BAB III ANALISIS YURIDIS KRIMINOLOGIS PE

42

BAB III
ANALISIS YURIDIS KRIMINOLOGIS PENEGAKAN HUKUM
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN
KARTU KREDIT MELALUI MEDIA INTERNET

A. Faktor-faktor Yuridis Kriminologis Penyebab Pelaku Tindak Pidana

Pencurian Kartu Kredit Melalui Media Internet
Saat ini banyak sekali cara-cara pelaku tindak pidana dalam melakukan
aksinya. Salah satunya melalui perkembangan teknologi. Kriminalitas adalah
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan jatuhnya
korban. Dengan perkembangan zaman yang kian pesat saat ini membuat
terjadinya tindak pidana dengan berbagai varian modus operandinya, seiring
dengan kemajuan teknologi informasi.
Kemajuan teknologi informasi dapat merubah pola kehidupan, virtual life
dan reality life. Perubahan paradigma ini sebagai akibat dari kehadiran cyber
space, yang merupakan imbas dari jaringan komputer global. Hal ini berdampak
positif terhadap kehidupan masyarakat dan berdampak negatif dengan dunia


43

kejahatan. Kejahatan ini mengalami metamorfosa baik secara kualitas atau
kuantitas seiring dengan perkembangan budaya masyarakat.1
Modus yang telah terungkap di antaranya membeli data kartu kredit dari
orang asing, kemudian di input ke dalam kartu kredit yang sudah disiapkan,
modus selanjutnya mencuri data dari kasir restoran yang melibatkan orang dalam,
dan modus yang terakhir membuat aplikasi pengajuan kredit ke bank dengan data
identitas

palsu.2

Pencurian

kartu

kredit

disebabkan


karena

mengikuti

perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dengan kemajuan teknologi
yang sangat pesat tersebut semakin memudahkan tindak pidana dibidang
cybercrime, khususnya dalam hal ini pencurian kartu kredit melalui media
internet.
Menurut Mujiono, hal ini disebabkan adanya teknologi yang canggih dan
kejahatan pencurian kartu kredit melalui media internet lebih mudah dapat
dilakukan. Berikut ini adalah jenis modus yang dilakukan oleh pelaku pencurian
kejahatan kartu kredit:3
1. Membuat aplikasi Palsu ke pihak Bank dengan menggunakan identitas
Palsu.
Yang dimaksud dengan modus aplikasi palsu disini adalah
menggunakan sebuah program palsu dan merekayasa program tersebut
dengan data identitas Palsu. Adapun cara-cara yang dilakukan sebagai
berikut:
1


Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2005), hlm. 111.
2
Wakhid Muqodam, “Modus Pembobolan Kartu Kredit Ikuti Perkembangan Teknologi”,
terdapat disitus http://www.suarasurabaya.net/fokus/118/2014/130014, 26 Desember 2015
3
Wawancara Penulis dengan Kompol Mujiono sebagai Koordinator Pengawas Khusus Bidang
Cybercrime Polda Metro Jaya, pada tanggal 28 Januari 2016, Pukul 12.30 Wib.

44

a.
b.
c.
d.
e.

Memasukkan data,
Memasukan nama pemilik,
Nama Bank,

Waktu kadaluarsa.
Card verification value (CVV), kemudian dibelanjakan barangbarang online.
2. Unauthorized Use of Account Numbers
Pelaku menggunakan kartu yang bukan miliknya untuk melakukan
pembelanjaan melalui mekanisme transaksi yang tidak membutuhkan
keberadaaan kartu (card not present) dan transaksi bersifat online.
Biasanya pelaku hanya membutuhkan identitas lengkap pemilik kartu.
Transaksi belanja ini akan ditagihkan kepada pemilik kartu atau
account yang sah, sementara produk/jasa yang telah dibeli melalui
fasilitas online diterima oleh pelaku. Akibatnya pemilik kartu
dibebankan kewajiban pembayaran yang tidak pernah dilakukan
sebelumnya oleh si pemilik kartu.
3. Counterfeit Cards and Skimming
Counterfeit cards dan skimming adalah jenis kecurangan yang
paling banyak terjadi. Mekanismenya lebih canggih dibandingkan
dengan kecurangan jenis lainnya. Kecurangan jenis ini biasanya terjadi
pada kartu yang masih menggunakan magnetic stripe sebagai media
penyimpan data. Ketika masyarakat berbelanja dan bertransaksi
menggunakan kartu debet, masyarakat akan memberikan kartu untuk
digesek di mesin yang dinamakan Electronic Data Capture (EDC)

