Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia

  Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia

M. YUDHIKA ELRIFI

  Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis & Perbankan Yogyakarta

HARDO BASUKI

  Universitas Gadjah Mada Abstract

  This research investigated studied the impact of competing accountability requirement in public setor organization, especially for Non Govermental Organization (NGO). Its provided empirical evidence on the impact factors determined the competing accountability requirement of work performance NGOs accountability actor in Indonesia. The objectives of research is to identify different types of accountability requirements with quantitative data and to determine that the competing pressures of accountability affect NGO’s perceived work performance. The results showed that work performance NGO’s accountability actor in Indonesia partly influenced by a negative perceived work context that is workload and job tension.

  

Keywords: competing accountability requirement, competing

accountability, NGO, work performance

  Abstrak

  Penelitian ini menginvestigasi pengaruh competing accountability requirement di organisasi sektor publik, khususnya Non Govermental Organization (NGO). Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja aktor akutabilitas NGO di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan tipe keharusan akuntabilitas dengan data kuantitatif dan untuk menentukan apakah tekanan keharusan akuntabilitas mempengaruhi kinerja kerja karyawan NGO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO secara sebagian dipengaruhi oleh konteks kerja persepsian negatif berupa beban kerja dan tekanan kerja.

  

Kata Kunci: competing accountability requirement, keharusan

  akuntabilitas, NGO, kinerja kerja

1. Latar Belakang Penelitian

  Tumbuh dan menjamurnya NGO di Indonesia pada era reformasi merupakan fenomena yang menarik dan menggembirakan bagi perkembangan organisasi sektor publik di Indonesia selain organisasi pemerintahan. Dengan terus bertambahnya jumlah NGO, maka diharapkan organisasi sektor publik dapat berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat.

  Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan penyimpangan sebagian NGO telah menodai reputasi NGO lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi NGO yang mengandalkan kepercayaan publik dalam menjalankan program dan organisasinya. Hasil dari beberapa penelitian melaporkan adanya berbagai penyelewangan dan skandal yang juga menimpa NGO di Amerika dan internasional dalam pengelolaan dana masyarakat, kesejahteraan, dan jasa pelayanan masyarakat (Gibelman dan Gelman, 2001). Dixon dkk. (2006) meneliti akuntabilitas penyaluran dana bergulir oleh NGO lokal untuk memberdayakan kaum miskin di Zambia yang awalnya sukses namun karena membuka cabang dan lemah pengawasan sehingga terjadi manipulasi data atau data fiktif yang merugikan masyarakat.

  Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persoalan tata kelola yang baik (good governance) dalam organisasi NGO merupakan hal yang sangat penting dan perlu untuk diterapkan. Dengan diimplementasikannnya tata kelola yang baik, maka diharapkan dapat mewujudkan adanya akuntabilitas dan kinerja NGO yang juga lebih baik. Tidak hanya lembaga pemerintah dan sektor bisnis saja yang dituntut agar mampu menerapkan good goverment dan good corporate governance, organisasi non pemerintah seperti NGO juga perlu menerapkan prinsip good non- govermental organization sebagai wujud dari akuntabilitas dan pelaporan kinerjanya.

  Pembahasan mengenai akuntabilitas NGO, telah ditingkatkan secara intensif dalam beberapa tahun terakhir. NGO berusaha untuk menyeimbangkan kinerja terhadap berbagai tuntutan dari forum dan sering bertentangan untuk akuntabilitas (Kim dan Lee, 2009). Penekanan akan pentingnya akuntabilitas mungkin memiliki beberapa manfaat dalam memperkuat kepercayaan lembaga donor dan memastikan keberlanjutan bantuan pendanaan dari mereka. Namun, adanya competing accountability requirement dan beragamnya keharusan akuntabilitas tersebut menjadi tantangan manajerial yang signifikan dalam pencapaian misi organisasi. Selanjutnya, harapan yang beragam antara berbagai pemangku kepentingan terhadap akuntabilitas NGO dapat menghambat pendirian standar tunggal dan menyebabkan tekanan dan permasalahan managemen

  (Brown, Moore, & Honan, 2001; Greenlee, 1998; Kanter & Summers, 1987), serta mempengaruhi outcome kinerja (Dicke, 2002).

  Tidak adanya standar efektivitas penting menyisakan pertanyaan sentral terhadap akuntabilitas: Manakah jenis kebutuhan akuntabilitas yang harus didahulukan dari pada yang lain? Apa yang dapat atau harus dilakukan oleh pimpinan NGO ketika dihadapkan dengan arah yang tidak sesuai dengan mandat organisasi atau preferensi publik? (Kim & Lee, 2009). Competing accountability requirement telah diuji secara intensif di organisasi sektor publik (misalnya, Fredericksen & Levin, 2004; Johnston & Romzek, 1999; Koppell, 2005; Radin, 2002; Romzek & Dubnick, 1987) dan secara khusus di NGO (Christensen & Ebrahim, 2006; Ebrahim, 2003; Kearns, 1994; Rubin, 1990). Studi-studi tersebut menyatakan bahwa tekanan akuntabilitas meninggalkan beberapa kerapuhan akuntabilitas, yang dapat mengakibatkan kegagalan pencapaian misi organisasi.

  Pada penelitian ini competing accountability requirement didefinisikan sebagai kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Dalam konteks organisasi di sektor nirlaba, Kim & Lee (2009) mengemukakan bahwa kinerja dapat didefinisikan sebagai pemenuhan misi organisasi.

2. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

2.1. Akuntabilitas dan Competing Accountability Requirement

  Akuntabilitas NGO, menurut Ebrahim (2003), adalah suatu proses di mana NGO menggangap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Secara operasional, akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). NGO bertanggung jawab atas semua nilai-nilai yang dianutnya, apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya, kepada semua stakeholder (individu atau kelompok sasaran, lembaga donor, sesama NGO, pemerintah dan masyarakat luas). Yang dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang dicapai, keterampilan dan keahlian yang dikembangkan, dll. Cara mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan transparan, mudah diperoleh dan dijangkau oleh masyarakat.

  Berdasarkan definisi, maka akuntabilitas melingkupi berbagai tipe hubungan dan melayani berbagai kepentingan. Institusi publik diharuskan mempertanggungjawabkan perilaku mereka untuk berbagai tipe forum dalam berbagai cara. Usaha untuk menyeimbangkan akuntabilitas berdasarkan tipe forum dalam berbagai cara menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan Kim & Lee, 2009). Usaha menyeimbangkan akuntabilitas menjadi isu kritis karena dapat menyebabkan kerapuhan akuntabilitas yang mungkin berdampak pada kegagalan pencapaian nilai dan menyebabkan disfungsional akuntabilitas yang berakibat pada stagnansi pencapaian pelayanan dan perubahan organisasi (Kim & Lee, 2009). Penelitian-penelitian di atas mengindikasikan keharusan pencapaiaan berbagai tipe akuntabilitas yang menyebabkan tekanan dan mempengaruhi kinerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).

  

2.2. Akuntabilitas Hirarkikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan

Kerja Persepsian

  Hubungan akuntabilitas adalah berdasarkan pada supervisi ketat individu dengan otonomi kerja yang rendah dan kontrol internal. Aktor Akuntabilitas dengan derajat otonomi yang rendah diharuskan mencapai ekspektasi supervisor melalui beragam aturan organisasi dan regulasi, arahan langsung, dan standar kinerja (Kim & Lee, 2009). Hubungan yang mendasari adalah supervisor-subordinat, supervisi langsung dan reviu secara periodik merupakan manifestasi nyata dari akuntabilitas hirarkikal (Romzek & Ingraham, 2000). Evaluasi kinerja individu cenderung bersifat detail dan standar evaluasinya adalah apakah individu berkinerja seperti yang diharuskan. Tekanan akuntabilitas hirarkikal dapat menyebabkan subordinat meluangkan lebih banyak waktu untuk mencapai ekspektasi supervisor dan meninggalkan tugas utama dalam organisasi (Kim & Lee, 2009). Selain itu, derajat otonomi yang rendah mengakibatkan subordinat tidak memiliki kekuatan pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas tugasnya (Hansen & Host, 2012) sehingga berdampak pada pengabaian tugas utamanya. Kondisi ini telah menimbulkan dilema etis yang menyebabkan tekanan kerja terhadap aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

  

Hipotesis 1a: Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif

terhadap tekanan kerja.

Hipotesis 1b: Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif

terhadap beban kerja.

  

2.3. Akuntabilitas Legal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja

Persepsian

  Akuntabilitas legal tidak mempertimbangkan pengetahuan dan kecakapan aktor akuntabilitas yang menyebabkan bertambahnya beban kerja persepsian karena aktor akuntabilitas harus mencapai ekspektasi eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan aktor akuntabilitas dan kebutuhan institusi (Romzek & Ingraham, 2000).

  Tekanan terhadap akuntabilitas legal dapat mempengaruhi kinerja kerja persepsian dalam dua cara. Pertama, akan meningkatkan beban kerja persepsian karena pemenuhan kewajiban kontrak selalu menghasilkan dokumen yang cukup banyak dan persyaratan dokumentasi yang berlebihan. Kedua, akan meningkatkan tekanan kerja karena karyawan mungkin menganggap bahwa lembaga bergerak menjauh dari misi tradisional mereka yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat—kepedulian altruistik—dan kepatuhan terhadap standar internal dan lebih mementingkan urusan teknis untuk mencapai tuntutan regulasi pihak eksternal (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

  

Hipotesis 2a: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap

tekanan kerja.

Hipotesis 2b: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap

beban kerja.

  

2.4. Akuntabilitas Profesional Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan

Kerja Persepsian

  Akuntabilitas profesional terefleksikan dalam tata kelola kerja yang memberi derajat otonomi tinggi kepada individu yang mendasari pembuatan keputusan mereka pada norma-norma yang terinternalisasi terhadap praktik yang tepat. Berdasarkan standar ini individu dihadapkan pada pertanyaan: apakah kinerja kerja mereka adalah konsisten dengan norma yang diturunkan dari sosialisasi profesional, keyakinan personal, budaya organisasi dan pengalaman kerja (Romzek, 2000). Derajat otonomi yang menjadi dasar pembuatan keputusan pada norma internalisasi terhadap praktik yang tepat menghantarkan mereka pada pengambilan keputusan yang tepat pula walaupun tanpa arahan dari supervisor dan atau keharusan regulasi (Kim & Lee, 2009).

  Akuntabilitas profesional juga dapat mengurangi beban kerja persepsian dan tekanan kerja persepsian karena aktor yang bersangkutan bekerja untuk pembuatan keputusan dengan pengakuan kepakaran oleh otoritas yang lebih tinggi (Kim & Lee,

  2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

  

Hipotesis 3a: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif

terhadap tekanan kerja.

Hipotesis 3b: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif

terhadap beban kerja.

