PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MUSLIM PESERTA DIDIK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

BAB V PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Kontekstual di Sekolah Berdasarkan data yang telah di dapat pelaksanaan pembelajaran PAI

  dengan pendekatan kontekstual di SMAN 1 Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu Kabupaten Tulungagung meliputi : membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.

  Membuat keterkaitan yang bermakna, antara lain dengan memanfaatkan media yang ada di sekolah, seperti masjid, LCD, internet atau dengan mengaitkan materi PAI dengan peristiwa yang baru atau sering terjadi dalam lingkungan kehidupan sehari-hari peserta didik maupun peristiwa yang di ketahui dari media. Pembelajaran mandiri, dengan menyiapkan dan mempelajari materinya sendiri sebelum kegiatan belajar mengajar baik dari internet, buku dan sumber-sumber lain yang relevan, peserta didik melakukan proses mengamati, menanya, mengeksplorasi dan kemudian mengkomunikasikan di dalam kelas, Pembelajaran mandiri juga dapat diterapkan di luar KBM di setiap kegiatan keagamaan peserta didik.

  Melakukan pekerjaan yang berarti, antara lain melaksanaan ibadah sunat mengucapkan salam ketika bertemu, berjabat tangan dengan teman maupun gurunya, menyisihkan dari uang saku setiap hari untuk diberikan kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, orang-orang jompo dan memberikan baju bekas seragam sekolah setelah lulus ujian di kelas XII, menjaga kebersihan li ngkungan sekolah, sholat jum’at, kajian Islami, membaca Surat Yasin dan Tahlil dan kegiatan sosial pada bulan Ramadhan, peringatan Hari Kelahiran sekolah. Bekerja sama, antara lain dengan kerja kelompok dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru baik diskusi, praktek ibadah dan karya seni Islami. Berpikir kritis dan kreatif, antara lain Untuk menumbuhkan sifat kritis dengan cara memberi kesempatan peserta didik bertanya, mengumpulkan data atau menemukan gejala atau kejadian yang ada di dalam masyarakat dan memberi kesempatan mengkomunikasikan terhadap materi yang sifatnya actual atau baru dalam masyarakat. Sedang menumbuhkan sikap kreatif pada peserta didik dengan membuat kesimpulan atau menyusun tugasnya dengan dikemas menjadi lebih menarik. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, dilakukan melalui proses identifikasi dalam rangka mengenal karakteristik peserta didik melalui proses pembelajaran diantaranya dari gaya belajar dan keaktifan peserta didik di dalam kelas kemudian diadakan pendekatan individual dan tindak lanjut. Mencapai standar yang tinggi, antara lain nilai peserta didik tidak hanya mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) namun harus melebihi KKM baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotoriknya. Menggunakan penilaian autentik, yaitu

penilaian menyeluruh meliputi aspek kognitif (pengetahuan) yaitu, penilaian afektif (sikap) dan ketiga penilaian psikomotorik.

  Temuan diatas sesuai dengan delapan komponen CTL yang diutarakan oleh Johnson, yaitu (1) membuat keterkaitan yang bermakna, (2) pembelajaran mandiri (3) melakukan pekerjaan yang berarti, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan

  1 penilaian autentik.

  Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang berpandangan bahwa hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, karena belajar bukanlah sekadar menghafal akan tetapi mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ‘’pemberian’’ dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengonstruksi yang dilakukan setiap individu.

  Pembelajaran interaktif memiliki dua karakteristik yaitu ; 1.

  Proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi mengehendaki aktivitas peserta didik dalam proses berfikir.

2. Dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses

  tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan 1 meningkatkan kemampuan berfikir peserta didik, yang pada gilirannya

  

Elaine B. Jhonson, Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar kemampuan berfikir itu dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

  CTL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada

  proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga

  2 mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

  Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya:

  1. Menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan

  materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar peserta didik hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

  2. Mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan antara materi

  yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi peserta didik materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori peserta didik, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

2 Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual; Konsep dan Aplikasi (Bandung : Refika Aditama, 2010), 7.

3. Mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan,

  artinya model Pembelajaran Kontekstual bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari- hari. Materi pelajaran dalam konteks model Pembelajaran Kontekstual bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.

  CTL merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan

  antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran akademik dengan isi kehidupan sehari- hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya. Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas peserta didik dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri.

  CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki tujuh komponen.

