dr.Fasihah

Irfani

Fitri,M.Ked(Neu),Sp.S, dr.RA.Dwi Puji Astuti,M.Ked(Neu),Sp.S dan

guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang

telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis.

8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah

memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik

sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter

Spesialis.


(8)

9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang

telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi

dengan penulis dalam pembuatan tesis ini.

10. Ucapan terima kasih kepada Bapak Amran Sitorus, Sukirman

Ariwibowo dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai poliklinik

dan ruangan Neurologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu-

persatu.

11. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi

FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, teristimewa kepada teman –

teman seangkatan (dr.Fridameria Silitonga, dr. Saulina Sembiring,

dr.Anita Surya, dr.Leni Wardaini, dr. Seri Ulina Barus, dr. Suherman

A.Tambunan) yang banyak memberikan masukan berharga kepada

penulis melalui diskusi-diskusi kritis dalam berbagai pertemuan

formal maupun informal, serta selalu memberikan

dorongan-dorongan

yang

membangkitkan

semangat

kepada

penulis

menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit

Saraf.

12. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah

bertugas selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis,

serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program

Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

13. Terima kasih yang tak terhingga kepada semua kakak / adik / ibu,

wanita yang mengalami migren dan

tension type headache

serta

subjek kontrol wanita yang sehat

yang telah bersedia berpartisipasi

secara sukarela dalam penelitian ini. Semoga darah yang saya ambil

menjadi amal jariah, berkah dan pahala bagi kakak/ adik / ibu dan

berguna untuk ilmu pengetahuan.

14. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan

kepada kedua orang tua saya, Alm. Idham Chaniago dan Asmawati

yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan

senantiasa memberi dukungan moril dan materi, bimbingan dan


(9)

nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar

dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai.

15. Teristimewa kepada suamiku tercinta Drs. Muhammad Halim

Hutasuhut, yang selalu sabar dan penuh pengertian, mendampingi

dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka,

memberi nasehat supaya tetap sabar dan tegar dalam menjalani

pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.

16. Teristimewa kepada buah hatiku tercinta Talitha Syifa, Nakita

Shaliha dan Ibnu Hadi Kautsar Ilmi yang telah menjadi motivasi dan

dorongan dalam penyelesaian pendidikan ini dan mendampingi

Bunda dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka

selama Bunda menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Ini.

17. Kepada seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi

dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan

pendidikan ini, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

18. Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya

sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun,

saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah

melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua. Akhirnya

penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat

bagi kita semua.

Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan budi baik mereka

yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita

penulis.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan

ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin ya Rabbal alamin.

Penulis


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap

: dr.Inta Lismayani

Tempat / tanggal lahir

: Bandar Negeri, 27 Maret 1975

Agama

: Islam

Alamat

: Jln Besar Medan –Namorambe

Komp.Taman Citra Mandiri Blok M 10

Pekerjaan

: Dokter PNS di RSUD H.Abdul Manan

Simatupang,Kisaran

Nama Ayah

: Idham Chaniago ( Almarhum )

Nama Ibu

: Asmawati

Nama Suami

: Drs.Muhammad Halim Hutasuhut

Nama Anak

: 1. Talitha Syifa Hutasuhut

2. Nakita Shaliha Hutasuhut

3. Ibnu Hadi Kautsar Ilmi Hutasuhut

Riwayat Pendidikan

Tahun 1982 – 1988

: SD Negeri 116887 Bagan Batu,Sumatera

Utara

Tahun 1988 – 1991

: SMP Negeri Bagan Batu, Riau

Tahun 1991 – 1994

: SMA Negeri I Medan,Sumatera Utara

Tahun 1995 – 2001

: Pendidikan Dokter umum di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Tahun 2010 – 2014

: Pendidikan Spesialis di bidang Ilmu

Penyakit

Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

Riwayat Pekerjaan

Tahun 2001-2002

: Dokter Jaga di RS Sufina Aziz, Medan

Tahun 2002 - 2005

: Dokter PTT di RSUD Solok,Kab.Solok,

Sumatera Barat

Tahun 2005 – 2007

: Dokter PTT di RSUD H.Abdul Manan

Simatupang, Kab.Asahan,Sumatera Utara

Tahun 2007 – Sekarang

: Dokter PNS di RSUD H.Abdul Manan

Simatupang, Kab.Asahan,Sumatera Utara


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAFTAR ISI

DAFTAR SINGKATAN

DAFTAR LAMBANG

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

ABSTRAK

ABSTRACT

i

v

vi

ix

x

xi

xii

xiv

xv

xvi

BAB.I

PENDAHULUAN

1

I.1. Latar Belakang

1

I.2. Rumusan Masalah

5

I.3. Tujuan Penelitian

6

I.3.1. Tujuan umum

6

I.3.2. Tujuan khusus

6

I.4. Hipotesa

8

I.5. Manfaat Penelitian

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

9

II.1.Hormon Seksual Wanita

9

II.1.1. Estrogen dan Progesteron

9

II.1.2. Reseptor Estrogen dan Progesteron

11

II.1.3. Mekanisme genomik

14

II.1.4. Mekanisme non genomik

15

II.1.5. Efek sentral sex steroid

18

II.1.6. Efek vaskular sex steroid

20

II.2.Migren

22

II.2.1. Definisi

22

II.2.2. Epidemiologi

22

II.2.3. Klasifikasi

23

II.2.4. Patofisiologi

24

II.3.

Tension Type Headache

30

II.3.1. Definisi

30

II.3.2. Epidemiologi

31

II.3.3. Klasifikasi

31

II.3.4. Patofisiologi

32

II.4. Pengaruh Hormon Seksual terhadap Migren dan

Tension Type Headache

pada Wanita

35

II.4.1. Hormon seksual dan migren

35

II.4.1.1. Pengaruh hormon seksual

terhadap c

alcitonin gene related

protein (CGRP

)


(12)

II.4.1.2. Pengaruh hormon seksual

terhadap Noradrenalin

dan

α

- adrenoseptor

37

II.4.1.3. Pengaruh hormon seksual

terhadap Serotonin (5-HT)

38

II.4.1.4. Pengaruh hormon seksual

terhadap keseimbangan ion

41

II.4.1.5. Pengaruh hormon seksual

terhadap

Nitric oxide

43

II.4.1.6. Pengaruh hormon seksual

terhadap

γ

– aminobutiric acid

(GABA)

45

II.4.1.7. Pengaruh hormon seksual

terhadap Glutamat

47

II.4.1.8 .Pengaruh hormon seksual

terhadap Opioid

47

II.4.2.Hormon seksual dan

tension

type Headache

49

II.5. Kerangka Teori

51

II.6. Kerangka Konsepsional

52

BAB III. METODE PENELITIAN

53

III. 1.Tempat dan Waktu

53

III. 2. Subjek Penelitian

53

III. 2.1. Populasi sasaran

53

III. 2.2. Populasi terjangkau

53

III. 2.3. Besar sampel

53

III. 2.4. Kriteria inklusi

54

III. 2.5. Kriteria eksklusi

55

III. 3. Batasan Operasional

55

III. 4. Instrumen Penelitian

57

III. 5. Rancangan Penelitian

57

III. 6. Pelaksanaan Penelitian

58

III. 6.1. Pengambilan sampel

58

III. 6.2. Kerangka operasional

59

III. 6.3. Variabel yang diamati

59

III. 6.4. Analisa statistik

59

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL

IV.1.1. Karakteristik subjek penelitian

62

IV.1.2. Distribusi subjek penelitian berdasarkan

Nyeri kepala

64

IV.1.3. Distribusi subjek penelitian berdasarkan

menstruasi dan tidak menstruasi

66

IV.1.4. Perbedaan kadar hormon estradiol antara

penderita migren dan

tension type

headache

68

IV.1.5. Perbedaan kadar hormon progesteron

antara penderita migren dan

tension type

headache


(13)

IV.1.6. Perbedaan kadar kolesterol total

antara penderita migren dan

tension type

headache

70

IV.1.7. Perbedaan kadar trigliserida antara

penderita migren dan

tension type

headache

71

IV.1.8. Perbedaan kadar HDL antara penderita

migren dan

tension type headache

72

IV.1.9. Perbedaan kadar LDL antara penderita

migren dan

tension type headache

73

IV.1.10. Perbedaan BMI antara penderita

migren dan

tension type headache

73

IV.1.11.Hubungan antara BMI dan VAS dengan

kadar hormon estradiol pada penderita

migren dan

tension type headache

74

IV.1.12.Hubungan antara BMI dan VAS dengan

kadar hormon progesteron pada penderita

migren dan

tension type headache

75

IV.1.13.Hubungan kadar profil lipid dengan

kadar hormon estradiol pada penderita

migren dan

tension type headache

75

IV.1.14.Hubungan kadar profil lipid dengan

kadar hormon progesteron pada penderita

migren dan

tension type headache

76

IV.1.15.Hubungan fase menstruasi dengan kadar

hormon estradiol dan progesteron

77

IV.2. PEMBAHASAN

78

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

85

V.1. KESIMPULAN

85

V.2. SARAN

88

DAFTAR PUSTAKA

89


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH

:

