Es Cinta Es Cinta Es Cinta

Es Cinta
Ku ikat tali sepatu, “Umi...?” ucapku setengah berteriak “Umi, apa nasinya
sudah siap?”
“Tunggu sebentar.” Jawab umi dari dalam rumah. Kuraih handphone dalam
saku, ada pesan baru dari Elisa.
“Assalamu`alaikum, kamu sudah berangkat...?”
“Waalaikumsalam, belum, masih dirumah.” Tiba tiba muncul tanda seru
berwarna merah dilayar “pesan gagal” aku mengeluh. kucoba kirim lagi, kugoyang
goyangkan hpku. namun tetap saja, tanda seru itu mengejek. Ditengah kekecewaan,
kucoba cek pulsa “hadeeh, pantesan” desahku kesal, kebetulan dari dalam rumah
adikku berseragam rapi, namun belum menggunakan sepatu.
“Fahri...?” dia menoleh “belikan kakak pulsa dong, please...!” rayuku pada
adikku.
“Saya mau sekolah kak”
“Sebentaaa…r saja, masih jam tujuh kok. kan masih lama bel masuknya”
“hemm ya sudah. mana uangnya?” dia menyanggupi, namun sepertinya tidak
ikhlas.
“Tunggu sebentar ya.”aku berlari masuk kedalam rumah. “Abi… abi….?”
“Ada apa kok teriak-teriak?” jawab beliau di ruang tengah.
“Uang saku” ujarku lirih sembari tersenyum manja. abi meraih dompet
disakunya, lalu menyodorkan uang lima ribu. aku mengambilnya sambil tersenyum

lagi.
“Apa lagi?” tanya beliau.
“Anu bi, mau beli pulsa.”
“Kok cepat habis pulsanya? Kan belum satu minggu yang minta!”
“Kan buka internet bi,” jawabku tanpa ragu. “ya mengerjakan tugas buat
makalah, buat ini, itu.”
“Ini...” kata beliau menyodorkan uang sepuluh ribu dan dua ribuan, aku hanya
tersenyum gembira meraih uang tersebut. Lalu keluar menyerahkannya pada Fahri
disertai nomor hp.
“Cepat yaa!” ucapku sedikit menatap. Dengan sigap dia berlari. aku duduk di
teras rumah menunggunya beberapa saat. Lalu umi keluar membawa tepak kecil
berisi nasi, kuterima tepak itu lalu menghirup aromanya.

“Hhmm, masakan ibu memang yummy” kataku untuk menggoda umi. beliau
tersenyum, kucium tangan beliau, sedangkan tangan yang satunya membelai
rambutku, kemudian beliau kembali ke dapur.
“Plups...” suara handphone. pulsanya sudah masuk. Tanpa basa-basi kukirim
lagi pesan tadi. Sebelum itu, kutambah sedikit informasi “maaf lama balasnya, ada
gangguan yang sudah biasa terulang”
“Beh, kenapa?” tanyanya lewat sms.

“kehabisan pulsa” balasku sedikit tersenyum geli. Fahri datang seraya
menyerahkan uang kembaliannya.
“Sudah, kamu simpan saja.”
“Yaaah, Cuma lima ratus buat apa. coba sekali-kali kalo kembaliannya empat
ribu bilang begitu.” jawab Fahri menggerutu. Ku acak rambutnya perlahan sambil
menyerahkan uang logam seribuan.
“Nih, cukupkan buat beli mie?”
“Nah gitu dong.”sembari tersenyum manis, jadi gemes deh. Kucubit pipinya,
dia mengelak nemun tetap saja kena.
Ku kenakan topi berwarna dongker, memasang dasi, menggendong tas lalu
berangkat. Tak lupa kukirim pesan pada Elisa, sayangku, “nih aku sudah berangkat”
klik, pesan terkirim. “OK, kutunggu di kantin” balasan darinya, sepertinya dia sudah
disana. Kebetulan jarak rumahku dengan sekolah satu kilo, apalagi jalan kaki jadi
masih lama nyampeknya. Walaupun sejauh itu, tidak akan terasa karena ada temanteman yang selalu bercanda dan tertawa ditengah perjalanan. Seketika aku teringat,
kemana mereka, biasanya menunggu disini. Jangan-jangan aku ditinggal lagi.
“Aduuh,” tubuhku layu seperti tidak punya tenaga lagi untuk sekedar melangkah.
“Haaa...” sontak aku terkejut, mereka keluar dari balik pohon secara serentak,
membuat jantungku serasa mau copot. Cepat-cepat aku melangkah sembari
memasang wajah cemberut. Mereka mengikuti dan mencoba menggoda.
“Cie-cie,” “marah nie,” “maaf deh, kita kan cuma bercanda.” Ucap mereka