  Komponen-komponen ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL, diantaranya ;

  1. Kontruktivisme Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan

  3 baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.

  Kontuktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan ini memberi makna melalui pengalaman yang nyata.

  2. Menemukan (inquiry) Inquiry adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan

  4

  penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri.

  3. Bertanya (Questioning) Unsur lain yang menjadi karekteristik utama CTL, adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan 3 strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus 4 Wina Sanjaya, Startegi Pembelajaran Berorientasi, (Jakarta : Kencana, 2008), 118.

  difasilitasi oleh guru, kebiasaan peserta didik untuk bertanya atau kemampuan dalam menggunakan pertnyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran.

  4. Masyarakat Belajar (Learning Community) Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan peserta didik untuk melakukan kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman- teman belajarnya. Seperti yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community dikembangkan.

  5. Pemodelan (Modelling) Yang dimaksud dengan modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap

  5

  siswa. Modelling merupakan komponen yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari pmbelajaran yang teoritis

  • –abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

  6. Refleksi (Reflection) Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berfikir ke belakang tentang 5 apa yang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lalu, peserta didik mengendapakan apa yang baru dipelajarinya sebagai stuktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, peserta didik diberi kesempatan untuk merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.

7. Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assessment )

  Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar peserta didik.

  Dengan terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap peserta didik.

  Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran, dan kesulitan siswa dalam belajar, dan dengan itu pula guru akan memiliki kemudahan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar dalam langkah selanjutnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan para guru Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan pendekatan kontestual :

  1. Pembelajaran Berbasis Masalah

  Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mengobservasi suatu fenomena, misalnya :

a. Menyuruh peserta didik untuk menonton VCD tentang kejadian

  manusia, rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, tentang Alam Akhirat, azab Ilahi, dan sebagainya.

  b.

  Menyuruh peserta didik untuk melaksanakan shaum pada hari senin dan kamis, membayar zakat ke BAZ, mengikuti sholat berjamaah di masjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir miskin

  Langkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah memerintahkan peserta didik untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah menonton VCD atau mendengarkan kisah-kisah Al Qur`an, peserta didik diharuskan membuat catatan tentang pengalaman yang mereka alami, melalui diskusi dengan teman-temannya. Setelah mengamati dan melakukan aktivitas keagamaan peserta didik diwajibkan untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul serta mereka dapat mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan dengan teman sekelasnya. Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah merangsang peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang ada. Langkah keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi peserta didik agar mereka berani bertanya, membuktikan asumsi dan mendengarkan pendapat yang berbeda dengan mereka.

  2. Memanfaatkan Lingkungan Peserta didik untuk Memperoleh Pengalaman Belajar

  Guru memberikan penugasan kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan peserta didik, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penugasan kepada siswa di luar kelas. Misalnya mengikuti sholat berjamaah, mengikuti sholat jum`at, mengikuti kegiatan ibadah qurban dan berkunjung ke pesantren untuk mewawancarai santri atau ustadz yang berada di pesantren tersebut. peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka lakukan mengenai materi yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan peserta didik dalam rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

  3. Memberikan Aktivitas Kelompok Di dalam kelas guru PAI diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Peserta didik di bagi kedalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas pembelajaran kelompok dapat memperluas perspektif dan dapat membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru dalam mempraktekan metode ini adalah : pembentukan kelompok, diantaranya : mendatangkan ahli ke kelas, misalnya Tokoh Agama, Santri atau Ulama dari pesantren, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas yang ada di atasnya.

  4. Membuat Aktivitas Belajar Mandiri Melalui aktivitas ini peserta didik mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

  5. Menyusun Refleksi Dalam melakukan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka peroleh dari pelajaran tentang sholat berjama`ah.

  Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia peserta didik, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar peserta didik. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire

  6 dalam Sanjaya sebagai sistem penindasan.

  Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan kontekstual yakni: 1.

  Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.

  2. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan

  memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.

  3. Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan

  antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan 6 demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu

  Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.

4. Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada

  (asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.

  B.