  

2.5. Akuntabilitas Politikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan

Kerja Persepsian

  Keharusan akuntabilitas politikal dapat menyebabkan bertambahnya beban kerja karena pemenuhan ekspektasi lebih dari batas kepakaran dan arahan supervisor (Romzek & Ingraham, 2000). Selain itu, pemenuhan kebutuhan akuntabilitas politikal kepada konstituen juga dapat menyebabkan bertambahnya tekanan kerja karena kebutuhan pemenuhan tanggung jawab yang merefleksikan kebutuhan legitimasi sangat bergantung pada seberapa baik aktor mengantisipasi dan mencapai ekspektasi forum dan apakah aktor akuntabilitas dipersepsikan sebagai rekan kerja oleh mereka (Romzek & Ingraham, 2000). Lebih lanjut, tekanan dari kelompok advokasi dan media lokal juga dapat mengalihkan perhatian aktor akuntabilitas terhadap pencapaian misi organisasi dengan menghabiskan sumber daya yang besar untuk menjaga hubungan baik dengan

  

stakeholders . Dengan kata lain, aktor akuntabilitas dapat mengorbankan misi organisasi

yang sebenarnya untuk mencapai tujuan akuntabilitas politikalnya (Kim & Lee, 2009).

  Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

  

Hipotesis 4a: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif

terhadap tekanan kerja.

Hipotesis 4b: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif

terhadap beban kerja.

2.6. Beban Kerja Persepsian dan Tekanan Kerja Persepsian

  Dampak langsung dari tekanan keharusan akuntabilitas adalah akan meningkatkan beban kerja persepsian karyawan karena kecukupan dokumen dan persyaratan pelaporan untuk memenuhi kewajiban kontraktual (Kim & Lee, 2009). Tekanan persepsian terhadap beban kerja antar karyawan dapat memperburuk tekanan kerja, misalnya mereka diwajibkan untuk mengurangi waktu pribadi mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat atau kelompok dampingan untuk menyelesaikan dokumen yang diperlukan. Sebagai contoh, Johnston dan Romzek (1999) menemukan kasus bahwa manajer, meskipun mereka memiliki tingkat komitmen yang tinggi untuk memberikan layanan yang berkualitas akan frustrasi oleh dokumen-dokumen dan persyaratan pendokumentasian, dan mereka mempersepsikan bahwa kepatuhan terhadap kewajiban kontrak dapat membahayakan misi lembaga dalam melayani masyarakat (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

  

Hipotesis 5: Beban kerja tinggi karyawan berpengaruh positif terhadap tekanan

kerja.

  

2.7. Beban Kerja Persepsian, Tekanan Kerja Persepsian, Kinerja Kerja Persepsian

  Tekanan karena keharusan akuntabilitas cenderung menyebabkan melemahnya peran aktor akuntabilitas karena pelaksanaan fungsi administrasi yang berlebihan sebagai akibat keharusan akuntabilitas yang menyebabkan meningkatnya persepsian negatif konteks kerja (Kim & Lee, 2009). Sebenarnya konteks kerja dapat dipersepsikan secara negatif maupun positif. Perbedaan ini berpengaruh terhadap outcome kerja atau kinerja kerja pada level yang berbeda (Lusch & Serpkenci, 1990). Namun demikian, dalam penelitian ini konteks kerja dipersepsikan negatif dalam bentuk tekanan kerja dan beban kerja karena adanya onflik keharusan akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).

  Karyawan-karyawan NGO semakin menghabiskan sejumlah besar waktu mereka pada kegiatan pendokumentasian dan menghasilkan pendapatan dengan mengorbankan pemeliharaan hubungan dengan masyarakat (Kim & Lee, 2009). Tekanan pekerjaan ini cenderung menciptakan disonansi nilai yang dapat menyakiti panggilan profesional atau kewajiban etis mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mereka cenderung memiliki persepsi bahwa pekerjaan mereka tidak dihargai karena mereka dipaksa untuk mengalokasikan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk melayani masyarakat (Light, 2000; Salamon, 2002). Beban kerja persepsian yang tinggi dan tekanan kerja secara bersamaan yang dirasakan antar karyawan dapat secara negatif mempengaruhi persepsi mereka terhadap kinerja. Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Hipotesis 6a: Beban kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja.

  Hipotesis 6b: Tekanan kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja.

  2.8. Model Penelitian

Gambar 2.1 Model Penelitian Akuntabilitas  

  Hirarkikal H (+)   1a   H (+) 1b   2a H (+)  

  Bebankerja   H (

  Persepsian 6a ‐) Akuntabilitas      Legal   

  H (+) 2b Kinerja  Kerja 

  H (+) H ( 3a ‐) 5 Persepsian Akuntabilitas  

  H ( 3b ‐)  Profesional  

  H ( 6b ‐)  Tekanan  Kerja 

  H 4a  (+)  Persepsian Akuntabilitas  

  H (+) 4b   Politikal  

3. Metode Penelitian

  3.1. Populasi dan Sampel

  Penelitian dilakukan di 5 provinsi yang meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Objek penelitian yaitu pegawai pada NGO. Metode pemilihan sampel adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel ini, yaitu semua pegawai yang pernah terlibat dalam proses pemenuhan akuntabilitas secara keuangan dan program terhadap para stakeholder (lembaga donor, pemerintah, perusahaan, individu atau kelompok dampingan, lembaga mitra, masyarakat, dll.), sehingga responden yang dipilih diyakini telah memahami kondisi di dalam organisasi tempat mereka bekerja.

