Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam Masa

BAB I
PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang Masalah
Kitab yang menulis tentang Sirah Nabawi dan perjalanan dakwah Rasulullah

Saw. serta para sahabat dalam menegakkan Islam di muka bumi secara tidak langsung
adalah penegasan mengenai Izzatul Islam sekaligus membuka wawasan keilmuan yang
lebih dalam bagi kita hamba Allah sekaligus umat akhir zaman. Khazanah keislaman
laksana simbol kebangkitan dalam pencarian identitas atau jati diri seorang muslim. Di
sisi lain, kitab yang menjelaskan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam belumlah
banyak sebanyak kitab Sirah Nabawi. Padahal sejarah pemikiran perkembangan
ekonomi adalah suatu pengetahuan mengenai cakrawala ilmu perekonomian mulai dari
zaman Rasulullah Saw. hingga dinasti kekhalifahan Islam sebelum akhirnya runtuh dan
lenyap digantikan oleh mazhab-mazhab baru dari para ekonom Barat. Terutama setelah
revolusi industri hingga munculnya banyak penemuan baru (new invention).
Perekonomian Islam yang tercermin adalah sebuah sistem yang menjunjung tinggi
prinsip keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, dan persatuan yang berlandaskan
pada Alquran dan As-sunnah.

Dari beberapa literatur yang berhasil ditulis dan dikumpulkan oleh para Fuqaha
hingga ekonom Islam zaman kontemporer, sejarah telah menekankan suatu peristiwa
besar bahwa Rasulullah Saw. adalah utusan Allah Swt. yang mempunyai peran ganda
tidak hanya sebagai kepala negara saja tetapi juga kepala pemerintahan, pemimpin
militer, bahkan muhtasib atau pengawas pasar. Menciptakan sebuah negara yang adil
dan makmur adalah tujuan dan cita-cita Rasulullah Saw. selain berjuang menegakkan
cahaya dienul Islam. Tidak sedikit pun Rasulullah Saw. berpaling dengan memikirkan
kepentingan pribadi atau keluarganya saja. Pun setelah beliau wafat dan digantikan oleh
Khulafaur Rasyidun, setiap yang dipikirkan oleh khalifah pengganti, semata-mata
adalah perluasan dakwah serta kemakmuran dan keadilan umat saat itu. Setiap sendi

1

pemerintahan yang dibangun adalah kembali pada konsep Al Fallah yaitu terwujudnya
kemakmuran di dunia dan akherat.
Setelah era Khulafaur Rasyidun munculah kekhalifahan baru. Daulah Umayyah
yang didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan adalah awal terbentuknya
monarchiheridetis (kerajaan turun temurun).1 Sejarah mencatat bahwa daulah ini lahir
dengan jalan kekerasan, diplomasi, dan tipu daya bukan dengan cara bermusyawarah
seperti Rasulullah Saw. ajarkan serta terpilihnya para Khulafaur Rasyidun setelahnya.

Sebagaimana tertulis dalam sejarah, pemilihan khalifah Abu Bakar ra.. hingga Utsman
ibn ‘Affan ra. dilakukan dengan cara musyawarah walaupun penunjukkan Umar ibn
Khattab ra. sebagai khalifah dilakukan oleh Abu Bakar ra. secara langsung –saat sakit
dan menjelang wafatnya beliau- karena Abu Bakar ra. saat itu sangat khawatir akan
terjadi perpecahan umat sepeninggal beliau.2 Sebelum Daulah Islam Umayyah
terbentuk, penunjukkan Ali ibn Abi Thalib as. sebagai khalifah setelah melalui peristiwa
yang jauh dari musyawarah karena timbulnya banyak pemberontakan di akhir masa
khalifah Utsman hingga terbunuhnya Utsman. Para pemberontak mendesak agar Ali
segera diangkat menjadi khalifah akan tetapi penunjukkan ini ditolak oleh kelompok
Mu’awiyah

ibn

Abi

Sufyan

dengan

alasan3


pertama,

Ali

yang

harus

mempertanggungjawabkan terbunuhnya khalifah Utsman dan kedua, alasan meluasnya
daerah kekuasaan Islam dan banyaknya komunitas baru –saat itu- sehingga hak untuk
mengisi jabatan khalifah tidak lagi sepenuhnya hak mereka yang berada di Madinah
saja. Mu’awiyah didukung oleh banyak sahabat senior yang bergabung dengannya di
Syiria4 dan hal inilah yang menjadi tonggak munculnya keinginan Mu’awiyah untuk
mendirikan daulah sendiri.
Setelah berkuasanya Bani Umayyah, saat itu sudah mulai banyak lahir para
fuqaha yang merumuskan teori baru mengenai kebijakan ekonomi berlandaskan syariah.
1Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Depok: Gramata Publishing, 2005), hlm. 100.
2Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press,
1993), hlm. 21-27.

3Ibid., hlm. 28.
4See p.18 from the book The Majesty That Was Islam, The Islamic World 661-1100, W.
Montgomery Watt (London: Sidgwick & Jackson, 1974) “Mu’awiya was also supported by the Arabs of
Syria who for many years had experienced good government under him. Most of these Arabs were not
men straight from the desert, but came from families settled in Syria for a generation or two. The quality
of these Syrian Arabs was an important factor in Mu’awiya’s favour.”

2

Pemikiran para fuqaha muncul dan lahir dengan melihat kondisi dan keadaan pasar pada
masa itu. Setiap yang mereka amati dan lakukan sendiri, seperti Imam Abu Hanifah
yang juga dikenal sebagai alim ulama dan pedagang besar, lantas dijadikan sebuah
pemikiran baru di zaman itu. Khalifah sendiri amat memperhatikan dan mendukung
pemikiran yang lahir dari para cerdik cendikia sehingga setiap mereka yang berilmu
cukup tinggi penghargaan dan kedudukannya di mata para khalifah. 5 Pengadopsian
nilai-nilai monarki yang Mu’awiyah ambil dari Persia dan Byzantium, ia dapatkan dari
cerita-cerita sejarah para cerdik cendekia yang ia panggil tiap malam untuk sekedar
berdiskusi dan bercerita.
Baitul Maal pada masa Daulah Umayyah tetap menjadi sebuah lembaga/institusi
yang penting kehadirannya terhadap pengaturan keuangan negara. Tidak bisa dipungkiri

bahwa selama kurang lebih 91 tahun dinasti ini berkuasa, ekspansi wilayah kekuasaan
dan penyebaran Islam telah meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan, Purkmenia,
Uzbekistan, dan Kirgis di Asia Tengah. 6 Perkembangan ini pula menorehkan fakta
sejarah perekonomian dengan melahirkan mazhab-mazhab ekonomi yang ternyata
mampu terus berkembang dan aplikatif di masa kini. Ekonomi Islam bukan hanya
sebuah sistem yang dianggap lebih humanis tapi juga berkeadilan sosial dan mampu
diterapkan secara universal.

I.2.