oleh cashier. EDC tersebut merupakan mesin yang bekerja untuk
meng-capture data identitas pemilik kartu dan transaksi yang
dilakukannya untuk kemudian dicetak ke dalam kartu yang lain
dipalsukan untuk digunakan sebagaimana kartu aslinya.
Kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer termasuk pencurian
dengan modus carding database telah menyebabkan kerugian bagi para pihak,
dalam hal ini yaitu:4

1. Nasabah
4

Brian Ami Prastyo, Kejahatan Cyber, http://www.clearcommerce.com, Diakses Pada Tanggal
13 Juli 2015, Pukul 15.00 WIB

45

a. Hilangnya sebagian uang atau seluruhnya milik nasabah yang

dicuri oleh pelaku carding database.
b. Kesulitan nasabah dalam melaporkan kejahatan ini kepada pihak

yang berwenang dikarenakan prosesnya memakan waktu yang
cukup lama dan terlalu banyak biaya.
2. Pihak Bank.
a. Rusaknya citra bank di mata masyarakat
b. Kepercayaan nasabah dan dunia usaha akan berkurang serta
berusaha mencari bank penerbit kartu kredit lain yang terjamin
keamanannya.
3. Negara.
Penilaian terhadap Indonesia menjadi negatif karena dari hasil riset
tahun 2012 dan 2015, Indonesia menempati peringkat ke-2 dalam
kejahatan cybercrime, sehingga secara tidak langsung akan
mempengaruhi perekonomian negara serta merusak citra bangsa di
mata dunia.
Dalam pembahasan ini, menurut Mujiono mengenai beberapa faktor
penyebab terjadinya tindak pidana pencurian kartu kredit melalui media internet
di masyarakat, antara lain:5
1. Akses internet yang tidak terbatas.
Di zaman sekarang ini internet bukanlah hal yang langka lagi, karena
semua orang telah memanfaatkan fasilitas internet. Dengan
menggunakan internet diberikan kenyamanan kemudahan dalam

mengakses segala sesuatu tanpa ada batasannya. Dengan kenyaman itu
lah yang merupakan faktor utama bagi sebagian oknum untuk
melakukan tindak kejahatan cybercrime dengan mudahnya.
2. Kelalaian pengguna komputer.
Hal ini merupakan salah satu penyebab utama kejahatan komputer.
Seperti diketahui orang-orang menggunakan fasilitas internet selalu
memasukan semua data-data penting ke dalam internet. Sehingga
memberikan kemudahan bagi sebagian oknum untuk melakukan
kejahatan.

5

Wawancara Penulis dengan Kompol H. Mujiono sebagai Koordinator Pengawas Khusus
Bidang Cybercrime Polda Metro Jaya, pada tanggal 28 Januari 2016, Pukul 12.30 Wib.

46

3. Mudah dilakukan dengan resiko keamanan yang kecil dan tidak
diperlukan peralatan yang super modern.
Inilah yang merupakan faktor pendorong terjadinya kejahatan di dunia

maya. Karena seperti bahwa internet merupakan sebuah alat yang
dengan mudahnya digunakan tanpa memerlukan alat-alat khusus
dalam mengunakannya. Namun pendorong utama tindak kejahatan di
internet yaitu susahnya melacak orang yang menyalahgunakan fasilitas
dari internet tersebut.
4. Para pelaku merupakan orang yang pada umumnya cerdas,
mempunyai rasa ingin tahu yang besar, dan fanatik akan teknologi
komputer.
Hal ini merupakan faktor yang sulit untuk dihindari, karena kelebihan
atau kecerdasan dalam mengakses internet yang di miliki seseorang di
zaman sekarang ini banyak yang disalahgunakan demi mendapatkan
keuntungan semata. Sehingga sulit untuk dihindari.
5. Sistem keamanan jaringan yang lemah.
Seperti diketahui bahwa orang-orang dalam menggunakan fasilitas
internet kebanyakan lebih mementingkan desain yang dimilikinya
dengan menyepelekan tingkat keamanannya. Sehingga dengan
lemahnya sistem keamanan jaringan tersebut menjadi celah besar
sebagian oknum untuk melakukan tindak kejahatan.
6. Kurangnya perhatian masyarakat.
Masyarakat dan penegak hukum saat ini masih kurang dalam memberi

