PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNAAN ALAT TANGKAP IKAN ILLEGAL (Studi Pada Ditpolair Polda Lampung)

  PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNAAN ALAT TANGKAP IKAN ILLEGAL (Studi Pada Ditpolair Polda Lampung) (Jurnal) Oleh Muhammad Gibran

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

  

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNAAN ALAT

TANGKAP IKAN ILLEGAL

(Studi Pada Ditpolair Polda Lampung)

Oleh

  

Gibran Muhammad, Gunawan Jatmiko, Eko Raharjo

  (Email : Pukat Hela menjadi masalah karena dampaknya pada lingkungan. Karena pukat hela menggunakan alat tangkap berat yang diletakkan di dasar laut, hal itu menyebabkan kehancuran ekosistem laut yaitu kerusakan terumbu karang yang merupakan habitat ikan dan juga merusak rumput laut. Demikian kita semua sadar bahwa setiap makhluk butuh waktu untuk berkembang biak. Inilah masalah utama dari pukat hela. Semua ikan (dewasa maupun kecil) terjaring oleh pukat hela karena ukuran lubang jalanya sangat kecil jika dibandingkan dengan jaring yang dipakai oleh nelayan tradisional. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer data sekunder serta pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, studi dokumen dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data,seleksi data, klasifikasi data dan sistematika data. Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana oleh Ditpolair Polda Lampung dalam menangani nelayan yang melakukan tindak pidana berupa penangkapan ikan secara illegal menggunakan pukat hela atau trawl tersebut. Tindak Pidana yang sering dilakukan oleh nelayan tersebut adalah tindak pidana berdasarkan Undang-undang no 45 tahun 2009 jo. Undang-undang no 31 tahun 2004 tentang Perikanan seperti : memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Adapun faktor penghambat yang dialami oleh Penyidik Ditpolair, Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut, dan penyidik pegawai negeri sipil Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana dibidang perikanan meliputi faktor undang-undang, penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat, serta kebudayaan. Penulis memberikan saran kepada Direktur Pol Air Polda Lampug, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung dan Kepala Markas Komando Pangkalan Angkatan Laut agar dapat menambah jumlah Penyidik, serta dibuat nota kesepahaman antara Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut, Penyidik Dit Polair, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan agar didapat kesamaan persepsi penanganan tindak pidana dibidang perikanan. Guna memaksimalkan pelaksanaan penegakan hukum maka disarankan kepada Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut, Penyidik Dit Polair dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, agar dapat melakukan evaluasi secara bersama-sama serta mencari solusi pemecahan masalah yang seringkali dihadapi

  

ABSTRACT

LAW ENFORCEMENT AGAINST THE USE OF ILLEGAL FISHING

EQUIPMENT (A Study in Ditpolair Lampung Police)

By

  

Gibran Muhammad, Gunawan Jatmiko, Eko Raharjo

  (Email : Hela trawl is becoming an issue because of its impact to the environment. The reason is because Hela trawl is equipped with heavy fishing gear placed on the sea floor, which causes the destruction of marine ecosystems and damage coral reefs as the habitat for fishes and also it can damage the seaweed. Thus we are all aware that every creature needs time to breed. This is the main problem of the trawl hela. All fishes (adult or small) caught by hela trawl's nets because the size of the hole is very small when compared with a net used by traditional fishermen. This research used empirical and normative approaches with descriptive analysis. The data used consist of primary and secondary data; while the data collection was done though literature study, documents study and interviews. The data processing strategy was done through data checking, data selection, data classification and data systematization. The data has been processed and analyzed using qualitative descriptive method. The results and discussions of the research showed that the enforcement of the criminal law by Ditpolair Lampung Police in dealing with fishermen who commit criminal acts such as illegal fishing using purse seine or hela trawl. The crime committed by the fishermen has been regulated under Act No. 45/2009 jo. Act No. 31/2004 on Fisheries which includes: It is unlawful to own, control, carry and/or use of the fishing equipment and/or fishing disrupt and damage the sustainability of fish resources in the fishing vessel in the fishery management area of the Republic of Indonesia. There were several inhibiting factor encountered by investigators of Ditpolair police, Investigator of Navy personnel, and investigator of Civil Servants Marine and Fisheries Agency of Lampung Province in enforcing the law against the perpetrators of criminal acts in the fishery factors which includes the legislation, law enforcement, infrastructure, community , as well as culture. It is suggested that the Director of Police Water (Ditpolair) of Lampung Police, Head of Marine and Fisheries Agency of Lampung Province and the Chief of the Command Headquarters Naval Base should increase the number of investigators, as well as to create a memorandum of understanding between the Investigator of Navy personnel, Investigator of DitPolair, and the Investigator of Civil Servant Marinr and Fisheries Agency in order to obtain a common perception on the prevention of fisheries criminal acts. In order to maximize the implementation of law enforcement, it is suggested that the to Investigator of Navy personnel, Investigator of DitPolair and Investigator of Civil Servant Marine Fisheries to perform an evaluation together and to find solutions for problems that are impediments to law enforcement. Keywords: Law Enforcement, Fisheries Crime, Investigation.