  3.2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

  Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen terdiri dari keharusan akuntabilitas hirarkikal, keharusan akuntabilitas legal, keharusan akuntabilitas profesional dan keharusan akuntabilitas politikal, sedangkan variabel eksogen endogen adalah beban kerja dan tekanan kerja. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kinerja kerja

3.2.1.Variabel Eksogen

  Competing Accountability Requirement

  Definisi dari competing accountability requirement yang digunakan dalam penelitian ini mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Pengukuran terhadap competing accountability requirement dalam penelitian ini menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Kim & Lee (2009) dengan penyesuaian untuk konteks NGO di Indonesia. competing accountability requirement dalam penelitian ini adalah berdasarkan tipe-tipe akuntabilitas yang diajukan Johnston & Romzek (1999, hal. 387), yang terdiri dari:

  a. Akuntabilitas Hirarkikal

  Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas hirarkikal adalah supervisi yang ketat dari otoritas yang lebih tinggi, yang menggunakan seperangkat standar kinerja, peraturan dan aturan internal organisasi, dan instruksi atasan. Pola kerja yang dibangun adalah hubungan antara supervisor-subordinat (Romzek & Ingraham, 2000) yang dalam penelitian ini adalah hubungan antara aktor akuntabilitas di NGO dengan atasannya langsung.

  b. Akuntabilitas Legal

  Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas legal adalah kinerja NGO secara eksternal diaudit kepatuhannya, yaitu berdasarkan hubungan antara kontrol eksternal dan aktor akuntabilitas. Akuntabilitas legal terjadi antara dua pihak yang otonom (Romzek & Dubnick, 1987). Dalam penelitian ini akuntabilitas legal adalah bentuk keharusan akuntabilitas terhadap penyandang dana (lembaga donor, pemerintah, perusahaan, dll.). Instrumen akuntabilitas legal didasarkan pada instrumen yang dikembangkan oleh Kim dan Lee (2010).

  c. Akuntabilitas Profesional

  Keharusan akuntabilitas profesional adalah merujuk pada adanya derajat otonomi yang tinggi dari aktor akuntabilitas dalam pembuatan keputusan dan perbedaan keahlian dan standar kinerja didasarkan pada norma profesional dan praktik-praktik yang berlaku dari rekan kerja atau kelompok kerja. Aktor akuntabilitas harus bertumpu pada kepakaran dan kecakapan untuk menghasilkan solusi yang tepat (Romzek & Dubcick, 1987). Dengan demikian, keharusan akuntabilitas profesioanl dalam penelitian ini adalah tekanan konflik yang berasal dari dalam diri aktor akuntabilitas itu sendiri.

  d. Akuntabilitas Politikal

  Akuntabilitas politikal terkait dengan tanggungjawab terhadap konstituen utama NGO seperti lembaga-lembaga mitra, individu dan kelompok dampingan (petani, buruh, perempuan, orang cacat, masyarakat desa) dan masyarakat secara luas. Dalam penelitian ini keharusan akuntabilitas politikal adalah terhaadap konstituen- konstituen di atas.

  3.2.2. Variabel Eksogen Endogen Beban Kerja

  Secara umum definisi beban kerja adalah hubungan manusia dengan tuntutan tugas yang diemban dalam lingkup operasional. Hart dan Staveland (1988) mengemukakan bahwa beban kerja merupakan hubungan yang dapat dirasakan antara sejumlah kemampuan mental dalam berproses dengan sejumlah kemampuan mental dalam berproses yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan.

  Spector dan Jex (1998) menyatakan bahwa beban kerja (workload) adalah salah satu faktor penyebab job stressor. Job stressor mewakili situasi dimana pekerjaan berkaitan dengan faktor-faktor menyimpang karyawan dari fungsi psikologinya ataupun fungsi fisiknya (Beehr dan Newman, 1978). Instrumen beban kerja didasarkan pada instrumen pengukuran Index of Organizational Reaction yang dikembangkan oleh Smith (1976) dalam penelitian Kim & Lee (2009).

  Tekanan Kerja

  Definisi operasional tekanan kerja adalah merujuk pada kondisi kecemasan psikologi individu sebagai konsekuensi peran signifikan untuk mencapai kualitas kerja atau kinerja tertentu (Bedeian & Armenakis, 1981) sebagai dampak dari konflik peran atau ketidakjelasan peran (Fry dkk., 1986). Tetlock (1985) mengemukakan bahwa tekanan akuntabilitas persepsian mempengaruhi kognitif individu dan pernyataan emosional individu. Penelitan Kim & Lee (2009) mendukung dan menunjukan hasil yang sama bahwa salah satu pengaruh competing accountability requirement adalah meningkatnya tekanan kerja. Instrumen tekanan kerja persepsian dalam penelitian ini menggunakan yang dikembangkan oleh Lyon (1971) yang terdukung dalam penelitian

  Tension Index Kim & Lee (2009).

  3.2.3. Variabel Endogen Kinerja Kerja

  Handoko (1996) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil yang dicapai atau prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan pada suatu organisasi. Amstrong (2004) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai dan atribut (ketrampilan, pengetahuan dan keahlian) dan kompetensi yag dibutuhkan untuk mencapai hasil tersebut yang sasarannya adalah memberi kontribusi untuk pencapaian cita-cita nilai organisasi.

  Bertambahnya persepsian konteks kerja negatif akan berpengaruh terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Kinerja kerja dalam penelitian ini merujuk pada kecakapan atau kemampuan aktor dalam melaksanakan aktivitas secara formal dan diakui sebagai bagian dari aktivitas kerja yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung melalui proses transformasi bahan mentah ke dalam bentuk barang dan pelayanan (London & Sminther, 1997). Pengukuran terhadap kinerja kerja menggunakan item-item pengukuran yang dikembangkan oleh Tsui dkk. (1997). Pengukuran ini tidak konsisten dengan pengukuran yang digunakan dalam penelitian Kim & Lee (2009) karena penelitian tersebut hanya menggunakan indikator tunggal.