perhatian yang sangat besar terhadap kejahatan konvensional. Pada
kenyataannya para pelaku kejahatan komputer masih terus melakukan
aksi kejahatannya. Hal ini disebabkan karena rendahnya faktor
pengetahuan tentang penggunaan internet yang lebih dalam pada
masyarakat.
Dalam pembahasan ini, faktor yuridis penyebab pelaku tindak pidana
pencurian kartu kredit melalui media internet adalah dari UU ITE mengenai
ancaman minimal sanksi pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian
kartu kredit melalui media internet tidak ada. Hal ini, dapat dilihat pada Pasal 46
UU ITE, yaitu:

47

Ayat (1)

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).


Ayat (2)

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 700.000.000,00 (tujuh ratus
juta rupiah).

Ayat (3)

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan uraian Pasal 46 UU ITE, apabila terhadap seseorang yang
dinyatakan secara sah bersalah melakukan tindak pidana carding, dikarenakan
tidak ada ancaman minimal sanksi pidana penjara maka Majelis Hakim dapat
menjatuhkan pidana penjara yang ringan dan berkesan tidak memberikan efek
jera kepada pelaku tindak pidana carding.
Terkait dengan ancaman minimal terhadap pelaku tindak pidana pencurian

kartu kredit melalui media internet, adapun contoh kasus yang penulis ambil
yaitu:6
6

“Contoh Kasus Kejahatan Carding di Indonesia”, terdapat di situs
http://heruagungwibowo.blogspot.co.id/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_30.html,
diakses tanggal 19 Februari 2016.

48

Kasus Carding oleh Beny Wong
Beny Wong pada 14 Juli 2004 melakukan transaksi di “Hardy's
Supermarket” Batubulan Gianyar, Bali dengan menggunakan kartu kredit
Citibank bernomor 4541 7900 1413 0605 atas nama Wahyu Nugroho yang
berhasil di curi dari internet. Saat itu transaksi berhasil dilakukan. Pada
tanggal yang sama, Beny Wong kembali berbelanja di “Hardy's
Supermarket” Sanur, Bali. Dengan menggunakan empat kartu kredit palsu
yaitu Mastercard dari BNI, Visa dari Standard Cartered Bank, serta
Mastercard dan Visa dari Citibank. Namun transaksi gagal dilakukan
karena Kartu Kredit yang digunakan diketahui Palsu dan ditangkap pihak
berwajib. Pada 14 September 2004 Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Denpasar yang dipimpin oleh Hakim Ketua Arif Supratman memberikan
"hadiah" kepada terdakwa berupa putusan hukuman penjara selama 3
(tiga) tahun. Hakim memvonis terdakwa didasarkan pada Pasal 362
KUHP.
Sedangkan faktor kriminologis penyebab terjadinya pelaku tindak pidana
pencurian kartu kredit melalui media internet, antara lain:
1. Faktor dari Pelaku
Peristiwa-peristiwa kejahatan yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor,
apabila dilihat dari pelaku kejahatan maka bisa dikategorikan dari faktor
internal. Banyak studi, penelitian maupun kajian tentang kejahatan ini, Faktor
pelaku dalam hal ini, yaitu motivasi dari pelaku dan kondisi psikologis dari
pelaku, motivasi pelaku akan terkait erat dengan faktor-faktor eksternal,
sedangkan kondisi psikologis erat kaitannya dengan asumsi bahwa
kecenderungan setiap manusia berperilaku menyimpang.
Menurut teori Emile Durkheim, berdasarkan teori psikologis pelaku
bahwa salah satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan
melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui

49

bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Durkheim meyakini
bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju satu
masyarakat kota yang modern maka kedekatan yang dibutuhkan untuk
melanjutkan satu set norma-norma umum, tindakan-tindakan dan harapanharapan orang di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan
harapan orang lain.7
Kondisi psikologis atau kejiwaan dari pelaku, asumsi bahwa setiap
individu mempunyai potensi untuk berperilaku menyimpang, pencurian dapat
dimasukkan ke dalam perilaku menyimpang karena ada beberapa norma yang
dilanggar yaitu norma hukum dan norma agama. Kondisi kejiwaan ini sangat
dipengaruhi juga oleh seberapa besar motivasi yang timbul untuk mendukung
terciptanya suatu perilaku menyimpang. Potensi individu untuk berperilaku
menyimpang juga tidak terlepas dari kontrol sosial, kontrol sosial ini dapat
timbul dari diri pribadi maupun dari masyarakat sekitar.
2.

