Sejarah Terbentuknya Hukum Internasioal Subjek hukum pidana

A. Latar Belakang
Pengertian terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah usaha untuk mencapai tujuan (politik) dengan cara kekerasan sehingga
menimbulkan ketakutan1. Sedangkan teroris merupakan pelaku dari aksi
kejahatan tersebut2. Aksi teror dapat berupa ancaman ataupun tindakan
pembunuhan, penculikan, hingga pengeboman.
Terorisme sendiri dapat diartikan sebagai tindakan perlawanan atau
penyerangan yang dilakukan oleh pihak yang lebih lemah terhadap sistem yang
keberadaannya lebih kuat, seperti negara3. Terorisme dapat dilakukan oleh
sekelompok orang untuk mendapatkan kepentingannya.
Dewasa ini, terorisme banyak diwarnai dengan ancaman diikuti dengan
tindakan pengeboman di berbagai belahan dunia. Terlebih usai tragedi bom yang
terjadi di gedung perdagangan dunia World Trade Center (WTC) pada 9
September 2001 atau lebih dikenal sebagai tragedi 9/11. Pasca pengeboman
gedung WTC dan Pentagon di New York Amerika Serikat tersebut, dunia seolah
ikut berduka dan menyatakan kewaspadaan terhadap tindak terorisme4.
Semenjak tragedi 9/11 yang ada di New York Amerika Serikat, terorisme
belakangan menjadi sebuah aksi yang paling berbahaya dan paling dikecam di
seluruh dunia. Tindak terorisme seringkali diartikan sebagai aksi pengeboman
yang dilakukan oleh sekelompok orang (biasanya muslim) yang ditujukan
kepada barat. Hal ini dilandasi dengan keputusan George W. Bush yang

merupakan presiden ke-44 Amerika Serikat, menyatakan perang terhadap
terorisme usai penyerangan WTC dan Pentagon oleh organisasi dari Afganistan
yang mengatasnamakan Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden5.
Aksi terorisme tentu saja sangat erat hubungannya dengan Hukum
Internasional dan Hubungan Internasional. Hal ini disebabkan karena Hukum
Internasional merupakan hukum norma yang mengatur hubungan antara aktoraktor internasional yang di dalamnya meliputi negara, individu, MNC,
organisasi-organisasi

internasional,

dan

pemberontakan.

Teroris,

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
2 Ibid.
3 Center of Strategic Research, t.t: 1
4 Epstein, Susan B., 2006. U.S. Public Diplomacy: Background and the 9/11

Commission Recommendations.
5 Goldstein, Joshua S., 2005. International Relations.

1

yang

merupakan pelaku dari terorisme merupakan salah satu aktor hubungan
internasional yang dikategorikan sebagai pemberontak.
Belakangan ini, kasus terorisme semakin marak terjadi di berbagai belahan
dunia termasuk Indonesia. Terorisme sendiri sudah menjadi ancaman publik
yang membuat ketakutan di masyarakat. Oleh sebab itu, isu terorisme kembali
mengingatkan kepada dunia akan pentingnya menjalin kerja sama dalam bidang
apapun berlandaskan hukum internasional yang telah dilakukan Amerika Serikat
pasca tragedi 9/116. Hukum Internasional yang dilakukan dengan diplomasi
antar negara sangat diperlukan dalam upaya melakukan penolakan terhadap
tindak terorisme yang dilakukan oleh sekeompok orang.

B. Analisa Kasus
Sebelum tragedi 9/11 yang terjadi di gedung WTC dan Pentagon Amerika

Serikat, terorisme merupakan isu yang menjadi kajian domestik suatu negara.
Namun setelah Presiden ke-43 Amerika Serikat George W. Bush menyatakan
perang terhadap aksi terorisme7, dunia seolah terguncang dan ikut mengutuk
tindak terorisme yang diawali oleh pengeboman gedung perdagangan dunia oleh
Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden tersebut.

6 Van Ham, Peter. War, Lies, and Videotape: Public Diplomacy and the USA’s War on
Terrorism.
7 Goldstein, Joshua S., 2005. International Relations.