  Tabel 1 Variabel-Variabel Model Penelitian Variabel Laten Kode Variabel Manifes* Item

  Akuntabilitas Hirarkikal AHI AHI1-AHI3

  3 Akuntabilitas Legal ALE ALE1, ALE2, ALE3, ALE5

  4 Akuntabilitas Profesional APRO APRO1-APRO5

  5 Akuntabilitas Politikal APO APO3, APO4, APO5

  3 Beban Kerja BKE BKE1-BKE3

  3 Tekanan Kerja TKE TKE1-TKE2, TKE4, TKE5

  4 Kinerja Kerja KKE KKE2, KKE3, KKE5, KKE6, KKE7,

  6 KKE8

  • Beberapa variabel telah dihapus karena tidak memenuhi standar skor loading

4. Metode Analisis Data

  Penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS) untuk menguji hipotesis yang diajukan. PLS adalah teknik Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural (Hartono, 2011). Sebagai lawan dari metode SEM berbasis kovarian (misalnya AMOS dan LISREL), PLS menempatkan tuntutan yang minimal pada skala pengukuran, ukuran sampel, distribusi variabel dan distribusi residual (Chin, Marcolin, dan Newsted, 2003). Kemudian juga menurut Hartono (2011) PLS juga bertujuan untuk memprediksi model dalam rangka pengembangan teori yang merupakan alat prediksi kausalitas yang digunakan sebagai pengembangan teori.

  PLS sangat cocok digunakan untuk penelitian ini, karena karakteristiknya yang mempunyai kombinasi dan model yang kompleks dan dapat memakai ukuran sampel yang relatif kecil untuk mengantisipasi kurangnya tingkat partisipasi (respon rate) dari terkumpul adalah SmartPLS versi 2.0 yang dikembangkan oleh Ringle, C.M/Wende, S./Will, S dan dapat diunduh secara gratis di alamat website http://www.smartpls.de.

5. Hasil Penelitian

  5.1. Pilot Study

  Dalam rangka pengujian validitas dan realibilitas, kuesioner terlebih dahulu diujicobakan (pilot study) kepada 25 responden pada 20 Oktober 2013. Responden adalah para pegawai NGO pada Yayasan Dian Desa, Yogyakarta. Instrumen yang telah diujicobakan kemudian dianalisis dengan menggunakan software PLS. Hasil dari pilot

  

study (lihat lampiran) menunjukkan bahwa nilai AVE dan Communality masing-

  masing variabel >0,5. Nilai Composite Reliability masing-masing variabel >0,6. Hasil

  

pilot study juga menunjukan bahwa nilai faktor loading >0,6. Berdasarkan tabel cross

loading , dapat disimpulkan bahwa masing-masing indikator yang ada pada satu variabel

  laten (konstruk) mempunyai faktor loading tertinggi pada konstruk yang dituju dibandingkan dengan nilai yang ada pada konstruk lainnya. Hasil tersebut menunjukan bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel, sehingga layak untuk digunakan lebih lanjut.

  5.2. Pengumpulan Data Kuantitatif

  Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan menggunakan dua metode, yaitu pengumpulan data kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner penelitian pada masing- masing NGO yang ada di lima Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari 325 responden yang dikirimi kuesioner, 211 responden yang mengembalikan, artinya response rate-nya adalah 64,9%. Jumlah kuesioner yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah 203 responden, yang artinya usable respon rate-nya adalah 96% dan jumlah kuesioner yang tidak dapat digunakan adalah sebanyak 122. The usable questionaires kemudian dianalisis untuk mengetahui profil dari para responden. Tabel 2 menunjukkan profil responden yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, dan masa kerja di masing- masing NGO.

  Tabel 2 Profil Responden Penelitian Keterangan Jumlah (Orang) Persentase (%) Jenis Kelamin :

  Laki-laki 114 56,15 Perempuan 89 43,85

  

Jumlah 203 100

Usia:

  <30 tahun 32 15,76 30-40 tahun 121 59,60 40-50 tahun 40 19,70

  >50 tahun 10 04,92

  

Jumlah 203 100

Tingkat Pendidikan:

  SMA 17 08,37 S1 173 85,22 S2 13 06,41

  

Jumlah 203 100

Masa Kerja:

  <5 tahun 30 14,63 5-15 tahun 90 43,90

  15-25 tahun 65 31,71 >25 tahun 20 09,76

  

Jumlah 203 100

5.3. Analisis Demografi

  Analisis demografi merupakan analisis yang dilakukan untuk menguji apakah perbedaan demografi responden mempengaruhi jawaban yang diberikan. Analisis demografi dapat memberikan tambahan penjelasan mengenai hasil penelitian. Ringkasan analisis demografi ditampilkan pada tabel di bawah ini:

  Tabel 3 Ringkasan Analisis Demografi Variabel Sig. Demografi BKE TKE KKE

  Jenis Kelamin 0.564 0.813 0.697 Usia 0.041 0.002 0.297 Tingkat Pendidikan 0.544 0.473 0.003 Masa Kerja 0.004 0.006 0.010 Berdasarkan hasil analisis variabel demografi sebagaimana yang ditampilkan di tabel 3, variabel usia pada konstruk tekanan kerja, variabel tingkat pendidikan pada konstruk kinerja kerja, variabel masa kerja pada konstruk beban kerja dan variabel masa kerja pada konstruk tekanan kerja mempunyai nilai yang signifikan (>0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan usia mempengaruhi tekanan kerja, perbedaan masa kerja mempengaruhi kinerja kerja dan perbedaan masa kerja mempengaruhi beban kerja dan tekanan kerja responden dalam hal persepsian keharusan akuntabilitas.