Adrenocorticothropin hormone

AMPA

:

α

- amino -3-hydroxy 5- methyl-4-isoxazole propionic

BBB

:

Blood brain barrier

BMI

: Body mass index

CGRP

:

Calcitonin gene related protein

CREB

:

response element binding protein

CSD

:

Cortical Spreading Depression

cAMP

:

cyclic Adenosine Monophosphate

cGMP

:

cyclic Guanosine Monophosphate

CRF

:

coticotrophin releasing factor

ER

:

Estrogen receptor

FHM

:

Familial Hemiplegik Migren

FSH

:

Follicle Stimulating Hormone

GABA

:

γ

-aminobutyric acid

GBG

:

Gonadal steroid binding globulin

GIRK

:

G protein coupled inwardly rectifying

GPCR

:

G-protein coupled receptor

GnRH

:

gonadotropin releasing hormone

hCG

:

human Chorionic Gonadotopin

HDL

:

High density lipoprotein

HR

:

Hazard Ratio

Hsp

:

heat shock protein

HT

:

Hidroxytryptamine

IHS

:

International Headache Society

LDL

:

Low density lipoprotein

LH

:

Luteinizing Hormone

MIDAS :

Migraine dissability assesment

MM

:

Menstrual Migraine

MMP

:

Matrix Metalloproteinase

mRNA

:

messenger Ribonucleid acid

NMDA

:

N-Methyl D-Aspartate

NO

:

Nitric Oxide

NOS

:

Nitric Oxide Synthase

NPY

:

neuropeptida Y

ORL-1

:

Opioid Receptor Like 1

PAG

:

Periaquaductal Gray Matter

PET

:

Positron Emission Tomography

POMC

:

Propiomelanocortin

PR

:

Progesteron Receptor (PR)

RR

:

Risk Ratio

RS

:

Rumah Sakit

RSUP

:

Rumah Sakit Umum Pusat

SERT

:

Serotonine Reuptake Transporter

SHBG

:

Serum hormone binding globulin

SD

:

Spreading Depression

SSP

:

Susunan Saraf Pusat


(15)

DAFTAR LAMBANG

n

: Besar sampel

p

: Tingkat kemaknaan

r

: Koefisien korelasi

α

: alfa

β

: beta

: nilai deviasi baku normal berdasarkan nilai (0,05) 1,96

: nilai baku berdasarkan nilai ( 0,20) yang ditentukan oleh

peneliti 0,842

%

: Persen


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Jalur pembentukan Estrogen dan Progesteron

10

Gambar 2.

Perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron

selama siklus menstruasi

12

Gambar 3.

Struktur sistem hormonal pada wanita

13

Gambar 4.

Mekanisme Genomik dan Non genomik

17

Gambar 5.

Grafik perbedaan kadar estradiol antara penderita

migren,TTH dan kontrol

69

Gambar 6

Grafik perbedaan kadar progesteron antara

penderita migren, TTH dan kontrol


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.

Karakteristik subjek penelitian

63

Tabel 2.

Distribusi subjek penelitian berdasarkan nyeri kepala

65

Tabel 3.

Distribusi subjek penelitian berdasarkan menstruasi

dan tidak menstruasi

67

Tabel 4.

Perbedaan kadar hormon estradiol antara penderita

migren dan

tension type headache

68

Tabel 5.

Perbedaan kadar hormon progesteron antara

penderita migren dan

tension type headache

70

Tabel 6.

Perbedaan kadar kolesterol total antara penderita

migren dan

tension type headache

71

Tabel 7.

Perbedaan kadar trigliserida antara penderita migren

dan tension type headache

72

Tabel 8.

Perbedaan kadar HDL antara penderita migren dan

tension type headache

72

Tabel 9.

Perbedaan kadar LDL antara penderita migren dan

tension type headache

73

Tabel 10.

Perbedaan BMI antara penderita migren dan

tension

type headache

74

Tabel 11

Hubungan antara BMI dan VAS dengan kadar

hormon estradiol pada penderita migren dan tension

type headache

74

Tabel 12.

Hubungan antara BMI dan VAS dengan kadar

hormon progesteron pada penderita migren dan

tension type headache

75

Tabel 13.

Hubungan kadar profil lipid dengan kadar hormon

estradiol pada penderita migren dan

tension type

headache

76

Tabel 14.

Hubungan kadar profil lipid dengan kadar hormon

estradiol pada penderita migren dan

tension type

headache

77

Tabel 15.

Hubungan fase menstruasi dengan kadar hormon

estradiol dan progesteron


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.

Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

Lampiran 2.

Surat persetujuan ikut dalam penelitian

Lampiran 3.

Lembar pengumpulan data penelitian

Lampiran 4.

Kuesioner nyeri kepala yang diadaptasi dari HO K-H &

Ong BK-C


(19)

ABSTRAK

Latar Belakang dan Tujuan :

Wanita lebih banyak mengalami migren

dan

tension type headache

dibanding pria. Hormon steroid seksual pada

wanita mungkin memainkan peran penting dalam perbedaan ini. Hormon

seks yang paling penting adalah estrogen dan progesteron yang

mempengaruhi transmisi nyeri perifer dan sentral. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar hormon seksual tersebut

pada wanita penderita migren dan

tension type headache.

Metode:

Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan

terhadap subjek wanita penderita migren dan wanita penderita tension

type headache di poliklinik neurologi Rumah Sakit Umum H.Adam

Malik.Setiap subjek dan kontrol dianamnesa dengan menggunakan

kuesioner HO K-H & Ong BK-C. Subjek yang mengalami nyeri kepala

pada saat pemeriksaan kemudian diperiksa kadar hormon estradiol dan

progesteronnya. Subjek kontrol yang di

matching

berdasarkan umur

adalah wanita sehat yang diperiksa kadar hormonnya pada hari ke-10

dari siklus menstruasinya.

Hasil:

Dari 33 subjek ( 11 migren, 11 TTH, dan 11 kontrol), rerata umur

adalah 33,61 tahun (SD 7,50). Pada pemeriksaan kadar estradiol,

median kadar estradiol adalah 42,97( 5,00-183,90) pq/ mL pada migren

, 57,00 (5,00- 801,70) pq/mL pada TTH dan 64,89 ( 25,84 – 264,10) pq/

mL pada kontrol. Pada pemeriksaan kadar progesteron, median kadar

progesteron adalah 1,90 (0,001- 64,40) ng/ mL pada migren , 0,48(

0,11- 8,20) ng/mL pada TTH dan 0,48 (0,11 – 8,20) ng / mL pada

kontrol. Dengan uji

Kruskal –Wallis

diketahui bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan pada kadar estradiol (

p

=0,588) dan kadar

progesteron (

p

=0,394) antara kelompok migen,TTH dan kelompok

kontrol.

Kesimpulan:

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar

hormon estradiol dan progesteron antara wanita penderita migren

dengan wanita penderita

tension type headache

.


(20)

ABSTRACT

Backgound and Purpose

: Women are more to have migraine and

tension-type headache than men. Female sexual steroid hormones may

play an important role in this difference. The most important sex

hormones are estrogens and progesterone that affects the peripheral

and central pain transmission. This study was aimed to determine the

differences in the levels of sex hormones between women with migraine

and tension-type headache.

Methods :

This study was a cross-sectional study conducted to the

woman that suffer migraine and tension-type headache in the neurology

clinic of the H.Adam Malik General Hospital. Every subject and control

interviewed using a HO K-H & Ong BK-C questionnaire. Subjects who

experienced headache during the examination then the hormone levels

of estradiol and progesterone was checked. Control subjects were

healthy that matched based on age the level of hormone was examined

on day 10 of the menstrual cycle.

Result

: From the 33 subjects (11 migraine, 11 TTH, and 11 controls),

the mean age was 33,61 years (SD 7,50). In examination of estradiol,

the median estradiol level were 42,97 (5,00 – 183,90) pq / mL in

migraine, 57,00 (5,00 – 801,70) pq/mL at TTH and 64,89 (25,84-264,10)

pq/mL in controls. On examination of the levels of progesterone, median

progesterone levels were 1,90 (0,001 - 64,40) ng/mL in migraine, 0,48

(0,11 - 8,20) ng/mL in the TTH and 0,48 (0,11 – 8,20) ng/mL in controls.

