ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA SETYA NOVANTO (Studi Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)
ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA SETYA NOVANTO (Studi Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.) (Jurnal Skripsi) Oleh REGA REYHANSYAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018
ABSTRAK
ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA
SETYA NOVANTO
(Studi Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)
Oleh
Rega Reyhansyah, Tri Andrisman, Rini Fathonah
Email: [email protected].
Praperadilan merupakan wewenang tambahan Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
terdapat perluasan objek praperadilan yaitu pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.? (2) Apakah putusan praperadilan dalam perkara Setya Novanto sudah memenuhi rasa keadilan? Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian adalah Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. adalah adanya cacat hukum dan tidak terdapat cukup 2 (dua) alat bukti yang sah yang dapat untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak didasarkan kepada prosedur dan tata cara ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP dan Standar Operasional Prosedur Komisi Pemberntasan Korupsi. Selain itu hakim praperadilan mendasarkan putusan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memberikan perluasan objek praperadilan dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan. (2) Putusan praperadilan terhadap perkara Setya Novanto dalam kasus tindak pidana KTP elektronik tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang seharusnya penanganan perkaranya dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan korupsi.
Kata Kunci: Putusan, Praperadilan, Setya Novanto
ABSTRACT
ANALYSIS OF PRETRIAL DECISION ON SETYA NOVANTO CASE
(Study of Decision Number: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)
By
REGA REYHANSYAH
The Pretrial Court is an adjunct authority of the District Court to examine cases relating
to the use of forcible means of arrest, detention, search, seizure, etc.) by investigators and
prosecutors. According to the Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014
there is an extension of pretrial object, namely the validity of the suspect's determination.
The problems in this research are: (1) What is the legal consideration of the judge to
grant pre-trial application in Pretrial Decision Number: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.?
(2) Is the pretrial decision on SetyaNovanto case fulfilling the sense of justice? The
research approach used is normative juridical approach and empirical juridical
approach. The research subjects are the Pretrial Judge at the South Jakarta District
Court and the Lecturer of the Criminal Law Division of Faculty of Law Unila. Data
collection was done by literature study and field study, then analyzed qualitatively. The
results of the study and discussion show: (1) Judge legal considerations granting pre-trial
application in Pretrial Decision Number: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. is a defect of the
law and there are not enough 2 (two) legal evidences that may determine the Petitioner as
a Suspect. The determination made by the Respondent to determine the Petitioner as a
Suspect is not based on the procedures and procedures of Law Number 30 of 2002 on
Corruption Eradication Commission, Criminal Procedure Code and Operational
decision on the Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014 which provides
an extension of pretrial objects by adding suspect accusations as objects of pretrial. (2)
The pretrial ruling on the Setya Novanto case in the case of the criminal act of electronic
ID card does not fulfill the sense of community justice because corruption crime is an
extraordinary crime that should be handled in an extraordinary way, and the parties
involved either directly or not directly in the occurrence or facilitate the implementation
of the crime, should be punished in accordance with the weight or lightness of the
mistakes made, so as not to conflict with the sense of justice of society who expects
eradication of corruption.Keywords: Decision, Pretrial, Setya Novanto
Praperadilan merupakan wewenang untuk memeriksa dan memutus tentang: sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal
77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Praperadilan sebagai lembaga yang lahir bersamaan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri atau negeri, karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 Jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri (hanya kepada pengadilan negeri).
diatur KUHAP untuk menjamin agar perlindungan akan hak asasi manusia, ketidakpastian hukum dan keadilan dapat terlaksana sebagaimana yang dicita-citakan. Praperadilan sebagai pemberian wewenang tambahan kepada 1 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang
Lingkupnya , Akademika Pressindo, Jakarta,
pengadilan negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.
I. PENDAHULUAN
2 Hakim yang duduk dalam pemeriksaan
sidang praperadilan adalah hakim tunggal, sebagaimana ditegaskan Pasal
78 Ayat (2) KUHAP, yaitu Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera. KUHAP tidak menjelaskan lebih lanjut alasan praperadilan dipimpin hakim tunggal, hal ini berkaitan dengan prinsip pemeriksaan dengan acara cepat yang mengharuskan pemeriksaan praperadilan selesai dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari dan bentuk putusan praperadilan yang sederhana. Hal ini bisa diwujudkan jika diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal. praperadilan dilakukan dengan acara cepat mulai dari penunjukan hakim, penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak dan pemeriksaan sidang guna dapat menjatuhkan putusan selambat- lambatnya dalam waktu tujuh hari. Bertitik tolak dari prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan praperadilan pun sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan sifat proses tadi. Oleh karena itu, bentuk putusan praperadilan cukup sederhana tanpa mengurangi isi pertimbangan yang jelas 2 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,
1 Praperadilan merupakan upaya yang
Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi , berdasar hukum dan undang-undang. Namun, jangan sampai sifat kesederhanaan bentuk putusan menghilangkan penyusunan pertimbangan yang jelas dan memadai.