I. PENDAHULUAN

  Tindak pidana illegal fishing khususnya penangkapan ikan menggunakan pukat hela atau trawl di Lampung telah banyak terjadi, baik itu jenis kejahatan tradisional yang dilakukan dengan perahu nelayan atau pun kapal gardan sebagai sarana untuk mempermudah dalam melaksanakan tindak pidana tersebut dan juga tindak pidana yang mengacu pada perusakan ekosistem sebagai unsur utamanya. Seperti dalam contoh kasus berikut ini: Ditpolair Polda Lampung mengamankan enam kapal nelayan yang menggunakan pukat hela di Perairan Seputih Tulangbawang, Sabtu, 8 Maret 2014. Polisi juga menangkap keenam nahkoda kapal berserta anak buah kapal. Semua tersangka berasal dari Desa Kluwut, Bulakamba, Brebes, Jawa tengah. “Jaring yang digunakan oleh para tersangka tidak diperbolehkan karena akan ikut menjaring ikan-ikan kecil. Selain itu, mereka juga tidak memikirkan nasib nelayan tradisional,” ujar Ditpolair Polda Lampung Kombes Edison dalam ekspose yang digelar Kamis, 13 Maret 2014.

  tersangka, Kusnendi (35), mengaku sudah lama bekerja menggunakan jaring 2,5 sentimeter disertai pelampung dan pemberat. “Saya sudah bekerja selama empat tahun. Kami memang menangkap ikan di dasar laut,” kata Kusnendi. 1

  

  Sementara Jauhari, tersangka lain, mengaku menangkap ikan sampai ke Lampung karena mengikuti arah angin. “Selain itu, saya tidak berani mencari ikan di daerah sendiri. Bisa dihajar nelayan tradisional bahkan kapal kami bisa dibakar,” katanya.

  Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan pada Pasal 9 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (5) dan Pasal 85, sesuai dengan undang-undang tersebut maka tersangka yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan diancam hukuman paling lama lima (5) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,-rupiah (2 milliar rupiah).

  Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memastikan penggunaan alat penangkapan ikan (API) jenis

  trawl atau pukat atau cantrang tak

  lagi diperbolehkan. Aturan tersebut diatur dalam Permen KP No.2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine

  Nets ) di Wilayah Pengelolaan

1 Salah seorang nahkoda yang menjadi

  Perikanan Negara Republik Indonesia, meskipun pemerintah daerah ingin memberikan izin kepada nelayan di atas 30GT, kapal tersebut hanya bisa beroperasi di bawah 12 mil, wilayah yang menjadi otoritas provinsi.

  2 Pasalnya, Susi

  memastikan nelayan di daerah lain pasti juga tidak ingin wilayah perairannya dirusak oleh cantrang. “Di Kalimantan, Arafuru, Papua,

   mereka semua tidak membolehkan. Karena kalau nelayan yang pakai cantrang masuk, nelayan tradisional Papua yang modernitasnya jauh di bawah nelayan Jawa pasti susah dapat ikan,” ucap Susi, Jakarta, Selasa (24/2/2015). Atas dasar itu, kata dia, pemerintah wajib memberikan proteksi sampai nelayan di Papua, hingga mereka bisa mengelola sendiri hasil lautnya. “Bukan karena nelayan Papua tidak mampu, lantas kita boleh semena- mena mengambil hasil laut Papua,” imbuh Susi.

  Tugas Pokok Kepolisian Perairan adalah Membina dan Menyeleng- garakan fungsi Kepolisian Perairan dalam rangka Melayani, Melindungi, Mengayomi, serta memelihara keamanan dan ketertiban Masyarakat dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia.