bergantian, tak kuhiraukan, kutundukkan kepala dan mempercepat langkah.
“Kita kan cuma bercanda,” “lagipula kamu tidak begitu terkejut tadi.” Apanya
yang tidak terkejut, jantungku hampir copot. Hatiku membantah. “ia, kamu kan ulang
tahun, anggap saja itu hadiah.” Kapan aku ulang tahun, sekarang kan januari, dasar
sok tau. Hatiku kembali membantah. “ayolah anak manja, anak mama.” iih... sebel,
kenapa mereka manggil aku seperti itu, aku anaknya kan mandiri. Lagi-lagi hatiku
membantah. Kupercepat langkah.
Tiba-tiba....? bruak... terjatuh. luka kecil di kaki kiriku, kulihat sepeda beat
berwarna putih yang telah terguling disampingku, dan seorang gadis berkerudung
coklat. Kulihat darah segar mengalir dilututnya, lukanya agak besar. namun dia
segera menutupnya, mungkin menyadari aku melihatnya. Wanita yang alim memang
begitu, padahal Cuma lutut. Aku mencoba mendekati untuk menolong, setidaknya

membantunya berdiri. tapi dia menolak uluran tanganku. aku duduk di sampingnya,
kutatap wajah itu lekat-lekat, keningnya mengkerut, ia menahan air mata, bibirnya
terus merintih kesakitan, ia menunduk tidak mau untuk sekedar melihat kearahku.
atau mungkin dia menahan rasa sakit dilututnya. Tangan putihnya masih menekan
lutut yang terus mengalir darah. Aku tidak bisa melihat lukanya, karena masih ia
tutup dengan rok panjang yang ia kenakan. Jika aku menyuruhnya membuka, nanti
aku disangka macam-macam. Sementara teman-temanku tercengang dan tertegun

melihatku meletekkan tangan diatas bahu perempuan itu. Aku tidak memikirkan apa
dalam benak mereka, yang jelas aku ingin menolong perempuan yang tengah
merintih kesakitan dihadapanku.
“Hey... kalian jangan bengong saja, cepat kesini bantu dia,” ujarku pada
teman-teman. Namun perempuan itu menggeleng, sepertinya dia tidak suka jika
terlalu banyak laki-laki.
“Andi... kau ikut denganku membawakan sepedanya, sedangkan yang lain
jalan dulu kesekolah,” tanpa banyak bicara mereka mengikuti perintahku. Sekarang
aku harus membujuk wanita itu agar mau ditolong. Aku sangat merasa bersalah
padanya.
Awalnya dia tidak mau jika aku yang mengantar, tapi akhirnya dia terpaksa
mengikuti keinginanku, karna memang lukanya yang parah membuatnya tidak bisa
berjalan. Kutuntun tangannya keatas bahuku agar mudah membantunya berdiri, kaki
kanannya belum bisa ia luruskan, badannya sedikit bersandar padaku, tangan
kanannya masih kugenggam erat, dia berjalan tertatih, kubantu menaiki sepeda, dia
dibelakang dan aku yang pegang kemudi. akan kuantar dia sampai rumahnya.
“Andi... kau tunggu disini, aku tidak akan lama,” ujarku pada Andi yang masih
terbungkam, dia hanya mengangguk. Kutarik gas pelahan, lengan kanan gadis itu
bersandar padaku, mungkin itu terpaksa karna menahan rasa sakit. Ternyata
rumahnya tidak begitu jauh, hanya sekitar 100 meter dari tempat tadi. Kubantu dia

turun dari sepeda. seperti tadi, kutuntun tangannya memeluk bahuku, sehingga aku
lebih mudah membantunya berjalan.
“Ayah kamu mana...?” tanyaku mencoba akrab, dia hanya menggeleng. Tibatiba keningnya mengkerut, tangan kirinya menekan kepalanya.
“Kalau ibu kamu...?” aku bertanya lagi, dia menggeleng lagi, matanya
terpejam sembari merintih kesakitan, kemudian tak sadarkan diri. Tak ayal aku panik,
kulepaskan tangannya yang masih menggantung pada bahuku. Kusentuh pipinya
yang putih bersih, menamparnya dengan sangat perlahan, “hey? Bangun! Bangun!”
namun dia tetap tak sadarkan diri. Aku membopongnya memasuki pintu rumah yang
sedikit terbuka. Disamping ruang tamu ada kamar yang sepertinya kamar tersebut
milik perempuan, jadi kurebahkan dia dikasur empuk itu, di atas sprey berwarna
merah muda.
Kuarahkan pandangan kesegala arah, berharap menemukan sesuatu.
Pandanganku terpaku pada lemari didekat pintu, kerudung tipis berwarna ungu
menggantung dipintu lemari. Tanpa berfkir panjang aku meraihnya, lalu mengambil
obat yang biasa aku bawa dalam tas. kuhirup nafas dalam, dan menghembuskannya

melalui mulut. Mengharap yang kulakukan tidak salah. Kubersihkan darahnya yang
masih mengalir, kuteteskan dengan obat merah, dan membalutnya dengan kerudung
tadi.
Kutatap wajahnya yang masih terpejam. Tanganku mengusap pipinya yang