The Kruskal-Wallis test showed that there were no significant difference

in estradiol levels (p= 0,588) and progesterone levels (p=0,394) between

the groups migraine, TTH and control group.

Conclusions :

There were no significant differences in estradiol and

progesterone hormone levels among migraine and tension-type

headache sufferers woman.


(21)

ABSTRAK

Latar Belakang dan Tujuan :

Wanita lebih banyak mengalami migren

dan

tension type headache

dibanding pria. Hormon steroid seksual pada

wanita mungkin memainkan peran penting dalam perbedaan ini. Hormon

seks yang paling penting adalah estrogen dan progesteron yang

mempengaruhi transmisi nyeri perifer dan sentral. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar hormon seksual tersebut

pada wanita penderita migren dan

tension type headache.

Metode:

Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan

terhadap subjek wanita penderita migren dan wanita penderita tension

type headache di poliklinik neurologi Rumah Sakit Umum H.Adam

Malik.Setiap subjek dan kontrol dianamnesa dengan menggunakan

kuesioner HO K-H & Ong BK-C. Subjek yang mengalami nyeri kepala

pada saat pemeriksaan kemudian diperiksa kadar hormon estradiol dan

progesteronnya. Subjek kontrol yang di

matching

berdasarkan umur

adalah wanita sehat yang diperiksa kadar hormonnya pada hari ke-10

dari siklus menstruasinya.

Hasil:

Dari 33 subjek ( 11 migren, 11 TTH, dan 11 kontrol), rerata umur

adalah 33,61 tahun (SD 7,50). Pada pemeriksaan kadar estradiol,

median kadar estradiol adalah 42,97( 5,00-183,90) pq/ mL pada migren

, 57,00 (5,00- 801,70) pq/mL pada TTH dan 64,89 ( 25,84 – 264,10) pq/

mL pada kontrol. Pada pemeriksaan kadar progesteron, median kadar

progesteron adalah 1,90 (0,001- 64,40) ng/ mL pada migren , 0,48(

0,11- 8,20) ng/mL pada TTH dan 0,48 (0,11 – 8,20) ng / mL pada

kontrol. Dengan uji

Kruskal –Wallis

diketahui bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan pada kadar estradiol (

p

=0,588) dan kadar

progesteron (

p

=0,394) antara kelompok migen,TTH dan kelompok

kontrol.

Kesimpulan:

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar

hormon estradiol dan progesteron antara wanita penderita migren

dengan wanita penderita

tension type headache

.


(22)

ABSTRACT

Backgound and Purpose

: Women are more to have migraine and

tension-type headache than men. Female sexual steroid hormones may

play an important role in this difference. The most important sex

hormones are estrogens and progesterone that affects the peripheral

and central pain transmission. This study was aimed to determine the

differences in the levels of sex hormones between women with migraine

and tension-type headache.

Methods :

This study was a cross-sectional study conducted to the

woman that suffer migraine and tension-type headache in the neurology

clinic of the H.Adam Malik General Hospital. Every subject and control

interviewed using a HO K-H & Ong BK-C questionnaire. Subjects who

experienced headache during the examination then the hormone levels

of estradiol and progesterone was checked. Control subjects were

healthy that matched based on age the level of hormone was examined

on day 10 of the menstrual cycle.

Result

: From the 33 subjects (11 migraine, 11 TTH, and 11 controls),

the mean age was 33,61 years (SD 7,50). In examination of estradiol,

the median estradiol level were 42,97 (5,00 – 183,90) pq / mL in

migraine, 57,00 (5,00 – 801,70) pq/mL at TTH and 64,89 (25,84-264,10)

pq/mL in controls. On examination of the levels of progesterone, median

progesterone levels were 1,90 (0,001 - 64,40) ng/mL in migraine, 0,48

(0,11 - 8,20) ng/mL in the TTH and 0,48 (0,11 – 8,20) ng/mL in controls.

The Kruskal-Wallis test showed that there were no significant difference

in estradiol levels (p= 0,588) and progesterone levels (p=0,394) between

the groups migraine, TTH and control group.

Conclusions :

There were no significant differences in estradiol and

progesterone hormone levels among migraine and tension-type

headache sufferers woman.


(23)

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang

Di Amerika, nyeri kepala lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (Karli,2012). Sebagai contoh, 18% wanita memiliki migren sedangkan pria hanya 6%. Wanita juga lebih banyak mengalami tension type headache

dibanding pria (Lieba,2011). Prevalensi migren meningkat sesuai dengan pertambahan usia: 22% pada wanita usia 20 hingga 24 tahun, 28% pada usia 25 sampai 29 tahun, 33 % pada usia 30 hingga 34 tahun, dan sebanyak 37% pada wanita usia 35-39 tahun (Edlow,2010).

Hormon steroid seksual pada wanita mungkin memainkan peran penting dalam perbedaan ini. Steroid secara biologis adalah derivat aktif dari kolesterol. Sintesis steroid pada manusia terjadi terutama di korteks adrenal dan gonad pria dan wanita. Kolesterol dalam korteks adrenal diubah menjadi pregnenolon dalam tiga langkah, melibatkan oksidasi komplek enzim P-450 pada sitokrom mitokondria (Craig,2005).

Hormon seks yang paling penting adalah estrogen dan progesteron yang mempengaruhi transmisi nyeri perifer dan sentral. Hal ini juga telah mendasari hipotesa bahwa fluktuasi kadar hormon memodulasi berbagai sistem neurotransmitter yang melibatkan serotonin (5-hydroxytryptamine, atau 5-HT), noradrenalin, glutamat, GABA, atau opiat endogen (Martin 2006; Lieba,2011; Karli,2012).

Kadar estrogen dan progesteron serum berfluktuasi selama siklus menstruasi. Kadar serum estradiol mencapai puncak menjelang akhir dari fase folikel (proliferasi / preovulasi) dan juga pada pertengahan fase luteal (sekresi) sedangkan puncak progesteron serum pada pertengahan fase luteal. Hanya


(24)

sebelum menstruasi, kadar serum estrogen dan progesteron turun drastis (Martin, 2006).

Berhentinya fluktuasi hormon selama kehamilan dapat menjelaskan mengapa migren sering bertambah baik atau menghilang pada wanita hamil . Pada wanita penderita migren yang tidak hamil, migren lebih sering terjadi selama akhir fase luteal dan awal fase folikular pada saat kadar estrogen turun (MacGregor, 2006).

Efek utama estrogen tampaknya menghambat dari sistem saraf simpatik dan memfasilitasi sistem glutaminergik dan serotonergik, sedangkan progesteron tampaknya mengaktifkan sistem GABAergik dan memodulasi efek sistem saraf pusat estrogen (Martin, 2006). Dari teori ini diketahui bahwa

menstrual migraine mungkin dipicu jika kadar estradiol serum turun di bawah 45 - 50 pg / mL selama periode perimenstrual (Martin,2006). Bukti klinis yang mendukung teori ini berasal dari sebuah studi yang menunjukkan bahwa 100 mcg estradiol patch yang digunakan untuk perimenstrually efektif dalam mencegah menstrual migraine , tapi 50 mcg estradiol tidak efektif , mungkin karena dosis tersebut hanya dapat mempertahankan serum estradiol pada rentang 45 - 75 pg / mL (Martin,2006).

Mengingat keberhasilan yang ditunjukkan dari 5-HT1B/1D (agonis triptans) dalam pengobatan menstrual migraine, menunjukkan adanya hubungan yang kompleks antara serotonin dan estrogen. Serotonin secara luas didistribusikan ke seluruh tubuh, bertindak tidak hanya sebagai neurotransmitter, tetapi juga sebagai hormon . Efeknya , termasuk vasokonstriksi, yang diperantarai oleh 14 subtipe reseptor 5 - HT yang berbeda. Peningkatan kadar estrogen dapat meningkatkan kadar serotonin terjadi dengan dua cara : dengan meningkatkan produksi enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis 5 - hydroxytryptophan dari triptofan dan dengan menekan


(25)

aktivitas serotonine reuptake transporter ( SERT ) (Rybaczyk 2005). Selain itu, peningkatan kadar estrogen akan meningkatkan regulasi estrogen reseptor- ß ( ER-ß ), yang pada gilirannya akan meningkatkan regulasi reseptor 5 - HT2A .