  Ditpolair Polda Lampung dalam melakukan penegakan hukum terhadap nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan illegal dalam hal ini pukat hela atau trawl adalah luas nya daerah perairan Lampung yang membuat kesulitan untuk mengawasi akan penggunakan alat tangkap tersebut dan juga adanya tumpah tindih peraturan antara PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), TNI Angkatan Laut serta Kepolisian Air dalam proses penegakan yang terjadi di perairan laut.

  Bahwa dalam upaya pengamanan dan penegakan hukum di wilayah perairan laut indonesia terdapat tiga instansi yang berwenang yang masing-masing didukung oleh undang-undang tersendiri, ketiga instansi tersebut yakni Kepolisian Negara Republik indonesia, dimana berdasarkan pasal 13 dan 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa kepolisian berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya.

  TNI Angkatan Laut, dimana berdasarkan pasal 9 Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, menyatakan bahwa selain melaksanakan tugas di bidang pertahanan, TNI Angkatan Laut juga bertugas menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional. disamping itu dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah No.

3 Hambatan atau faktor penghambat

  27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP beserta penjelasannya ditegaskan bahwa penyidikan dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Indonesia, dilakukan oleh Perwira TNI Angkatan Laut dan penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya.

  Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dimana berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang. Selain itu Wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana diwilayah perairan laut juga secara tegas dinyatakan dalam berbagai mengatur baik mengenai wilayah perairan laut indonesia maupun mengenai tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.

  Keadaan yang demikian ini menimbulkan tumpang tindih (overlapping) kewenangan dalam bidang penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang terjadi diwilayah perairan laut, hal ini mengakibatkan ketidakefektifan upaya pemberantasan tindak pidana diwilayah perairan laut apabila penegakan hukum ditangani oleh instansi terkait secara sektoral tanpa ada koordinasi.

  Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penggunaan Alat Tangkap Ikan Illegal (Studi Pada Ditpolair Polda Lampung)”.

  Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : a.

  Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap penggunaan alat tangkap ikan illegal khususnya pukat hela atau trawl di laut Lampung ? b. Apakah faktor penghambat yang dihadapi Ditpolair dalam penegakan hukum tindak kejahatan penangkapan ikan menggunakan pukat hela atau

  trawl di wilayah hukum Ditpolair

  Polda Lampung ? Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer data menggunakan studi kepustakaan, studi dokumen dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, seleksi data, klasifikasi data dan sistematika data. Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Penegakan Hukum Terhadap penggunaan Alat tangkap ikan illegal khususnya pukat hela atau trawl di Perairan Lampung.

  Pukat hela merupakan alat penangkap ikan terbuat dari jaring berkantong yang dilengkapi dengan atau tanpa alat pembuka mulut jaring dan pengoperasiannya dengan cara dihela disisi atau di belakang kapal yang sedang melaju.

  4 Penegakan hukum mempunyai arti

  menegakkan, melaksanakan ketentuan dalam masyarakat, sehingga secara luas penegakan hukum merupakan proses berlangsungnya perwujudan konsep- konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Proses penegakan hukum dalam kenyataanya memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengertian penegakan hukum, dalam bentuk kongkritnya di bidang perairan adalah segala kegiatan operasional yang diselenggarakan di seluruh perairan dalam rangka menjamin tegaknya hukum nasional. Pukat Hela merupakan kelompok alat penangkapan ikan terbuat dari jaring berkantong yang dilengkapi dengan atau tanpa alat pembuka mulut jaring dan pengoperasiannya dengan cara dihela di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju. Alat pembuka mulut jaring dapat terbuat dari bahan besi, kayu atau lainnya. Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dilakukan dengan cara menghela pukat di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju

  5 .

  Pengoperasiannya dilakukan pada kolom maupun dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal termasuk udang dan crustacea lainnya tergantung jenis pukat hela yang digunakan. Pukat hela dasar dioperasikan di dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan demersal, udang dan crustacea lainnya. Pukat hela pertengahan dioperasikan di kolom perairan, umumnya menangkap ikan pelagis, namun pukat hela juga merusak semua yang dilaluinya sehingga memperkeruh dasar lautan dan juga menangkap ikan

  • – ikan kecil yang seharusnya belum dapat ditangkap. Menurut data yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 terdapat 92 nelayan yang masih menggunakan alat tangkap pukat hela di perairan lampung dan dari jumlah tersebut dinas kelautan dan perikanan berupaya untuk menegakan hukum sesuai dengan Peraturan Menteri No.2 tahun 2015 tentang perikanan, serta Dinas
  •   

      Kelautan dan Perikanan (PPNS) Bandarlampung mengimbau nelayan daerah ini untuk memakai peralatan tangkap ikan yang ramah lingkungan untuk menjaga kelestarian ekosistem laut.