Rumusan Masalah
Dari beberapa hal yang telah disampaikan dalam latar belakang, penulis

menyimpulkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah lahirnya Bani Umayyah?
2. Bagaimanakah perkembangan ekonomi Islam pada masa Bani Umayyah?
3. Bagaimanakah fungsi dan peran Baitul Maal sebagai perbendaharaan
negara?
5See p.34 from the book History of Muslim Education, Ahmad Shalaby (Beirut: Dar Al-Kashshaf,

1954) “some literary said that sometimes Mu’awiyah called in learned persons to read and discuss with
him about the history of the Arabs and their famous battles, the history of foreign kings and their
governments, the work of administrative bodies and the running of kingdoms in general. Calliph Abdul
Malik otherwise always supervised the students and gave a prize when they being a winner.”
6Euis Amalia, Ibid., hlm. 101.

3

4.

Nilai-nilai apa sajakah dari sisi historis perkembangan ekonomi pada
masa Daulah Umayyah yang bisa diimplementasikan di masa sekarang?

I.3.

Tujuan Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk menjawab beberapa hal dalam

rumusan masalah di atas, yakni:
1. Menjabarkan sejarah mengenai lahirnya Bani Umayyah.

2. Menuliskan bagaimanakah perkembangan ekonomi Islam pada masa itu.
3. Fakta apa sajakah yang dapat dikemukakan mengenai fungsi dan peran
4.

Baitul Maal sebagai kantor perbendaharaan negara.
Nilai-nilai historis perkembangan ekonomi masa Daulah Umayyah yang
bisa diimplementasikan di masa sekarang.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

Sejarah Lahirnya Bani Umayyah

4

Daulah Umayyah yang masa pemerintahannya kurang lebih 91 tahun (661-750
M) dalam perspektif sejarah peradaban Islam adalah sebuah dinasti yang melakukan
pencapaian terbesar dalam perluasan wilayah penyebaran Islam. Nama Bani Umayyah

dalam bahasa Arab adalah anak turunan Umayyah yaitu Umayyah ibn Abdul Syams ibn
Abdul Manaf. Umayyah adalah salah satu pemimpin dalam kabilah Suku Quraisy di
zaman Jahiliyah. Abdul Syams adalah saudara dari Hasyim yang masih satu keturunan
dengan Abdul Manaf. Dari Bani Hasyim inilah lahir Rasulullah Saw. 7 Bila digambarkan
dalam sebuah bagan mengenai risalah nasab antara Rasulullah Saw. dengan Mu’awiyah
dapat diperlihatkan sebagai berikut8:
Quraisy
Abd al-Manaf

Abd al Syams

Hasyim

Umayyah

Abd al ‘ash
Al Hakam
Marwan

‘Affan

Utsman

Abd al-Muthallib

Harb

MUHAMMAD

Hasyim Abu Thalib Abu Lahab Abdullah

Abu Sufyan
MU’AWIYAH

Al Abbas
Hamzah

Sebelum datangnya Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim.
Pada zaman itu Bani Umayyah memiliki peran yang penting dalam struktur masyarakat
di Kota Makkah karena penguasaan mereka dalam pemerintahan dan perdagangan. Di
sisi lain Bani Umayyah dikenal cukup sederhana. Saat Islam hadir dan Rasulullah

Muhammad Saw. dari suku Bani Hasyim menyebarkan agama Islam di Makkah, mereka
merasa kedudukan dan peran mereka mulai terancam. Oleh karena itu, Bani Umayyah
7Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), Cet. ke-1, hlm. 105.
8Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006) ed., Cet. Ke-1,
hlm. 233.

5

menjadi penentang utama dalam dakwah yang Rasulullah Saw. sampaikan, dan salah
satu tokoh penentangnya adalah Abu Sufyan ibn Harb. Abu Sufyan adalah salah satu
anggota keluarga Bani Umayyah yang juga menjadi pemimpin perang melawan
Rasulullah Saw. dan Islam yang mulai menyebar luas.
Setelah terjadinya peristiwa Fathul Makkah (Penaklukan Makkah), Abu Sufyan
dan keluarganya menyerah lalu memeluk agama Islam. Peristiwa masuk Islam Abu
Sufyan dan anaknya Mu’awiyah ibn Abi Sufyan adalah salah satu momen sejarah,
dimana setelah Rasulullah Saw. wafat akan muncul dinasti-dinasti kerajaan baru yang
awalnya diprakarsai oleh kemunculan Bani Umayyah dalam sejarah peradaban Islam.9
Sebelum kemunculan daulah ini, pengelolaan urusan negara oleh para khalifah
dilakukan dengan cara musyawarah10 termasuk dalam hal penyelesaian sengketa negara,

pengadilan terhadap pelanggaran hukum -dalam kapasitasnya sebagai hakim- atau
urusan-urusan publik lainnya, para khalifah tidak segan-segan meminta pendapat dari
para sahabat lain sehingga keputusan yang dihasilkan adalah keputusan yang adil dan
tidak berat sebelah. Setelah khalifah Utsman ibn ‘Affan berkuasa barulah tradisi ini
mulai kehilangan nilainya karena Utsman lebih mendengarkan suara kerabat dan
keluarganya dari kelompok Mu’awiyah. Hingga semasa pemerintahan Ali saat itu sudah
jelas terjadi perpecahan karena rakyat terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
Mu’awiyah dan kelompok Hasyimiyah.11 Kelompok pendukung setia Khalifah Ali ra.
menganggap bahwa hanya Ali ra. saja yang berhak menjadi khalifah penerus Utsman
ibn ‘Affan ra.12 karena ia adalah menantu sekaligus keponakan Rasulullah Saw. yang
dianggap memiliki hak untuk itu. Mu’awiyah memanfaatkan perpecahan dan
pemberontakan yang terjadi pada masa Khalifah Ali ra. memimpin bukan dengan

9Ibid., hlm. 105.
10Munawir Sjadzali., Op.Cit, hlm. 29.
11Ibid., hlm. 30.
12See p.15 from the book The Majesty That Was Islam The Islamic World 661-1100, W.
Montgomery Watt (London: Sidgwick & Jackson, 1974) “First there was Ali, who managed to get himself
elected calliph on the death of Uthman. He belonged to Muhammad’s own clan of Hashim, and had
married Muhammad’s daughter Fatima. Because of this some of his contemporaries may have believed
that he had inherited certain charismatic qualities from Muhammad.”

6

kubunya saja tetapi dengan kubu ‘Aisyah ra. dan beberapa sahabat lain yang bermaksud
meminta pertanggung jawaban Ali ra. terhadap kematian Khalifah Utsman.

2.2.

Lahirnya Daulah Umayyah
Rasulullah Saw. yang wafat pada 12 Hijriyah digantikan oleh keempat sahabat