2

Pernyataan perang yang dilakukan Bush dilanjutkan dengan sanksi
ekonomi Amerika Serikat terhadap Afganistan yang merupakan negara asal
Osama bin Laden. Ketika embargo terhadap Afganistan tidak menghantarkan
Amerika Serikat kepada Osama bin Laden, Amerika Serikat mulai melakukan
agresi militer terhadap Afganistan8 dengan tujuan perdamaian dunia dan
menghilangkan terorisme.
Agresi militer yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Afganistan
didukung penuh oleh organisasi perdamaian dunia, Perserikatan Bangsa Bangsa

(PBB). PBB membantu Amerika Serikat untuk menuntaskan terorisme dari
akarnya dengan mengirimkan pasukan militer yang berasal dari negara-negara
anggota PBB ke Afganistan untuk menghilangkan terorisme.
Setelah tertangkap dan dibunuhnya Osama bin Laden, pendiri AL Qaeda di
Pakistan pada tanggal 2 Mei 2011 silam, isu terorisme tidak kunjung pudar.
Tindak terorisme yang mengatasnamakan Islam terus terjadi hingga saat ini.
Terlebih setelah munculnya ISIS di tahun 2014 yang membuat resah seluruh
masyarakat dunia karena sifatnya yang agresif dalam membunuh dan menentang
ideologi barat yang merupakan demokrasi liberal, yang saat ini banyak
digunakan di dunia.
ISIS yang sekarang merupakan “musuh masyarakat global” menjadi
kelompok teroris yang paling ditakuti di dunia9. Terlebih, ISIS merupakan
organisasi yang gencar untuk melakukan perekrutan. Hal ini semakin membuat
masyarakat khawatir akan adanya ISIS. Organisasi teroris ISIS dipercaya
menggunakan metode pencucian otak kepada masyarakat dunia yang akan
direkrut untuk menjadi anggotanya. ISIS sendiri merupakan singkatan dari
Islamic State of Iraq and Syria atau Islamic State of Iraq and al-Sham (Negara
Islam Irak dan Syam). ISIS didirikan di tahun 1999 dan sempat bergabung
dengan Al Qaeda di tahun 200410. Di tahun 2014 hingga 2015, ISIS mengakui
beberapa wilayah di berbagai negara seperti Afganistan, Pakistan, Kaukakus,

Yaman, Aljazair, Libya, Mesir, hingga Arab Saudi11. ISIS juga terbukti
8 Ibid.
9 Bbc.com
10 Al-Qaeda disavows ISIS militants in Syria. BBC News.
11 IMU Declares It Is Now Part Of The Islamic State.

3

melakukan pembunuhan kepada warga sipil Amerika Serikat serta wartawan
yang berasal dari Amerika Serikat dan Jepang.
Keberadaan Al Qaeda dan ISIS merupakan isu yang membuat masyarakat
internasional merasa tidak aman. Oleh karenanya, diperlukan hukum
internasional yang jelas untuk mengatur dan memberantas terorisme.
Terorisme dapat menjadi berskala internasional apabila, pertama,
diarahkan kepada warga negara asing atau target luar negeri. Kedua, dilakukan
secara bersama-sama oleh pemerintah atau faksi dari lebih satu negera. Ketiga,
diarahkan untuk mempengaruhi kebijakan dari pemerintahan asing12. Dalam hal
ini, keberadaan Al Qaeda hingga ISIS merupakan terorisme berskala
internasional karena terget dari ISIS bukanlah warga Iraq atau Syria saja,
melainkan seluruh masyarakat dunia.

Sudah merupakan kewajiban negara untuk memerangi terorisme. Hal ini
dilandaskan pada komitmen nasional dan Internasional yang sepakat bahwa
terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga terorisme merupakan isu
ancaman bagi kedamaian dan keamanan internasional.ni didasarkan pada
komitmen nasional daninternasional. Selain itu, perkembangan teknologi dan
globalisasi telah menjadikan ancaman terorisme semakin serius dan kompleks
karena ketersediaan sumber daya dan metode baru untuk menyebarkan teror atau
melakukan perekrutan anggota.
Bukan hanya itu saja, komitmen masyarakat internasional dalam
mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai
konverensi internasional yang merupakan asal mula terbentuknya hukum
internasional yang mengatur akan tindak terorisme. Hukum internasional yang
terbentuk merupakan penegasan bahwa terorisme adalah kejahatan yang bersifat
internasional yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia
sehingga seluruh anggota PBB termasuk Indonesia wajim mendukung dan
melaksanakam revolusi dewan keamanan internasional PBB yang mengutuk dan
menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk mencegah dan memberantas
terorisme dalam bentuk perundang-undangan negara13.
12 Paul Wilkinson. Terrorism and the Liberal State. New York.
13 Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Pasal 3 Convention Aganist

Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terrorism (1999).