      6 Penegakan hukum di laut

      mempunyai pengertian segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjamin keselamatan dan keamanan di laut yurisdiksi nasional Indonesia, baik keselamatan dan keamanan manusia, lingkungan alam, maupun keselamatan dan keamanan pelayaran. Penegakan hukum di perairan berbeda dengan penegakan hukum di darat, terutama karena di perairan/ laut bertemu dua kepentingan hukum, yaitu kepentingan hukum nasional dan hukum internasional, sedangkan di darat hanya mewadahi kepentingan hukum nasional. Dengan kata lain, penegakan hukum di perairan berarti juga menegakkan hukum, konvensi atau semua aturan yang telah disepakati dunia Internasional, di mana pemerintah Indonesia ikut menandatangani konvensi/aturan- aturan tersebut, atau telah meratifikasinya dengan menerbitkan undang-undang terkait dengan hal tersebut.

      7 Bahwa dalam upaya pengamanan

      dan penegakan hukum di wilayah perairan laut indonesia terdapat tiga instansi yang berwenang yang masing-masing didukung oleh 6 Hasil Wawancara dengan Endro Basuki di

      Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung pada tanggal 14 November 2016. 7 Hasil Wawancara dengan Susanto di Direktorat Polisi air (Ditpolair) Polisi

    8 TNI Angkatan Laut, dimana

    • – Undang RI No.31 tahun 2004 tentang perikanan jo. Undang –

      11 Berdasarkan surat edaran 72/MEN-

      Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung pada tanggal 14 November 2016. 11 Hasil Wawancara dengan Susanto di Direktorat Polisi air (Ditpolair) Polisi

      yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) selain menyebabkan kerusakan lingkungan 10 Hasil Wawancara dengan Endro basuki di

      derogat legi generali dimana hukum

      31 Desember 2016 tersebut bertentangan dengan Undang- Undang no. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan jo. Undang-Undang no.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka penulis berpedapat hal ini tidak sesuai dengan asas lex specialis

      KP/II/2016 Tentang Pembatasan penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang sampai dengan

      Undang No 45 tahun 2009 tentang perikanan. Berdasarkan aturan-aturan tersebut sudah dijalankan efektifoleh Ditpolair Polda Lampung.

      undang-undang tersendiri, ketiga instansi tersebut yakni Kepolisian Negara Republik indonesia, dimana berdasarkan pasal 13 dan 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa kepolisian berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya.

      hukum terhadap illegal fishing khusunya penggunaan alat tangkap ikan illegal menggunakan pukat hela menurut Susanto adalah Undang

      10 Adapun aturan mengenai penegakan

      wewenang khusus oleh undang- undang. Selain itu Wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana diwilayah perairan laut juga secara tegas dinyatakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur baik mengenai wilayah perairan laut indonesia maupu mengenai tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.

      Direktorat Polisi air (Ditpolair) Polisi Daerah Lampung pada tanggal 16 November 2016. 9 Hasil Wawancara dengan David di Pangkalan Angkatan Laut Tentara Republik

      (PPNS), dimana berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi 8 Hasil Wawancara dengan Susanto di

      27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP beserta penjelasannya ditegaskan bahwa penyidikan dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Indonesia, dilakukan oleh Perwira TNI Angkatan Laut dan penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya.

      berdasarkan pasal 9 Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, menyatakan bahwa selain melaksanakan tugas di bidang pertahanan, TNI Angkatan Laut juga bertugas menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional. disamping itu dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah No.