Faktor untuk mendapatkan keuntungan
Pelaku tindak pidana pencurian kartu kredit melalui media internet
dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan. Pelaku menyadari
bahwa perbuatannya tersebut merupakan suatu tindak pidana yang melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, dikarenakan
adanya keuntungan yang didapat dengan pasti dan mudah tanpa harus
7

Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, (Yogyakarta: Asswaja Presindo,
2013), hlm. 88.

50

bertemu, maka tindak pidana pencurian kartu kredit melalui media internet ini
semakin marak terjadi ditengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa faktor yuridis dan
kriminologis penyebab pelaku tindak pidana pencurian kartu kredit melalui media
internet setelah diketahui dapat dilakukan upaya penegakan hukum tindak pidana
pencurian kartu kredit melalui media internet dan tidak adanya ancaman hukuman
minimum, sehingga penjatuhan pidananya kurang memadai.

B. Upaya dan Kendala Penegak Hukum Dalam Penegakan Hukum Tindak

Pidana Pencurian Kartu Kredit Melalui Media Internet
Cybercrime yang merupakan modus kejahatan generasi baru yang
menggunakan teknologi tinggi sudah terjadi di semua negara, dapat dikategorikan
menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu kejahatan yang menjadikan komputer sebagai
sasaran dan kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat. 8 Sehingga
kehadiran hukum dapat memberikan penegakan hukum didukung dengan aparat
penegak hukum yang menerapkan hukum tersebut.
Hukum merupakan sarana yang didalamnya terkandung nilai-nilai atau
konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan sebagainya.
Sedangkan Bellefroid mengemukakan bahwa hukum adalah segala aturan yang

8

Widodo, Memerangi Cybercrime, Karakteristik, Motivasi dan Strategi Penanganannya
Dalam Perspektif Kriminologi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2011), hlm. 30.

51

berlaku dalam masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas
kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu.9
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakekatnya merupakan
penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak. Penegakan hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tesebut menjadi kenyataan. Soerjono
Soekanto, mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah atau pandanganpandangan nilai yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Penegakan hukum secara konkrit adalah berlakunya hukum
positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati.10
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan
secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.
Dalam istilah kriminologi, penanggulangan kejahatan disebut juga dengan
istilah “perang terhadap kejahatan” atau memerangi kejahatan. Dalam
pembahasan

ini,

penanggulangan

cybercrime

sama

dengan

memerangi

cybercrime. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan
9

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 2.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 306-307.

10

52

untuk mereduksi risiko cybercrime dengan menekan berbagai faktor penyebab
kejahatan.11
Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti
akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.12

1. Upaya Penegak Hukum Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana
Pencurian Kartu Kredit Melalui Media Internet
Dalam pembahasan ini, sebelum penulis membahas mengenai upaya
penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana pencurian kartu kredit
melalui media internet, terlebih dahulu penulis akan menguraikan mengenai
peran aparat penegak hukum sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum di Indonesia.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir
11
12

hlm. 109

Widodo, Op. Cit., hlm. 31.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002),

53

pemasyarakatan.13 Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan
tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan kurang baik juga
pada sistem penegakkan hukum.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga
elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparatnya, dan
c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya
maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik
hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Ketiganya

membutuhkan

dukungan

adminstrasi

hukum

(the

administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh
pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu,
pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai
agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda
tersebut di atas.
Penegak hukum mempunyai peran yang penting dalam penegakan hukum
itu sendiri, prilaku dan tingkah laku aparat pun seharusnya mencerminkan
suatu kepribadian yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Aparat penegak hukum yang profesional adalah mereka

13

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 5.

