Perspektif Gender Terhadap Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kabupaten Langkat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Mengacu kepada permasalahan dan tujuan peneltian yang telah dirumuskan, maka diperlukan peninjauan pustaka terhadap gender dan anemia dalam kehamilan.

2.1 Gender

  Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.

  Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Gender adalah pembagian peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat, yang ditentukan oleh nilai-niai sosial budaya yang berkembang. Nilai dan aturan bagi laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat berbeda sesuai dengan nilai sosial budaya setempat dan seringkali berubah seiring dengan perkembangan budaya. Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal (Makarao, 2009).

  Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial tersebut antara lain kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa (Handayani dan Sugiarti, 2002).

  Perspektif gender adalah sebuah sudut pandang dalam melihat, menilai sesuatu berdasarkan gender dan sangat tergantung kepada orang yang melakukannya Gender memengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial. Masyarakat sebagai kelompok menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Handayani dan Sugiarti, 2002).

  Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki (Kusmiran, 2011).

2.1.1 Teori Gender

  Dalam khazanah pengetahuan tentang gender terdapat banyak teori yang berkembang dan dijadikan rujukan dalam menganalisis permasalahan gender. Teori nurture, nature, dan equilibrium merupakan teori awal tentang gender (Sasongko, 2007).

  Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki identik dengan kelas borjuis (kaum penindas) dan perempuan sebagai proletar (kaum tertindas).

  Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar “kesamaan” atau fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan kualitas (perfect equality). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dari nilai agama maupun budaya. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri, militer, lembaga tinggi negara, partai politik, dan bidang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat timbulnya reaksi negatif dari kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut.

  2.1.1.2 Teori Nature

  Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing.

  Dalam kehidupan sosial, ada pembagian tugas (division of labour), diperlukan kerjasama, dan saling mendukung begitu pula dalam kehidupan keluarga.

  Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga.

  Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga, atau antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.

  2.1.1.3 Teori Equilibrium

  Aliran ini memiliki paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan

  

(equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam

  hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Karena itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan), bukan berdasarkan perhitungan secara matematis

2.1.2 Kesetaraan Gender

  Kesetaraan gender adalah sebuah keadaan di mana perempuan dan laki-laki memiliki status dan kondisi yang sama dalam pemenuhan hak-haknya sebagai manusia dan mewujudkan kemampuannya untuk berperan aktif dalam pembangunan. Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai (Kusmiran, 2011).

  Tawney dikutip Megawangi (1999) mengakui adanya keragaman pada manusia, entah itu biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan, cocok dengan paradigma inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui faktor spesifik seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut “person-regarding equality”. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut “kesetaraan kontekstual”. Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu.

2.1.2.1 Kesetaraan Gender dalam Kesehatan

  Menurut Makarao (2009), kesetaraan gender dalam kesehatan terbagi atas kesetaraan dalam hak, kesetaraan dalam sumber daya dan kesetaraan dalam menyuarakan pendapat. Adanya kesetaraan hak dalam peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam bidang kesehatan seperti kesetaraan hak dalam rumah tangga yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam kesehatan, misalnya menentukan jumlah anak, jenis persalinan, pemilihan alat kontrasepsi, dan lain-lain. Selain itu, perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Adanya kewenangan dalam penggunaan sumber daya terhadap kesehatan seperti di tingkat rumah tangga perempuan dan laki-laki mempunyai alokasi yang sama untuk mengakses pelayanan kesehatan. Kesetaraan gender dalam menyuarakan pendapat di bidang kesehatan yaitu ekspresi terhadap kebutuhan akan kesehatan dan laki-laki tidak lagi mendominasi pendapat dalam kesehatan yaitu di dalam rumah tangga, perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama untuk mengekspresikan rujukan kesehatan yang diharapkan, sesuai tingkat pendidikannya, dan kesempatan untuk memberikan umpan balik atas pelayanan yang diterimanya.

  Hasil penelitian Zuska, dkk (2002) di Sipirok, Tapanuli Selatan, ditemukan gangguan kesehatan reproduksi yang amat buruk dan erat kaitannya dengan persoalan diskriminasi.