  5.4. Kisaran Data

  Berdasarkan hasil pengolahan data dari 203 responden, maka data deskripsi konstruk berdasarkan 28 item pertanyaan yang valid dengan kisaran teoritis, yaitu Konstruk Akuntabilitas Legal (ALE), dan Tekanan Kerja (TKE) dengan masing-masing 4 item pertanyaan valid, berada pada kisaran teoritis di antara nilai minimal 4 dan nilai maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Profesional (APRO) dengan 5 item pertanyaan valid, berada pada kisaran minimal 5 dan maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Politikal (APO), Akuntabilitas Hirarkikal (AHI), dan Beban Kerja (BKE) dengan masing-masing 3 item pertanyaan valid berada pada kisaran teoritis dengan nilai minimal 3 dan maksimal 15. Selanjutnya, Konstruk Kinerja Kerja (KKE) dengan 6 item pertanyaan valid, berada pada kisaran minimal 6 dan maksimal 30.

  Semua jawaban yang terlihat dalam kisaran aktual berada di dalam kisaran nilai minimal dan maksimal teoritisnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jawaban responden terhadap konstruk-konstruk berada pada kisaran teoritisnya. Tabel 4 menunjukkan perbandingan nilai kisaran teoritis dan kisaran aktual secara keseluruhan.

  

Tabel 4

Perbandingan Nilai Kisaran Teoritis dan Kisaran Aktual

Pertanyaan Kisaran Kisaran

Teoritis Aktual

  AHI 3 - 15 3 – 15 ALE 4 - 20 4 – 20

  APRO 5 - 25 5 – 25 APO 3 - 15 3 – 15 BKE 3 - 15 4 - 15 TKE 4 - 16 4 – 16 KKE 6 - 30 6 – 30

  5.5. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

  Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R² untuk konstruk dependen. Dari tekanan kerja sebesar 0.304753, dan konstruk kinerja kerja sebesar 0.167056. Hasil nilai tersebut berarti bahwa model penelitian yang diajukan dapat menjelaskan variabel konstruk beban kerja sebesar 18,5%, konstruk tekanan kerja sebesar 30,4%, konstruk kinerja kerja sebesar 16,7%, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model yang diajukan. Semakin tinggi nilai R², maka akan semakin baik model prediksi dari model yang diajukan.

  

Tabel 6

Overview Iterasi Algoritma PLS

Composite R Cronbachs Commu- AVE

  Reliability Square* Alpha nality

  0.616734 0.827182 0.715282 0.616734

  AHI

  0.692083 0.899866 0.856790 0.692084

  ALE

  0.719854 0.885152 0.805887 0.719854

  APO APRO 0.599068 0.880770 0.834097 0.599068 BKE 0.500935 0.749648 0.185539 0.504953 0.500934

  0.562971 0.884795 0.167056 0.846184 0.562971

  KKE

  0.544779 0.826989 0.304753 0.726261 0.544779

  TKE

  Catatan: * 0,67 = substansial, 0,33 = moderate, 0,19 = weak. (Chin dalam Henseler, 2009).

  Parameter uji validitas konvergen dilihat dari skor Average Variance Extracted (AVE) dan communality. Skor masing-masing bernilai >0,5. Hal ini berarti, probabilitas indikator di suatu konstruk masuk ke variabel lain lebih rendah (kurang dari 0,5) sehingga probabilitas indikator tersebut konvergen dan masuk pada konstruk yang dimaksud lebih besar, yaitu di atas 0,5 atau sebesar 50%. Dari tabel 6 di atas terlihat skor AVE tertinggi pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada konstruk beban kerja (0.500935). Dalam penelitian ini, skor AVE untuk semua konstruk adalah >0,5, sehingga konstruk-konstruk tersebut memenuhi syarat skor ideal, namun skor 0,4 masih diberi toleransi (Lai & Fan, 2008; Vinzi dkk., 2010). Skor communality tertinggi terdapat pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada konstruk beban kerja (0.500934).

  Untuk uji validitas diskriminan, parameter yang diukur adalah dengan melihat skor cross loading. Pada tabel 7 di bawah ini terlihat bahwa masing-masing indikator di karena masing-masing indikator di suatu konstruk berbeda dengan indikator di konstruk lain dan mengumpul pada konstruk dimaksud dengan skor >0,6.

  Tabel 7 Cross Loadings

AHI ALE APO APRO BKE KKE TKE

  APO3 0.346200 0.399572 0.857456 0.515574 0.090871 0.243489 0.235653 APO4 0.233661 0.333536 0.831385 0.378837 0.080674 0.266450 0.285312 APO5 0.284796 0.516249 0.856230 0.442313 0.111308 0.223236 0.248998 BKE1 -0.051758 0.259110 0.284693 -0.009164 0.704665 -0.002609 0.561317 BKE2 -0.302594 -0.016677 -0.071073 -0.220925 0.771204 -0.500595 0.234306 BKE3 -0.223982 -0.019007 0.003531 -0.212272 0.641479 -0.270937 0.204705 TKE1 -0.019626 0.088007 0.238460 0.003744 0.202979 -0.019398 0.737369 TKE2 -0.116890 0.072588 0.194641 -0.070835 0.319783 -0.124105 0.780502 TKE4 0.010938 0.142433 0.242906 0.028135 0.428675 -0.037959 0.730518 TKE5 -0.071801 0.076882 0.218387 -0.005922 0.412730 0.136666 0.701829 AHI1 0.707240 0.298191 0.371523 0.626571 -0.169877 0.373477 -0.065444