Pada saat yang sama , peningkatan estrogen akan menurunkan regulasi

estrogen reseptor - α (ER-α), yang mengarah pada penurunan reseptor 5 - HT1A . Peningkatan konsentrasi serotonin yang dihasilkan dari paparan

estrogen juga meningkatkan aktivasi reseptor 5HT1B. Ditemukan dalam jumlah

besar pada endotelium dan otot polos pembuluh darah, reseptor 5 - HT1B

berperan dalam kontraksi otot polos pembuluh darah. Reseptor 5 - HT1D

ditemukan di saraf trigeminal dan diproyeksikan ke pembuluh darah dural, di mana mereka akan menghambat pelepasan neuropeptida vasoaktif dalam inti trigeminal di batang otak yang kemudian akan mengganggu sinyal nyeri vaskular (Tepper,2002).

Telah ada penelitian khusus yang menjelaskan hubungan antara kadar lipid dengan migren sebagai tanda migren yang spesifik . Dalam sebuah studi berbasis populasi dari Belanda pada pria dan wanita berusia 20-65 tahun, kolesterol total yang meningkat dan rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL ( high-density lipoprotein ) telah dihubungkan dengan migraine with aura. Dalam sebuah studi berbasis klinik dari Austria, pasien dengan migrain mengalami peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL ( low-density lipoprotein ), dan LDL teroksidasi ketika dibandingkan dengan kontrol ( Rist, 2011). Pada penelitian Tomaszewski dkk diketahui bahwa konsentrasi estradiol yang beredar menunjukkan hubungan yang signifikan dengan semua fraksi lipid dalam analisa data. Hubungan yang paling signifikan adalah antara estradiol dan kolesterol HDL (Tomaszewski,2009).

Sebuah studi prevalensi dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur, dilaporkan 54,3% dari penderita migren lebih tinggi mengalami


(26)

nyeri kepala selama menstruasi, sedangkan 3,9% mengalami nyeri kepala hanya selama menstrusi. Dengan analisa regresi logistik mengungkapkan bahwa menstruasi adalah pemicu yang signifikan untuk migren dibandingkan pada tension type headache (TTH) . Di sisi lain, hampir dua kali lipat jumlah penderita TTH dilaporkan mengalami ‘‘pure menstrual headache’’ dibandingkan dengan migren (p = 0,02). Sepertiga dari penderita migren melaporkan mengalami perbaikan selama kehamilan dan penggunaan kontrasepsi oral secara signifikan memperburuk migren. Menopause memiliki pengaruh lebih sedikit meningkatkan migren dibandingkan pada TTH (Karli, 2012).

Menstrual migraine dan menstrually related migraine telah ada pada the International Headache Society classification system (Ailani,2010), yang menjelaskan bahwa perubahan hormon seks berdampak besar terutama pada migren, namun efek dari fluktuasi hormon pada TTH tidak boleh diabaikan (Karli, 2012). Pada penelitian yang dilakukan pada 165 subjek yang mengalami nyeri kepala, terdapat 21 orang memiliki kriteria menstrual tension type headache dengan 6 orang pure menstrual tension type headache dan 15 orang dengan menstrually tension type headache. Dengan demikian menstrual tension type headache mungkin dapat diajukan dalam International Classification of Headache Dissorder (Arjona,2007).

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:

Apakah terdapat perbedaan kadar hormon seksual antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache ?


(27)

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan: 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan kadar hormon seksual antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache. 1.3.2. Tujuan Khusus.

1. Untuk mengetahui perbedaan kadar hormon estradiol antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache.

2. Untuk mengetahui perbedaan kadar hormon progesteron antara wanita penderita migren dengan wanita penderita

tension type headache.

3. Untuk mengetahui perbedaan kadar kolesterol total antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache.

4. Untuk mengetahui perbedaan kadar trigliserida antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache.

5. Untuk mengetahui perbedaan kadar HDL antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache.

6. Untuk mengetahui perbedaan kadar LDL antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache.

7. Untuk mengetahui perbedaan BMI (body mass index) antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache.


(28)

8. Untuk mengetahui hubungan antara BMI dan VAS (visual analog scale) dengan kadar hormon estradiol pada penderita migren dan tension type headache.

9. Untuk mengetahui hubungan antara BMI dan VAS dengan kadar hormon progesteron pada penderita migren dan tension type headache.

10. Untuk mengetahuihubungan kadar profil lipid dengan kadar hormon estradiol pada penderita migren dan tension type headache.

11. Untuk mengetahui hubungan kadar profil lipid dengan kadar hormon progesteron pada penderita migren dan tension type headache.

12. Untuk mengetahui hubungan fase menstruasi dengan kadar estradiol dan kadar progesteron pada penderita migren dan

tension type headache.

I.4. Hipotesis

Terdapat perbedaan kadar hormon seksual antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache.

I.5. Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui perbedaan kadar hormon seksual antara wanita penderita migren dengan wanita penderita tension type headache :

1.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara

keilmuan tentang pengaruh perubahan kadar hormon seksual terhadap

migren dan

tension type headache

pada wanita.


(29)

1.5.2. Manfaat penelitian untuk penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk

penelitian selanjutnya tentang pengaruh perubahan kadar hormon

seksual terhadap patofisiologi migren dan

tension type headache

pada

wanita.

1.5.3. Manfaat penelitian untuk masyarakat

Dengan mengetahui pengaruh perubahan kadar hormon seksual

terhadap migren dan

tension type headache

pada wanita dapat dijadikan

sebagai salah satu upaya pemilihan terapi yang tepat dan pencegahan

nyeri kepala.


(30)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1.Hormon Seksual Wanita II.1.1. Estrogen dan Progesteron

Estrogen adalah hormon steroid karbon 18 yang terdiri dari estron(E1), estradiol (E2), dan estriol (E3). Steroid secara biologis adalah derivat aktif dari kolesterol. Sintesis steroid pada manusia terjadi terutama di korteks adrenal dan gonad laki-laki dan perempuan. Kolesterol dalam korteks adrenal diubah menjadi pregnenolon dalam tiga langkah, melibatkan oksidasi komplek enzim P-450 pada sitokrom mitokondria . Steroid lainnya kemudian disintesis dari pregnenolon sebagai prekursor, reaksi hidroksilasi dan oksigenasi yang berbeda mengarah pada berbagai produk akhir steroid (Gambar 1). Persamaan dari semua steroid adalah gambaran struktur kimia yaitu inti tetracyclic (perhydrocyclopentanophe-

Nanthrene) (Craig,2005).

Estrogen yang paling poten adalah estradiol dan merupakan produk dari ovarium . Estron adalah produk utama dari konversi androstenedion. Estron juga dihasilkan di hati melalui konversi 17 β-hydroxysteroid dehydrogenase dari estradiol. Estriol adalah estrogen utama yang dibentuk oleh plasenta selama kehamilan . Kadar estradiol serum meningkat selama fase folikuler pada siklus menstruasi dan meningkat secara paralel pada pertumbuhan folikel. Estradiol terutama ditemukan terikat dalam aliran darah dengan protein pembawa. Albumin membawa sekitar 60 % dari estradiol, sedangkan globulin mengikat 38 % dari estradiol , dan 2 % sisanya bebas dalam aliran darah . Hormon ini bebas aktif dan mampu memasuki sel target (Beshay,2013).


(31)

Gambar 1. Jalur pembentukan Estrogen dan Progesteron

Dikutip dari: Craig MA, Beppler GA, Santos C, Raffa RB.(2005) A second (non genomic) steroid mechanism of action: possible opportunity for novel pharmacotherapy? Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics. 30:305-312

Kadar estradiol serum rendah selama awal fase mid-folikular (25-50 pg / mL), mencapai puncak selama akhir fase folikuler dan awal fase luteal (100-400 pg / mL), meningkat selama fase mid-luteal (200- 300 pg / mL), dan turun drastis ke tingkat 25-50 pg / mL sesaat sebelum menstruasi ( Martin,2006). Sekresi estrogen berasal dari korpus luteum. Estrogen terkonjugasi beredar dalam hati untuk membentuk sulfat dan glukuronida , 80 % diekskresikan dalam urin dan sisanya 20% di empedu (Beshay,2013).


(32)

Sama dengan estrogen, progesteron adalah hormon steroid. Progesteron adalah molekul karbon 21 dan merupakan steroid utama korpus luteum (Beshay,2013) . Tingkat progesteron serum sangat rendah selama fase folikuler (<1 ng / mL), puncaknya selama fase mid-luteal pada tingkat mulai dari 6- 10 ng / mL, dan kemudian turun drastis ke tingkat <2 ng / mL selama akhir fase luteal (Martin,2006). Mayoritas progesteron (80%) dalam aliran darah terikat albumin dan 18 % terikat dengan globulin. Sebagian kecil (0,5 %) terikat dengan serum hormone binding globulin (SHBG). Sisanya progesteron bebas dalam sirkulasi. Hati bertanggung jawab untuk membersihkan progesteron dari peredaran dengan mengubah progesteron menjadi pregnanediol, yang dikonjugasi dengan asam glukuronat dan diekskresikan dalam urin (Gambar2).

