KAJIAN ARTIKEL TENTANG SOCIAL ADVERTISIN
https://sinaukomunikasi.wordpress.com/2014/02/21/peran-sosial-advertising-dalammasyarakat-konsumtif-sebuah-tinjauan-kritis/
sinaukomunikasi
Menjadi pembelajar sepanjang hayat
Peran Sosial Advertising Dalam Masyarakat Konsumtif :
Sebuah Tinjauan Kritis
Tri Nugroho Adi
Pengantar
Disadari atau tidak, kita sudah terjebak dan hidup
dalam masyarakat yang pantas disebut sebagai “The Consumer Society”. Dalam
masyarakat seperti ini, manusia seakan haus untuk selalu dan selalu “memenuhi
keinginannya menjadi konsumen sebuah komoditas”, terlepas dari kenyataan bahwa
sesungguhnya barang-barang yang ia beli itu betul-betul diperlukan atau tidak. Yang
jelas, orang akan merasa naik kelas kalau bisa menenteng barang lux yang bermerk.
Seakan merk itulah yang menentukan identitas seseorang. Gejala mendewakan objekobjek kepemilikan ini kelihatan betul pada, misalnya, kehidupan para selebriti dan para
borjuis negeri ini. Maka tidak heran kalau ada artis yang berkicau di infotaintment
tentang harga tasnya yang sampai setengah miliar! Atau adanya parade “mobil super
mewah yang memacetkan” kota. Atau adanya, nafsu serakah koruptor kakap yang
mengoleksi puluhan mobil mewah bermilyar rupiah. Sementara para warga pas-pasan
yang mencoba menjadi social climber rela mati-matian dikejar setan kredit hanya untuk
membuat mereka bisa punya “ini yang mewah” dan “itu yang wah”. Padahal, dalam
irama hidup yang mengagungkan kebendaan ini, kenyataannya masih begitu banyak
masyarakat (Indonesia) yang sesungguhnya jauh dari taraf sejahtera. Bisa hidup layak
saja syukur, kenapa harus mengejar moto kudu sugih? Bahkan kudu katon sugih (bhs
Jawa: harus kaya atau harus kelihatan kaya). Ada apa dengan relasi benda dengan
eksistensi diri manusia?
Dalam suasana yang demikian inilah, saya terusik untuk membaca ulang
advertising, dalam kaca mata kritis. Konon, advertising-lah yang acapkali dituding
sebagai biang kerok tumbuh suburnya konsumerisme di masyarakat. Tapi saya tak
sekedar mengumpat atau mengamini tuduhan itu tanpa disertai kajian yang komprehensif
mengenai iklan dalam perannya sebagai komunikasi sosial dalam konteks masyarakat
kunsomer. Sebagai salah satu pengajar mata kuliah iklan, saya senantiasa diliputi
kegamangan antara benci dan cinta pada fenomena iklan. Benci karena dia memang
“patut” dijauhi gara-gara bertingkah laku kebablasan di dalam mengendalikan perilaku
khalayak demi kepentingan gurita kapitalis. Tapi iklan juga menjadi fenomena yang
menurut saya layak dicintai bukan karena “apanya “ namun dalam kaitan dengan
“bagaimananya” iklan ini yang bisa menjadi lahan subur kajian cultural studies. Maka
tulisan ini, sedikit banyak adalah letupan dua emosi itu dengan berusaha menelisik studi
mengenai iklan dalam lembaran arsip dan literatur tahun 70-an dan 80-an. Salah satunya
adalah buku yang sangat bagus dari Sut Jhally ( 1984) berjudul The Codes of
Advertising : Fetishism and The Political Economy of Meaning in The Consumer
Society . Tulisan ini adalah hasil review dari salah satu bab buku itu; untuk kepentingan
pengutipan referensi (akademik) yang ada dalam tulisan ini disarankan pembaca melacak
sumber asli berdasar rujukan buku ini. Semoga bermanfaat.
*
People and Things
Bisa diperdebatkan apakah advertising memang menjadi lembaga sosialisasi
paling berpengaruh dalam masyarakat modern ini; ia menentukan isi sebuah media; ia
nampaknya juga menjadi pemain kunci di dalam konstruksi identitas gender; ia
membawa dampak terhadap hubungan antara anak dengan orang tuanya dalam artian
peran mediasi dan pembentuk kebutuhan; ia mendominasi strategi yang dipakai dalam
kampanye politik; terkadang ia juga muncul dengan suara menggelegar dalam arena
kebijakan publik yang mengangkat isu regulasi dan energi; ia mengendalikan beberapa
institusi budaya yang paling penting seperti olahraga dan musik populer; dan advertising
itu sendiri telah menjadi topik favorit dalam perbincangan sehari-hari. Meski demikian,
kita tidak seharusnya membiarkan kehadiran melimpah advertising dalam berbagai
kenyataan yang amat luas itu dengan tanpa menyingkap apa yang se-“nyata”-nya terjadi.
Dalam tataran material, konkret dan historis, advertising tak lebih dari kajian khusus yang
menyoal pemasaran barang-barang. Ia lalu berkembang menjadi sangat menonjol di
dalam masyarakat modern sebagai wacana melalui dan tentang objek-objek. Dari sinilah
perspektif mengenai analisis advertising harus dibentangkan. Lebih khususnya, diskusi
ini akan memusatkan pada hubungan universal antara : orang dan objek-objek.