utama yang lebih dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidun. Walaupun begitu,
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan tetap menjadi bagian yang penting dalam setiap masa
kepemimpinan Khulafaur Rasyidun. Terutama saat Utsman ra. memimpin, Mu’awiyah
diduga melakukan pendekatan dan hubungan yang kuat dengan Khalifah Utsman
sehingga terjebak dengan praktek nepotisme. Kepemimpinan Khalifah Utsman ra.
sendiri mulai dirongrong oleh banyak pemberontakan dan perpecahan khususnya dari
para pendukung setia Ali ibn Abi Thalib karena adanya keberpihakan yang berat sebelah
pada Bani Umayyah sehingga banyak mendapatkan keuntungan. Puncak pergolakan ini
diakhiri dengan terbunuhnya Khalifah Utsman lalu digantikan oleh Ali ibn Abi Thalib. 13
Dalam sejarah Islam peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman juga dikenal dengan nama
peristiwa Al-Fitnah al-Qubro’. Kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib ra. sebagai khalifah
bukan bermakna tidak ada lagi perpecahan. Saat Ali memerintah banyak terjadi
pemberontakan. Peristiwa sejarah pemberontakan pada masa Khalifah Ali dalam buku
Islam dan Tata Negara (Sjadzali, 1993: 32) menceritakan mengenai pemberontakan
yang dilakukan oleh Aisyah ra. bersama Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah
yang menyebabkan Zubair dan Thalhah terbunuh serta pasukan Aisyah yang akhirnya
kalah. Peristiwa ini dikenal dengan nama pertempuran unta. Pemberontakan yang
kedua dilakukan oleh Mu’awiyah dimana terjadi pertempuran besar antara tentara Ali
dengan tentara Mu’awiyah sehingga umat Islam terbagi menjadi tiga kubu 14 yaitu
kelompok yang setia kepada Ali, kelompok pengikut Mu’awiyah, dan kelompok
Khawarij. Saat itu khalifah Ali membangun markas di kota Kufah dan bergerak ke utara
13Artikel Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Dinasti Bani Umayyah, Asal usul Dinasti Bani
Umayyah
(http://file:BaniUmayyah/DINASTI/BANI/UMAYYAH/Asal-usulSKI(sejarahkebudayaanislam).html
14Munawir Sjadzali., Loc.Cit, hlm. 32.

7

melalui sungai Eufrat dengan maksud menyerang tentara Mu’awiyah di Syiria. 15
Perpecahan ini terus berlangsung hingga terbunuhnya Ali oleh Abdul Rahman ibn
Muljim dari kelompok Khawarij pada tahun kelima pemerintahannya.
Setelah Ali wafat, Mu’awiyah berhasil naik ke tampuk pemerintahan dan
memindahkan ibukota pemerintahan di luar Arab yaitu di Damaskus. Mu’awiyah
dinobatkan menjadi khalifah di Iliya’, Yerussalem16 pada 40 H atau 660 M. Setelah
pengukuhannya tersebut ibukota negara segera dipindahkan ke Damaskus walaupun
pada kenyataannya di awal masa pemerintahan Daulah Umayyah masih ada beberapa
wilayah yang tidak mengakui kepemimpinan Mu’awiyah. Di sisi lain fakta sejarah yang
tidak boleh terlupakan adalah setelah wafatnya Khalifah Ali, rakyat terbagi dalam tiga
kubu yakni kubu setia khalifah Ali, kaum Khawarij, dan kubu Bani Hasyim. Pengikut
setia Ali ra. di wilayah Irak mengangkat Hasan ibn Ali sebagai khalifah yang sah.
Dalam buku Philip K. Hitti (2006 : 234) diceritakan bahwa Hasan ibn Ali enggan
melibatkan diri terlalu lama di pemerintahan. Hasan kemudian menyerahkan kekuasaan
kepada Mu’awiyah untuk melanjutkan kehidupannya dengan tenang di Madinah karena
janji dari Mu’awiyah yang akan memberikan subsidi dan pensiun seumur hidup sebesar
lima juta dirham dari perbendaharaan Kufah. Hasan ibn Ali wafat dalam usia 45 tahun
dengan kemungkinan diracun. Adik beliau, Husain ibn Ali setelah wafatnya Hasan pada
680 H berangkat menuju Kufah bersama 200 orang rombongannya untuk memenuhi
seruan penduduk Irak. Husain sendiri tidak mengakui kekuasaan Yazid anak Mu’awiyah
sebagai khalifah pengganti. Pada 10 Muharram 61 H, rombongan al Husain kemudian
dihadang oleh 4000 orang pasukan jenderal Umar anak Sa’ad ibn Abi Waqqash di
Karbala, Irak. Pasukan itu lalu membantai al Husain dan seluruh rombongannya karena
tidak mau menyerah. Kepala al Husain lalu dipenggal dan dikirimkan kepada Khalifah
Yazid di Damaskus. Setelah itu kepala al Husain dikubur bersama dengan tubuhnya di
Karbala. Peristiwa pembantaian al Husain pada 10 Muharram menandai kelahiran
Syi’ah17 dan cikal bakal perkembangan Syi’ah sampai saat ini.
15John L.Esposito (Ed.), Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman dan Realitas Sosial,
(Depok: Inisiasi Press, 2004), hlm. 26.
16Philip K. Hiti., Op.Cit, hlm. 233.
17Ibid., hlm. 235.

8

Daulah Umayyah dari awal pendirian hingga keruntuhannya terus berusaha
mempertahankan gejolak-gejolak yang muncul setiap saat karena tetap ada saja
kelompok yang menentang, tidak puas, dan bahkan berniat merebut kekuasaan.
Meskipun kehadiran daulah ini telah meminggirkan kelompok pendukung setia Ali ra.
dan keturunannya tetapi justru hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu penyebab
runtuhnya kekhalifahan Umayyah. Setelah khalifah terakhir memimpin, pemberontakan
terbesar muncul dari kelompok yang menganggap bahwa khalifah haruslah berasal dari
keturunan Abbas, paman Rasulullah Saw. hingga berlanjut seterusnya pada keturunan
Bani Abbas. Bani Abbas lalu membentuk daulah baru yang menggantikan Daulah
Umayyah dan memindahkan ibukota kerajaan ke Baghdad, Irak.
Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah bermakna berakhirnya tradisi pemilihan
kepala negara melalui musyawarah karena setelah Mu’awiyah memimpin, sejak itu pula
kekuasaan berubah menjadi monarchiheridetis (kekuasaan turun temurun). Saat
memimpin sebagai khalifah pertama, Mu’awiyah tetap menggunakan istilah “Khalifah”
akan tetapi dengan penambahan interpretasi baru. Untuk menumbuhkan kesan
keagungan ia menyebut dirinya dengan “Khalifatullah” atau pemimpin yang diangkat
oleh Allah.
Suksesi kepemimpinan monarki ini ditandai saat Mu’awiyah mewajibkan
seluruh masyarakat untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Cara ini
Mu’awiyah adopsi dari Kerajaan Persia dan Byzantium. Dengan kekuasaan yang
Mu’awiyah raih melalui jalan kekerasan, diplomasi, dan banyaknya tipu daya
menyebabkan timbulnya banyak pergolakan dan pada akhirnya, kekuasaan daulah ini
tergantikan oleh Daulah Bani Abbasiyah setelah Khalifah terakhir Daulah Umayyah,
Marwan ibn Muhammad terbunuh dalam peperangan melawan Abul Abbas As Saffah
ibn Abdul Muthallib yang menjadi khalifah pertama Daulah Abbasiyah.
Sejak Bani Umayyah berkuasa, khalifah yang diangkat bukan lagi seseorang
yang harus paham atau ahli hukum agama (fuqaha). Penyimpangan yang nampak adalah
mulai dipisahkannya antara pemegang otoritas keagamaan dengan otoritas politik.
Maknanya, urusan agama sepenuhnya diserahkan kepada para ulama dan fuqaha
sedangkan pemegang otoritas politik berada di tangan para penguasa. Perbedaan ini pula
yang menyebabkan ibukota pemerintahan berada di Damaskus sedangkan kota yang