II.1.2. Reseptor Estrogen dan Progesteron

Ada dua reseptor estrogen yang dikenal yaitu reseptor estrogen alpha (ER -α) dan estrogen reseptor beta (ER - β). Kedua reseptor mengandung DNA-binding, hormone-binding. Estrogen akan masuk ke dalam sel, tapi hanya sel yang mengandung reseptor estrogen yang akan merespon. Reseptor ini biasanya berlokasi di inti, tetapi dapat shuttled ke

sitoplasma melalui proses yang disebut nucleocytoplasmic shuttling. Setelah estrogen mengikat reseptor, kemudian terjadi aktivasi transkripsi. Hal ini juga diketahui bahwa estradiol memiliki efek negatif-umpan balik pada sekresi

follicle stimulating hormone (FSH). Efek negatif-umpan balik ini adalah efek langsung dari estradiol digabungkan ke reseptor, menyebabkan represi FSH- β pada subunit transkripsi seperti yang terlihart di gambar 3 (Beshay,2013).


(33)

Fig 1.—Changes in serum estrogen and progesterone levels duringa nativemenstrual cycle.Day 1 is the first day of menses and day 27 is the last day before the next menstrual period. The follicular

phase includes all days prior to ovulation and the luteal phase includes all days after ovulation. The follicular and luteal phases can be divided into early, mid, and late time periods.

Gambar 2. Perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron selama siklus menstruasi.

Dikutip dari : Martin V.T, Behbehani M. 2006. Ovarian hormones and migraine headache: understanding mechanisms and pathogenesis — part I & part II. Headache. 46:3-23 & 365–386

Sama dengan estrogen, ada beberapa reseptor progesteron yaitu:

progesterone receptor-A (PR-A), progesterone receptor-B (PR-B) dan

progesterone receptor-C (PR-C). Progesterone receptor-B (PR-B) adalah regulator positif efek progesteron, sementara PR-A dan C antagonis dengan konsentrasi tinggi PR-B.Progesteron menghambat sekresi FSH dan luteinizing hormone (LH) melalui efek pada hipotalamus dan hipofisis. Kehadiran progesteron pada fase luteal juga menyebabkan penurunan produksi

gonadotropin releasing hormone (GnRH) di hipotalamus. Pada konsentrasi rendah, progesteron dapat merangsang pelepasan LH hanya setelah terpapar estrogen dan progesteron. Progesteron juga menyebabkan penipisan reseptor


(34)

estrogen, yang merupakan mekanisme perlindungan terhadap hiperplasia endometrium oleh progesterone (Beshay,2013).

A diagram showing the structure of the hormonal system in females.With the secretion of FSH and LH from the hypothalamus, the hormonal system is activated. The estrogen and progesterone secreted as a result of this causes a female to enter puberty.

Gambar 3. Struktur sistem hormonal pada wanita

Dikutip dari : Yahya H. 2003. The miracle of hormone. Goodword Books.New Delhi.


(35)

Reseptor steroid yang telah diidentifikasipada beberapa area otak yaitu : amigdala, hipokampus, korteks, basal forebrain, serebelum, locus coeruleus, midbrain raphe nuclei, sel glial,kelenjar pituitary, hipotalamus dan central gray matter (Genazzani,2000).

II.1.3. Mekanisme genomik

Steroid bersirkulasi dalam aliran darah dalam bentuk bebas dan berikatan dengan protein carrier. Pada target jaringan, steroid melewati membran secara difusi pasif atau transport aktif, dan pada bagian sitosol, streroid akan berikatan dengan reseptor spesifik (domain yang berikatan dengan heat shock protein (hsp), sehingga terjadi perubahan yang kompleks yaitu disosiasi hsp dan dimerisasi kompleks steroid reseptor. Dimerisasi steroid-reseptor ini akan memasuki nukleus sel, dan berinteraksi dengan bagian spesifik DNA yaitu HRE dan memicu transkripsi dari sekuensi DNA. Proses transkripsi mengakibatkan produksi mRNA dan menghasilkan genetik yang akan mengekspresikan suatu protein. Proses mekanisme ini disebut dengan mekanisme genomik dari steroid yang umumnya terjadi dalam beberapa jam. Proses trankripsi juga dapat terjadi melalui jalur alternatif/ tidak langsung, jika tidak terdapat ikatan reseptor dengan hormon steroid, yaitu dengan interaksi protein-protein yang dapat meningkatkan atau memblok efek faktor transkripsi lain yang berikatan dengan promoter DNA (Wierman,2007).

Melalui mekanisme genomik, gonadal steroid memodulasi sintesis, pelepasan, dan metabolisme kebanyakan neuropeptida dan neuroaktif transmitter dan ekspresi reseptornya. Diantara neurotransmitter yang diregulasi

oleh hormon steroid adalah noradrenalin, dopamin, γ aminobutyric acid (GABA), asetilkolin, serotonin dan melatonin. Neuropeptida yang secara langsung dimodulasi oleh hormon gonad adalah termask peptida opioid, GnRH,


(36)

coticotrophin releasing factor (CRF), neuropeptida Y (NPY) dan galanin (Wierman,2007).

II.1.4. Mekanisme non genomik

Selama lebih dari 6 dekade, diduga bahwa steroid juga memiliki efek yang cepat dan temporer (detik atau menit). Pada penelitian dengan spermatozoa manusia, ditemukan efek cepat dari estrogen dan progesteron, dimana pada DNA spermatozoa diketahui tidak terdapat proses transkripsi, kekurangan ribosom dan komponen selular lainnya yang penting dalam proses translasi. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa 17β- estradiol dapat meningkatkan motilitas sperma, dan progesteron mengakibatkan peningkatan level kalsium intraselular dan influks natrium serta klorida dalam hitungan detik. Efek yang diinduksi oleh steroid pada sel yang inaktif secara transkripsional ini disebut sebagai mekanisme non-genomik (Craig,2005).

Terdapat 2 mekanisme non-genomik sex steroid, yaitu dimediasi reseptor dan tidak dimediasi reseptor. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Shivaji dan Jagannadham (Cit.Craig et al,2005) yang menggunakan fluorescence spectroscopy untuk menentukan efek progesteron, 17α -hydroxyprogesterone, testosteron dan estradiol pada membran vesikel sintetik dan native spermatozoa, dimana dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa progesteron berperan dalam penurunan cairan membran vesikel, menginduksi agregasi dan fusi membran vesikel, dan mengakibatkan membran menjadi permeabel terhadap molekul yang hidrofilik (Craig,2005).

Sedangkan untuk efek non genomik yang dimediasi oleh reseptor, terdapat 2 kemungkinan yaitu:

1. Reseptor non-genomik yang memiliki tipe/struktur yang mirip dengan reseptor intraseluler klasik (nuklear), tetapi pada lokasi yang berbeda.


(37)

Ikatan dengan reseptor non-genomik ini mengakibatkan transduksi sinyal melalui protein G, caveolin dan reseptor tirosin kinase.

2. Reseptor non genomik yang berbeda dengan reseptor nuklear. Protein membran reseptor ini banyak ditemukan pada fraksi membran plasma neuronal dan berespon terhadap analog nukleosida guanidin nonhidrolisa, yang diduga merupakan G-protein coupled receptor (GPCR). Untuk estrogen, protein membran reseptor yang memediasi efek non genomik adalah GPCR 30 (Craig,2005).

Gambar 4. Mekanisme Genomik dan Non genomik

Dikutip dari: Wierman ME. (2007) Sex steroid effect at target tissues : mechanisms of action. Adv Physiol Educ. 31: 26-33

Efek non genomik yang dimediasi melalui ikatan dengan reseptor pada membran sel ini hanya ditemukan 2 % dari keseluruhan reseptor sex steroid, tetapi ikatan ini dapat mempengaruhi proses fisiologi dan ikatan ini tidak sensitif


(38)

dengan ada atau tidaknya antagonis seperti halnya reseptor nuklear sex steroid

(Wierman,2007).

II.1.5. Efek sentral sex steroid

Efek non genomik dari sex steroid telah diteliti secara ekstensif pada beberapa dekade belakangan ini. Pada awalnya, modulasi non-genomik oleh steroid pada SSP ditemukan pada sejumlah observasi dari steroid yang menginduksi perubahan aktivitas neuronal untuk menginduksi efek anestesi, sedatif/hipnotik dan antikonvulsan, dimana efek ini ditemukan terjadi secara cepat dan tidak dimediasi oleh banyaknya reseptor intraselular. Terdapat 3 mekanisme berbeda yang telah teridentifikasi dimana steroid dapat memodulasi SSP secara non genomik yaitu:

1. Modulasi ikatan reseptor dengan first messenger system, seperti membebaskan ikatan reseptor µ-opioid dan γ-aminobutiric acidB(GABAB) dari sistem efektornya sehingga terjadi peningkatan eksitabilitas neuron.