2.1.3. Ketidakadilan Gender

  Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran, atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasi, persamaan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lainya. Dalam berbagai aspek ketidaksetaraan gender ditemukan ketidakadilan gender, yaitu ketidakadilan (unfairness, unjustice) dalam norma yang berlaku, dalam hal distribusi manfaat dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan (dengan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan kebutuhan dan kekuasaan). Ketidakadillan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja (Kusmiran, 2011).

2.1.3.1. Marginalisasi

  Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Ada beberapa mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender. Dari segi sumbernya bias berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

  Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas terjadi seperti ditempatkan sebagai orang yang tidak memiliki peran penting. Misalnya karena rendahnya pendidikan perempuan menyebabkan kurang teraksesnya tentang penyuluhan lingkungan sehat termasuk air bersih serta sanitasi. (Makarao, 2009).

  2.1.3.2. Subordinasi

  Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

  Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan, demikian juga dengan bayi perempuan yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan (Handayani dan Sugiarti, 2002).

  2.1.3.3. Stereotipe

  Stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan negatife terhadap suatu kelompok tertentu atau jenis kelamin tertentu, dan biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan. Salah satu bentuk streotip ini adalah bersumber dari pandangan gender. Pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki misalnya, laki-laki hanya sebagai tamabahan saja, sehingga pekerja perempuan boleh saja dibayar lebih rendah dibanding laki-laki. Sedangkan pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan. Stereotip tidak hanya terjadi dalam rumah tangga, tetapi juga terjadi ditempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan Negara (Kusmiran, 2011).

2.1.3.4. Kekerasan

  Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang terkait gender disebut sebagai “gender related violence” yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Bentuk kekerasan ini tidak selalu terjadi antara laki-laki terhadap perempuan akan tetapi antara perempuan dengan perempuan atau bahkan antara perempuan dan laki-laki (Makarao, 2009).

  Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat (Sasongko, 2007).

2.1.3.5. Beban Kerja

  Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola lebih banyak dan lebih lama dibanding kaum laki-laki. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Sehingga perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah (Widyastuti, dkk, 2009).

  Hasil penelitian Zaluchu (2005) di Kota Tanjung Balai secara kualitatif, seorang ibu hamil biasanya harus melakukan banyak pekerjaan, baik produktif maupun reproduktif. Akibatnya banyak ibu hamil yang melakukan pekerjaannya dengan beban kehamilannya.

2.2. Anemia dalam Kehamilan

2.2.1. Pengertian Anemia

  Anemia adalah istilah yang digunakan pada keadaan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah sampai kadar (untuk wanita hamil) di bawah 11g%.

  Hemoglobin merupakan zat berwarna merah yang terdapat dalam bentuk larutan dalam sel darah merah, yang fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen ke semua bagan tubuh. Zat besi, asam folat, vitamin dan unsur mineral lainnya, diperlukan untuk pembentukan hemoglobin yang dibentuk dalam sumsum tulang (Roystron dan Amstrong, 1994). bawah 11g% pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10,5g% pada trimester 2. Nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil terjadi karena hemodilusi terutama pada trimester 2 (Saifuddin, 2000).

2.2.2. Patofisiologi dan Gejala Anemia pada Kehamilan

  Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu mengalami hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Bila kadar hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11g% maka dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis, dan kadar Hb ibu akan menjadi 9,5 sampai 10g% (Manuaba, 1998).

  Anemia dalam kehamilan disebabkan karena dalam kehamilan, kebutuhan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Volume darah bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau hipervolemia. Akan tetapi bertambahnya sel-sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah. Pertambahan tersebut berbanding sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19% (Wiknjosastro, 2007).

  Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita. Pertama-tama pengenceran itu meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil sebagai akibat hidremia cardiac output meningkat. Kerja jantung menjadi lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan darah hilang lebih sedikit dibandingkan dengan apabila darah itu tetap kental (Wiknjosastro, 2007).

  Stadium awal anemia kehamilan umumnya tanpa gejala. Walaupun demikian, dengan menurunnya konsentrasi hemoglobin, pasokan oksigen ke organ-organ vital menurun, dan ibu hamil mulai mengeluh tentang keluhan umum, mudah lelah, pusing dan nyeri kepala. Kulit dan selaput lendir pucat, demikian juga pada dasar kuku dan lidah serta akan menjadi jelas jika konsentrasi hemoglobin turun menjadi 7g%. Efek kekurangan oksigen terhadap otot jantung, yaitu kemungkinan mengalami kegagalan total jika terjadi anemia berat. Kematian akibat anemia merupakan akibat kegagalan jantung, shock, atau infeksi sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh (Saifuddin, 2000).