Hubungan antara orang dengan benda-bendanya tidak harus dipandang semata
sebagai a superficial atau feature of life. Sudah nyata bahwa itu menjadi komponen yang
mendefinisikan eksistensi manusia. Masyarakat di mana pun berkembang atas dasar
praktek penggunaan alam benda oleh manusianya. Manusia sebagai spesies hanya akan
bisa bertahan dengan “pemberian” berupa elemen-elemen material yang ada di
sekitarnya. Kita memakan makanan yang disediakan alam, kita berlindung di bawah atap
material yang disediakan alam juga, dan kita menutupi tubuh kita dengan busana
keluaran pabrikan yang bahan dasarnya juga dari alam. Hubungan antara orang dengan
objek-objeknya telah digambarkan sebagai salah satu bentuk “objectification” – kita
melakukan objektifikasi diri dan kehidupan kita dalam bentuk material dari dunia
konkret. Kita terus menerus mengambil apa yang ada di luar diri kita, dan, dengan
tindakan kita, menjadikannya sebagai bagian dari eksistensi keseharian kita. Herbert
Marcuse (1972b) yakin objektifikasi ini tidak hanya sebagai bagian kecil dari apa yang
membentuk pengalaman manusia, namun ia bahkan menjadi ‘dasar yang lebih mendalam’
lagi. Kenyataannya, objektifikasi menjadi dasar dari apa yang kita sebut “a distinctive
human experience”, perantara manusia dengan kebutuhannya melalui objek-objek.
Berdasar pada pemahaman di atas, Jean-Paul Sartre ( 1976 :79) menulis :
“penemuan penting dalam telaah dialektis adalah bahwa manusia dimediasi oleh bendabenda sama halnya dengan keadaan bahwa benda-benda dimediasi oleh manusia”. Ketika
tampak jelas bahwa benda-benda dimediasi oleh manusia — tanpa manusia maka bendabenda bisa saja hadir tapi tanpa makna — dan dalam pengertian ini benda-benda
membutuhkan orang; ini sama benarnya bahwa manusia membutuhkan benda-benda.
Bukti yang disodorkan sejarah dan antropologi tentang kintiman hubungan manusia
dengan benda-benda sudah tak terbilang banyaknya. Terkait dengan itu, satu teori
diamini bersama: bahwa penggunaan benda-benda sebagai perkakas telah menjadi tahap
menentukan dalam proses evolusioner umat manusia. Memang benar, penulis buku The
Meaning of Things menggaris bawahi : ‘Manusia tidak hanya merupakan homo sapiens
atau homo ludes, ia juga homo faber, pembuat dan pengguna objek-objek,
kemampuannya makin tumbuh berkembang mencerminkan benda-benda dengan apa dia
berinteraksi ‘(Csikszentmihalyi dan Rochberg-Halton, 1981:1). Advertising, sebagai
wacana yang memusatkan pada objek-objek, dengan demikian, berkaitan dengan
salah satu aspek fundamental perilaku manusia. Inilah yang seharusnya menjadi titik
awal di dalam menganalisis peran sosial advertising
Use, symbol and power
Debat sosial menyoal advertising telah sangat meluas sehingga melahirkan
wacana relasi person-object kontemporer. Banyak kritik ditujukan pada advertising yang
mengklaim bahwa advertising menjadi alat melalui mana konsumen dikendalikan dan
dimanipulasi oleh produser menuju hasrat akan kebendaan yang sebenarnya tidak
sungguh-sungguh mereka butuhkan. Pentingnya penciptaan permintaan ini dikarenakan
adanya kelimpahan produksi yang harus dipasarkan oleh pemilik modal. Untuk
menghindari kemandegan dan puncaknya adalah kekhawatiran matinya kapitalis
disebabkan depresi ekonomi, maka perusahaan harus memastikan apa yang
diproduksinya itu bisa sampai pada konsumen. Advertising menjadi senjata utama yang
digunakan oleh perusahaan untuk menciptakan pasar konsumen yang dapat
diandalkan dari produk-produk mereka. Untuk mencapai tujuan ini advertising
bekerja demi menciptakan kebutuhan semu orang-orang
(semu /false karena
sebenarnya itu lebih merupakan kebutuhan pihak manufactur dan bukan kebutuhan
consumer).
Para peneliti dari berbagai sudut pandang ( John K. Williams, Paul Baran, Paul
Sweezy, Ernest Mandel, Guy DeBord, Vance Packard, Jerry Mander) kelihatannya
sepakat dengan pemikiran di atas. Dalam bukunya Captain of Consciousness ( 1976),
Stuart Ewen berpendapat bahwa pada tahun-tahun awal abad ini kebutuhan menciptakan
hasrat di dalam modus konsumsi barang-barang bagi publik— di mana telah terjadi
pergeseran dari yang semula hanya menekankan pada produk menuju ‘konteks hubungan
antara orang-orang dengan produknya’— telah menjadi keharusan yang teramat penting.
Jika permintaan akan suatu produk telah diciptakan oleh pasar itu sendiri ( alih-alih
mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dari konsumen) maka advertising harus bisa
menyuntikkan referensi langsung kepada konsumen. Dalam perkembangannya,
advertising menjerat konsumen ke dalam jaringan status sosial dan makna simbolik yang
demikian rumit dan kompleks.