    9 Penyidik Pegawai Negeri Sipil

      penggunaan alat tangkap pukat hela ini juga merusak ekosistem di Perairan Lampung, dan juga terdapat adanya tumpah tindih peraturan antara PPNS Dinas Kelautan dan Perikanan, Penyidik Dit Polair Polda Lampung dan Penyidik TNI Angkatan Laut yang menyebabkan dapat menghambat keberhasilan pelaksanaan penyidikan. Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana menggunakan pukat hela di Perairan Lampung meningkat, selain karena faktor permintaan ikan yang banyak adapun peraturan yang memperbolehkan nelayan menggunakan alat tangkap tersebut sesuai dengan surat edaran 72/MEN- KP/II/2016 Tentang Pembatasan penggunaan alat tangkap ikan cantrang sampai dengan

      31 Desember 2016, Luasnya Perairan Lampung juga menyulitkan PPNS Dinas Kelautan dan Perikanan, Penyidik Dit Polair Polda Lampung dan Penyidik TNI Angkatan Laut dalam proses penegakan hukum dan terdapat adanya oknum yang membiarkan tindak pidana itu terjadi salah satu penyebab alat tangkap Pukat Hela masih bebas digunakan di Perairan Lampung.

      Selain itu dampak yang ditumbalkan karena penggunaan alat tangkap pukat hela ini adalah hasil tangkapan

      trawl dan cantrang tidak selektif

      dengan komposisi hasil tangkapan yang menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya. Biota-biota yang belum matang gonad dan memijah yang ikut tertangkap tidak dapat berkembang biak menghasilkan individu baru. Kondisi ini menyebabkan deplesi daya ikan, hasil tangkapan akan semakin berkurang, biota yang dibuang akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan. Analisis stok sumber daya perikanan pun menjadi kurang akurat sehingga menyebabkan tidak sesuainya kebijakan pengelolaan dan kenyataan kondisi sumber daya perikanan. Pengoperasian trawl dan cantrang yang mengeruk dasar perairan dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi pemijahan biota laut. Meskipun Cantrang menghindari Terumbu Karang, tetapi kelompok-kelompok kecil karang hidup yang berada di dasar perairan akan ikut tersapu. Dampak selanjutnya mengganggu dan merusak produktivitas dan habitat biota pada dasar perairan di mana dasar perairan adalah habitat penting di laut karena terdiri dari ekosistem terumbu karang, lamun, dan substrat pasir atau lumpur. Sumber daya ikan di perairan Laut Lampung mengalami degradasi dikarenakan padatnya aktivitas penangkapan dari berbagai daerah termasuk dalam penggunaan alat tangkap trawl dan cantrang. Fishing

      ground (lokasi penangkapan)

      nelayan akan ikut berpindah dan menjauh, serta biaya operasional penangkapan semakin tinggi. Standar Operasional Prosedur (SOP) penyidik ditpolair ketika ada nelayan yang melakukan penangkapan menggunakan alat tangkap ikan illegal dalam hal ini pukat hela adalah ketika menemukan nelayan yang menggunakan alat tangkap tersebut maka akan dilakukan pemeriksaan dokumen dan alat pemeriksaan tersebut maka akan dimintai keterangan seluruh kru kapal selanjutnya adalah meminta bantuan saksi ahli dalam hal ini dari PPNS (Dinas Kelautan dan Perikanan) provinsi Lampung apakah termasuk kedalam pelanggaran dokumen atau pelanggaran menggunakan alat tangkap akan dilakukan 2 proses yaitu Pembinaan dan pelimpahan kasus tersebut kejaksaan untuk diproses lebih lanjut.

      Standar Operasional Prosedur yang dilakukan lanal ketika ada nelayan yang melakukan penangkapan ikan menggunakan pukat hela adalah anggota atau yang berwenang tersebut mendapat surat perintah sebagai penyidik, info tersebut dapat diperoleh dari masyarakat ataupun anggota lanal itu sendiri terhadap tindakan pelanggaran tersebut dan informasi tersebut akurat. Setelah mendapat surat perintah maka akan dilakukan penangkapan kemudian dilanjutkan pelimpahan ke kejaksaan untuk dilakukan penengakan hukum terhadap tindak pidana tersebut, adapun kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi lampung terhadap pelanggar tindak pidana tersebut yaitu dapat berupa pembinaan agar kedepannya tidak terdapat lagi nelayan yang menggunakan pukat hela di provinsi Lampung. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Dinas kelautan dan Perikanan, Polair, dan Lanal Lampung dalam mencegah terjadinya kejahatan Illegal Fishing, antara lain sebagai berikut : a.

      Melaksanakan Patroli Mengadakan patroli merupakan salah satu upaya efektif dalam mencegah terjadinya praktek Ilegal Fishing. Dengan mengadakan patroli aparat dapat mengetahui secara langsung sesuai dengan mandat yang telah diberikan kepada instansi-instansi tersebut.