  

Implikasi Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Kontekstual di Sekolah

  Implikasi Contekstual teaching And Learning (CTL) dari hasil temuan penelitian di dua sekolah SMAN 1 Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu Kabupaten Tulungagung adalah : pertama pembelajaran PAI tidak hanya bertujuan mentransfer materi pelajaran namun lebih dari itu bagaimana peserta didik bisa berempati, bersimpati, bersyukur atas kenikmatan yang diperoleh. Pembelajaran tidak hanya mencangkup kognitif saja, namun ketrampilan dan pembentukan sikap, yang merupakan tuntutan kebutuhan peserta didik pada saat ini, kedua penyediaan fasilitas untuk keberhasilan dalam pembelajaran PAI, kreatifitas dan ide yang muncul dari para guru sangat dihargai dan semua kegiatan yang positif oleh Kepala Sekolah dan sponsor, ketiga kegiatan belajar mengajar melibatkan semua elemen, seperti keluarga, lembaga sekolah dengan semua warganya mulai dari Kepala Sekolah, semua guru tidak hanya guru PAI saja dan karyawan, keempat supervise Kepala Sekolah tidak hanya dilaksanakan di dalam kelas namun juga di luar kelas dengan ikut aktif mengikuti kegiatan ketika guru dan peserta didik melasanakan kegiatan yang ada di luar sekolah seperti kegiatan social atau yang lainnya, kelima memberikan pengalaman yang mendalam, antara lain lebih cepat menguasai materi pelajaran, memahami makna dan manfaat materi secara nyata, meningkatnya motivasi belajar, daya kreatifitasnya, pengetahuan, kemampuan berkomunikasi, kedisiplinan dan meningkatnya amalan-amalan dan ibadah yang dilakukan peserta didik, sehingga lebih mandiri khusu’dan bertanggungjawab sehingga akhlak menjadi lebih baik, peduli terhadap orang lain, optimis dalam menggapai masa depan dan semakin teguh dalam memegangi nilai-nilai agamanya dan mampu memposisikan dirinya menjadi manusia yang lebih bermartabat atau mempunyai harga diri, menjadi tauladan dan menemukan jati dirinya sebagai anak yang senatiasa harus belajar, keenam Guru menjadi action for example atau menjadi suri tauladan bagi anak didiknya, dan guru senantiasa belajar agar bisa mengikuti perkembangan sehingga mampu memberikan yang terbaik kepada peserta didik.

  Dari temuan diatas dapat digaris bawahi ada kencenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Sebagaimana diungkapkan Wina bahwa dalam Contekstual Teaching And Learning pembelajaran adalah pertama proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, kedua pembelajaran kontekstual adalah belajar dengan memperoleh dan menambah pengetahuan baru, ketiga pemahaman pengetahuan yang artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal akan tetapi untuk difahami dan diyakini, keempat mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman, kelima melakukan

  7 refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.

  Pendekatan konstektual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan sehari-hari .Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran alamiah berlangsung dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami,bukan mentrasfer pengetahuan dari guru ke peserta didik. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.

  Pembelajaran terkini merupakan pembelajaran integral, peserta didik berinteraksi dengan teman, pendidik dan lingkungan masyarakatnya dalam menguasai materi pembelajaran. Pendidik adalah pembimbing, pelatih dan pengembang kurikulum yang mempunyai kemampuan untuk menciptakan kondisi dan suasana belajar kondusif, yaitu suasana belajar menyenangkan, menarik, memberi rasa aman, memberikan ruang pada peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif, inovatif dan produktif dalam mengeksplorasi dan 7 mengelaborasi kemampuannya sebagai anak bangsa. Pendidik yang

  Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Ber profesional merupakan faktor penentu proses pembelajaran yang berkualitas. Untuk dapat menjadi pendidik profesional, seorang pendidik harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualisasi diri, sesuai dengan kemampuan dan kaidah-kaidah pendidik yang profesional. Untuk itu, pendidik diharapkan tidak hanya sebatas menjalankan profesinya, tetapi pendidik harus memiliki interest yang kuat dalam melaksanakan tugasnya, sesuai dengan kaidah- kaidah profesionalisme yang dipersyaratkan. Pendidik dalam era teknologi informasi dan komunikasi sekarang, bukan hanya sekadar mengajar (transfer

  

of knowledge ), melainkan harus menjadi manajer belajar. Hal tersebut

  mengandung arti, setiap pendidik diharapkan mampu menciptakan kondisi belajar yang menantang kreativitas dan aktivitas peserta didik, memotivasi peserta didik, menggunakan multi-media, multi-metode, multi-model dan multi-sumber, agar mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

  Dalam konteks materi Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan materi untuk mencapai hasil pendidikan berkarakter. Hasil pendidikan berkarakter tersebut adalah jujur, relegius, disiplin, kerja keras, toleransi, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, peduli lingkungan dan peduli sosial. Untuk mencapai sebelas hasil pendidikan berkarakter itu diperlukan CTL. CTL merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat membantu pendidik, mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan

  8

  masyarakat. CTL sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar peserta didik untuk mencari, mengolah dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas peserta didik dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Pembelajaran tidak sekadar dilihat dari segi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses. CTL bukan hanya transformasi pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi peserta didik untuk mencari kemampuan bisa hidup (life skill) dari apa yang dipelajarinya.