Sejarawan dan teoritisi budaya, Raymond William, dalam hal ini menyuarakan
pandangan yang tak senada. Ia meyakini bahwa makna sosial dan simbolik yang
disematkan pada barang-barang oleh advertising menunjukkan bahwa : anggapan tentang
masyarakat modern yang terlalu materialaistis, dengan penekanan berlebih pada hasrat
kepemilikan akan barang-barang adalah sesuatu yang tidak tepat. Sebaliknya, kita ini
nyatanya tidaklah ‘se-materialistis itu’ , demikian dia berargumen (William, 1980:185),:
“Jika kita pantas disebut materialis, dalam kaitannya dengan kehidupan kita yang selalu
menggunakan benda-benda, kita semestinya mengetahui bahwa sebagian besar iklan
sebenarnya tidak relevan dan mengada-ada. Dengan meminum bir sudah cukup (tahu)
bagi kita bahwa kita akan merasa lebih jantan, tanpa perlu adanya tambahan janji bahwa
dengan meminumnya kita akan menjadi lebih jantan. Mesin cuci akan menjadi mesin
yang gunanya untuk mencuci pakaian, alih-alih petunjuk bahwa kita mencari sesuatu atau
objek karena iri dengan tetangga misalnya. Namun jika ada asosiasi lain di dalam
penjualan bir dan mesin cuci, sebagai bukti akan pendapat yang dikemukakan, harus
diakui bahwa dalam suatu masyarakat tertentu terdapat pola kultural di mana kehadiran
objek-objek memiliki asosiasi dengan nilai sosial dan individu tersendiri ;namun itu
harus dibuktikan bukan sekedar fantasy semata”.
Ada dua poin penting yang harus dibedakan di sini, satu hal yang memang benar
adanya dan satu hal lagi yang masih problematis. William betul ketika mencatat bahwa
kapitalisme modern yang menghasilkan makna sosial dan personal melalui konsumsi
akan benda-benda itu harus lebih dahulu dibuktikan adanya. Meski demikian, simpulan
yang William tarik di sini masih bisa dipertanyakan: yakni, tanpa advertising dan dalam
masyarakat yang pantas disebut materialistik, benda-benda hanya akan dilihat sebagai
benda yang secara praktis berguna namun tidak memiliki makna sosial. Ada anggapan
umum terhadap pernyataan di atas, yakni perspektif kritis yang kuat dan tak hentihentinya berseru tentang peran yang dimainkan advertising dalam masyarakat konsumer.
Perbandingan bahwa barang-barang pasti hanya penting bagi orang karena kegunaannya
ketimbang dari makna simboliknya memang sangat sulit dibuktikan baik secara historis,
antropologis dalam berbagai latar budaya. Dalam semua budaya di sepanjang waktu, ada
relasi antara kegunaan dan simbol yang menghasilkan latar belakang konkret tempat
bermainnya relasi orang dan objek secara umum. Kritik radikal terhadap advertising saat
ini tidak berimbang di dalam hal persepsinya tentang relasi yang “tepat “ dan
“seharusnya” antara kegunaan dan simbol. Itu disebabkan oleh apa yang disebut
“commodity vision” – problem komoditas kapitalis yang tidak dengan tegas dipisahkan
dari persoalan (fungsi/makna) benda-benda secara umum. Ketika relasi person-objek
telah ditempatkan di dalam konteks kekuasaan, kritikan yang sering ditujukan adalah
pada ketiadaanya jejak yang menghubungkannya dengan budaya dan sejarah.
Pengakuan terhadap aspek-aspek yang mendasari kegunaan simbolik orang
terhadap barang-barang masih menjadi titik awal yang belum banyak dipakai di dalam
wacana tentang objek-objek. Khususnya, pembedaan antara kebutuhan mendasar ( fisik)
dan kebutuhan sekunder (psikologi) rupanya telah diabaikan. Antropolog Marshal Sahlins
( 1976) menunjukkan bahwa semua kegunaan dikerangkai oleh konteks kultural — itu
terjadi dalam interaksi kita dengan benda-benda duniawi dan biasa dalam kehidupan
kita yang dimediasi dalam kerangka simbolik. Csiszentmihalyi dan Rochberg-Halton
( 1981:hal 21) mencatat:
Bahkan kegunaan dari benda-benda untuk tujuan yang bersifat umum bekerja di
dalam kerangka simbolik dari suatu kebudayaan. Objek-objek yang paling bermanfaat di
rumah seperti air yang mengalir, toilet, peralatan elektronik, dan semacamnya,yang
semua itu diperkenalkan kepada umum tidak lebih dari 150 tahun yang lalu oleh
teknologi Barat canggih— semuanya dipandang sebagai hal yang mewah. Dengan
demikian sulit untuk dipisahkan kegunaan terkait fungsi dari makna-makna simbolik
bahkan dalam objek-objek yang praktis sekalipun.
William Leiss ( 1976), juga, merujuk pada sifat dualistis yang melekat dalam
perliaku manusia dan berpendapat bahwa di setiap sisi kebutuhan manusia memiliki
kaitan baik simbolik maupun material, dan bahkan kebutuhan dasar fisiologi ( makanan,
tempat tinggal, dan pakaian) kita akan selalu menjadi ‘firmly embedded in a rich tapestry
of symbolic mediation’ ( Leiss,1976: 65).