2. Mengubah konduktansi saluran ion dengan modulasi allosterik, seperti peningkatan pembukaan reseptor neuroinhibitorik GABAA sehingga

terjadi penurunan eksitabilitas neuron.

3. Peningkatan eksitabilitas neuronal setelah paparan akut.

Batang otak khususnya periaquadutal grey (PAG) yag terlibat pada serangan migen memiliki reseptor estrogen (ER) dengan densitas yang tinggi dan merupakan pusat antinosiseptif pada otak, sehingga diduga bahwa aktivitas batang otak yang abnormal dapat dimodulasi melalui ER yang berlokasi di PAG (Gupta,2007).

Fungsi sentral dari reseptor nuklear hormon seksual ini belum dapat diidentifikasi dengan jelas, tetapi diduga dapat merubah ekspresi reseptor dan


(39)

memiliki implikasi dalam pelepasan dan sintesis sejumlah neurotransmitter dan hormon, seperti calcitonin gene related protein (CGRP) yang merupakan fasilitator transmisi nyeri, galanin yang merupakan modulator gonadotropin releasing hormone (GnRH), neuropeptida Y yang merupakan regulator inflamasi dan nosiseptif sentral, neurotransmitter glutamat serta serotonin yang telah dilaporkan dimodulasi secara genomik oleh sex steroid (Gupta,2007).

Efek genomik estrogen ditemukan dapat dimediasi oleh extracellular signal regulated kinase melalui peningkatan fosforilasi cyclic adenosine monophosphate (cAMP) response element binding protein (CREB) dan/atau modulasi enzim yang terlibat dalam sintesis dan metabolisme neuro-hormon dan/atau neuropeptida. Reseptor progesteron sering ditemukan pada lokasi yang sama dengan ER, dan diduga bahwa keberadaan estrogen diperlukan dalam ekspresi PR pada beberapa area di otak. Yang menarik adalah progesteron dapat menjadi sinergis, antagonist, atau netral terhadap efek estrogen (Gupta,2007).

II.1.6. Efek vaskular sex steroid

Selain efek sentral, hormon steroid mampu menginduksi efek non genomik untuk meregulasi vasomotion yang terjadi secara cepat sehingga sulit dijelaskan melalui perubahan ekspresi gen. Hormon sex steroid telah dilaporkan memiliki efek protektif kardiovascular dan salah satu peranannya yang paling penting adalah inhibisi tonus vaskular. Sejumlah bukti menunjukkan efek vasodilatasi ditimbulkan oleh estrogen dalam sel vaskular. Begitu juga dengan progesteron baik yang natural maupun sintetik seperti progestin juga dilaporkan dapat menginduksi efek vasodilatasi (Gupta,2007).

Telah dilaporkan bahwa 17β-estradiol dapat menginduksi vasodilatasi baik secara genomik maupun non genomik melalui produksi faktor vasodilator


(40)

seperti nitric oxide (NO), cyclic guanosine monophosphate (cGMP), cAMP, adenosine dan prostasiklin, perubahan ekspresi reseptor dari faktor vasodilator dan perubahan aktivitas saluran ion (Gupta,2007).

Beberapa penelitian telah menemukan peranan modulator steroid pada fungsi saluran ion, dimana diduga terdapat 2 mekanisme utama terjadinya vasodilatasi yang diinduksi oleh hormon steroid yaitu : kontrol hemoestasis Ca2+, termasuk modulasi masuknya Ca2+ melalui inaktivasi voltage gated channels dan nonvoltage gated pathways, dan aktivasi K+ channels terutama melalui konduktansi Ca2+ yang besar mengaktivasi big potassium (K+) channel (BKCa) (Gupta,2007).

Arteri pada pria ditemukan cenderung lebih konstriksi dibandingkan wanita, sehingga diduga bahwa pengaruh paparan estrogen atau testosteron yang kronik yang menyebabkan perubahan reaktivitas arteri serebral yang berbeda, seperti yang ditemukan pada penelitian in vivo (Krause,2006).

Seperti pada beberapa penelitian binatang yang menemukan bahwa aktivasi ER menstimulasi ekspresi gen eNOS dan juga menstimulasi pathway

non genomik ER pada pembuluh darah serebral yaitu aktivasi sinyal

phosphoinositide 3 kinase – Akt yang menyebabkan fosforilasi eNOS pada serin. Fosforilasi eNOS akan meningkatkan aktivasi enzim dan menyebabkan enzim menjadi lebih sensitif untuk distimulasi oleh kalsium. Aktivasi eNOS diduga terjadi didalam kompleks caveolar membran pada pembuluh darah serebral yang mengandung ER-α. Estrogen mempengaruhi protein lainnya dalam kompleks tersebut, seperti caveolin-1 yang merupakan protein rangka endothelial, dimana ikatan protein ini dengan eNOS akan meninhibisi aktivitas tersebut. Penurunan caveolin-1 yang diinduksi oleh estrogen ini berkorelasi dengan peningkatan aktivitas eNOS. Estrogen juga meningkatkan ekspresi


(41)

memodulasi eNOS. Progestin seperti progesteron dan medroxyprogesterone

tidak ditemukan mempengaruhi level protein eNOS pada pembuluh darah serebral (Krause,2006).

II.2.Migren II.2.1.Definisi

Migren adalah sindroma neurovaskular yang dikarateristikkan dengan nyeri kepala yang berdenyut, unilateral, intensitas sedang hingga berat, yang berlangsung 4-72 jam dan disertai anoreksia, nausea, muntah, fotofobia dan /atau fonofobia (Kelompok studi nyeri kepala PERDOSSI,2013).

Migren berasal dari bahasa Yunani yaitu hemicrania yang diciptakan oleh bangsa Galen (131-201 sesudah Masehi) untuk menggambarkan nyeri kepala yang unilateral, dan kemudian istilah hemicrania ini ditransformasikan kedalam bahasa Inggris kuno yaitu migrim dan bahasa perancis yaitu migraine, yang digunakan hingga saat ini (Sjahrir,2008).

II.2.2.Epidemiologi

Estimasi prevalensi migren dari berbagai penelitian ditemukan memiliki variasi yang besar, yaitu berkisar antara 3% - 22%, dengan estimasi prevalensi 1 tahun migren pada dewasa adalah 10%-12% dengan 6% laki-laki dan 15%-18% wanita (Silberstein,2005). Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta pada kelompok usia 16- 30 tahun, ditemukan prevalensi migren sebesar 45,3% yang terdiri dari 53,5% wanita dan 35,8% pria (Sjahrir,2008). Perbedaan estimasi ini dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras, geografi, status sosio-ekonomi, definisi yang digunakan dan metode penelitian (Gupta,2007; Silberstein,2005).

Pada penelitian population based yang besar, ditemukan 64% pasien dengan migren tanpa aura, 18% migren dengan aura dan 13% memiliki kedua


(42)

tipe migren (dengan dan tanpa aura). Berdasarkan penelitian multisenter berbasis rumah sakit (RS) pada 5 rumah sakit besar di Indonesia (Medan, Bandung, Makasar,Denpasar) didapatkan prevalensi migren tanpa aura adalah 10 % dan migren dengan aura adalah 1,8% (Sjahrir,2008).

Dari data epidemiologis diketahui bahwa nyeri kepala lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria. Perbedaan ini jelas terlihat pada migren, dimana prevalensi migren meningkat hingga 2 kali lipat pada wanita. Prevalensi migren ditemukan tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin sebelum remaja, tetapi peningkatan prevalensi yang signifikan pada wanita dibandingkan pria terlihat setelah menarche, sehingga terdapat hipotesa bahwa hormon seksual wanita memiliki peranan pada patofisiologi migren (Karli,2012).