2.2.3. Dampak Anemia pada Ibu Hamil

  Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun dalam nifas dan masa selanjutnya. Pelbagai penyulit dapat timbul akibat anemia seperti: abortus, partus prematurus, partus lama karena inertia uteri, perdarahan postpartum karena atonia uteri, syok, infeksi intrapartum dan postpartum. Pada anemia yang sangat berat dengan Hb kurang dari 4 g/100 ml dapat menyebabkan dekompensasi kordis. Juga terhadap hasil konsepsi anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik seperti: kematian mudigah, kematian perinatal, prematuritas, dan cacat bawaan. Anemia dalam kehamilan merupakan sebab potensial morbiditas dan mortalitas ibu dan anak (Wiknjosastro, 2007).

  Secara umum, ada tiga penyebab anemia yaitu kehilangan darah secara kronis, ketidakcukupan asupan makanan dan penyerapan tidak adekuat, dan peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang berlangsung pada masa pertumbuhan, masa pubertas, masa kehamilan, dan menyusui (Arisman, 2009).

  Penyebab tidak langsung dari anemia adalah status perempuan yang masih rendah di dalam keluarga. Di banyak masyarakat dunia sudah lazim bagi perempuan dan anak perempuan makan setelah laki-laki dan anak laki-laki, sekalipun wanita tersebut sedang hamil atau menyusui. Mereka cenderung kekurangan makan yang menjurus kepada anemia dan kekurangan gizi. Keguguran disebabkan oleh kekurangan makan, kerja keras dan kehamilan yang berulang-ulang dilihat sebagai bagian normal dari keperempuanan (Mosse, 1996).

  Sebab mendasar terjadinya anemia adalah pendidikan yang rendah, sehingga pengetahuan dalam memilih bahan makanan yang bergizi juga rendah. Kelompok penduduk ekonomi rendah kurang mampu membeli makanan sumber zat besi karena harganya relatif mahal. Adanya kepercayaan yang merugikan, seperti pantangan makanan tertentu, mengurangi makan setelah kehamilan trimester 3 agar bayinya kecil sehingga mudah melahirkan (Depkes RI, 1996).

2.2.5. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Anemia

  Program dan kegiatan intervensi penanggulangan yang pernah dilaksanakan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi Ibu Hamil dan Pemberian Tablet Tambah Darah (Zat Besi). Tetapi, program dan kegiatan intervensi biasanya dilaksanakan secara generalisasi tanpa mempertimbangkan karakteristik penduduk karena dalam masyarakat beragam situasi demografis dan psikologis melekat.

  Menurut Wiknjosastro (2007), individu tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat secara umum. Dengan demikian, perilakunya, termasuk dalam perawatan kehamilan, mencukupkan gizi, akses terhadap pelayanan kesehatan, bergantung kepada keberadaannya di dalam masyarakatnya. Itu sebabnya untuk mencapai efektifitas dan efisiensi program dalam rangka penanggulangan anemia pada ibu hamil, pengenalan terhadap masalah dan kemudian rencana penanggulangannya seharusnya berorientasi pada kekhasan dan kekhususan masing-masing wilayah. Oleh karena itu, dibutuhkan data dasar yang menyeluruh dan multikompleks terhadap masalah yang berhubungan dengan kesehatan dalam hal ini adalah anemia pada ibu hamil.

  Depkes RI (1996), menyatakan Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia dilakukan dengan intervensi terhadap penyebab langsung, penyebab tidak langsung maupun sebab mendasar. Upaya yang dilakukan pada primary prevention adalah memberikan makanan bergizi pada ibu hamil melalui perbaikan gizi yang berbasis masyarakat dengan fokus keluarga sadar gizi, melakukan penyuluhan tentang anemia pada ibu hamil melalui kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), promosi atau kampanye tentang anemia kepada masyarakat luas. Pengobatan penyakit infeksi

  

prevention dilakukan intervensi yang berbasis pangan melalui peningkatan konsumsi

  zat besi dari makanan. Sedangkan upaya tertiary prevention dilakukan intervensi yang berbasis non pangan.