Pentingnya simbolisasi yang melekat secara badani di dalam pemanfaatan (bendabenda) tidak luput dari perhatian para penulis di mana para pemasar dan lingkaran bisnis
telah memakainya untuk menjawab serangan yang ditujukan pada advertising. Bahkan,
mereka telah menjadikannya sebagai batu loncatan dalam legitimasinya tentang aspek
simbolik dalam advertising. Theodore Levitt melangkah lebih jauh dengan menyamakan
advertising dengan seni. Seni dihadirkan per definisi sebagai ‘distorsi’ atau interpretation
kenyataan dengan maksud memengaruhi audiens untuk berpikir dengan cara tertentu —
melebihi fungsinya dan secara praktis melakukan abstraksi. Advertising memiliki tujuan
yang sama, menggunakan sarana yang sama dan dengan demikian juga harus dievaluasi
dengan kriteria ‘terhormat’ yang sama seperti halnya dalam seni.
Orang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dalam bidang antropologi sosial untuk
bisa melihat bahwa pergeseran penggunaan objek-objek dalam zaman purba secara alami
yang dilakukan oleh manusia di dalam berbagai budaya dan semua masyarakat menjadi
ciri tahap perkembangan yang penting. Setiap orang menginginkan modifikasi,
mengubah, membumbui, memerkaya dan membangun ulang dunia di sekeliling dia untuk
bisa merasakan sensasi yang berbeda dalam menggunakan sesuatu. Peradaban bisa
diartikan sebagai tujuan manusia di dalam menaikkan ciri ‘ancient animality’ ; dan itu
termasuk di dalamnya baik seni maupun advertising. Diyakini hal tersebut merupakan
karakteristik universal dari sifat manusia —- manusia sebagai audiens butuh interpretasi
simbolik di dalam setiap apa yang dia lihat dan ketahui. Jika itu tidak diperoleh, maka
akibatnya akan menimbulkan keputusan bahwa sesuatu objek itu “tidak menarik”
( Levitt, 1970:87-89)
Karena manusia tidak dilahirkan untuk menggunakan objek-objek semata hanya
demi fungsinya, maka pesan yang dibawakan advertising harus mencerminkan
simbolisasi antara relasi person dengan objeknya secara luas. Simbolisasi dalam iklan
mencerminkan kebutuhan manusia yang paling dalam. Michael Schudson (1984) juga
menggunakan yang kemudian dikenal dengan perspektif antropologi untuk kasusnya
melawan kritik ‘puritanical’ terhadap advertising. Mencatat bahwa kebutuhan relatif
bersifat sosial di dalam semua budaya dan bahwa perbedaan ‘true-false’ (dalam
kebutuhan) adalah sesuatu yang sulit dilawan, dia berpendapat bahwa persoalan
sesungguhnya bukan pada simbolisasi yang palsu, melainkan pada persoalan bahwa
simbolisasi itu akan selalu ada di dalam setiap masyarakat.
Meski demikian, para pembela advertising hanya memusatkan pada satu sisi
dalam membangun kritikannya di dalam analisis mereka. Ketika mereka hanya
mengakui elemen simbolik di dalam setiap kebutuhn manusia, dan mengabaikan hampir
keseluruhan dari diskusinya tentang dimensi kekuasaan atau efek sosial dari
advertising. Pendekatan antropologi dengan demikian tidak lengkap, karena apabila
benar bahwa medium simbolis dari kebutuhan manusia adalah perangkat vital eksistensi
manusia, maka seharusnya benar juga bahwa kekuasaan juga senantiasa membayangi dan
memengaruhi di setiap relasi sosial. Barang-barang selalu berarti sesuatu di dalam
konteks sosial di mana kepentingan yang berbeda turut memainkan peranannya. Jika
bukti yang dikemukakan dari antropologi dipakai di dalam perdebatan ini, penting
kiranya untuk memasukkan keseluruhan bukti-bukti yang ada, dan tidak hanya dipilih
sepotong-potong. Semua kegunaan bisa bersifat simbolik — tapi untuk siapa dan dengan
tujuan apa? ( Bersambung )
Diadaptasikan dari :
Jhally, Sut. 1984. The Codes of Advertising : Fetishism and The Political Economy of
Meaning in The Consumer Society . NY & London: Routledge. Hal 1-6.
Tentang iklan-iklan ini
Share this:
Twitter
Facebook
Surat elektronik
Google
Terkait
THEORIES
OF
SYMBOLIC
INTERACTION,
STRUCTURATION,
AND
CONVERGENCE & THEORIES OF SOCIAL AND CULTURAL REALITYdalam
"Teori Komunikasi"
Media dan Identitas Kultural dalam Masyarakat Pluralis - Tri Nugroho Adi dalam
"Cultural Studies"
MENGENAL CRITICAL THEORIES dalam "Teori Komunikasi"
~ oleh Tri Nugroho Adi pada 21 Februari 2014.