II.2.3. Klasifikasi (Kelompok studi nyeri kepala PERDOSSI,2013) 1.Migren tanpa aura

2.Migren dengan aura

2.1.Nyeri kepala Migren dengan aura tipikal 2.2.Nyeri kepala non migren dengan aura tipikal 2.3.Aura tipikal tanpa nyeri kepala

2.4.Familial hemiplegik migren (FHM) 2.5. Sporadik hemiplegik migren 2.6. Migren tipe basiler

3.Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekusor migren 3.1.Cyclical vomiting

3.2.Migren abdominal

3.3.Benigna paroksismal vertigo pada anak 4.Migren retinal


(43)

5.1.Migren kronik 5.2.Status migrenosus

5.3.Aura persisten tanpa infark 5.4.Migrenous infark

5.5.Migraine triggered seizure 6.Probable migren

6.1. Probable migrentanpa aura 6.2. Probable migren dengan aura 6.3. Probable migren kronik

II.2.4.Patofisiologi

Pada penderita migren, di samping terdapat nyeri intrakranial juga disertai peninggian sensitivitas kulit, sehingga patofisiologi migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat di pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi sel saraf sentral terutama pada sistem trigeminal yang memproses informasi yang berasal dari struktur intrakranial dan kulit (Sjahrir,2008).

Pada serangan migren akan terjadi fenomena pain pathway daripada sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor N-methyl-D aspartate (NMDA), yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktiasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradikinin, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzim NOS. Proses tersebut menyebabkan adanya penyebaran nyeri, allodinia dan hiperalgesia pada penderita migren (Sjahrir,2008).

Telah banyak studi dilakukan dan juga banyak teori mulai diungkapkan bagaimana mekanisme patofisiologi migren dan dihubungkan dengan hasil penelitian fungsional imaging maupun struktural otak terhadap fase iktal


(44)

maupun interiktal migren yang kemudian akan berdampak terhadap perkembangan farmakologi dan pengobatannya (Sjahrir,2008).

Konsep dasar patogenesis migren terkini meliputi:

1. Hipereksibilitas neuronal saat fase interiktal dan fase pre headache.

Penderita migren yang sedang tidak mendapatkan serangan migren dalam keadaan neuronal ditemukan hipereksibilitas pada korteks serebri terutama pada korteks oksipital (interictal neuronal irritability). Keadaan ini berlanjut menjadi proses cortical spreading depression (CSD) dan akan timbul aura (Sjahrir,2008).

Pada penelitian dengan menggunakan spectroscopy,menemukan kadar magnesium yang rendah pada regio posterior otak pada migren hemiplegik. Defisiensi magnesium ini berhubungan dengan pelepasan neurotransmitter glutamat yang akan mengaktivasi NMDA reseptor sehingga Ca2+ influks ke dalam sel. Sehingga disimpulkan bahwa kadar Mg yang rendah adalah sebagai dasar mekanisme eksitabilitas neuron (Sjahrir,2008).

2. Cortical spreading depression (CSD) sebagai dasar timbulnya aura.

Basis neurokimiawi CSD adalah lepasnya kalium atau glutamat

(excitatory amino acid) dari jaringan neural yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi dan pelepasan lebih banyak neurotransmitter yang akan mencetuskan spreading depression, yang akan mengakibatkan terjadinya aura pada migren. Pada penelitian dengan positron emission tomography (PET), ditemukan bilateral hipoperfusi yang dimulai dari area oksipital dan meluas pelan-pelan ke anterior seperti gelombang (spreading oligemia) serta menyebrang korteks dengan kecepatan 2-3 mm/menit. Hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian diikuti proses hiperemia di dalam duramater, edema neurogenik di dalam meningens dan aktivasi neuronal di dalam nukleus trigeminal kaudalis ipsilateral (Sjahrir,2008).


(45)

Cortical spreading depression ditemukan pada permukaan otak, dimana terjadi difusi H+ dan K+ ke piamater dan mengaktifkan nosiseptor meningeal C-fiber. Hal ini mengakibatkan pelepasan neurokimiawi proinflamasi dan ekstravasasi plasma darah akibat perubahan permeabilitas blood brain barrier (BBB) melalui aktivasi matrix metalloproteinase (MMP), sehingga timbul inflamasi neurogenik steril pada trigeminovaskular kompleks. Pengaktifan sistem trigeminal akan mengakibatkan dilatasi pembuluh darah dan terjadinya nyeri kepala yang berdenyut (Sjahrir,2008).

3. Aktivasi perifer nervus trigeminal

Inflamasi neurogenik steril berperan terhadap terjadinya sensitisasi pada migren. Aktivasi nervus trigeminal yang mempersarafi pembuluh darah intrakranial ini mengakibatkan pelepasan substansi P dan calcitonin gene related protein (CGRP), juga ditemukan komponen inflamasi yang dilepaskan dari duramater seperti ion potasium, proton, histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin E2 di pembuluh darah serebral dan nosiseptor meningeal trigeminal. Awal dari proses aktivasi perifer ini meliputi CSD atau disfungsi autonomik dengan aktivitas parasimpatik berlebihan. Pada fase ini ditemukan dismodulasi sensorik, dimana aktivitas aferen normal diterima mispersepsi dan berlebihan akibat disfungsi di batang otak, sehingga mengakibatkan pelepasan sensorik yang berlebihan di talamus (Sjahrir,2008).

4. Aktivitas sentral nervus trigeminal

Sensitisasi sentral dihubungkan dengan eksitabilitas neuronal abnormal pada nukleus trigeminal kaudalis, dimana ekspresi Fos di dalam nukleus trigeminal ditemukan setelah terjadi inflamasi pada reseptor C-fiber di meningeal, dan perluasan rangsangan berikutnya dari nervus trigeminalis ditemukan sebagai kosekuensi dari sensitisasi perifer yang mengakibatkan hipereksitabilitas neuronal ini (Sjahrir,2008).


(46)

Hipotesa dari beberapa riset yang tervalidas adalah bahwa neuron sensorik meningeal memperlihatkan kemosensitivitas dan sensitisasi. Kemosensitivitas merupakan proses suatu neuron yang insensitif terhadap stimulus tertentu dalam keadaan resting state menjadi lebih sensitif terhadap stimulus akibat gangguan kimiawi. Sensitisasi adalah proses dimana stimulus yang diperlukan untuk menghasilkan suatu respon berkurang dari waktu ke waktu, sedangkan amplitudo dari respon bagi stimulus yang diberikan akan meningkat (Sjahrir,2008).

Aktivitas pada neuron presinaptik C-fiber mengakibatkan pelepasan transmitter neuromodulator yang beraksi pada metabotropik dan reseptor tirosin kinase pada neuron kornu dorsalis untuk memulai berbagai isyarat kaskade transduksi yang berpusat pada NMDA post sinaptik dan reseptor AMPA, sehingga memulai sensitisasi sentral (Sjahrir,2008).

5. Lesi kerusakan progresif periaquaductal gray matter (PAG)

Periaquaductal gray matter (PAG) merupakan area yang penting dalam mengendalikan nyeri dan berperan dalam produksi endogenous analgesia yang mengontrol sistem nosiseptif trigeminovaskular. Penelitian dengan PET, menemukan pengaktifan ventrolateral kaudal midbrain yang mencakup ventrolateral PAG selama serangan migren, yang mengindikasikan bahwa PAG terlibat pada proses nyeri craniovascular trigeminally evoked. Area ini ditemukan progresif terganggu akibat migren yang berulang, dan diduga sebagai konsekuensi dari sensitisasi sentral (Sjahrir,2008).

Regulasi CGRP dan reseptor CGRP ditemukan meningkat pada ganglion trigeminal akibat perubahan metabolik pada lingkungan intraganglionik, seperti peningkatan level produksi nitric oxide (NO).

Peningkatan produksi CGRP, yang mengakibatkan aktivasi dan sekresi sel mast pada duramater kranial, diikuti dengan pro-inflamasi. Proses nosiseptif


(47)

periferal dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas aferen intrakranial dan bersama dengan peningkatan NO pada sentral yang memediasi pelepasan CGRP akan memfasilitasi aktifitas sinaptik pada nukleus trigeminal. Jika pada saat bersamaan inhibisi descending lemah akibat disfungsi Ca2+ channel pada PAG, mengakibatkan inhibisi pada input nosiseptif menjadi berkurang sehingga terjadi migren (Messlinger, 2009).

6. Dasar genetik

Salah satu yang paling utama dari patofisiologi migren adalah sifat faktor keturunan. Familial hemiplegic migraine yang terdapat defek genetik cenderung memiliki nilai ambang CSD yang rendah. Abnormalitas pada Ca2+ dan Na+ channel telah dilaporkan pada beberapa kasus FHM dengan mutasi pada gen CACNA1A pada kromosom 19 (Cav 2.1, subunit P/Q-type, voltage gated Ca2+ channel ), dimana mutasi gen ini mengakibatkan peningkatan fungsi Ca2+ channel sehingga terjadi influks Ca2+ yang diikuti dengan pelepasan transmitter glutamate. Hal ini mengakibatkan terjadinya eksitabilitas neuronal sehingga menurunkan nilai ambang CSD (Sjahrir,2008; Galleti,2007).