  Secara umum strategi operasional penanggulangan anemia diarahkan pada empat kegiatan yaitu KIE, kegiatan suplementasi, kegiatan fortifikasi dan kegiatan lain yang mendukung kemauan masyarakat dalam menanggulangi anemia secara mandiri. Kegiatan KIE diarahkan untuk mencari dukungan sosial (social support) yang bertujuan untuk meningkatkan status wanita didalam keluarga, terutama agar keluarga lebih menghargai dan memperhatikan ibu hamil. Pendekatan pimpinan

  

(advocacy) melalui KIE yang ditujukan kepada sasaran sekunder yang mempunyai

  kemampuan untuk melakukan kebijakan dalam rangka untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung, dan mempercepat pelaksanaan program. KIE dalam pemberdayaan (empowerment) yaitu KIE yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran keluarga tentang anemia, pangan dan gizi serta dapat melakukan tindakan penanggulangan secara mandiri (Depkes RI, 1996).

2.3 Keterkaitan Gender dan Kesehatan Ibu Hamil

  Perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menjaga kesehatannya. Kondisi ini terjadi terutama karena adanya perlakuan tidak adil dan tidak setara antara mereka (ketidaksetaraan gender) dalam pelayanan kesehatan. Saat ini fokus utama pelayanan kesehatan masih menekankan aspek medis laki dan perempuan merupakan penyebab utama mencuatnya kesenjangan antara mereka, sehingga pada akhirnya memengaruhi derajat kesehatan mereka (Makarao, 2009).

2.3.1 Akses Pelayanan Kesehatan

  Kemampuan perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Oleh karena itu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, sangat menentukan kesejahteraan dirinya (Depkes RI, 2003).

  Salah satu indikator akses perempuan kepada pelayanan kesehatan adalah pelayanan antenatal bagi perempuan hamil. Kebijakan nasional untuk mencakup semua perempuan hamil dengan sedikitnya 4 kali pemeriksaan antenatal. Depkes RI (2007), menyatakan bahwa kebijakan pemerintah adalah mendorong perempuan hamil untuk memperoleh pemeriksaan antenatal pertamanya pada trimester pertama.

  Data SDKI 2001, mengungkapkan bahwa hanya 72% perempuan yang melakukannya. Mereka yang di perkotaan memiliki kemungkinan lebih besar untuk memperoleh pemeriksaan kehamilan dibandingkan mereka di pedesaan (79% berbanding 66% ).

  Hasil penelitian Zaluchu (2005) secara kualitatif ditemukan bahwa kehamilan dianggap sebagai sebuah hal biasa, yang tidak perlu dianggap sebagai tahapan penting oleh masyarakat dan ibu hamil sendiri. Bagi masyarakat, ritual persalinan lebih penting daripada kehamilan itu sendiri dan tidak ada kepentingan yang harus wanita hamil mengabaikan banyak hal-hal penting untuk perawatan kehamilannya. Rendahnya pemeriksaan antenatal (antenatal care) berhubungan dengan keengganan masyarakat menjadikannya sebagai prioritas.

2.3.2 Pengambilan Keputusan terhadap Kehamilan

  Hak reproduksi mencakup pengakuan hak-hak asasi pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka. Perempuan diharapkan tampil menjadi subjek utama yang mengontrol kesehatan reproduksinya, karena perempuanlah yang memiliki rahim. Meskipun perempuan merupakan key-person dari efektivitas pelaksanaan kesehatan reproduksinya, dalam kenyataannya perempuan di Indonesia masih banyak yang belum dapat mengambil keputusan sendiri meski itu menyangkut dirinya. Perempuan masih selalu tergantung pada orang diluar dirinya seperti suami, orangtua, keluarga besarnya (Yustina, 2005).

  Hak-hak reproduksi meliputi sebagian hak-hak azasi manusia yang sudah diakui kekuatan hukumnya baik secara nasional maupun internasional. Menurut hasil kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) di Kairo tahun 1994, hak-hak reproduksi mencakup hak untuk hidup bebas dari resiko kematian karena kehamilan, hak atas kebebasan dan keamanan atas kehidupan reproduksinya, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, hak atas kerahasiaan pribadi, hak kebebasan berpikir, hak memilih bentuk keluarga dan untuk membangun serta merencanakan keluarga, hak untuk memutuskan secara bebas mernperolehnya. Masalah kesehatan reproduksi ini, walau telah memiliki landasan hukum yang kuat, namun dalam prakteknya terdapat kesenjangan antara prinsip- prinsip hukum dengan realitas sosial, karena hak reproduksi banyak dipengaruhi oleh masalah relasi sosial (Depkes RI, 2003).