9

menjadi pusat aktivitas keagamaan tetap berada di Madinah.18 Mu’awiyah juga
mengadopsi atribut dan pola kehidupan raja yang ia ambil dari Kerajaan Byzantium.
Berbagai formalitas dan aturan protokoler diberlakukan19 sehingga pada masa
pemerintahan daulah ini, rakyat sudah tidak dapat lagi berbicara langsung dengan
pemimpinnya, menyuarakan ketidakadilan yang ia dapat, atau bahkan mengkritik
pemimpin untuk takut dan meminta petunjuk kepada Allah. Dalam mempertahankan
kekuasaannya di awal pendirian Daulah Umayyah, Mu’awiyah selalu meminta bantuan
dan dukungan dari gubernur-gubernur yang kuat terutama di wilayah Irak dan timur,
dengan tujuan memelihara kedamaian masyarakat20 yang memang tidak pernah mudah
dipertahankan apalagi dengan gejolak-gejolak kecil yang selalu muncul dari kaum
pemberontak. Mu’awiyah juga senantiasa mengandalkan keutamaan dengan cara
diplomasi dengan banyak pihak –musuh sekalipun- dibandingkan dengan cara
kekerasan walaupun yang ia hadapi adalah kelompok yang membenci dan
menentangnya.
Masa Daulah Umayyah juga memperlihatkan terjadinya ekspansi besar-besaran
dan luas hingga ke Benua Eropa. Wilayah kekuasaan Islam pada zaman itu sudah
mencapai Tunisia, daerah Khurasan sampai ke Sungai Oxus, mencapai wilayah
Afghanistan hingga ke Kabul, Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana. Bahkan wilayah
Samarkand juga berhasil dikuasai lalu meluas ke India, daerah Punjab dan Maltan. Pada
masa awal Mu’awiyah memimpin, ekspansi wilayah sudah dilakukan hingga ke Afrika
Utara yang dipimpin oleh ‘Uqbah ibn Nafi’. Wilayah timur yang berhasil diduduki
adalah Khurasan dari arah Bashrah lalu menuju Bukhara di wilayah Turkistan. Di
wilayah barat, ekspansi dipimpin oleh panglima Thariq ibn Ziyad yang telah
menorehkan catatan mengenai peristiwa ekspansi militer yang meluas ke Afrika Utara
menuju Benua Eropa pada tahun 711 M. Selanjutnya Aljazair dan Maroko yang berhasil
ditaklukkan menyusul keberhasilan pasukan muslim menyeberang selat yang
memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa lalu mendarat di Gibraltar (Jabal

18Euis Amalia, Op. Cit., hlm. 100.
19Munawir Sjadzali., Ibid, hlm. 37.
20John L. Esposito (Ed.), Op.Cit., hlm. 28.

10

Thariq) hingga Spanyol dengan kota-kota seperti Seville, Elvira dan Toledo saat itu
berhasil dikuasai.
Keberhasilan Mu’awiyah menaklukkan wilayah-wilayah jajahan karena ia
berhasil merebut galangan kapal21 milik Bizantyum beserta seluruh perlengkapannya
sehingga Daulah Umayyah mampu membangun angkatan laut Islam. Armada laut Islam
yang kedua terbesar ini (setelah Mesir) merekrut banyak penduduk asli Yunani-Suriah
yang pandai melaut dibandingkan kaum Arab. Mu’awiyah memang bukan seorang
pejuang yang tangguh tetapi ia adalah seorang organisator yang ulung sehingga ia
membangun kekuatan armada tentaranya dengan mayoritas pasukan yang berasal dari
Suriah. Orang Suriah saat itu memiliki kesetiaan yang amat tinggi pada khalifah.
Perekrutan tentara dan prajurit Suriah yang ia lakukan memiliki keunggulan antara lain
kemampuan militer yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. Hal inilah yang menjadi
kekuatan pergerakan dan perluasan wilayah taklukkan Islam pada masa Daulah
Umayyah.
Hingga masa kepemimpinan khalifah Umar ibn Abdul Aziz, upaya penaklukan
dilakukan hingga ke Perancis melalui pegunungan Piranee. Akan tetapi saat serangan
terjadi yang dipimpin oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi, ia terbunuh. Akhirnya
pasukan muslim mundur kembali ke Spanyol. Walau bagaimanapun kekuasaan saat itu
telah mencapai pulau-pulau kecil di wilayah Laut Tengah di semenanjung Mediterania22.
Upaya penaklukan dan invasi yang dilakukan Bani Umayyah sesungguhnya
memperlihatkan kejayaan dan kedigdayaan pasukan muslim. Dakwah Islam semakin
luas ditandai dengan begitu banyaknya orang-orang yang masuk Islam dari beberapa
wilayah penaklukan. Sebagaimana digambarkan dalam peta Spanyol di bawah ini
mengenai wilayah kekuasaan Bani Umayyah.
Gambar 1. Peta Spanyol

21Philip K. Hitti, Op. Cit., hlm. 240.
22See p.67 from the book Classical Islam, A History 600-1258, G. E. Von Grunebaum (Chicago:
Aldine Publishing Company, 1970) “Islamic occupation of the southern shores of the Mediterranean
destroyed the old unity founded on classical antiquity (Henri Pirenne).”

11

Secara administratif, wilayah kekuasaan Daulah Umayyah dapat dibagi menjadi
beberapa provinsi23 dengan mencontoh pembagian kerajaan Byzantium dan Persia,
yakni antara lain:
a.
b.
c.

Suriah-Palestina
Kufah termasuk Irak
Bashrah yang meliputi wilayah Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman,

d.
e.
f.
g.
h.
i.

dan ditambah dengan Nejed dan Yamamah
Armenia
Hijaz
Karman dan wilayah di perbatasan India
Mesir
Afrika kecil
Yaman dan kawasan Arab Selatan

Beberapa provinsi ini lalu digabung menjadi lima provinsi yang dipimpin oleh seorang
wakil khalifah. Penggabungan provinsi yang dilakukan Mu’awiyah adalah 1) provinsi
pertama adalah gabungan Bahsrah dengan Kufah di bawah pemerintahan Irak dengan
ibukota Kufah meliputi diantaranya Persia dan Arab bagian timur, 2) provinsi kedua
yang merupakan gabungan wilayah Hijaz, Yaman, dan Arab Tengah dalam satu
pemerintahan, 3) provinsi ketiga adalah gabungan kawasan jazirah Arab (utara Arab
antara Tigris dengan Eufrat) dengan Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil bagian timur,
4) provinsi keempat adalah Mesir bagian atas dan bawah, dan 5) provinsi terakhir
23Philip K. Hitti., Ibid, hlm. 280.

12

adalah gabungan dari Afrika kecil yang meliputi Afrika Utara sebelah barat Mesir,
Spanyol, Sisilia, dan pulau-pulau perbatasan. Pusat pemerintahan berada di Kairawan.
Bani Umayyah diperintah oleh beberapa khalifah. Berikut nama-nama khalifah
yang memerintah mulai dari awal didirikan hingga khalifah terakhir saat mengalami
masa kemunduran:
1. Mu’awiyah ibn Abu Sufyan (661-681 M)
2. Yazid ibn Mu’awiyah (681-683 M)
3. Mu’awiyah ibn Yazid (683-685 M)
4. Marwan ibn Hakam (684-685 M)
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
6. Al Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
8. Umar ibn Abdul Aziz ((717-720 M)
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
11. Walid ibn Yazid (734-744 M)
12. Yazid ibn Walid
13. Ibrahim ibn Walid
14. Marwan Ibn Muhammad (745-750 M).
Diantara khalifah-khalifah yang menjadi penguasa, ada beberapa khalifah yang
memiliki kontribusi dan sumbangan terbesar dalam perkembangan perekonomian
diantaranya Khalifah pertama Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, Khalifah Abdul Malik ibn
Marwan, dan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Ketiga khalifah ini mampu menerapkan
sistem dan model pemerintahan yang baru serta berhasil menciptakan kehidupan
masyarakat yang adil dan makmur yang mencapai puncak kejayaannya pada masa
kepempinan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz.