Sifat kesederhanaan bentuk putusan praperadilan tidak boleh mengurangi dasar alasan pertimbangan yang utuh dan menyeluruh. Maknanya adalah sifat proses praperadilan yang dilakukan dengan pemeriksaan cepat dan bentuk putusannya yang sederhana inilah yang menjadi alasan kenapa hakim praperadilan adalah hakim tunggal. Objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP terdiri dari dua hal yaitu: 1)
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Perkembangan hukum selanjutnya objek praperadilan yang tidakhanya sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP saja, karena pada tanggal 28 April 2015, dalam putusannya Nomor: memutuskan salah satunya bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 sepanjang tidak termasuk penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan. Artinya, setelah putuan Mahkamah Konstitusi tersebut, pengujian sah tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan. Isu hukum dalam penelitian ini adalah adanya pro dan kontra terkait perluasan objek praperadilan mengenai pengujian pihak mendukung dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan suatu kemajuan dalam hukum acara pidana yang semakin melindungi hak asasi manusia. Ada juga pihak yang tidak sependapat dengan alasan bahwa hal tersebut sudah melanggar prinsip legalitas, di mana seharusnya hanya yang tertera di dalam KUHAP saja lah, yang diatur sebagai objek praperadilan, yang bisa diajukan ke acara praperadilan. Sedangkan sah tidaknya penetapan tersangka tidak masuk ke dalam objek yang dapat diajukan ke praperadilan dalam KUHAP. Permohonan praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka bermula ketika Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, salah satu permohonan praperadilan yang diajukan dan diterima adalah mengenai sah tidaknya penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Budi Gunawan. Putusan Hakim Sarpin ini bukan mengabulkan permohonan praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka. Setidaknya, ada 1 (satu) putusan sebelum putusan Hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan tersebut, yaitu putusan Hakim Suko Harsono dalam perkara praperadilan dengan Pemohon Bachtiar Abdul Fatah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
3 Permohonan pengujian sah tidaknya
penetapan tersangka pada lembaga praperadilan kemudian berlanjut dan dalam beberapa putusan praperadilan
atas pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, hakim tidak menerima pengujian penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Salah satunya Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Pemohon dalam perkara ini adalah Setya Novanto melalui Tim Kuasa hukumnya, melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku Termohon, yang menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka tindak pidana korupsi Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Hakim yang menangani perkara ini telah menjatuhkan putusan praperadilan dalam eksepsi yaitu menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya dan dalam dalam pokok perkara: 1.
Mengabulkan Permohonan
Praperadilan Pemohon untuk sebagian; Menyatakan penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan Surat No.
310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, dinyatakan tidak sah;
3. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik- 56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara kepada negara sebesar nihil.
4 4 Putusan Praperadilan Nomor:
Permasalahan penelitian ini adalah: 1.
Apakah pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.? 2. Apakah putusan praperadilan dalam perkara Setya Novanto sudah memenuhi rasa keadilan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
II. PEMBAHASAN A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Praperadilan pada Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/ 2017/PN.Jkt.Sel.
Praperadilan menurut Pasal 1 Angka 10 KUHAP adalah wewenang Pengadilan menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang ini, tentang: sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Objek praperadilan menurut Pasal 77 KUHAP terdiri dari dua hal yaitu: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penuntutan; serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Objek praperadilan mengalami perluasan tidak hanya sebagaimana diatur dalam
Pasal 77 KUHAP saja, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: yang di antaranya memutuskan bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak termasuk penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan. Artinya, setelah putuan Mahkamah Konstitusi tersebut, pengujian sah tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan yang dapat dimohonkan kepada hakim Praperadilan. Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim tunggal, sebagaimana ditegaskan Pasal
78 Ayat (2) KUHAP, yaitu Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang dan dibantu oleh seorang panitera.Praperadilan diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal karena pada dasarnya praperadilan diperiksa dan diputus berdasarkan acara pemeriksaan cepat dan ini berkaitan juga dengan bentuk putusan praperadilan yang sederhana. Sifat proses praperadilan yang dilakukan dengan pemeriksaan cepat inilah yang menjadi alasan hakim praperadilan adalah hakim tunggal. Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. diajukan oleh Pemohon Setya Novanto melalui Tim Kuasa hukumnya, melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku Termohon, yang menetapkan Setya korupsi Pengadaan Paket Penerapan
Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Pemohon dalam perkara ini memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan C.q. Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili Permohonan Praperadilan
a quo
berkenan menjatuhkan putusan dengan amar putusan: 1.