Mutasi pada gen ATP1A2 yang mengkode α2 subunit Na+

/K+ pump dan gen SCN1A yang mengaktivasi neuronal voltage gated Na+ channel secara cepat, mengakibatkan fungsi pompa untuk mempertahankan sodium dari sel dan memelihara kadar sodium yang tinggi untuk memandu glutamat transporter

menjadi terganggu. Konsentrasi glutamat ekstraselular yang tinggi akibat berkurangnya atau hilangnya ambilan glutamat mengakibatkan penurunan ambang CSD (Sjahrir,2008 ; Galleti,2007).


(48)

II.3. Tension Type Headache II.3.1. Definisi

Tension-type headache adalah nyeri kepala yang biasanya digambarkan sebagai nyeri kepala bilateral seperti ditekan atau diikat, dengan intensitas ringan sampai sedang, dengan fotofobia atau fonofobia tapi tidak keduanya (Kelompok studi nyeri kepala PERDOSSI,2013).

II.3.2.Epidemiologi

Nyeri kepala tipe tegang atau tension type headache (TTH) adalah gangguan nyeri kepala primer yang paling sering terjadi , dengan prevalensi di seluruh dunia adalah 42%. Kebanyakan orang mengalami TTH sepanjang hidupnya, dengan prevalensi 69% pada pria dan 88% pada wanita. Periode rata-rata onset TTH adalah selama dekade ketiga, dengan rasio antara pria dan wanita pada hakikatnya tidak jauh berbeda pada survei di seluruh dunia, mulai dari 1:1,05 sampai 1:1,95 dengan rata-rata 1,30. Survei pada anak-anak tidak menemukan perbedaan jenis kelamin pada anak-anak prapubertas dan didominasi oleh wanita mulai pada masa remaja. Oleh karena itu, tampaknya mungkin bahwa hormon seks terlibat dalam TTH (Lieba,2011).

II.3.3.Klasifikasi

Nyeri kepala tipe tegang atau tension type headache diklasifikasikan sebagai berikut: (Kelompok studi nyeri kepala PERDOSSI,2013).

1. Infrequent episodic tension type headache.

1.1. Infrequent episodic tension type headache associated with pericranial tenderness.

1.2. Infrequent episodic tension type headache not association with pericranial tenderness.


(49)

2. Frequent episodic tension type headache

2.1. Frequent episodic tension type headache associated with pericranial tenderness.

2.2. Frequent episodic tension type headache not association with pericranial tenderness.

3. Chronic tension type headache

3.1. Chronic tension type headache associated with pericranial tenderness.

3.2. Chronic tension type headache not associated with pericranial tenderness.

4. Probable tension type headache.

4.1. Probable infrequent episodic tension type headache. 4.2. Probable frequent episodic tension type headache. 4.3. Probable chronic tension type headache.

II.3.4.Patofisiologi

Pada penderita tension type headache didapati gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan yang bertambah pada palpasi jaringan miofascial perikranial. Impuls nosiseptif dari otot perikranial yang menjalar ke kepala mengakibatkan timbulnya nyeri kepala dan nyeri yang bertambah pada daerah otot maupun tendon tempat insersinya. Mekanisme timbulnya nyeri miofascial dan nyeri tekan adalah disebabkan:

1. Sensitisasi nosiseptor miofascial perifer.

2. Sensitisasi neuron-neuron ke-2 pada level kornu dorsalis medula spinalis/ nukleus trigeminal.

3. Sensitisasi neuron supraspinal (hipersensitivitas supraspinal terhadap stimulus nosiseptif).


(1)

LAMPIRAN 2

SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian yang berjudul, “ PERBEDAAN KADAR HORMON SEKSUAL ANTARA WANITA PENDERITA MIGREN DENGAN WANITA PENDERITA TENSION TYPE HEADACHE dan setelah mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai gejala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut, maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan saya ikut dalam penelitian tersebut.

Medan, 2014


(2)

LAMPIRAN 3

LEMBAR PENGUMPULAN DATA PENELITIAN

I. Karakteristik Responden

1. Nama : 2. Umur : 3. Alamat : 4. Suku Bangsa :

5. Pendidikan : SD SLTP SLTA Akademi Perguruan Tinggi

6.Pekerjaan : Wiraswasta Pegawai Negri Pegawai Swasta Ibu Rumah Tangga Pelajar / Mahasiswa Lain-lain

7.Bahasa yang biasa dipergunakan :

Bahasa Indonesia : Ya Tidak

8.Status Perkawinan : Belum Menikah Menikah Duda/Janda

II. Pemeriksaan Umum

Sensorium :

Tekanan Darah : mmHg Nadi : x/i

RR : x/i Temp : ◦C Kadar eatradiol :


(3)

Lipid Profile : Kolesterol Total : Trigliserida :

HDL :

LDL :

VAS :

BB :

TB :

BMI :

HPHT :

III. Riwayat Penyakit

Diabetes : Ya Tidak Hipertensi : Ya Tidak Stroke : Ya Tidak Penyakit Jantung : Ya Tidak Penyakit Kandungan : Ya Tidak

IV. Keadaan sekarang :

Menstruasi : Ya Tidak Mengkonsumsi pil KB : Ya Tidak Hamil : Ya Tidak Menyusui : Ya Tidak Menopause : Ya Tidak Konsumsi alkohol : Ya Tidak Merokok : Ya Tidak


(4)

LAMPIRAN 4

Pertanyaan yang termasuk dalam kuesioner sesuai dengan IHS Classification (Kuesioner yang diadaptasi dari HO K-H & Ong BK-C)

1. Apakah anda pernah menderita sakit kepala : a. Ya b. Tidak 2. Apakah anda menderita sakit kepala hari ini : a. Ya b. Tidak 3. Pertama kali timbul pada umur berapa : . . . tahun

4. Sejak itu (pertama kali timbul sakit kepala) sudah berapa kali mengalami sakit

kepala : a. 1 – 4 kali b. 5 – 9 kali c. > 10 kali 5. Berapa hari sakit kepala timbul selama satu tahun lalu : . .. ....hari/ tahun

a. < 180 hari ( <14 hari/ bulan) b. 180 hari (> 15 hari/ bulan) 6. Berapa lama nyeri kepala timbul :

a. Beberapa detik b. < 30 menit c. 30 menit - 24 iam d. 24 jam - 72 iam e. > 72 iam

7. Dimana lokasi nyeri kepala :

a. Leher dan tengkuk (occipital). b. Bitemporal c. Bifrontal. d. Sebelah kepala. e. Seluruh kepala/puncak kepala. 8. Bagaimana sifat nyeri :

a. Berdenyut b. Diikat / berat c. Tajam / tikam / tusuk jarum. 9. Selama serangan nyeri kepala apakah anda mengalami :

a. Mual b. Muntah c. Phonopobia d. Photopobia e.Tidak ada

10. Yang sering menimbulkan nyeri kepala .

Emosi Ya Tidak

Keletihan fisik Ya Tidak

Kurang tidur Ya Tidak

Perubahan lingkungan (cahaya, temperatur, bau, debu) Ya Tidak Prementruasi / menstruasi (haid) Ya Tidak


(5)

Dan lain-lain ... Ya Tidak 1 1. Apakah nyeri bertambah berat bila :

Aktifitas fisik Ya Tidak

Menaiki tangga Ya Tidak

12. Bagaimana derajat nyeri kepala :

a. Ringan : Nyeri kepala tidak mengganggu aktifitas sehari-hari b. Sedang : Nyeri kepala mengganggu aktifitas sehari-hari (masih

bekerja tapi terganggu)

c. Berat : Nyeri kepala dan perlu istirahat (tidak dapat bekerja) 13. Pada.saat nyeri kepala timbul apakah ada tanda

muncul serangan sesaat berupa :

Kilatan cahaya / bintik buta (blind spot) / garis berwarna

pada penglihatan Ya Tidak

Vertigo (rasa berputar) dan / atau

pandangan ganda Ya Tidak

Kelemahan / kebas sebelah badan atau muka Ya Tidak

dan lain-lain Ya Tidak

Sebutkan


(6)

LAMPIRAN 5

Skala verbal derajat keparahan nyeri kepala (menurut International Headache Society)

Derajat

0 : no headache, normal tidak ada nyeri kepala

1 : mild headache, nyeri kepala ringan : dapat melakukan pekerjaan sehari-hari.

2 : moderate headache, nyeri kepala sedang : aktifitas terganggu tetapi tidak sampai menghalangi kegiatan aktifitas normal sehari-hari (tidak membutuhkan istirahat)

3 : severe headache, nyeri kepala berat : tidak dapat melakukan/ meneruskan aktifitas normal sehari-harinya (memerlukan istirahat tidur,kalau perlu rawat inap di rumah sakit)