Ditulis dalam Cultural Studies
Tag: advertising, ancient animality, commodity vision, cultural studies, false consumer,
objectification, orang dan objek-objek, peran sosial iklan dalam masyarakat konsumtif,
Social Role of Advertising in The Consumer Society, sosialisasi, true-false
Pos-pos Terakhir
Dampak Media Sosial dan Pentingnya Re-konseptualisasi Komunikasi Massa
MENGENAL
CRITICAL
THEORIES
:
The
Frankfurt
School
Jurgen Habermas
Serial Populer : Research for Beginner (2)
MENGENAL CRITICAL THEORIES : MARXIST DAN NEO-MARXIST
FILM, BAHASA DAN SEMIOTIK (2)
&
sinaukomunikasi
Menjadi pembelajar sepanjang hayat
Peran Sosial Advertising Dalam Masyarakat Konsumtif :
Sebuah Tinjauan Kritis
Tri Nugroho Adi
Pengantar
Disadari atau tidak, kita sudah terjebak dan hidup
dalam masyarakat yang pantas disebut sebagai “The Consumer Society”. Dalam
masyarakat seperti ini, manusia seakan haus untuk selalu dan selalu “memenuhi
keinginannya menjadi konsumen sebuah komoditas”, terlepas dari kenyataan bahwa
sesungguhnya barang-barang yang ia beli itu betul-betul diperlukan atau tidak. Yang
jelas, orang akan merasa naik kelas kalau bisa menenteng barang lux yang bermerk.
Seakan merk itulah yang menentukan identitas seseorang. Gejala mendewakan objekobjek kepemilikan ini kelihatan betul pada, misalnya, kehidupan para selebriti dan para
borjuis negeri ini. Maka tidak heran kalau ada artis yang berkicau di infotaintment
tentang harga tasnya yang sampai setengah miliar! Atau adanya parade “mobil super
mewah yang memacetkan” kota. Atau adanya, nafsu serakah koruptor kakap yang
mengoleksi puluhan mobil mewah bermilyar rupiah. Sementara para warga pas-pasan
yang mencoba menjadi social climber rela mati-matian dikejar setan kredit hanya untuk
membuat mereka bisa punya “ini yang mewah” dan “itu yang wah”. Padahal, dalam
irama hidup yang mengagungkan kebendaan ini, kenyataannya masih begitu banyak
masyarakat (Indonesia) yang sesungguhnya jauh dari taraf sejahtera. Bisa hidup layak
saja syukur, kenapa harus mengejar moto kudu sugih? Bahkan kudu katon sugih (bhs
Jawa: harus kaya atau harus kelihatan kaya). Ada apa dengan relasi benda dengan
eksistensi diri manusia?
Dalam suasana yang demikian inilah, saya terusik untuk membaca ulang
advertising, dalam kaca mata kritis. Konon, advertising-lah yang acapkali dituding
sebagai biang kerok tumbuh suburnya konsumerisme di masyarakat. Tapi saya tak
sekedar mengumpat atau mengamini tuduhan itu tanpa disertai kajian yang komprehensif
mengenai iklan dalam perannya sebagai komunikasi sosial dalam konteks masyarakat
kunsomer. Sebagai salah satu pengajar mata kuliah iklan, saya senantiasa diliputi
kegamangan antara benci dan cinta pada fenomena iklan. Benci karena dia memang
“patut” dijauhi gara-gara bertingkah laku kebablasan di dalam mengendalikan perilaku
khalayak demi kepentingan gurita kapitalis. Tapi iklan juga menjadi fenomena yang
menurut saya layak dicintai bukan karena “apanya “ namun dalam kaitan dengan
“bagaimananya” iklan ini yang bisa menjadi lahan subur kajian cultural studies. Maka
tulisan ini, sedikit banyak adalah letupan dua emosi itu dengan berusaha menelisik studi
mengenai iklan dalam lembaran arsip dan literatur tahun 70-an dan 80-an. Salah satunya
adalah buku yang sangat bagus dari Sut Jhally ( 1984) berjudul The Codes of
Advertising : Fetishism and The Political Economy of Meaning in The Consumer
Society . Tulisan ini adalah hasil review dari salah satu bab buku itu; untuk kepentingan
pengutipan referensi (akademik) yang ada dalam tulisan ini disarankan pembaca melacak
sumber asli berdasar rujukan buku ini. Semoga bermanfaat.
*
People and Things
Bisa diperdebatkan apakah advertising memang menjadi lembaga sosialisasi
paling berpengaruh dalam masyarakat modern ini; ia menentukan isi sebuah media; ia
nampaknya juga menjadi pemain kunci di dalam konstruksi identitas gender; ia
membawa dampak terhadap hubungan antara anak dengan orang tuanya dalam artian
peran mediasi dan pembentuk kebutuhan; ia mendominasi strategi yang dipakai dalam
kampanye politik; terkadang ia juga muncul dengan suara menggelegar dalam arena
kebijakan publik yang mengangkat isu regulasi dan energi; ia mengendalikan beberapa
institusi budaya yang paling penting seperti olahraga dan musik populer; dan advertising
itu sendiri telah menjadi topik favorit dalam perbincangan sehari-hari. Meski demikian,
kita tidak seharusnya membiarkan kehadiran melimpah advertising dalam berbagai
kenyataan yang amat luas itu dengan tanpa menyingkap apa yang se-“nyata”-nya terjadi.
Dalam tataran material, konkret dan historis, advertising tak lebih dari kajian khusus yang
menyoal pemasaran barang-barang. Ia lalu berkembang menjadi sangat menonjol di
dalam masyarakat modern sebagai wacana melalui dan tentang objek-objek. Dari sinilah
perspektif mengenai analisis advertising harus dibentangkan. Lebih khususnya, diskusi
ini akan memusatkan pada hubungan universal antara : orang dan objek-objek.