Mengabulkan Permohonan
Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal/batal demi hukum dan tidak sah penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, Perihal: Pemberitahuan Dimulainya Penyidikandengan segala akibat hukumnya;
Memerintahkan Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik- 56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017; 4. Memerintahkan Termohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto (PEMOHON) sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setya Novanto (Pemohon); 5. Memerintahkan Termohon untuk mengeluarkan Setya Novanto
(Pemohon) dari tahanan apabila Pemohon berada di dalam tahanan sejak Putusan dalam perkara ini
6. d. Menyatakan batal dan tidak sah Tanda tangan dan identitas segala Penetapan yang telah penyidk yang melakukan dikeluarkan oleh Termohon terhadap penyitaan, dan Setya Novanto (Pemohon); e.
Tanda tangan dan identitas dari
7. Termohon untuk pemilik atau orang yang Menghukum membayar biaya perkara menguasai barang tersebut praperadilan a quo. (4)
Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada Ayat Pertimbangan hukum hakim dalam (3) disampaikan kepada tersangka mengabulkan permohonan Praperadilan atau keluarganya pada Putusan Praperadilan Nomor:
5
97/Pid.Prap/2017/ PN.Jkt.Sel. adalah alat Cepi Iskandar menyatakan bahwa bukti yang dijadikan sebagai dasar dalam perkara a quo, Termohon dalam penetapan tersangka, setelah dipelajari cara memperoleh bukti-bukti tersebut dan diteliti tidak disertai dengan berita disamping prosesnya harus sesuai acara penyitaan, yang tidak sesuai prosedur juga harus berdasarkan dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor ketentuan undang-undang, sehingga
30 Tahun 2002 tentang Komisi seluruh tindakan yang dilakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Termohon, khusus dalam perkara a quo yang menyebutkan: dalam memperoleh buktibukti tersebut (1) dengan cara yang sah, artinya dalam
Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, perkara a quo khusus untuk penyitaan penyidik dapat melakukan penyitaan perolehan bukti harus dengan Sprindik tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 bukan berkaitan dengan tugas Sprindik untuk perkara orang lain dan penyidikannya dalam perkara a quo perolehan bukti
Ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang penyidikan bukan proses penyelidikan mengatur mengenai tindakan karena dalam Undang-Undang Nomor penyitaan, tidak berlaku berdasarkan
30 Tahun 2002 tentang Komisi Undang-Undang ini Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(3) yang berhak melakukan penyitaan sesuai
Penyidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib membuat berita pasal tersebut di atas adalah penyidik. acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat: Berdasarkan bukti-bukti tersebut, setelah a. diteliti dan dipelajari bahwa Termohon nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang dalam perkara a quo telah melakukan disita tindakan-tindakan penyitaan berdasarkan b. sprindik-sprindik atas nama Ir. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun Sugiharto, Irman dan Andi Narogong, dilakukannya penyitaan c. 5 keterangan mengenai pemilik
Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim
atau yang menguasai barang atau
Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta
benda berharga lain tersebut Selatan. Kamis 28 Desember 2017. sedangkan dalam perkara a quo Surat Perintah Penyidikan baru dikeluarkan berdasarkan bukti T-24 Surat Perintah Penyitaan Nomor: Sprin.Sita- 58/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017, artinya Termohon dalam perkara a quo baru mempunyai kewenangan melakukan tindakan-tindakan penyitaansetelah tanggal 17 Juli 2017, sehingga menurut Hakim Praperadilan penyitaan-penyitaan yang dilakukan oleh Termohon harus dilakukan dalam tahap penyidikan, karena sesuai dalam ketentuan Pasal 47 Ayat (1) bahwa atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya, (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini, (3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita, (b) Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya penyitaan, (c) Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau beda berharga lain tersebut, (d) Tanda tangan dan identitas penyidk yang melakukan penyitaan, dan (e) Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut, (4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya;
Cepi Iskandar
6
berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan oleh Termohon dalam perkara a quo dalam melakukan tindakan-tindakan di luar tata cara dan prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim Praperadilan memahami maksud Termohon bahwa dalam rangka upaya melakukan pemberantasan korupsi, Termohon harus melakukan pemberantasan sampai ke akar-akarnya, apabila telah terjadi tindak pidana korupsi KPK sebagai lembaga yang independent harus dapat mencari sampai ke aktor intelektualnya, demikian pula dalam perkara a quo Termohon harus mencari sampai aktor intelektualnya didapatkan, namun demikian dalam upaya pemberantasan korupsi Termohon tidak boleh lupa telah diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat 6 Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim
Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kamis 28 Desember 2017. untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.
Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas bahwa Sprindik No. Sprin.Dik- 56/01/07/2017 hanya berlaku untuk Pemohon, demikian pula Sprindik yang digunakan dalam perkara Nomor 2013, Nomor: Sprin.Dik-20/01/03/2017 Tanggal 21 Maret 2017 (Andi Agustinus als Andi Narogong), Nota Dinas Nomor: ND-147/24/JPU/03/2017 tanggal
31 Maret 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Irman dan Sugiharto, Nota Dinas Nomor: ND- 151/24/JPU/04/2017 tanggal 4 April 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi a/n Terdakwa Irman dan Sugiharto, Nota Dinas Nomor: ND- 249/24/JPU/06/2017 tanggal 15 Juni 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak
Sugiharto, Nota Dinas Nomor: ND- 261/24/JPU/06/2017 tanggal 20 Juni 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana atas nama Terdakwa Irman dan Sugiharto; Setiap Perintah Penyelidikan, Surat Perintah Penyidikan, Nota Dinas, Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi menurut Hakim Praperadilan harus sesuai dengan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2013, yaitu antara lain adanya prosedur-prosedur Kemudahan dan kejelasan, Efisiensi dan efektivitas, Keselarasan, Keterukuran, Dinamis, Berorientasi pada pengguna (mereka yang dilayani), Kepatuhan hukum dan Kepastian hukum. Dengan demikian maka menjadi tidak sesuai dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan seperti tersebut di atas manakala ada Sprindik orang lain digunakan untuk perkara orang lain, Sprindik No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 harus digunakan untuk perkara Pemohon tidak boleh digunakan untuk perkara orang lain, demikian pula sebaliknya, Sprindik orang lain tidak dapat digunakan dalam perkara a quo (Pemohon) karena akan terjadi ketidakjelasan (inefisiensi) dan tidak efektif, tidak selaras, tidak terukur, dan tidak adanya kepastian hukum.
Cepi Iskandar
7
berpendapat bahwa upaya pemberantasan korupsi bukan 7 Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim
Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kamis 28 Desember 2017. berarti tidak boleh mencari alat-alat bukti yang diperoleh dari alat-alat bukti lain yang perkaranya melibatkan beberapa orang, tidak boleh digunakan dalam perkara a quo, akan tetapi Termohon harus berpedoman pada prosedur dan tatacara yang benar sesuai dengan amanat undang-undang tersebut dan di dalam perkara a quo sebagaimana telah dipertimbangkan di atas di antaranya adanya tindakan-tindakan dari Termohon yang akan mengambil bukti- bukti dalam perkara yang dilakukan secara bersama-sama (delik penyertaan), menurut Hakim Praperadilan tidak boleh diambil langsung menjadi bukti dalam perkara a quo, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan prosedur, dalam perkara a quo, apabila Termohon akan melakukan upaya paksa penyitaan harus dalam tahap penyidikan bukan dalam tahap penyelidikan dan prosedur lainnya yang harus ditempuh seperti dalam perkara a quo tahap penyidikan memeriksa ulang saksi-saksi, melakukan penyitaan, mencari dokumen yang delik penyertaan, tidak boleh langsung diambil-alih. Penetapan yang dilakukan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak di dasarkan kepada prosedur dan tata cara ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP dan SOP KPK, maka penetapan Pemohon (Setya Novanto) sebagai Tersangka adalah tidak sah. Selanjutnya hakim praperadilan menimbang bahwa petitum No. 2 yang menyatakan batal/batal demi hukum dan tidak sah penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto Termohon berdasarkan Surat No.
310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, Perihal: Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan segala akibat hukumnya, oleh karena beralasan hukum maka patut untuk dikabulkan dengan perubahan redaksi. Petitum No. 3 Memerintahkan Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik- 56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017.