      Polair juga melakukan patroli di daerah-daerah yang rawan terjadi Illegal Fishing. Jenis patroli pun dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah laut, diantaranya : a.

      Patroli Rutin, yaitu patroli yang dilakukan secara terus-menerus, sesuai degan jadwal yang telah ditetapkan.

      b.

      Patroli Selektif, yaitu patroli yang dilakukan di daerah-daerah tertentu atau daerah yang disangka sering terjadi praktek Illegal Fishing.

      c.

      Patroli Insidentil, yaitu Patroli yang dilaksanakan pada tempat- tempat terjadinya kejadian perkara (TKP).

      b.

      Meningkatkan Kesadaran Hukum Para Nelayan

      Tingkat kesadaran hukum para nelayan, merupakan salah satu peran serta untuk menekan terjadinya prakter Illegal fishing . Dengan tingginya kesadaran hukum nelayan tidak akan melakukan tindak pidana perikanan dalam hal apapun, selain itu masih rendahnya tingkat pendidikan nelayan, sehingga pengetahuan akan hukum perikanan masih minim. Ini dibuktikan dengan belum adanya sosialisasi Undang- Undang perikanan No. 31 Tahun 2004 telah keluar Undang-Undang No.45 Tahun 2009. Sedangkan upaya non penal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penangkapan ikan menggunakan pukat hela oleh nelayan yakni melakukan patroli di wilayah- wilayah yang rawan terjadinya

      illegal fishing

      serta melakukan sosialisasi atau pembinaan terhadap nelayan, agar masyarakat tau akan perbuatan-perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang. Sehingga outputnya akan terjadi suatu kesadaran hukum bagi para nelayan tersebut untuk tidak melakukan illegal fishing di wilayah perairan Lampung. Sebagai contoh kasus, pada tanggal 14 mei 2016 Ditpolair Polda Lampung berhasil menangkap kapal yang diduga menangkap ikan menggunakan jarring yang tidak sesuai dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) di perairan laut Labuhan Maringai yaitu inisial S dan I yang menggunakan ukuran kantong jaring yang tidak sesuai dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) berikut barang bukti yang diamankan 1 unit KM.Citra Arum sari berikut dokumen dan 1 unit alat tangkap jenis cantrang. Kedua pelaku melanggar Pasal 85 UU RI no. 45 Tahun 2009 tentang perubahan UU RI No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

       Faktor penghambat yang dihadapi Ditpolair dalam penegakan hukum tindak kejahatan penangkapan ikan menggunakan pukat hela atau trawl di wilayah hukum Ditpolair Polda Lampung 12 Hasil Wawancara dengan Susanto di Direktorat Polisi air (Ditpolair) Polisi

      Berdasarkan keterangan Susanto faktor penghambat yang dihadapi Ditpolair Polda Lampung dalam penegakan hukum tindak kejahatan penangkapan ikan menggunakan pukat hela atau trawl di wilayah hukum Polda Lampung adalah faktor cuaca yang menghambat anggota kepolisian Ditpolair Polda Lampung dalam menjalankan tugas nya di laut, maka dari itu menurut keterangan beliau dibutuhkan adanya koordinasi dengan BMKG ( Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ) provinsi Lampung untuk mengetahui cuaca agar anggota kepolisian yang menjalankan patroli dapat menghindari adanya gangguan cuaca di perairan lampung.

      13 Menurut Endro Basuki Prabowo

      adalah kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki Dinas Kelautan dan Perikanan seperti 1 searider dan 9 kapal lainnya yang tersebar di provinsi Lampung dilihat dari jumlah ini sangat mustahil untuk PPNS dalam mengawasi seluruh daerah perairan provinsi Lampung, SDM yang kurang lebih 15 orang namun yang bersertifikat PPNS (Penyidik Pegawai negeri sipil) yang disumpah dan memiliki ktp (kartu tanda penyidik) sebanyak 2-3 orang serta terbatasnya pembiayaan dalam operasi yang dilakukan dinas kelautan dan perikanan.