  AHI2 0.758774 0.405043 0.168674 0.437762 -0.085665 0.318459 -0.060893 AHI3 0.879929 0.406205 0.241769 0.480501 -0.285992 0.325015 -0.041802 ALE1 0.422330 0.820035 0.533422 0.535653 0.137362 0.158996 0.028436 ALE2 0.539149 0.845791 0.519757 0.517296 0.035405 0.128422 0.096030 ALE3 0.311085 0.809904 0.265609 0.223367 0.105452 0.149507 0.136586 ALE5 0.346372 0.851217 0.401451 0.450108 0.097236 0.101661 0.144568

  APRO1 0.473762 0.382490 0.412053 0.817463 -0.109746 0.344253 -0.010907 APRO2 0.540291 0.477673 0.476517 0.831557 -0.112675 0.307523 -0.043039 APRO3 0.428195 0.384600 0.270511 0.741601 -0.141057 0.298483 -0.089968 APRO4 0.372688 0.364400 0.536509 0.620764 -0.114441 0.124538 0.047475 APRO5 0.614033 0.342855 0.391686 0.836832 -0.227162 0.348961 0.031712 KKE2 0.386016 0.210926 0.243427 0.294604 -0.233777 0.770851 0.019848

  KKE5 0.257185 0.139656 0.265775 0.333883 -0.167065 0.672012 0.065469 KKE6 0.425083 0.132826 0.214506 0.352571 -0.353180 0.776141 -0.083031 KKE7 0.332609 0.089397 0.110165 0.176694 -0.333653 0.793242 -0.065126 KKE8 0.248371 0.015123 0.306125 0.329299 -0.341253 0.815172 -0.035278

  Uji reliabilitas dapat dilihat pada skor composite reliability dengan syarat minimal > 0,6 (Hair dkk., dalam Hartono, 2009) dari tabel 6 di atas terlihat skor composite

  

reliability tertinggi pada konstruk akuntabilitas legal (0.899866) dan skor terendah pada

  konstruk beban kerja (0.749648). Dengan demikian, konstruk penelitian dinyatakan reliabel. Secara umum dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian adalah valid karena telah memenuhi kriteria validitas konvergen dan diskriminan serta dapat diandalkan (reliabel) sehingga layak digunakan untuk pengujian hipotesis.

  Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilal T-table dengan nilai T- yang dihasilkan dari proses bootstrapping dalam PLS. Hipotesis diterima

  statistic

  (terdukung) jika nilai T-statistics lebih tinggi daripada nilai T-table dengan tingkat keyakinan 95% (alpha 5 persen), nilai T-table untuk uji hipotesis satu ekor (one-tailed) adalah ≥ 1,64 (Hair et al., 2006 in Hartono, 2009).

  Dari 11 hipotesis yang diuji, 6 hipotesis terdukung secara statistik karena memiliki nilai T-statistics yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu ≥ 1.64

  (alpha 5 persen). 6 hipotesis tersebut adalah 1a (AHI →BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2,264653, dan nilai koefisien jalur ( γ1) sebesar -0,306482; hipotesis 2a

  (ALE →BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.019520, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.278353; hipotesis 3a (APRO

  →BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 1.774100, dan nilai koefisien jalur (

  γ1) sebesar -0.244211; hipotesis 4b (APO→TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.661294, dan nilai koefisien jalur ( γ1) sebesar

  0.309035; hipotesis 5 (BKE →TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 3.715839, dan nilai koefisien jalur (

  γ1) sebesar -0.445746; dan hipotesis 6a (BKE→TKE) dengan nilai T-

  statistic sebesar 3.145243, dan nilai koefisien jalur (

  γ1) sebesar -0.484807.Selanjutnya, 5 hipotesis yang tidak terdukung secara statistik karena nilai T-statistics tidak lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu ≥ 1.64 (alpha 5 persen). 5 hipotesis tersebut adalah 1b (AHI

  →TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 0.128311, dan nilai koefisien jalur ( γ1) sebesar 0.017970; hipotesis 2b dengan nilai T-statistic sebesar

  0.248222, dan nilai koefisien jalur ( γ1) sebesar -0.041542; hipotesis 3b dengan nilai T- sebesar 0.435495, dan nilai koefisien jalur (

  statistic

  γ1) sebesar 0.120434; hipotesis 4a dengan nilai T-statistic sebesar 1.581846, dan nilai koefisien jalur ( γ1) sebesar

  0.205240; dan hipotesis 6b dengan nilai T-statistic sebesar 1.510057, dan nilai koefisien jalur ( γ1) sebesar 0.219860. Ringkasan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan

  PLS dapat dilihat dalam Tabel 8 berikut:

  Tabel 8 Koefisien Jalur (Path Cooficients; Mean, STDEV, T-Values) Standard Standard Original Sample T Statistics

Tanda Deviation Error

Sample (O) Mean (M) (|O/STERR|)

  (STDEV) (STERR)

  • 0.306482 -0.303255 0.135333 0.135333 2.264653**

  AHI -> BKE AHI -> TKE + 0.017970 0.005596 0.140048 0.140048 0.128311

  • 0.278353 0.272168 0.137831 0.137831 2.019520**

  ALE -> BKE ALE -> TKE + -0.041542 -0.036328 0.167358 0.167358 0.248222

  • 0.244211 -0.240505 0.137653 0.137653 1.774100**

  APRO -> BKE APRO -> TKE - -0.076407 -0.062100 0.175449 0.175449 0.435495

  • 0.205240 0.190387 0.129747 0.129747 1.581846

  APO -> BKE APO -> TKE + 0.309035 0.316115 0.116122 0.116122 2.661294***

  • 0.445746 0.439252 0.119958 0.119958 3.715839***

  BKE -> TKE BKE -> KKE - -0.467458 -0.484807 0.148624 0.148624 3.145243***

  • 0.219860 0.192203 0.145597 0.145597 1.510057

  TKE -> KKE

  Catatan: *** Sangat signifikan, ** signifikan; 1,64 P<0,05; 2,33 P<0,01 (one

  tailed )