Hubungan antara orang dengan benda-bendanya tidak harus dipandang semata
sebagai a superficial atau feature of life. Sudah nyata bahwa itu menjadi komponen yang
mendefinisikan eksistensi manusia. Masyarakat di mana pun berkembang atas dasar
praktek penggunaan alam benda oleh manusianya. Manusia sebagai spesies hanya akan
bisa bertahan dengan “pemberian” berupa elemen-elemen material yang ada di
sekitarnya. Kita memakan makanan yang disediakan alam, kita berlindung di bawah atap
material yang disediakan alam juga, dan kita menutupi tubuh kita dengan busana
keluaran pabrikan yang bahan dasarnya juga dari alam. Hubungan antara orang dengan
objek-objeknya telah digambarkan sebagai salah satu bentuk “objectification” – kita
melakukan objektifikasi diri dan kehidupan kita dalam bentuk material dari dunia
konkret. Kita terus menerus mengambil apa yang ada di luar diri kita, dan, dengan
tindakan kita, menjadikannya sebagai bagian dari eksistensi keseharian kita. Herbert
Marcuse (1972b) yakin objektifikasi ini tidak hanya sebagai bagian kecil dari apa yang
membentuk pengalaman manusia, namun ia bahkan menjadi ‘dasar yang lebih mendalam’
lagi. Kenyataannya, objektifikasi menjadi dasar dari apa yang kita sebut “a distinctive
human experience”, perantara manusia dengan kebutuhannya melalui objek-objek.
Berdasar pada pemahaman di atas, Jean-Paul Sartre ( 1976 :79) menulis :
“penemuan penting dalam telaah dialektis adalah bahwa manusia dimediasi oleh bendabenda sama halnya dengan keadaan bahwa benda-benda dimediasi oleh manusia”. Ketika
tampak jelas bahwa benda-benda dimediasi oleh manusia — tanpa manusia maka bendabenda bisa saja hadir tapi tanpa makna — dan dalam pengertian ini benda-benda
membutuhkan orang; ini sama benarnya bahwa manusia membutuhkan benda-benda.
Bukti yang disodorkan sejarah dan antropologi tentang kintiman hubungan manusia
dengan benda-benda sudah tak terbilang banyaknya. Terkait dengan itu, satu teori
diamini bersama: bahwa penggunaan benda-benda sebagai perkakas telah menjadi tahap
menentukan dalam proses evolusioner umat manusia. Memang benar, penulis buku The
Meaning of Things menggaris bawahi : ‘Manusia tidak hanya merupakan homo sapiens
atau homo ludes, ia juga homo faber, pembuat dan pengguna objek-objek,
kemampuannya makin tumbuh berkembang mencerminkan benda-benda dengan apa dia
berinteraksi ‘(Csikszentmihalyi dan Rochberg-Halton, 1981:1). Advertising, sebagai
wacana yang memusatkan pada objek-objek, dengan demikian, berkaitan dengan
salah satu aspek fundamental perilaku manusia. Inilah yang seharusnya menjadi titik
awal di dalam menganalisis peran sosial advertising
Use, symbol and power
Debat sosial menyoal advertising telah sangat meluas sehingga melahirkan
wacana relasi person-object kontemporer. Banyak kritik ditujukan pada advertising yang
mengklaim bahwa advertising menjadi alat melalui mana konsumen dikendalikan dan
dimanipulasi oleh produser menuju hasrat akan kebendaan yang sebenarnya tidak
sungguh-sungguh mereka butuhkan. Pentingnya penciptaan permintaan ini dikarenakan
adanya kelimpahan produksi yang harus dipasarkan oleh pemilik modal. Untuk
menghindari kemandegan dan puncaknya adalah kekhawatiran matinya kapitalis
disebabkan depresi ekonomi, maka perusahaan harus memastikan apa yang
diproduksinya itu bisa sampai pada konsumen. Advertising menjadi senjata utama yang
digunakan oleh perusahaan untuk menciptakan pasar konsumen yang dapat
diandalkan dari produk-produk mereka. Untuk mencapai tujuan ini advertising
bekerja demi menciptakan kebutuhan semu orang-orang
(semu /false karena
sebenarnya itu lebih merupakan kebutuhan pihak manufactur dan bukan kebutuhan
consumer).
Para peneliti dari berbagai sudut pandang ( John K. Williams, Paul Baran, Paul
Sweezy, Ernest Mandel, Guy DeBord, Vance Packard, Jerry Mander) kelihatannya
sepakat dengan pemikiran di atas. Dalam bukunya Captain of Consciousness ( 1976),
Stuart Ewen berpendapat bahwa pada tahun-tahun awal abad ini kebutuhan menciptakan
hasrat di dalam modus konsumsi barang-barang bagi publik— di mana telah terjadi
pergeseran dari yang semula hanya menekankan pada produk menuju ‘konteks hubungan
antara orang-orang dengan produknya’— telah menjadi keharusan yang teramat penting.
Jika permintaan akan suatu produk telah diciptakan oleh pasar itu sendiri ( alih-alih
mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dari konsumen) maka advertising harus bisa
menyuntikkan referensi langsung kepada konsumen. Dalam perkembangannya,
advertising menjerat konsumen ke dalam jaringan status sosial dan makna simbolik yang
demikian rumit dan kompleks.