54

yang dapat berdedikasi tinggi pada profesi sebagai aparat hukum, dengan
demikian seorang aparat penegak hukum akan dapat melaksanakan tugas dan
kewenangannya sebagai seorang penegak hukum dengan baik.14
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas petugas kurang baik, maka ada masalah. Oleh karena itu, salah satu
kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang
mengatakan:15
Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum
bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam
kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum
(inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus
terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.
Menurut penulis, aparat penegak hukum yang berada pada garda terdepan.
Karena aparat penegak hukum yang paling banyak berhubungan langsung
dengan warga masyarakat. Oleh karena itu sikap dan keteladanan personal
aparat penegak hukum menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya
mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup
berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan

14

Ibid., hlm. 34.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah
(Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), hlm. 12.
15

55

aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku.
Polri merupakan alat pengontrol atau pengawas tindak pidana yang efektif.
Jika kembali mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok polisi antara
lain:16
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum;
c. Memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
masyarakat.

kepada

Dengan melakukan segala usaha dan kegiatan di lingkungan kepolisian,
yang bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan
perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah terjadinya pelanggaran
hukum.
Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak
dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat dan tugas ini pada
umunnya diberikan kepada badan-badan eksekutif dan kepolisian. Walaupun
adakalanya dengan undang-undang, dapat ditunjuk pula pengadilan seperti

16

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, Pasal 2.

56

dalam yuridiksi volunter, dan kejaksaan misalnya dengan tugas pakemnya,
melakukan hukum preventif.17
Sesuai dengan tugas dan wewenang kepolisian yang tertera dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia bahwa penegakan hukum dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui
sarana non penal (preventif) dan sarana penal (represif).
a. Upaya preventif dilakukan pihak kepolisian dengan mencegah

sebelum terjadinya kejahatan itu.
Terkait dengan penyalahgunaan kartu kredit, hendaknya kepolisian
melakukan pencegahannya bersama-sama dengan masyarakat. Masyarakat
diberikan pembinaan bagaimana untuk ikut serta berpartisipasi dalam
menanggulangi kejahatan penyalahgunaan kartu kredit. Upaya preventif
yang dapat dilakukan oleh kepolisian dengan cara-cara melakukan
penyuluhan dan sosialisasi ke masyarakat tentang mencegah agar tidak
menjadi korban tindak pidana pencurian kartu kredit, yaitu sebagai
berikut:
1) Pengenalan komputer dan gadget kepada masyarakat

Pengenalan disini adalah dengan upaya sosialisasi komputer dan
internet di tengah-tengah masyarakat. Upaya ini dapat ditempuh
dengan pengenalan komputer dan internet lewat pendidikan. Prinsip
17

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan
Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 112

57

dasar pendidikan ini cukup sederhana, yakni memanfaatkan teknlogi
multimedia internet untuk menyalurkan suatu materi dari satu tempat
ke tempat lain. Pengenalan ini juga dapat dilakukan dengan seminar
teknologi

informasi

dengan

memperkaya

wawasan

peserta,

didatangkan para ahli dari institusi yang terkait erat dengan dunia
internet.

2) Peran serta masyarakat
Dilibatkannya peran masyarakat dalam strategi pencegahan kejahatan
mempunyai dua tujuan pokok yaitu untuk mengeliminir faktor-faktor
kriminogen yang ada dalam masyarakat dan menggerakan potensi
masyarakat dalam hal mencegah dan mengurangi kejahatan. Tugas
masyarakat tidak hanya sebatas mengurangi angka kejahatan semata,
melainkan juga harus ikut serta dalam proses menganalisis, mengenal
dan memahami ancaman kejahatan tersebut.
3) Pengamanan software jaringan komputer

Tindakan

preventif

yang

dapat

dilakukan

dalam

rangka

pengamanan software jaringan komputer adalah sebagai berikut:18
a. Mengatur

akses

(access

control),

melalui

mekanisme

authentication dengan menggunakan password.
18

Sutarman, Cyber Crime Modus Operandi Dan Penanggulangannya, (Yogyakarta: Laksbang
Presindo, 2005), hlm. 105.