  Dengan demikian, pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah/madrasah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dari segi fisik), akan tetapi secara fungsional, sebab apa yang dipelajari di sekolah/madrasah senantiasa bersentuhan dengan situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungannya (keluarga dan masyarakat). Secara sederhana CTL adalah proses pembelajaran yang membawa peserta didik ke alam nyata, peserta didik berpikir bukan melalui isi buku, bukan menghafal konsep dan doktrin, tetapi menggali ilmu dan keterampilan dari kenyataan yang sebenarnya.

  Komponen model pembelajaran kontekstual meliputi, menjalin hubungan- hubungan yang bermakna (making meaningful connections), mengerjakan 8 pekerjaan-pekerjaan yang berarti (doing significant work), melakukan proses Rusman, Model-Model Pembelajaran, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2011),189. belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), mengadakan kolaborasi

  

(collaborating ), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking),

  memberikan layanan secara individual (nurturing the individual), mengupayakan pencapaian standar yang tinggi (reaching high standars), dan menggunakan asesmen autentik (using authentic assessment). Hal diatas karena hasil yang diharapkan dalam pembelajaran melalui pendekatan CTL antara lain adalah:

  1. Peserta didik belajar melaui mengalami bukan menghafal.

  2. Peserta didik mampu mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

  3. Peserta didik terbiasa memecahkan masala, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide.

  4. Peserta didik menjadi aktif, kritis dan kreatif.

  5. Kelas menjadi produktif, menyenagkan dan tidak membosankan.

  6. Dinding kelas dan lorong-lorong sekolah penuh dengan hasil karya peserta didik, peta, gambar, artikel, puisia, komentar, foto tokoh, diagram- diagram.

  7. Peserta didik selalu dikepung berbagai informasi, kelas CTL adalah siswa yang selalu ramai dan gembira dalam belajar.

  Ciri kelas yang menggunakan pendekatan konstektual : Pengalaman nyata, kerja sama dan saling menunjang, gembira dan belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, peserta didik aktif dan kritis, menyenangkan dan tidak membosankan, sharing dengan teman, guru kreatif. Sehingga dengan demikan pendekatan kontekstual memiliki implikasi sebagai berikut: memberikan kesempatan pada peserta didik untuk dapat maju terus sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik terlibat aktif dalam proses belajar mengajar, peserta didik dapat berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu dan emecahkan masalah dan guru dapat lebih kreatif, menyadarkan siswa tentang apa yang mereka pelajari, pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan peserta didik tidak ditentukan oleh guru, pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan, membantu siwa bekerja dengan efektif dalam kelompok, terbentuk sikap kerja sama yang baik antar individu maupun kelompok.

C. Alasan Penerapan Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Kontekstual (Contekstual Teaching And Learning) di Sekolah

  Dari temuan data di dua sekolah pendekatan Kontekstual ( Contekstual

  

Teaching And Learning ) mampu membentuk kepribadian muslim di SMAN

  1 Kedungwaru Tulungagung adalah dikarenakan beberapa hal yaitu ;

  

Pertama , komponen-komponen yang ada dalam pendekatan kontekstual

  diantaranya membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi,dan menggunakan penilaian autentik sesuai dengan kebutuhan dan merupakan sebuah proses yang tepat dalam rangka membentuk pribadi muslim peserta didik. Kedua, pembelajaran mengarah pada keaktifan peserta didik (student oriented) berbeda dengan pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru (teacher oriented). Sehingga peserta didik lebih menyukai proses pembelajaran yang mengaktifkan mereka sehingga menjadi lebih semangat dalam belajar. Ketiga, pendekatan kontekstual merupakan sarana yang efektif bagi guru untuk mempermudah proses pembelajaran kepada peserta didik dalam memberikan pendidikan yang bermakna dan berkesan.Keempat, pembelajaran kontekstual menggunakan penilaian autentik yaitu penilaian menyeluruh sehingga peserta didik senantiasa membiasakan diri berperilaku yang baik. Kelima, Komponen-komponen dalam pendekatan kontekstual sesuai dan sangat mendukung bagi terwujudnya visi dan misi sekolah.