Sejarawan dan teoritisi budaya, Raymond William, dalam hal ini menyuarakan
pandangan yang tak senada. Ia meyakini bahwa makna sosial dan simbolik yang
disematkan pada barang-barang oleh advertising menunjukkan bahwa : anggapan tentang
masyarakat modern yang terlalu materialaistis, dengan penekanan berlebih pada hasrat
kepemilikan akan barang-barang adalah sesuatu yang tidak tepat. Sebaliknya, kita ini
nyatanya tidaklah ‘se-materialistis itu’ , demikian dia berargumen (William, 1980:185),:
“Jika kita pantas disebut materialis, dalam kaitannya dengan kehidupan kita yang selalu
menggunakan benda-benda, kita semestinya mengetahui bahwa sebagian besar iklan
sebenarnya tidak relevan dan mengada-ada. Dengan meminum bir sudah cukup (tahu)
bagi kita bahwa kita akan merasa lebih jantan, tanpa perlu adanya tambahan janji bahwa
dengan meminumnya kita akan menjadi lebih jantan. Mesin cuci akan menjadi mesin
yang gunanya untuk mencuci pakaian, alih-alih petunjuk bahwa kita mencari sesuatu atau
objek karena iri dengan tetangga misalnya. Namun jika ada asosiasi lain di dalam
penjualan bir dan mesin cuci, sebagai bukti akan pendapat yang dikemukakan, harus
diakui bahwa dalam suatu masyarakat tertentu terdapat pola kultural di mana kehadiran
objek-objek memiliki asosiasi dengan nilai sosial dan individu tersendiri ;namun itu
harus dibuktikan bukan sekedar fantasy semata”.
Ada dua poin penting yang harus dibedakan di sini, satu hal yang memang benar
adanya dan satu hal lagi yang masih problematis. William betul ketika mencatat bahwa
kapitalisme modern yang menghasilkan makna sosial dan personal melalui konsumsi
akan benda-benda itu harus lebih dahulu dibuktikan adanya. Meski demikian, simpulan
yang William tarik di sini masih bisa dipertanyakan: yakni, tanpa advertising dan dalam
masyarakat yang pantas disebut materialistik, benda-benda hanya akan dilihat sebagai
benda yang secara praktis berguna namun tidak memiliki makna sosial. Ada anggapan
umum terhadap pernyataan di atas, yakni perspektif kritis yang kuat dan tak hentihentinya berseru tentang peran yang dimainkan advertising dalam masyarakat konsumer.
Perbandingan bahwa barang-barang pasti hanya penting bagi orang karena kegunaannya
ketimbang dari makna simboliknya memang sangat sulit dibuktikan baik secara historis,
antropologis dalam berbagai latar budaya. Dalam semua budaya di sepanjang waktu, ada
relasi antara kegunaan dan simbol yang menghasilkan latar belakang konkret tempat
bermainnya relasi orang dan objek secara umum. Kritik radikal terhadap advertising saat
ini tidak berimbang di dalam hal persepsinya tentang relasi yang “tepat “ dan
“seharusnya” antara kegunaan dan simbol. Itu disebabkan oleh apa yang disebut
“commodity vision” – problem komoditas kapitalis yang tidak dengan tegas dipisahkan
dari persoalan (fungsi/makna) benda-benda secara umum. Ketika relasi person-objek
telah ditempatkan di dalam konteks kekuasaan, kritikan yang sering ditujukan adalah
pada ketiadaanya jejak yang menghubungkannya dengan budaya dan sejarah.
Pengakuan terhadap aspek-aspek yang mendasari kegunaan simbolik orang
terhadap barang-barang masih menjadi titik awal yang belum banyak dipakai di dalam
wacana tentang objek-objek. Khususnya, pembedaan antara kebutuhan mendasar ( fisik)
dan kebutuhan sekunder (psikologi) rupanya telah diabaikan. Antropolog Marshal Sahlins
( 1976) menunjukkan bahwa semua kegunaan dikerangkai oleh konteks kultural — itu
terjadi dalam interaksi kita dengan benda-benda duniawi dan biasa dalam kehidupan
kita yang dimediasi dalam kerangka simbolik. Csiszentmihalyi dan Rochberg-Halton
( 1981:hal 21) mencatat:
Bahkan kegunaan dari benda-benda untuk tujuan yang bersifat umum bekerja di
dalam kerangka simbolik dari suatu kebudayaan. Objek-objek yang paling bermanfaat di
rumah seperti air yang mengalir, toilet, peralatan elektronik, dan semacamnya,yang
semua itu diperkenalkan kepada umum tidak lebih dari 150 tahun yang lalu oleh
teknologi Barat canggih— semuanya dipandang sebagai hal yang mewah. Dengan
demikian sulit untuk dipisahkan kegunaan terkait fungsi dari makna-makna simbolik
bahkan dalam objek-objek yang praktis sekalipun.
William Leiss ( 1976), juga, merujuk pada sifat dualistis yang melekat dalam
perliaku manusia dan berpendapat bahwa di setiap sisi kebutuhan manusia memiliki
kaitan baik simbolik maupun material, dan bahkan kebutuhan dasar fisiologi ( makanan,
tempat tinggal, dan pakaian) kita akan selalu menjadi ‘firmly embedded in a rich tapestry
of symbolic mediation’ ( Leiss,1976: 65).