4

Deklarasi akan kecaman PBB terhadap terorisme yang disusun oleh dewan
keamanan dunia merupakan sejarah dari hukum internasional mengenai
terorisme. Sebelum kejadian 9/11, dunia tidak terlalu terlalu takut akan terorisme
karena masyarakat internasional berpikir bahwa terorisme merupakan isu
domestik suatu negara sehingga peraturan hukum internasional mengenai
terorisme tidak dilakukan oleh PBB.
Pasca tragedi 9/11 dan deklarasi Amerika Serikat yang menyatakan perang
terhadap terorisme, barulah dunia merasa terancam akan isu teror yang terjadi
sehingga hukum internasional yang membahas mengenai isu terorisme mulai
disusun dan dibentuk.
Seruan dewan keamanan dunia PBB kepada seluruh anggotanya untuk
membuat peraturan perundang-undangan nasional akan kecaman dan larangan
keras terhadap terorisme merupakan sejarah terbentuknya UU No 15 Tahun
2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme14 di Indonesia.
Terbentuknya UU No 15 Tahun 2003 tersebut dapat dikategorikan dalam
teori Politik Hukum Dualisme Transformasi Subtantif, dimana atas seruan dewan

keamanan internasional PBB untuk mengecam tindak pidana terorisme tahun
2002 ditransformasikan dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana
terorisme di wilayah Negara Republik Indonesia.
Seluruh negara anggota PBB seolah melaksanakan seruan PBB untuk
membuat peraturan perundang-undangan nasional mengenai tindak pidana
terorisme. Hal ini disebabkan hukum internasional yang ditetapkan dewan
keamanan internasional bersifat mengikat karena dapat memenuhi kebutuhan
negara dalam hal materi, perdamaian, maupun kepastian hukum sesuai dengan
Mazhab Perancis.
Mazhap Perancis secara garis besar meletakkan dasar mengikatnya hukum
internasional sebagaimana halnya dengan hukum-hukum lainnya berupa faktor
biologis, sosial, dan sejarah kehiduapan manusia. Artinya, dasar mengikatnya
hukum internasional dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk
sosial yang senantiasa memiliki keinginan untuk saling bersosialisasi, bergabung
dengan manusia lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sifat dasar yang dimiliki
14 http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1503.pdf

5

manusia ini juga dimiliki oleh negara yang merupakan subjek hukum

internasional. Dengan kata lain, menurut mazhab ini, dasar mengikatnya hukum
internasional kepada suatu negara adalah fakta kemasyarakatan yang berupa
kebutuhan manusia untuk hidup berdampingan karena tidak dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri.
Penjelasan bahwa terjadinya hukum internasional tentang tindak pidana
terorisme mengenai ikatan dari hukum internasional tersebut terhadap suatu
negara yang merupakan mazhab perancis adalah bahwa setiap negara perlu
untuk saling bekerja sama dalam hal memberantas terorisme agar tercapainya
keamanan dunia. Terlebih perkembangan kelompok terorisme yang sekarang
terjadi semakin cepat lantaran perkembangan teknologi dan globalisasi,
membuat negara tidak mampu untuk bergerak sendiri dalam menangani tindak
pidana terorisme.
Dalam hal ini, negara tidak mampu untuk menghadapi ancaman teror dari
kelompok teroris besar seperti ISIS, sehingga negara perlu terikat dengan hukum
internasional. Dengan mengikatnya negara terhadap hukum internasional, maka
negara akan dibantu oleh negara-negara anggota PBB lain ketika negara tersebut
mendapati serangan teroris. Bantuan dari negara lain dapat berupa bantuan
militer, bantuan materi, jaminan keamanan oleh dewan keamanan nasional
hingga kepastian hukum.
Cara negara agar terikat dengan hukum internasional yang dideklarasikan

dewan keamanan PBB di tahun 2002 adalah dengan membuat peraturan
perundang-undangan terkait dengan tindak pidana terorisme yang terjadi di
wilayah teritori suatu negara. Selain terjaminnya kepastian hukum mengenai
tindak pidana terorisme di hukum internasional, suatu negara juga akan
memperoleh jaminan keamanan ketika melakukan hubungan internasional.
Definisi dari hubungan internasional sendiri merupakan hubungan aksireaksi yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional yang melewati batas
wilayah teritori negara. Ketika aktor-aktor internasional menjalani hubungan