  Dari temuan diatas bahwasannya pendekatan kontekstual dapat membantu pada pembentukan kepribadian peserta didik kearah yang lebih baik, menurut

  9 Johnson ada tiga pilar dalam system CTL antara lain :

  1. CTL mencerminkan prinsip kesaling ketergantungan Kesaling ketergantungan mewujudkan diri. Misalnya ketika para peserta didik bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan rekanya. Hal ini tampak jelas ketika subyek yang berbeda dihubungkan dan ketika kenitraan menggabungkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas. 9

  2. CTL mencerminkan prinsip berdeferensiasi

  

Elaine B. Jhonson, Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar

  Ketika CTL mendorong para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama ,untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda , dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tabda kemantapan dan kekuatan.

  3. CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri Pengorganisasian diri terlihat para siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda , mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha- usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada peserta didik yang membuat hati mereka bernyanyi.

  Landasan filosofi CTL adalah kontruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal .Peserta didik harus mengkontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan menjadi fakta atau proposisi yang terpisah ,tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan.

  Kontruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas John Dewey pada awal abad ke-20 yaitu sebuah filosofi belajar yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa. Peserta didik akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya mengetahuinya.

  Seiring dengan perkembangan zaman kepribadian muslim dapat dibentuk dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual Sanjaya memberikan penjelasan perbedaan pembelajaran kontekstual dengan

  10

  pembelajaran konvensional , antara lain:

  1. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa sebagai subjek belajar,

  artinya siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.

  2. Dalam pembelajaran kontekstual siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi.

  Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.

  3. Dalam pembelajaran kontekstual, pembelajaran dikaitkan dengan

  kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.

  4. Dalam pembelajaran kontekstual, kemampuan didasarkan atas

  pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.

10 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajar an Berorientasi…, 115.

  .

  5. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui model Pembelajaran

  Kontekstual adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.

  6. Dalam pembelajaran kontekstual, tindakan atau perilaku dibangun atas

  kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.

  7. Dalam pembelajaran kontekstual, pengetahuan yang dimiliki setiap

  individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.

  8. Dalam pembelajaran kontekstual, peserta didik bertanggung jawab dalam

  memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.

  9. Dalam pembelajaran kontekstual, pembelajaran bisa terjadi di mana saja

  dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.

10. Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan

  siswa, maka dalam Pembelajaran Kontekstual keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.

Dokumen yang terkait

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Paparan Data - IMPLEMENTASI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER KEAGAMAAN DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MADRASAH ALIYAH MA’ARIF UDANAWU BLITAR - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 35

BAB V PEMBAHASAN - IMPLEMENTASI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER KEAGAMAAN DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MADRASAH ALIYAH MA’ARIF UDANAWU BLITAR - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 29

BAB 1 PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian - STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES (KECERDASAN MAJEMUK) PADA MATA PELAJARAN AQIDAH AKHLAQ DI MTS NEGERI BANDUNG TULUNGAGUNG - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Strategi Pembelajaran 1. Pengertian Strategi Pembelajaran - STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES (KECERDASAN MAJEMUK) PADA MATA PELAJARAN AQIDAH AKHLAQ DI MTS NEGERI BANDUNG TULUNGAGUNG - Institutional Repository

0 0 44

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian - STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES (KECERDASAN MAJEMUK) PADA MATA PELAJARAN AQIDAH AKHLAQ DI MTS NEGERI BANDUNG TULUNGAGUNG - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 16

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data 1. Desain Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences (kecerdasan majemuk) Pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq Di MTs Negeri Bandung Tulungagung - STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES (KECERDASAN M

0 0 67

BAB V PEMBAHASAN A. Desain Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences (kecerdasan majemuk) Pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq Di MTs Negeri Bandung Tulungagung - STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES (KECERDASAN MAJEMUK) PADA MATA PELAJAR

0 1 13

Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Kontekstual dalam Membentuk Kepribadian Muslim Peserta Didik di SMAN 1 Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu Kabupaten Tulungagung. A. Pendahuluan - PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMBE

0 0 18

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MUSLIM PESERTA DIDIK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 1 97

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MUSLIM PESERTA DIDIK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 79