2.3. Perkembangan Perekonomian Daulah Umayyah
Gambaran perkembangan ekonomi pada masa Daulah Umayyah diantaranya
terlihat dari kepemimpinan beberapa khalifah termasyhur yang berhasil menorehkan
perhatian besar pada pembangunan negara dan bertujuan menciptakan serta

13

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selain itu terdapat beberapa sumbangsih dari
para ulama dan fuqaha di masa Daulah Umayyah. Penjabaran kebijakan, sumbangsih
dan peran dari khalifah serta Ulama-Fuqaha akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Kebijakan dan Sumbangsih Para Khalifah Daulah Umayyah
Pondasi kebijakan ini dipelopori oleh Khalifah pertama dan selanjutnya
diteruskan oleh khalifah pengganti. Di antara beberapa kebijakan dan sumbangsih para
khalifah yaitu:
1.

Khalifah Mu’awiyah ibn Abu Sufyan
Pada masa pemerintahan Mu’awiyah, beliau mendirikan kantor catatan negara

dan merancang pola pengiriman surat melalui pos (al-barid) serta seluruh fasilitas
pendukungnya. Beliau juga menertibkan angkatan perang dengan melakukan perekrutan
tentara-tentara secara profesional dan menghapus sistem militer yang tradisional yang
didasarkan atas organisasi kesukuan24, mencetak mata uang, mengembangkan jabatan
qadi (hakim) sebagai jabatan profesional. Para qadi di masa itu dalam memutuskan
suatu perkara tidak terpengaruh oleh kebijakan politik atau kekuasaan pemimpin negara
sehingga mereka bebas memutuskan sesuatu termasuk dalam urusan yang berkaitan
dengan para pejabat tinggi negara.25 Kebijakan lain adalah pemberian gaji tetap kepada
tentara, membangun armada laut yang kuat, serta pengembangan birokrasi seperti fungsi
pengumpulan pajak dan administrasi politik.26 Sistem lainnya yang Mu’awiyah bangun
adalah membentuk lima macam kepaniteraan yakni kepaniteraan urusan korespondensi
(surat menyurat), kepaniteraan urusan pajak, kepaniteraan urusan angkatan bersenjata
atau tentara, kepaniteraan urusan kepolisian, dan kepaniteraan urusan peradilan yang
berkaitan dengan jabatan qadi. Masing-masing kepaniteraan dipimpin oleh seorang
panitera. Dalam hal kebijakan pajak, khalifah Mu’awiyah menarik kurang lebih sekitar
2,5% dari pendapatan tahunan kaum muslimin. Nilai pajak ini sama halnya dengan nilai
pajak penghasilan di era modern saat ini.
24Philip K. Hitti., Ibid, hlm. 242.
25Munawir Sjadzali, Ibid., hlm. 39.
26Nur Chamid, Op. Cit., hlm. 109.

14

Mengenai sistem ketatanegaraan yang Mu’awiyah bangun, istilah ‘wazir’ yang
sudah jauh dikenal pada masa Rasulullah Saw. sebagai penasihat dan pembantu terdekat
nabi maka pada zaman Mu’awiyah, istilah ini ia gunakan untuk penasihat dan pembantu
utama khalifah27. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya lembaga wazir
sendiri pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah. Wazir pada masa Daulah Umayyah
dalam struktur kekuasaan berada setingkat di atas kepala panitera yang memimpin
lembaga kepaniteraan. Khusus urusan korespondensi sebagai kepala panitera yang
paling senior akan dijabat oleh keluarga dan kepercayaan khalifah. Mu’awiyah juga
membuat biro registrasi28 karena pada satu ketika ada orang yang berusaha memalsukan
tanda tangannya. Biro registrasi ini bertugas untuk membuat dan menyalin setiap
dokumen resmi sebelum distempel dan mengirimkan lembaran aslinya.
Pada masa Mu’awiyah, ia juga mampu membangun sebuah struktur masyarakat
muslim yang tertata rapi yang salah satunya ditandai oleh kerukunan beragama yang
sangat tinggi bahkan khalifah sendiri mengangkat beberapa orang Kristen untuk
menduduki jabatan penting kerajaan yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa
Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidun. Dengan pembangunan struktur masyarakat
yang lebih rapi, geliat perekonomian pada masa itu sudah semakin berkembang dan
maju.
2.

Khalifah Abdul Malik ibn Marwan
Pencapaian yang dilakukan pada masa kepemimpinan Abdul Malik yakni berupa

pemikiran yang serius untuk menerbitkan mata uang sendiri sebagai salah satu alat
pertukaran. Keberhasilan tersebut dicapai setelah adanya permintaan dari pihak Romawi
-saat itu mata uang yang berlaku adalah mata uang Bizantium dan Persia yang nilainya
sama dengan logam emas dan perak pada Dinar dan Dirham- untuk menghilangkan
kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” dari mata uang yang berlaku. Khalifah Abdul
Malik sangat berkeberatan dan menolak sehingga dari peristiwa tersebut, beliau
akhirnya mencetak mata uang Islam sendiri dengan mencantumkan kalimat
27Munawir Sjadzali, Op.Cit., hlm. 38.
28Hitti., Ibid, hlm. 282.

15

“Bismillahirrahmanirrahim” menggunakan kata dan tulisan Arab pada tahun 695 H. Hal
ini terjadi pada tahun 659 M/74 H. Penggunaan kata dan kalimat dalam bahasa Arab
sesungguhnya juga merupakan bagian dari politik nasionalisasi dan Arabisasi yang
dilakukan beliau.29 Di zamannya, Abdul Malik juga tak segan menjatuhkan hukuman
ta’zir kepada mereka yang berani mencetak mata uang sendiri di luar percetakan negara.
Dalam hal pajak dan zakat, khalifah memberi kewajiban kepada rakyatnya yang
muslim untuk membayar zakat saja sedangkan beban pajak dibebaskan seluruhnya.
Karena kebijakan inilah banyak orang non muslim yang berbondong-bondong masuk
Islam dengan tujuan utama agar terhindar dari beban membayar pajak. Akibat kebijakan
yang diberlakukan ini, sumber pendapatan negara dari sektor pajak justru mengalami
defisit. Sedangkan beban lain harus ditanggung negara karena bertambahnya pasukan
militer dari kelompok Mawali (yaitu kelompok umat Islam yang bukan berasal dari
Arab dapat berasal dari Persia, Armenia, dan lain-lain). Karena beban defisit keuangan
yang ditanggung negara cukup besar maka Abdul Malik mengembalikan pasukan
militer dari para muallaf ke posisinya semula yaitu sebagai petani dan diharuskan
membayar pajak sebesar beban Kharaj dan Jizyah seperti saat sebelum mereka masuk
Islam. Karena kebijakan tersebut terjadilah pertentangan keras oleh kelompok Mawali.
Motif inilah yang menjadi salah satu penyebab keruntuhan Daulah Umayyah karena
kaum Mawali kemudian membelot dan memilih bergabung dengan kaum pemberontak
dari Bani Abbasiyah.30
Kebijakan lain yang dihasilkan khalifah Abdul Malik adalah pembenahan
administrasi pemerintahan disertai pemberlakuan penggunaan bahasa Arab sebagai
bahasa resmi pemerintahan Islam. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa utama31
bahkan ke semua wilayah jajahan Daulah Umayyah. Tidak hanya dijadikan sebagai
29Nur Chamid, Loc. Cit., hlm. 110.
30Ibid., hlm. 110.
31See p.51 from a book, Lectures on Arabic Historians, D.S. Margoliouth (New Delhi: Idarah-i
Adabiyat-i Delli, 1977) “...the reign of ‘Abdul Malik, was Arabic made the language of the records in the
bureaux : the “permanent officials” till then were of necessity natives of the countries which had been
conquered, who conducted business in the language and with the formulate to which they had been
accustomed.”