58

b. Firewall, program yang merupakan sebuah perangkat yang
diletakkan antara internet dengan jaringan internal, tujuannya
adalah untuk menjaga agar akses kedalam maupun keluar dari
orang yang tidak berwenang (unauthorized access) tidak dapat
dilakukan.
c. Intruder detection system (IDS), diantaranya adalah autobuse,
mendeteksi probing dengan memonitor log file.
d. Back-up rutin, untuk cadangan manakala sistem masyarakat
berhasil dimasuki pihak lain (intruder).
4) Pengamanan hardware

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dengan tahapan ini adalah
dengan penguncian komputer, untuk komputer baru memang tidak
dilengkapi dengan kunci seperti tipe komputer lama, padahal ini
merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah penggunaan
oleh orang-orang yang tidak dikehendaki.
Dari cara-cara yang dikemukakan ini, hendaknya kepolisian dengan
satuan tim khususnya dan tugas yang diembannya dapat mencegah
terjadinya kejahatan penyalahgunaan kartu kredit ini.

b. Upaya represif dilakukan pihak Kepolisian

59

Selain menggunakan upaya preventif, kepolisian juga menggunakan
upaya represif. Upaya represif ini dilakukan melalui pembentukan hukum
yang dimaksudkan untuk mencapai keseimbangan dan tata pergaulan
ditengah-tengah masyarakat. Peraturan perundang-undangan mengenai
kejahatan transaksional elektronik berpangkal pada keinginan masyarakat
untuk mendapatkan jaminan keamanan, dan kepastian hukum.
Menurut Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah bahwa, 19
penegakan hukum represif dilakukan apabila usaha preventif telah
dilakukan ternyata masih juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini
hukum harus ditegakkan secara represif oleh alat-alat penegak hukum
yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat
operasionalnya didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara
organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada
dalam kerangka penegakkan hukum. Pada tahap pertama, penegakkan
hukum represif diawali dari lembaga kepolisian, berikutnya kejaksaan,
kemudian diteruskan ke lembaga pengadilan dan berakhir pada lembaga
pemasyarakatan. Dengan kata lain, upaya ini merupakan upaya-upaya
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum setelah terjadinya suatu tindak
pidana yang meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

19

Ibid.

60

pemeriksaan dalam sidang pengadilan, sampai dengan dilaksanakannya
putusan pidana.
Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu
suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan dengan memberikan
hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula
melakukan perbuatan dengan jalan memperbaiki si pelaku yang berbuat
kejahatan. Jadi lembaga permasyarakatan bukan hanya tempat untuk
mendidik narapidana untuk tidak lagi menjadi jahat atau melakukan
kejahatan yang pernah dilakukan.
Aspek instrumen hukum mengenai kejahatan penyalahgunaan kartu
kredit ini secara eksplisit belum diatur dalam undang-undang baik secara
umum maupun secara khusus. Namun penyalahgunaan kartu kredit ini
dapat dianalogikan sebagai suatu tindak pidana pencurian dan diancam
dengan pidana pada Pasal 362 KUHP. Dengan demikian kejahatan
penyalahgunaan kartu kredit menjadi sebuah kejahatan yang sifatnya
konvensional sebelum adanya rumusan Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3)
Undang-Undang ITE. Penegakan hukum secara represif dilakukan dengan
menerapkan kedua pasal yang diatur berbeda asalnya untuk menjerat
pelaku

kejahatan

penyalahgunaan

kartu

kredit.

Kejahatan

ini

diketegorikan sebagai tindak pidana ekonomi karena kejahatan ini

61

berkaitan dengan pemufakatan jahat dan tujuan adalah melawan hak milik
serta kejahatan ini juga berkaitan dengan perbankan.
Tindakan respresif lebih dititikberatkan terhadap orang yang
melakukan tindak pidana, yaitu antara lain dengan memberikan hukum
(pidana) yang setimpal atas perbuatannya. Tindakan ini sebenarnya dapat
juga dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang.
Tindakan ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan
penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di
pengadilan, eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.
Penangulangan kejahatan secara represif ini dilakukan juga dengan
tekhnik rehabilitas, menurut Cressey terdapat dua konsepsi mengenai cara
atau tekhnik rehabilitasi, yaitu :
1) Menciptakan sistem program yang bertujuan untuk menghukum
penjahat, sistem ini bersifat memperbaiki antara lain hukuman
bersyarat dan hukuman kurungan.
2) Lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi
orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan pekerjaan bagi
terhukum dan konsultasi psikologis, diberikan kursus keterampilan
agar kelak menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Menurut Mujiono, untuk meningkatkan penanganan kejahatan cyber yang
semakin hari semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi maka