6

internasional (dapat bersifat formal maupun non formal), aksi teror yang
dilakukan kelompok teroris besar seperti ISIS bisa saja mengancam. Ketakutan
akan ancaman teror yang disebabkan oleh jaringan internasional tersebut
membuat negara untuk mengikatkan diri terhadap hukum internasional
mengenai tindak pidana terorisme. Sehingga ketika negara atau aktor
internasional dari negara tersebut melakukan hubungan internasional, aktor
internasional tersebut mendapat jaminan hukum mengenai terorisme yang terjadi
di tingkat global.

C. Kesimpulan

Bahaya akan tindak pidana terorisme pasca tragedi 9/11 di New York
Amerika Serikat semakin menghawatirkan sehingga negara, selaku salah satu
aktor dari hubungan internasional yang juga merupakan subjek hukum
internasional perlu melakukan tindakan untuk melindungi masyarakatnya akan
ancaman terorisme global yang terjadi.
Tindakan yang dilakukan oleh negara untuk menghilangkan tindak
pidana terorisme antara lain dengan membuat perundang-undangan yang
mengatur tentang tindak pidana terorisme. Dalam membuat peraturan
perundang-undangan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia misalnya,
negara membuat undang-undang sesuai konferensi PBB tahun 2002 sehingga
pembuatan aturan UU No. 15 Tahun 2003 merupakan bentuk dari transformasi

7

subtantif dualisme, teori dari penerapan hukum internasional dalam hukum
nasional.
Sedangkan menurut keterikatan antara hukum internasional dalam hukum
nasional dalam pembuatan peraturan mengenai tindak pidana terorisme ini,
masyarakat dunia memiliki fakta kemasyarakan dengan faktor biologis, faktor
sejarah, dan faktor sosial yang sama, yang menjadikan manusia sebagai makhluk
sosial dan perlunya menjalin hubungan untuk saling memenuhi kebutuhan yang
ada di masyarakat.
Manusia beranggapan bahwa hak untuk hidup adalah mutlak dan perlu
diperjuangkan, yang menjadikan faktor biologis yang dimiliki oleh manusia
untuk saling melindungi, termasuk dari ancaman terorisme. Faktor sejarah, yang
menjadikan terorisme sebagai aksi pembunuhan masal terutama pada
masyarakat sipil, menjadikan negara perlu memiliki aturan hukum yang tegas.
Sedangkan jika dilihat dari faktor sosial, setiap manusia pastilah memiliki
empati ketika melihat sesamanya tertimpa musibah, seperti musibah bom yang
terjadi di WTC 2001 silam. Banyaknya aksi terorisme yang terjadi hingga saat
ini membuat masyarakat dunia terguncang dan menyadari akan perlunya saling
bekerja sama untuk menghapuskan terorisme demi terciptanya dunia damai yang
diharapkan.
Dari ketiga faktor tersebut, penulis menyimpulkan bahwa keterkaitan
hukum yang mengatur tindak pidana terorisme pada suatu negara itu berdasar
kepada ikatan hukum internasional yang dapat memenuhi kebutuhan negara
dalam kehidupan bermasyarakat. Simpulan dari penulis ini merujuk keterikatan
hukum internasional terhadap hukum nasional sesuai dengan Mazhab Perancis
dalam teori hukum internasional.

8

DAFTAR PUSTAKA
"Al-Qaeda disavows ISIS militants in Syria". BBC News. 3 February 2014. Diakses
tanggal 6 April 2016.
BBC.com
Center of Strategic Research, t.t. The Role of Diplomacy and Soft Power in Combatting
Terrorism: Concept,
Fighting Methods and Case Studies. Republic of Turkey:
Ministry of Foreign Affairs.
Epstein, Susan B., 2006. U.S. Public Diplomacy: Background and the 9/11Commission
Recommendations.
Congressional Research Service: The Library of Congress.
Goldstein, Joshua S., 2005. International Relations. Pearson/Longman.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Paul Wilkinson. 1977. Terrorism and the Liberal State. New York: TheMacmillian
Press.
www.kemenag.go.id
Van Ham, Peter, 2003. War, Lies, and Videotape: Public Diplomacy and the USA’s War
on Terrorism.
Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

9

10