6. Kesimpulan, Keterbatasan, dan Implikasi Penelitian

6.1. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan analisis koefisien jalur, terlihat bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dipengaruhi oleh konteks kerja dengan persepsian negatif yang berupa beban kerja, namun tidak dipengaruhi tekanan kerja persepsian negatif. Tekanan kerja dengan persepsian negatif berdasarkan hasil penelitian dapat meningkatkan kinerja kerja aktor akuntabilitas. Dengan kata lain, ada hubungan positif antara kinerja aktor akuntabilitas dengan tekanan kerja yang disebabkan persepsian negatif konflik keharusan akuntabilitas. Persepsian beban kerja dan tekanan kerja dipengaruhi oleh competing accountability requirement NGO pada arah dan tingkat yang berbeda-beda bergantung pada persepsian competing

  accountability requirement aktor akuntabilitas mereka masing-masing.

  Keharusan akuntabilitas hirarkikal, dan akuntabilitas legal menunjukkan hubungan positif dengan beban kerja, sedangkan akuntabilitas profesional menunjukan hubungan negatif dengan beban kerja. Lebih lanjut, akuntabilitas politikal menunjukkan hubungan positif dengan tekanan kerja. Secara umum dapat dijelaskan bahwa konflik keharusan akuntabilitas yang terjadi karena ketidakmampuan untuk menyeimbangkan keharusan akuntabilitas tersebut menyebabkan makin tinggi beban kerja aktor akuntabilitas yang bersangkutan. Sedangkan tekanan kerja hanya berhubungan secara positif dengan keharusan akuntabilitas politikal. Artinya, apabila aktor akuntabilitas menekankan pada keharusan akuntabilitas politikal lebih dari keharusan akuntabilitas yang lainnya, maka akan meningkatkan persepsian tekanan kerjanya. Terdukungnya hipotesis tersebut mungkin saja lebih disebabkan bahwa dalam konteks NGO dengan karakter organisasi yang kolegial atau kekeluargaan, maka akan membuat aktor akuntabilitas akan merasakan tekanan persepsian.

  6.2. Keterbatasan Penelitian

  Penelitian pada competing accountability requirement dan pengaruhnya terhadap kinerja kerja NGO merupakan penelitian pertama di Indonesia. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan di Amerika atas organisasi non-profit di bidang pelayanan kemanusian saja, sehingga penelitian ini memiliki keterbatasn yang akan mempengaruhi hasil penelitian. Adapun keterbatasan-keterbatasan tersebut, antara lain: 1.

  Instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk variabel tekanan kerja dan kinerja kerja banyak yang dihapus karena cross loading yang rendah.

  Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk menggunakan instrumen yang berbeda yang dianggap paling sesuai dengan konteks penelitian.

  2. Instrumen untuk variabel akuntabilitas hirarkikal beban kerja hanya menggunakan tiga item pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan apabila dalam

  pilot study terdapat item pertanyaan yang harus dihapus, maka instrumen

  tersebut menjadi tidak layak digunakan apabila penelitian menggunakan alat analisis PLS.

  3. Data penelitian ini merupakan hasil dari instrumen yang berdasarkan pada persepsi responden, maka hal ini dapat menimbulkan masalah jika persepsi responden berbeda dengan keadaan sesungguhnya.

  6.3. Implikasi Penelitian

  Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi NGO di Indonesia mengenai adanya competing accountability requirement yang terjadi akibat adanya keharusan terhadap berbagai tipe akuntabilitas dengan tidak mempertimbangkan heterogenitas NGO maupun individu yang terlibat di dalamnya. Aktor akuntabilitas dipaksa untuk mencapai ekspektasi berbagai forum akuntabilitas yang mungkin tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas aktor akuntabilitas. Kondisi ini menyebabkan tekanan untuk mencapai kualitas kerja tertentu sesuai ekspektasi forum akuntabilitas ataupun akumulasi jumlah pekerjaan karena ekspektasi-ekspektasi yang berbeda tersebut.

  Kinerja kerja aktor akuntabilitas hanya dipengaruhi oleh persepsian negatif beban kerja yang disebabkan oleh bertambahnya volume pekerjaan dan beragamnya SOP (standard operating procedure) yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga donor. Secara umum hasil penelitian ini berimplikasi terhadap wacana penentuan tipe akuntabilitas yang tepat bagi tiap organisasi NGO sesuai dengan ekspektasi masing- masing forum (Romzek & Dubnick, 1987). Peningkatan kinerja adalah dampak utama yang seharusnya terjadi karena berbagai bentuk keharusan yang dilaksanakan oleh aktor akuntabilitas (Dubnick, 2005) yang faktanya di organisasi NGO hal tersebut terjadi karena praktik akuntabilitas dilakukan atas dasar kesadaran sejak awal pendirian organisasi NGO tersebut.

  

Daftar Pustaka

  Amstrong, M. (2004). Performance management. Setiawan, T. (alih Bahasa). Tugu Publisher. Yogyakarta. Beehr, T.A., & Newman, J. (1978). Job stress, employee health, and organizational effectiveness: A facet analysis, model and literatur review. Personnel

  Psychology , (31), 665-669.