62

aparat penegak hukum melalui Kepolisian Republik Indonesia melakukan
beberapa tindakan agar dapat tercipta penegakan hukum terhadap tindak
pidana pencurian kartu kredit melalui media internet, yaitu:20
a. Personil
Terbatasnya sumber daya manusia merupakan suatu masalah yang
tidak dapat diabaikan, untuk itu Aparat penegak hukum mengirimkan
anggotanya untuk mengikuti berbagai macam kursus di negara-negara
maju agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia, antara lain:
CETS di Canada, Internet Investigator di Hongkong, Virtual
Undercover di Washington, Computer Forensic di Jepang.
b. Sarana Prasarana
Perkembangan teknologi yang cepat juga tidak dapat dihindari,
sehingga Polri berusaha semaksimal mungkin untuk meng up date dan
up grade sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain Encase Versi
4, CETS, COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Kerjasama dan Koordinasi
Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan
cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas
wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak
hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk
dilakukan.
d. Sosialisasi dan Pelatihan
Memberikan sosialisasi mengenai kejahatan cyber dan cara
penanganannya kepada satuan di kewilayahan (Polda) serta pelatihan
dan ceramah kepada aparat penegak hukum lain (jaksa dan hakim)
mengenai cybercrime agar memiliki kesamaan persepsi dan pengertian
yang sama dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan cyber
terutama dalam pembuktian dan alat bukti yang digunakan.
2. Kendala Penegak Hukum Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana
Pencurian Kartu Kredit Melalui Media Internet

20

Wawancara Penulis dengan Kompol H. Mujiono sebagai Koordinator Pengawas Khusus
Bidang Cybercrime Polda Metro Jaya, pada tanggal 28 Januari 2016, Pukul 12.30 Wib.

63

Penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh peraturan
atau undang-undang (kaidah-kaidah) juga ditentukan oleh para aparat penegak
hukum, adapun pendapat Mujiono, mengatakan bahwa:
Saya mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
pencurian kartu kredit (carding) melalui dunia maya atau online yaitu
Pasal 30 ayat (2) jo Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Akan tetapi, walaupun aparat penegak mengetahui keberadaan peraturan
perundang-undangan UU ITE melalui dunia maya atau online sering terjadi
beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak
hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara sebagaimana
mestinya.
Dalam pembahasan data dari Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas
moneter mencatat, pada bulan Mei 2015 saja, tercatat telah terjadi 1.009 kasus
pembobolan (fraud) yang dilaporkan dengan nilai kerugian mencapai Rp 2,37
miliar. Kejahatan kartu kredit yang paling banyak terjadi adalah pencurian
indentitas dan card not present (CNP). Dengan jumlah kasus pencurian
identitas sebanyak 402 kasus dan CNP 458 kasus dengan nilai masing masing
Rp 1,14 miliar dan Rp 545 juta yang dialami 18 penerbit.21
Polisi dianggap terlalu pasif tindak pidana pencurian kartu kredit melalui
media atau online yang tidak dikeluhkan secara khusus. Contohnya polisi
21

http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html.
(diakses pada tanggal 2 februari 2016).

64

dilaporkan sering menyelamatkan korban pencurian, tapi polisi sering gagal
untuk mengejar pelaku melalui dunia maya atau online dikarenakan
permasalahan keterbatasan pengetahuan terhadap dunia maya atau online.
Meskipun polisi seringkali menyadari bahwa sangat penting mengetahui dan
menguasai dunia maya atau online.
Dengan demikian, menurut penulis hambatan dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana pencurian kartu kredit melalui media internet adalah
keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) aparat penegak hukum dalam
melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, kinerja aparat
penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana pencurian melalui dunia maya
atau online sebagaimana diketahui dan bukan menjadi rahasia umum lagi
manakala berurusan dengan pihak kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan
terkait dengan perkara yang dialami seseorang tidak pernah lepas dari masalah
uang atau sogok-menyogok yang merupakan gambaran buruk dari citra
penegak hukum, bahkan penegak hukum sendiri sering terlibat dalam praktekpraktek tindak pidana pencurian kartu kredit melalui media internet.
Terhadap uraian di atas, Bambang Harianto berpendapat bahwa:22
Sudah menjadi rahasia umum bahwa seluruh komponen penegak hukum
selama ini telah melaksanakan praktek–praktek kotor dalam kinerjanya.
Penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat untuk
taat dan menjalankan hukum, tetapi malah menjadi orang pertama yang
membelokkan fungsi hukum. Polisi dibayar ‘sekian’ rupiah untuk
22

Edi Suharto, Permasalahan Pekerja Migran: Perspektif Pekerjaan Sosial terdapat disitus
http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_35.htm diakses pada tanggal 2 Maret 2011).