Pentingnya simbolisasi yang melekat secara badani di dalam pemanfaatan (bendabenda) tidak luput dari perhatian para penulis di mana para pemasar dan lingkaran bisnis
telah memakainya untuk menjawab serangan yang ditujukan pada advertising. Bahkan,
mereka telah menjadikannya sebagai batu loncatan dalam legitimasinya tentang aspek
simbolik dalam advertising. Theodore Levitt melangkah lebih jauh dengan menyamakan
advertising dengan seni. Seni dihadirkan per definisi sebagai ‘distorsi’ atau interpretation
kenyataan dengan maksud memengaruhi audiens untuk berpikir dengan cara tertentu —
melebihi fungsinya dan secara praktis melakukan abstraksi. Advertising memiliki tujuan
yang sama, menggunakan sarana yang sama dan dengan demikian juga harus dievaluasi
dengan kriteria ‘terhormat’ yang sama seperti halnya dalam seni.
Orang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dalam bidang antropologi sosial untuk
bisa melihat bahwa pergeseran penggunaan objek-objek dalam zaman purba secara alami
yang dilakukan oleh manusia di dalam berbagai budaya dan semua masyarakat menjadi
ciri tahap perkembangan yang penting. Setiap orang menginginkan modifikasi,
mengubah, membumbui, memerkaya dan membangun ulang dunia di sekeliling dia untuk
bisa merasakan sensasi yang berbeda dalam menggunakan sesuatu. Peradaban bisa
diartikan sebagai tujuan manusia di dalam menaikkan ciri ‘ancient animality’ ; dan itu
termasuk di dalamnya baik seni maupun advertising. Diyakini hal tersebut merupakan
karakteristik universal dari sifat manusia —- manusia sebagai audiens butuh interpretasi
simbolik di dalam setiap apa yang dia lihat dan ketahui. Jika itu tidak diperoleh, maka
akibatnya akan menimbulkan keputusan bahwa sesuatu objek itu “tidak menarik”
( Levitt, 1970:87-89)
Karena manusia tidak dilahirkan untuk menggunakan objek-objek semata hanya
demi fungsinya, maka pesan yang dibawakan advertising harus mencerminkan
simbolisasi antara relasi person dengan objeknya secara luas. Simbolisasi dalam iklan
mencerminkan kebutuhan manusia yang paling dalam. Michael Schudson (1984) juga
menggunakan yang kemudian dikenal dengan perspektif antropologi untuk kasusnya
melawan kritik ‘puritanical’ terhadap advertising. Mencatat bahwa kebutuhan relatif
bersifat sosial di dalam semua budaya dan bahwa perbedaan ‘true-false’ (dalam
kebutuhan) adalah sesuatu yang sulit dilawan, dia berpendapat bahwa persoalan
sesungguhnya bukan pada simbolisasi yang palsu, melainkan pada persoalan bahwa
simbolisasi itu akan selalu ada di dalam setiap masyarakat.
Meski demikian, para pembela advertising hanya memusatkan pada satu sisi
dalam membangun kritikannya di dalam analisis mereka. Ketika mereka hanya
mengakui elemen simbolik di dalam setiap kebutuhn manusia, dan mengabaikan hampir
keseluruhan dari diskusinya tentang dimensi kekuasaan atau efek sosial dari
advertising. Pendekatan antropologi dengan demikian tidak lengkap, karena apabila
benar bahwa medium simbolis dari kebutuhan manusia adalah perangkat vital eksistensi
manusia, maka seharusnya benar juga bahwa kekuasaan juga senantiasa membayangi dan
memengaruhi di setiap relasi sosial. Barang-barang selalu berarti sesuatu di dalam
konteks sosial di mana kepentingan yang berbeda turut memainkan peranannya. Jika
bukti yang dikemukakan dari antropologi dipakai di dalam perdebatan ini, penting
kiranya untuk memasukkan keseluruhan bukti-bukti yang ada, dan tidak hanya dipilih
sepotong-potong. Semua kegunaan bisa bersifat simbolik — tapi untuk siapa dan dengan
tujuan apa? ( Bersambung )
Diadaptasikan dari :
Jhally, Sut. 1984. The Codes of Advertising : Fetishism and The Political Economy of
Meaning in The Consumer Society . NY & London: Routledge. Hal 1-6.
Tentang iklan-iklan ini
Share this:
Surat elektronik
Terkait
THEORIES
OF
SYMBOLIC
INTERACTION,
STRUCTURATION,
AND
CONVERGENCE & THEORIES OF SOCIAL AND CULTURAL REALITYdalam
"Teori Komunikasi"
Media dan Identitas Kultural dalam Masyarakat Pluralis - Tri Nugroho Adi dalam
"Cultural Studies"
MENGENAL CRITICAL THEORIES dalam "Teori Komunikasi"
~ oleh Tri Nugroho Adi pada 21 Februari 2014.
Ditulis dalam Cultural Studies
Tag: advertising, ancient animality, commodity vision, cultural studies, false consumer,
objectification, orang dan objek-objek, peran sosial iklan dalam masyarakat konsumtif,
Social Role of Advertising in The Consumer Society, sosialisasi, true-false
Pos-pos Terakhir
Dampak Media Sosial dan Pentingnya Re-konseptualisasi Komunikasi Massa
MENGENAL
CRITICAL
THEORIES
:
The
Frankfurt
School
Jurgen Habermas
Serial Populer : Research for Beginner (2)
MENGENAL CRITICAL THEORIES : MARXIST DAN NEO-MARXIST
FILM, BAHASA DAN SEMIOTIK (2)
&