  

2.3.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan dalam

Keluarga

  Pengambilan keputusan dalam keluarga dipengaruhi oleh informasi, ketrampilan dalam berkomunikasi dan posisi anggota keluarga. Pengetahuan seseorang terkait erat dengan terpaan informasi, baik bersumber dari media massa maupun non media massa. Akses wanita ke media massa lebih rendah dari pria.

  Konstruksi gender telah berhasil membangun satu aspek pendidikan keluarga bahwa anak wanita dididik untuk tidak banyak bicara sehingga akan mencerminkan wibawa.

  Wibawa yang terpancar akan memiliki kekuatan dengan sekali bicara akan didengar dan dipatuhi terutama oleh anak-anaknya, tetapi hasil pendidikan dalam keluarga ini yang menonjol bukan produk kewibawaan tapi ketidakberanian mengeluarkan pendapat, gagap berbicara, sulit merumuskan kalimat yang sesuai apa yang diinginkannya, tidak memiliki kekuatan untuk mengemukakan masalah tersebut (Hidayat, 2005).

  Pemasungan kreativitas berkomunikasi pada anak-anak wanita yang dipraktekkan banyak keluarga di pedesaan, akhirnya bermuara pada kondisi yang Ketidakterampilan berkomunikasi dalam proses pembuatan keputusan, menempatkan ibu-ibu rumah tangga dalam posisi yang relatif rendah, sehingga kebutuhan dan keinginannya sulit terealisasikan. Keputusan yang dihasilkan cenderung didominasi kepentingan suami, sekalipun keputusan tersebut menyangkut masalah-masalah yang berkaitan hidup matinya ibu-ibu itu sendiri seperti masalah kesehatan reproduksi.

2.3.2.2 Tipe-tipe Pengambilan Keputusan

  Menurut Abdullah (2001), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan pemeliharaan kesehatan reproduksi dalam keluarga : 1)

  Musyawarah, banyak ditempuh oleh keluarga di pedesaan. Prosedurnya si istri menyampaikan masalah atau keinginan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan reproduksi. Dilanjutkan untuk mencari jalan ke luar atau memecahkan masalah, atas dasar argumen yang dikemukakan suami dan istri sehingga diperoleh keputusan yang memuaskan kedua pihak. 2)

  Dominan istri, umumnya terjadi pada kelompok ibu-ibu rumah tangga yang wewenang penuh untuk mengambil keputusan sendiri. Ibu-ibu rumah tangga ini dalam prakteknya tetap memberitahu suami sebagai bentuk permintaan izin sebelum melaksanakan keputusan yang ia buat sendiri.

  3) Dominan suami, tipe pengambilan keputusan seperti ini banyak berlaku pada ibu-ibu rumah tangga yang relatif tua. Terdapat dua klasifikasi pengambilan keputusan dari tipe dominan suami ini, yaitu pertama, suami yang langsung membuat keputusan sendiri begitu istrinya mengemukakan permasalahan yang Kedua, suami akan meminta pendapat dan keinginan istrinya dalam proses pembuatan keputusan. Selanjutnya ia memutuskan tindakan yang harus dijalankan istrinya tanpa melalui tahapan pencapaian kesepakatan antara suami dan istri.

2.3.3 Partisipasi Suami dalam Perawatan Kehamilan

  Partisipasi suami saat kehamilan sangat penting untuk membantu ketenangan jiwa istrinya. Suami yang baik adalah suami yang memenuhi kebutuhan istrinya, membantu perawatannya, dan terlibat secara dekat dengan segala sesuatu yang terjadi pada istrinya. Seorang ayah seharusnya bekerja keras, bertanggung jawab dan meluangkan waktu untuk istri yang akan menciptakan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan yang tak terukur. Selama kehamilan maupun persalinan, istri biasanya menggantungkan semangatnya pada suami. Istri membutuhkan dukungan dari suaminya, dan jika dia tidak mendapatkan hal itu dia akan merasa hidup sendiri (Stoppard, 2002).