16

bahasa pengantar dalam berbisnis tapi juga penegasan akan legitimasi kaum Arab saat
itu (politik Arabisasi yang telah dijelaskan sebelumnya). Khalifah mengubah bahasa
yang digunakan dalam catatan administrasi publik32 dari bahasa Yunani ke Arab dan dari
bahasa Persia ke dalam bahasa Arab. Abdul Malik juga menata kembali sistem layanan
pos (al barid) yang didirikan oleh Mu’awiyah menjadi sebuah institusi yang lebih rapi
dan menghubungkan antar wilayah kekuasaan Daulah Umayyah yang sangat luas33.
Perubahan yang ia lakukan terhadap layanan pos ini yaitu dengan penggunaan kuda
antara ibukota Damaskus dengan wilayah lain. Layanan pos ini digunakan terutama
untuk memenuhi kebutuhan transportasi para pejabat pemerintah dan persoalan surat
menyurat mereka. Kepala pos pada masa itu bertugas untuk mencatat dan mengirimkan
kepada khalifah semua peristiwa penting yang terjadi di wilayah masing-masing. Abdul
Malik bahkan membangun gedung arsip di Damaskus yang pada masa Mu’awiyah
masih berupa biro registrasi saja.
Fakta sejarah lainnya yang juga tidak boleh dilupakan pada masa ia memimpin,
Abdul Malik banyak membangun monumen-monumen kebesaran Islam34 salah satunya
adalah Kubah Batu (Dome of The Rock) di Yerussalem. Kubah Batu ini oleh orangorang Eropa disebut dengan Masjid Umar. Kubah Batu dihiasi dengan tulisan Kufi yang
pada awalnya tertulis nama Abdul Malik kemudian diganti dengan nama Khalifah Al
Makmun yang memerintah Dinasti Abbasiyah. Monumen lainnya yang menjadi tempat
suci umat muslim adalah pembangunan Masjid Al Aqsha’ di Palestina (Al Haram alSyarif) sebagai tempat suci ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
3.

Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
Pada awal diangkatnya Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah, tindakan pertama

yang beliau lakukan adalah mengumpulkan seluruh rakyat lalu mengumumkan serta
menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadi dan keluarganya yang diperoleh secara
tidak wajar kepada Baitul Maal. Selain itu khalifah Umar juga menyerahkan harta
32Philip K. Hitti., Ibid, hlm. 270.
33Ibid, hlm. 242 dan hlm. 272.
34Ibid., hlm. 276.

17

kekayaan yang ia miliki antara lain tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai
tunjangan di Yamamah, Mukaedes, Jabal Al-Wars, Yaman, dan Fadak serta cincin
berlian pemberian Al Walid. Dalam menetapkan suatu kebijakan beliau senantiasa
berupaya melindungi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam sebuah cerita,
suatu ketika Umar membelanjakan seluruh harta kekayaan Baitul Maal di Irak untuk
membayar ganti rugi terhadap orang-orang yang pernah diperlakukan buruk oleh
penguasa sebelumnya. Karena tidak mencukupi beliau lalu mengambil kembali dari
harta kekayaan Baitul Maal di Syams. Begitulah keteguhan dalam bersikap jujur dan
adil yang Khalifah Umar tunjukkan selama ia memerintah, bahkan selama berkuasa
khalifah Umar pun tak pernah mengambil sepeser pun pendapatan Fai yang merupakan
haknya.35
Umar juga menghapus pajak terhadap kaum muslimin, mengurangi beban pajak
yang berasal dari Kaum Nasrani, membuat takaran dan timbangan yang adil, membasmi
cukai, pajak, dan lain-lain. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pembukaan jalur
perdagangan bebas di darat, laut, dan udara. Karena kebijakan ini pada masanya terjadi
peningkatan taraf hidup masyarakat secara signifikan sehingga pada masa itu tidak ada
lagi masyarakat yang mau menerima zakat. Keadilan lain yang Khalifah Umar lakukan
adalah mengurangi beban pajak dari penganut Kristen Najran yang sebelumnya 2000
keping menjadi 200 keping. Beliau juga mewajibkan pembayaran Kharaj kepada
muslim dan Jizyah kepada orang non muslim, hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan
kewajiban kepada negara yang harus ditanggung masyarakat. Sebab saat itu kondisi
masyarakat muslim sebagian besar memiliki lahan dan sudah sangat mampu membayar
pajak. Mengenai jabatan qadi, khalifah Umar juga menentukan lima syarat bagi
seseorang yang menjabat sebagai hakim, yakni: 1) harus mengetahui apa yang telah
terjadi sebelum dia, 2) tidak memiliki kepentingan pribadi, 3) tidak mendendam, 4)
mengikuti jejak salafus shalih dan para fuqaha, serta 5) mengikutsertakan para ahli dan
cerdik cendekia dalam memutuskan suatu perkara. Menurut Umar, jabatan qadi amat
menentukan dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang berkeadilan.
35Artikel Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Dinasti Bani Umayyah, Asal usul Dinasti Bani
Umayyah., Op. Cit. hlm. 3.