65

menghentikan penyelidikan, Jaksa dibayar ‘sekian’ rupiah untuk
meringankan tuntutan atau bahkan menghentikan penyidikan, Hakim
dibayar ‘sekian’ rupiah untuk meringankan putusan, dan Pengacara berani
membela yang bayar meskipun kliennya sudah jelas-jelas bersalah. Hal di
atas sudah menjadi budaya dalam penyelesaian kasus yang ada.”
Rendahnya citra penegak hukum membuat masyarakat pencari keadilan
sering merasa enggan dan trauma berurusan dengan para penegak hukum
khususnya kepolisian tidak terkecuali untuk melaporkan tindak pidana seperti
pencurian kartu kredit sebab penegak hukum lebih sering memperlakukan
korban sebagai pelaku tindak pidana dan bahkan para saksi terkadang
diperlakukan sebagai tersangka. Hal ini terjadi karena perbedaan interpretasi
dan lemahnya koordinasi antar sesama penegak hukum.
Adapun hambatan lainnya dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana pencurian kartu kredit melalui media internet dari aparat penegak
hukum adalah kurangnya kerjasama aparat kepolisian dengan Kemenkoinfo.
Hal ini, didukung dengan adanya wawancara dengan Bapak H. Mujiono yang
menyatakan, yaitu:
Biasanya semua kasus cyber tidak hanya pencurian kartu kredit
(carding) atau apapun yang menyangkut cyber, biasanya memang
penyidik polri itu sering meminta keterangan ahli kepada kominfo baik
itu pertama dari sisi hukum ITE nya ataupun dari sisi teknisnya.
Teknisnya ini misalnya: untuk mengungkap alat bukti elektronik
barang bukti digitalnya tapi sebenarnya tidak menutup kemungkinan
kalau polisi itu juga kerjasama dengan ahli hukum ITE atau ahli teknis
diluar kementrian kominfo, tapi biasanya jaksanya itu akan meminta
ahli dari kementrian atau lembaga yang secara khusus menangani
bidang itu.

66

Berdasarkan uraian keseluruhan uraian di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa upaya dan kendala penegak hukum dalam penegakan hukum tindak
pidana pencurian kartu kredit melalui media internet ini membutuhkan peran
dari pemerintah dalam meningkatkan SDM aparat penegak hukum dan
memfasilitasi sarana dan prasarana dalam menunjang kinerja aparat penegak
hukum. Selain itu, kinerja aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak
pidana pencurian kartu kredit melalui media internet sebagaimana diketahui
dan bukan menjadi rahasia umum lagi manakala berurusan dengan pihak
kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan terkait dengan perkara yang
dialami seseorang tidak pernah lepas dari masalah uang atau sogok-menyogok
yang merupakan gambaran buruk dari citra penegak hukum, bahkan penegak
hukum sendiri sering terlibat dalam praktek-praktek tindak pidana pencurian
kartu kredit melalui media internet serta memfasilitasi sarana dan prasarana
dalam menunjang kinerja aparat penegak hukum seperti menyediakan
perangkat komputer yang canggih untuk mengetahui segala bentuk transaksi
perbankan melalui media internet.
Hambatan lainnya yang bersumber dari kegiatan dan perilaku
masyarakat akan berpengaruh besar penegakan hukum tindak pidana
pencurian kartu kredit melalui media internet. Ketika salah seorang warga
masyarakat terjerumus dalam perbuatan pencurian kartu kredit ini sama

67

artinya

dengan

menantang

aparat

penegak

hukum

untuk

mengimplementasikan law in books menjadi law in action.23 Bukan tidak
mungkin, ada diantara anggota masyarakat yang mencoba menghambat dan
menggagalkan bekerja hukum dengan cara mempengaruhi aparat penegak
hukum agar tidak bekerja sesuai dengan kode etik profesinya.

23

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Op. Cit., hlm. 137.