  Menurut BKKBN (2001), partisipasi suami dalam perawatan kehamilan dapat ditunjukkan dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepada istri, mendorong dan mengantar istri untuk memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan minimal empat kali selama kehamilan, memenuhi kebutuhan gizi bagi istrinya, menentukan tempat persalinan (fasilitas kesehatan) bersama istri sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing daerah, menyiapkan biaya persalinan, melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan sedini mungkin bila terjadi hal-hal yang

2.4 Landasan Teori

  Tawney dikutip Megawangi (1999) menyebutkan bahwa keragaman peran pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia. Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik atau struktur fungsional tetapi dilandasi kebutuhan bersama guna membangun kemitraan yang harmonis. Paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Karena itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan), bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (jumlah/quota) dan tidak bersifat universal.

  Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai (Mosse, 1996).

  Ketidaksetaraan gender terlihat dari adanya hambatan dalam akses pelayanan terhadap pelayanan kesehatan terutama dialami oleh perempuan karena adanya status perempuan yang tidak mendapat izin dari suami sebagai pemegang keputusan, siapa yang menolong persalinan istri kebanyakan masih ditentukan oleh suami, sehingga terjadi subordinasi terhadap perempuan dengan keterbatasan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan dirinya. Ditinjau dari segi hak reproduksi jelas dinyatakan bahwa setiap orang baik lakilaki maupun perempuan tanpa memandang kelas, sosial, suku, umur, agama dan lain-lain mempunyai hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab. Lebih praktisnya dapat dinyatakan bahwa perempuan berhak mengambil keputusan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya (Azwar, 2001).

  Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan yang menyangkut hak-hak kesehatan reproduksinya terutama kehamilannya. Keterbatasan perempuan mengambil keputusan terhadap kehamilannya disebabkan budaya patriarki yang ada di masyarakat. Perempuan tidak mempunyai otonomi terhadap rahimnya sendiri yaitu hak untuk menentukan kapan ingin punya anak, jumlah anak, memeriksakan kehamilan, penolong persalinan dan biaya untuk kehamilan serta persalinannya (Sibagariang, dkk, 2010). jiwa istrinya. Suami yang baik adalah suami yang memenuhi kebutuhan istrinya, membantu perawatannya, dan terlibat secara dekat dengan segala sesuatu yang terjadi pada istrinya. Seorang ayah seharusnya bekerja keras, bertanggung jawab dan meluangkan waktu untuk istri yang akan menciptakan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan yang tak terukur. Selama kehamilan maupun persalinan, istri biasanya menggantungkan semangatnya pada suami. Istri membutuhkan dukungan dari suaminya, dan jika dia tidak mendapatkan hal itu dia akan merasa hidup sendiri (Stoppard, 2002).

2.5. Kerangka Konsep

  Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  Perspektif Gender : 1.

  Akses Pelayanan Kesehatan 2. Pengambilan Keputusan Status Kesehatan terhadap Kehamilan 3. Partisipasi Suami dalam Perawatan Kehamilan

  Kejadian Anemia Pada Ibu hamil

  ……………… = Tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Variabel independen dalam penelitian ini adalah kesetaraan gender yang terdiri dari akses pelayanan kesehatan, pengambilan keputusan terhadap kehamilan, ibu hamil.

  Kesetaraan gender dalam kesehatan khususnya terhadap ibu hamil dapat dilihat melalui akses ibu hamil ke pelayanan kesehatan yang masih dipengaruhi oleh keberadaan suami sebagai kepala rumah tangga menyangkut izin, biaya yang dibutuhkan, waktu, dan jarak ke sarana pelayanan. Pengambilan keputusan terhadap kehamilan yang merupakan hak ibu hamil atas dirinya sendiri pada kenyataannya tidak dapat terpenuhi karena besarnya keterlibatan suami dan keluarga dalam pengambilan keputusan, hal ini akan berdampak kepada keterlambatan pertolongan terhadap gangguan dan komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Partisipasi suami dalam perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor penting yang dapat meningkatkan kesehatan ibu selama hamil yakni menyangkut gizi ibu hamil, perhatian dan dukungan, persediaan biaya serta transportasi yang dibutuhkan selama proses kehamilan dan persalinan.