Menimbang bahwa dalam petitum no. 3 ini dikabulkan/tidaknya didasarkan kepada petitum no. 2, oleh karena petitum no. 2 dikabulkan maka petitum 3 beralasan hukum untuk dikabulkan; Menimbang bahwa dalam petitum no. 4 Memerintahkan Termohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto (Pemohon) sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setya Novanto (Pemohon). Dalam petitum no. 4 ini, Termohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto (Pemohon) sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setya Novanto, menurut Hakim Praperadilan merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan tersebut, oleh karena itu petitum no. 4 tidak dapat dikabulkan Menimbang bahwa petitum no. 5 Memerintahkan Termohon untuk mengeluarkan Setya Novanto (Pemohon) dari tahanan apabila Pemohon berada di dalam tahanan sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan. Mnimbang, karena Termohon belum melakukan upaya paksa maka petitum dalam no. 5 tersebut tidak beralasan hukum harus ditolak. Dalam petitum no.
6 menyatakan batal dan tidak sah segala Penetapan yang telah dikeluarkan oleh Termohon terhadap Setya Novanto (Pemohon). Selanjutnya petitum no. 6 adalah berlebihan karena dengan telah dinyatakan penetapan Pemohon (Setya Novanto) sebagai Tersangka tidak sah, maka dengan sendirinya segala penetapan yang telah dikeluarkan oleh Termohon terhadap Setya Novanto (Pemohon) tidak mempunyai kekuatan hukum. Petitum no. 7 Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara praperadilan a quo; Hakim menimbang, bahwa oleh karena Termohon di pihak yang kalah maka dihukum untuk membayar biaya perkara yaitu sebesar nihil; Cepi Iskandar
8
menyatakan bahwa mengingat dan memperhatikan ketentuan Undang-Undang No.08 Tahun 1981, Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, serta peraturan hukum lainnya yang berhubungan dengan perkara ini mengadli dalam eksepsi yaitu menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara yaitu mengabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon untuk sebagian; menyatakan penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan 8 Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim
Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kamis 28 Desember 2017.
Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, dinyatakan tidak sah dan memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No.Sprin.Dik- 56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017 tersebut.
B. Putusan Praperadilan dalam Perkara Setya Novanto Ditinjau dari Aspek Keadilan Masyarakat
Hakim Praperadilan dalam Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Pemohon mengabulkan permohonan Setya Novanto yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tindak pidana korupsi Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Sesuai dengen putusan tersebut maka Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017 menjadi batal/batal demi hukum dan tidak sah. Ditinjau dari perspektif rasa keadilan masyarakat, putusan praperadilan tersebut tidak relevan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya, yang menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh- sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.
Putusan praperadilan terhadap perkara Setya Novanto dalam kasus tindak pidana KTP elektronik bertolak belakang dengan semangat dan maksud Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000, karena dikabulkanya permohonan tersangka tersebut dapat menimbulkan pandangan negatif masyarakat terhadap proses penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya.
9 9 Lilik Mulyadi.. Putusan Hakim dalam Hukum
Firganefi
10
menyatakan bahwa peranan hakim dalam menegakkan hukum, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Demi menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Menilai kebenaran keterangan para saksi memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung 2010., hlm. 155. 10 Hasil Wawancara dengan Firganefi Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Selasa 9 Januari 2018.
III.PENUTUP A.Simpulan 1.
Pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. adalah adanya cacat hukum dan tidak terdapat cukup 2 (dua) alat bukti yang sah yang dapat menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Penetapan yang dilakukan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak didasarkan kepada prosedur dan tata cara ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP dan Standar Operasional Prosedur Komisi Pemberntasan Korupsi.
Selain itu hakim praperadilan mendasarkan putusan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor perluasan objek praperadilan dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
2. Putusan praperadilan terhadap perkara Setya Novanto dalam kasus tindak pidana KTP elektronik tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang seharusnya penanganan perkaranya dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan dilakukan, sehingga tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan korupsi.
B. Saran 1.
Hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang diharapkan untuk lebih konsisten mengemban amanat pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan cara lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi.
2. Hakim praperadilan pada masa mendatang diharapkan tidak melakukan menguji alat bukti, karena sudah masuk ke masalah berbicara mengenai masalah pembuktian itu proses pemeriksaan substansi. Hakim praperadilan hanya berwenang menguji persyaratan mengenai alat bukti, yang meliputi syarat formil dan materiil dan pada tahap praperadilan tidak ada kewenangan bagi hakim untuk menilai apakah alat bukti yang mendukung penangkapan atau penahanan apakah mempunyai kekuatan pembuktian karena itu kewenangan majelis hakim pengadilan dalam proses acara biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Afiah, Ratna Nurul. 1986. Praperadilan
dan Ruang Lingkupnya , Akademika Pressindo, Jakarta.
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan
KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi , Sinar Grafika, Jakarta .
Mulyadi, Lilik. 2010. Putusan Hakim
dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Diakses
Jumat 27 Oktober 2017.Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/ PN.Jkt.Sel