18

Di bidang pertanian, Khalifah Umar melarang penjualan tanah garapan agar
tidak ada penguasaan lahan. Ia memerintahkan amirnya untuk memanfaatkan
semaksimal mungkin lahan yang ada. Bila terjadi sewa menyewa maka yang diterapkan
adalah prinsip keadilan dan kemurahan hati. Beliau melarang pemungutan sewa untuk
lahan yang tidak subur dan bilapun lahannya subur maka uang sewa yang diminta harus
memperhatikan faktor keadilan sesuai dengan tingkat kesejahteraan hidup petani yang
bersangkutan.36
Selanjutnya adalah kebijakan otonomi daerah. Kebijakan yang diberlakukan
yaitu setiap wilayah Islam memiki kewenangan untuk mengelola zakat dan pajak
sendiri-sendiri serta tidak diharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat.
Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap
wilayah yang minim pendapatan zakat dan pajaknya.
Untuk mewujudkan negara yang adil dan makmur maka Khalifah Umar ibn
Abdul Aziz menjadikan jaminan sosial sebagai landasan pokok. Beliau menjamin hak
warisan seseorang dan menjamin hak kebebasan tidak mempedulikan rakyatnya itu
muslim ataupun non muslim. Jika terdapat kelebihan harta setelah dibagikan kepada
kaum muslimin selanjutnya harta Baitul Maal akan diberikan kepada orang-orang
dzimmi. Kaum dzimmi juga diberikan hak berupa peminjaman lahan pertanian sebagai
tempat mereka untuk mencari penghidupan.37
Pada masa-masa pemerintahannya, sumber-sumber pemasukan negara berasal
dari zakat, ghanimah atau harta rampasan perang, pajak penghasilan pertanian
(diterapkan setelah khalifah berkuasa beberapa saat karena di awal pemerintahannya
situasi kondisi perekonomian belum kondusif setelah kekuasaan khalifah sebelumnya),
dan hasil pemberian lapangan kerja produktif kepada masyarakat. Dan terutama yang
paling terlihat adalah kembalinya syariat Islam yang mewarnai semua aspek kehidupan.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidun yang
ke-5 karena kesholehan dan ketawadhu’annya.
Keadilan dan kesejahteraan masyarakat pada masa Khalifah Umar ternyata
hanya bertahan selama tiga tahun karena Umar wafat pada usia 35 tahun. Setelah
36Euis Amalia. Op. Cit., hlm. 103.
37Ibid., hlm. 104.

19

Khalifah Umar digantikan oleh Yazid ibn Abdul Malik kekacauan kehidupan
masyarakat timbul kembali, terutama karena penguasa lebih menyukai bergelimang
dengan harta kekayaan dan kekuasaan.38 Pada masa pemerintahannya, sejarah pun
menceritakan bahwa beliau berhasil mempersatukan kepentingan dari kelompokkelompok yang senantiasa bertikai yakni syi’i sebagai pengikut syi’ah, golongan
penengah, dan kelompok khawarij. Ketiga kelompok ini senantiasa hidup rukun, aman,
dan damai.39

b. Sumbangsih dari Para Ulama dan Fuqaha
Selain pemikiran dan kebijakan yang dihasilkan khalifah selama berkuasa, pada
masa Daulah Umayyah juga ditemukan banyak pemikir-pemikir ekonomi yang berasal
dari kalangan ulama, fuqaha, bahkan filsuf. Para tokoh dengan pemikiran yang mereka
hasilkan di antaranya:
a.

Zaid Ibn Ali (699-738 M)
Zaid Ibn Ali sesungguhnya adalah cucu dari Imam Husein ra. dan seorang ahli

Fiqh yang terkenal di Madinah yang merupakan guru dari ulama terkemuka, Imam Abu
Hanifah. Pemikiran yang dihasilkan oleh Zaid adalah membolehkan penjualan suatu
barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai. Hal ini dapat
dibenarkan karena beberapa hal:
 Penjualan dengan sistem kredit termasuk bentuk transaksi yang sah dan dibenarkan
selama dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak.
 Keuntungan dari penjualan kredit ini adalah bentuk murni dari suatu perniagaan dan
bukan termasuk riba.
38Ibid.
39See p.4 from a book, Lectures on Arabic Historians, D.S. Margoliouth (New Delhi: Idarah-i
Adabiyat-i Delli, 1977) “We are told casually how the pious ‘Umar, son of Abdul ‘Aziz abolished the
practice of cursing ‘Ali ra. From the pulpit: and the shi’ah venerate his memory, on that account. Yet
such a concession to sentiment may have had as serious consequences in shaking the power of the
Umayyads...”

20

 Penjualan yang dilakukan secara kredit adalah salah satu bentuk promosi dan respons
terhadap pasar sehingga keuntungan yang diperoleh dari penjualan ini merupakan
bentuk kompensasi dari kemudahan yang diperoleh pembeli atas penangguhan untuk
tidak membeli secara tunai.
 Penjualan secara kredit tidak lantas mengindikasikan bahwa harga barang yang lebih
tinggi selalu berkaitan dengan waktu. Adakalanya penjual dapat menjual barang
dengan harga yang lebih rendah dalam kondisi untuk menghabiskan stok barang dan
memperoleh uang tunai karena kekhawatiran harga barang akan jatuh di masa yang
akan datang.
 Dalam syariah sesungguhnya setiap baik buruknya suatu akad, ditentukan oleh akad
itu sendiri tidak berkaitan dengan akad lainnya.40
b.

Abu Hanifah (699-767 M)
Abu Hanifah adalah murid dari Zaid Ibn Ali. Beliau adalah seorang fuqaha yang

juga pedagang. Aktivitas berdagang beliau dilakukan di kota Kufah yang saat itu adalah
pusat perdagangan dan perekonomian yang sedang berkembang pesat. Dengan aktivitas
berdagang yang beliau lakukan dan melihat kondisi pasar, beliau menaruh perhatian
besar pada jual beli dengan akad Salam. Salam adalah jual beli yang dilakukan dimana
transaksi tersebut menyerahkan barang di kemudian hari sedangkan pembayaran
dilakukan secara tunai di awal sesuai kesepakatan. Ia meragukan keabsahan akad yang
dapat menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu, di dalam akad harus ditambahkan
persyaratan yang lebih jelas mengenai jenis komoditi, mutu, kuantitas, waktu dan
tempat pengiriman. Syarat lain komoditi tersebut juga harus tersedia di pasar mulai
rentang waktu akad dilakukan hingga dilakukan penyerahan barang sehingga transaksi
jual beli ini jelas dapat dilakukan. Beliau juga memberikan sumbangsih untuk jual beli
Murabahah. Memberikan saran kepada penguasa untuk memberlakukan zakat atas
perhiasan dan membebaskan kewajiban dari seseorang yang terlilit hutang tapi tidak
mampu membayar. Untuk kerjasama Muzara’ah, Abu Hanafi cenderung mewajibkan
40Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012), Edisi ke-3., Cet. Ke-5, hlm. 12.

21

tidak boleh dilakukannya bagi hasil atas panen bagi penggarap yang tanahnya tidak
menghasilkan.41
c.

Al Awza’i (707-774 M)
Abdur Rahman Al Awza’i adalah seorang ahli hukum yang menghasilkan

pemikiran diperbolehkannya kebebasan dalam kontrak dan memfasilitasi orang-orang
dalam transaksi mereka. Beliau adalah penggagas orisinalitas ilmu ekonomi syariah.
Pemikiran-pemikiran yang beliau hasilkan yaitu membolehkan dilakukannya kerjasama
Muzara’ah sebagai bagian dari bentuk Murabahah. Dalam kontrak Salam, Awza’i
melakukan perubahan yang lebih fleksibel. Ia juga membolehkan peminjaman modal
baik dalam bentuk tunai atau kredit.42
d.