    12 B.

      14 Serta menurut keterangan David

      adalah kapal angkatan laut yang 13 Hasil Wawancara dengan Susanto di

      Direktorat Polisi air (Ditpolair) Polisi Daerah Lampung pada tanggal 16 November 2016. 14 Hasil Wawancara dengan Endro Basuki di terbatas dalam mengawasi daerah provinsi lampung yang ditarik dari bibir pantai sampai ke laut lepas, dan pos

    • – pos angkatan laut di pesisir yang terbatas membuat angkatan laut kesulitan dalam mengawasi daerah perairan provinsi lampung.

      faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap penggunaan alat tangkap ikan illegal khusus nya trawl di wilayah hukum ditpolair polda lampung yaitu luas laut yang luas tidak sebanding dengan kesatuan dalam melakukan pengawasan, sarana dan prasarana yang kurang memadai terkait dengan perkembangan teknologi, dalam proses penangkapan seringkali terdapat adanya oknum yang memberikan izin dalam menggunakan alat tangkap ikan tersebut.

       Simpulan

      Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

      1. Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, TNI Angkatan laut, dan Ditpolair Polda Lampung dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana penangkapan ikan

      15 Hasil Wawancara dengan David di Pangkalan Angkatan Laut Tentara Republik Indonesia (TNI) pada tanggal 24 November 2016. 16 Hasil Wawancara Sanusi Husin Dosen

      illegal menggunakan pukat hela sebagai berikut : a.

      Upaya Preventif yaitu dengan cara penyuluhan dan sosialisasi yang dilakukan dengan cara pertemuan biasa dengan masyarakat untuk membicarakan hukum yang berlaku sehingga masyarakt tau tentang hukum, mengadakan patroli keamanan laut untuk menjaga untuk melestarikan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan praktik pidana illegal fishing, mengadakan kegiataan peningkatan ekonomi dengan mengadakan pemberdayaan nelayan pesisir untuk mengelola hasil tangkapan, membentuk kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) yaitu sebagai bagian dari sistem pencegahan pelanggaran dan pemamfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan serta perpanjangan tangan dari mitra PPNS.

    15 Sementara itu menurut Sanusi Husin

    16 III. PENUTUP A.

      b.

      Upaya Represif yaitu dengan cara menangkap, menahan dan memeriksa tersangka, menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan berupa memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan, dan menandatangani berita acara dan menyerahkan berkas acara ke kejaksaan.

      2. Hambatan yang dihadapi dalam melakukan penegakan hukum terhadap penggunaan alat tangkap ikan illegal di wilayah perairan Provinsi Lampung hukum terhadap pelaku tindak pidana di bidang perikanan pada prinsipnya hanya dapat dilakukan apabila diketahui terdapat cukup bukti telah terjadi tindak pidana di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang dilakukan oleh setiap orang atau badan hukum, selanjutnya terhadap pelaku tindak pidana tersebut dilakukan pemeriksaan berupa penyidikan, faktor penegak hukum itu sendiri yakni minimnya pelaksaan koordinasi antar lembaga penyidik serta minimnya jumlah Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut serta PPNS Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum, sarana prasarana, biaya operasional, keterbatasan sumberdaya manusia karena adanya saling tumpah tindih peraturan antara Ditpolair Polda Lampung, PPNS Dinas kelautan dan Perikanan dan Lanal Lampung, dan Faktor cuaca atau alam.

      Berdasarkan hambatan penegakan hukum yang diuraikan sebelumnya, maka ada beberapa saran yang disampaikan penulis :

      1. Disarankan kepada aparat penegak hukum agar penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana illegal fishing dalam hal ini penggunaan pukat hela agar bisa memberikan efek jera bagi pelaku. aparat penegak hukum untuk lebih aktif dalam melakukan sosialisasi kepada alat tangkap ikan illegal dalam hal ini pukat hela serta diperlukan adanya suatu kesepakatan bersama antara Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut, Penyidik Ditpolair, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman mengenai kesamaan persepsi dalam hal penanganan tindak pidana di bidang perikanan guna menunjang keberhasilan pelaksanaan penyidikan.

      2. Disarankan kepada aparat penegak hukum agar melakukan tindakan penegakan hukum sebaiknya dilakukan upaya sebagai berikut : a.

      Peningkatan sumber daya manusia; b.

      Peningkatan sarana dan prasarana operasional penunjang, dan c. Peningkatan operasi pengamanan secara rutin, terpada, dan terkoordinasi.

    DAFTAR PUSTAKA

      Arief, Barda Nawawi, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, PT.

      Citra Aditya Bakti: Bandung. Djoko. 2002, Hukum Perikanan

    B. Saran

      Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas

      Hukum Pidana, Rineka Cipta: Jakarta

      

      No. HP : 0811793299