Imam Malik ibn Anas (712-795 M)
Pokok pemikiran Imam Malik tidak mencurahkan perhatian besar pada

perekonomian. Akan tetapi, ada dua pemikirannya yang cukup menonjol dan
berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.
 Beliau mendorong penguasa untuk berlaku dan bertindak seperti Khalifah Umar ibn
Khattab yang begitu peduli terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakatnya.
 Beliau menerapkan pemikiran dengan prinsip Maslahah, al-Mursalah. Maslahah
bermakna asas manfaat atau kegunaan yakni sesuatu yang dapat memberikan
manfaat baik kepada individu ataupun kepada masyarakat banyak. Sedangkan prinsip
al-Mursalah dapat diartikan sebagai prinsip kebebasan yang tidak terikat atau tidak
terbatas. Bila dikaitkan dengan kegiatan ekonomi maka yang dapat disimpulkan
menurut beliau yakni penguasa berhak untuk memungut pajak sepanjang diperlukantermasuk bila melebihi jumlah yang telah ditetapkan menurut syariat.43

41Ibid., hlm. 14.
42Nur Chamid. Op.Cit., hlm. 152.
43Artikel Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Dinasti Bani Umayyah, Asal usul Dinasti Bani
Umayyah., Loc,. Cit. hlm. 3

22

Tidak bisa dinafikan walaupun didirikannya Daulah Umayyah berasal dari
tindakan kekerasan serta pengkhianatan/tipu daya yang dilakukan oleh Muawiyah,
sesungguhnya sejarah mengatakan bahwa daulah ini juga berperan serta dalam
peradaban Islam, berkontribusi dalam dakwah dan perluasan wilayah negara Islam, dan
yang terutama telah melahirkan sebuah sistem dan pemikiran perekonomian yang
berkontribusi besar terhadap lahirnya ekonomi Islam sesuai Alquran dan As-sunnah.
Dengan sistem monarki yang menjadi cikal bakal kelahiran daulah-daulah pada periode
selanjutnya, justru faktanya sisa-sisa kebesaran dan kejayaan Daulah Umayyah masih
bisa kita lihat hingga detik ini.

2.4.

Baitul Maal pada Masa Daulah Umayyah
Baitul Maal yang merupakan kantor perbendaharaan negara pada masa Daulah

Umayyah banyak diselewengkan fungsi dan perannya. Terjadi banyak penyalahgunaan
wewenang penguasa. Saat itu, Baitul Maal laksana milik pribadi para khalifah dan
keluarganya.
Baitul Maal di masa Daulah Umayyah dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Baitul
Maal Umum yang diperuntukkan bagi umat, dan Baitul Maal Khusus yang
diperuntukkan bagi khalifah sekeluarga. Pembagian Baitul Maal menjadi dua bagian
seperti ini dalam prakteknya justru terjadi banyak penyelewengan. Baitul Maal umum
untuk alokasi kas-nya banyak diambil oleh khalifah, para pangeran, atau kerabat
khalifah. Pengeluaran yang digunakan untuk membeli hadiah-hadiah berupa barang
mewah dan tidak berhubungan sama sekali dengan penggunaan anggaran di Baitul Maal
umum banyak dilakukan oleh keluarga khalifah.
Alokasi disfungsi Baitul Maal ini tidak terjadi hanya pada saat khalifah Umar
ibn Abdul Aziz memerintah. Khalifah Umar memperlakukan Baitul Maal seperti di
zaman pemerintahan Khulafaur Rasyidun. Baitul Maal dianggap sebagai kantor
perbendaharaan yang fungsinya untuk menyalurkan kas dan belanja negara demi

23

kepentingan masyarakat umum. Bahkan pada suatu saat, kas Baitul Maal wilayah Irak
dikeluarkan seluruhnya untuk masyarakat sebagai ganti rugi dari kedzaliman yang
sudah dilakukan penguasa sebelumnya. Ganti rugi yang tidak mencukupi akhirnya
Khalifah Umar mengambil kas lagi dari Baitul Maal wilayah Syam.
Di zamannya, Khalifah Umar juga berupaya membersihkan hartanya dengan
cara mengembalikan harta milik pribadi yang berjumlah 40.000 dinar setahun ke Baitul
Maal. Di antara harta itu terdapat tanah yang merupakan milik negara yang telah
diserahkan oleh Rasulullah Saw. yang terletak di perkampungan Fadak –oleh Khalifah
Marwan ibn Hakam (Khalifah ke empat) tanah itu lalu diambil menjadi hak milik
pribadi dan diwariskan kepada anak-anaknya. Setelah Khalifah Umar tidak lagi
berkuasa, fungsi dan peran Baitul Maal kembali menjadi kepemilikan khalifah dan
keluarganya sehingga penyimpangan kembali banyak terjadi hingga Bani Abbasiyah
berkuasa.
Kemunduran Daulah Umayyah dan digantikan oleh kekuasaan baru dari Daulah
Abbasiyah dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain penggunaan sebuah sistem
baru yakni monarchiheridetis yang menyimpang dan di luar syariat Islam, lahirnya
banyak pemberontakan
kepemimpinan

akibat ketidakpuasan yang

khalifah-khalifah

Bani

Umayyah,

lahir

dari penyimpangan

penyalahgunaan

wewenang

penggunaan kas negara Baitul Maal untuk pembelian barang mewah dan pemenuhan
kebutuhan materi dari para khalifah dan keluarganya yang menyuburkan praktek
korupsi dan nepotisme. Sebuah kepemimpinan yang lahir dengan cara tipu daya dan
penipuan maka harus jatuh dan tergantikan oleh pemberontakan yang juga berakhir
tragis. Khalifah terakhir Bani Umayyah, Marwan ibn Muhammad tewas terbunuh oleh
pasukan yang dipimpin oleh Abul Abbas As-saffah pada tahun 748 M. Abul Abbas
selanjutnya menjadi khalifah pertama Daulah Abbasiyah yang berdiri tahun 749 M.
Sebagaimana firman Allah dalam Quran surat An-Nahl ayat 90 sebagai berikut:

24

‫علليك كمم‬
‫لو أموكفموا دبلعمهدد الل لده إلذا علهد تلكمم لول ل تلن مكقكضوأ الميملن بلمعلد تلمودكيددها ل لولقمد لجلعل متككم الل لله ل‬
‫ إ لن الل لله يلمعل لكم ما ل تلمفلعل كمولن‬,‫ك لدفميل‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran” (QS An Nahl: 90).
Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berlaku adil, jujur dan menghindari
perbuatan-perbuatan buruk. Bila dikaitkan dengan perilaku ekonomi, persoalan keadilan
termasuk yang utama.
2.5.

Kemunduran Bani Umayyah dan Penerapan Nilai di Masa Sekarang
Khalifah terakhir yang memimpin Daulah Umayyah adalah Khalifah Marwan

ibn Muhammad yang juga dikenal dengan sebutan Marwan II 44. Saat itu pemberontakan
sudah mulai banyak terjadi dari wilayah-wilayah jajahan 45 dan menghabiskan kekuatan
pasukan serta keuangan negara. Apalagi tentara Mawali sudah banyak memberontak
dan membantu pergerakan pasukan dari klan Bani Abbasiyah yang merasa berhak
mendirikan daulah sendiri menggantikan Daulah Umayyah yang dianggap banyak
melakukan penyelewengan, kesewenang-wenangan, dan ketidak adilan terhadap rakyat
disamping anggapan klan Bani Abbasiyah dari Bani Hasyim yang sesungguhnya lebih
berhak menduduki jabatan khalifah.

44See p. 181 from the book A Literary History of The Arabs, R.A. Nicholson (London:
Cambridge University Press, 1966) “the second division includes the caliphs of the family of Umayya,
from the acession of Mu’awiya in 661 to the great battle of the Zab in 750 when Marwan II, the last of his
line...”
45See p.31 from the book The Majesty That Was Islam, The Islamic World 661-1100, W.
Montgomery Watt (London: Sidgw