putih kemerahan. Tak ada orang dirumah ini. kupejamkan mata seakan seseorang
berkata “tak ada yang bisa bersembunyi dari pengelihatannya.” Kakiku bergerak
sendiri, berlari tanpa arah, tak menghiraukan nafasku yang tersengal-sengal. Aku
terus berlari hingga sampai dihadapan andi. kucoba mengatur nafas sejenak, lalu
melangkah pelan diikuti andi. Aku tahu Andi ingin bertanya sesuatu, namun dia
menyimpannya. Ya akupun tidak bicara. Sampai disekolah kami tetap membisu.
Entah apa yang membuatku berlari tadi dan entah apa yang aku fkirkan,
hingga tanpa sadar aku sudah berdiri digerbang sekolah. Halaman sudah sepi, semua
siswa sudah dikelas masing-masing. Kulihat wajah Andi sedang ketakutan, keringat
dinginnya mengalir. Sedangkan aku tetap melangkah santai menuju kelas. Kudengar
dari luar p.Yanto sedang menjelaskan materi. Ketika didepan pintu semua pasang
mata tertuju padaku, terlebih p.Yanto yang tatapannya tajam seakan siap
menghunuskan amarahnya. Kulirik Andi disampingku yang semakin gemetar.
Kulangklahkan kaki perlahan memasuki kelas, semua sorot mata masih
mengikuti langkahku.
“Kenapa kalian terlambat ?” bentak p.Yanto.
“kenapa kalian terlambat ?” dia mengulangi dengan suara yang lebih tinggi.
“Plas…. Plas…” buku tebal ditangannya mendarat dipipiku lalu nyasar dipipi
Andi. Andi semakin gemetar secara tiba-tiba dia bersuara. “ada kecelakaan tadi pak.”
Jawabnya gerogi.

“Kecelakan apa ?” bentaknya lagi sambil menggertakkan kaki. Aku
terbungkam seribu bahasa, seakan tidak menghiraukan. Dan wajah gadis itu seketika
menyusup anganku, aku tersenyum.
“plak…” tak ayal sekali lagi tamparan mengenai pipi, kini dia menggunakan
tangannya yang kasar. Wajahku menoleh mengikuti arah tamparannya, kuraba pipiku
yang lebam. “plak…” kini berganti pipi yang kiri, dia menggunakan punggung
tangannya. Namun aku teringat lagi ketika membopong gadis itu, aku kembali
tersenyum seakan lebih berani. Dan entah berapa kali tamparan menyapu kulitku.
Kurasa bibirku sangat perih, hidungku terasa nyeri, pipi seakan panas terbakar,
sebelum sempat aku meraba wajah, tamparan bertubi-tubi datang. Tangan p.Yanto
mengepal, lalu perutku menjadi sasaran tinjunya. aku terpelanting, entah apa yang
memberanikan bibirku hingga tersenyum lagi. “bruak…” tendangan mendarat didada.
Kurasa nafasku mulai tersumbat. “hhh…hhh..”
“Kring… kring…” bunyi bel menghentikan amukan p.Yanto. dia kembali
kemejanya mengambil buku, entah apa yang dia katakan pada anak-anak. aku tak
ingin menghiraukan. p.Yanto meninggalkan kelas dengan wajah merah padam.

Aku tidak bisa bangkit. kutekan dada yang terasa sakit, kuusap bibir dengan
tangan kanan. Kini aku sadar seluruh tubuhku terasa pegal dan nyeri. Pandanganku
sedikit memudar, teman-teman menghampiri, aku tak dapat mengenalnya satupersatu, semua terlihat buram. Hanya seseorang yang kukenal, dengan rambut

panjang dan sedikit bergelombang.
“cepat bantu dia berdiri.” Perintah perempuan itu pada teman-teman. Tak ada
yang berani membantah atau banyak bicara, aku dibantu berdiri dan didudukkan
dikursi paling depan. Teman-teman yang mengelilingiku memberi celah perempuan
itu yang kemudian duduk disampingku.
“Biarlah aku yang mengobatinya.” pinta perempuan disampingku dengan nada
lembut. Lagi-lagi mereka mengikuti permintaannya tanpa ada yang berbicara. ketika
semua sudah meninggalkan kelas, dia mengeluarkan tisu dari tasnya. Tangan kirinya
memegang pipiku, sedangkan tangan yang satunya membersihkan darah dibibir dan
hidungku. Nafasku belum teratur.
“Elisa…?” ucapku terbata.
“Ya.” Jawabnya lirih sembari terus membersihkan darah yang mengalir dari
mulut.
Aku memandangnya lekat-lekat, terlihat guratan sedih diwajahnya, nampaknya
dia sangat khawatir. Kugerakkan tangan mengusap rambut dan pipinya yang halus,
bersih dan putih kemerah-merahan. Tangannya yang masih memegang tisu seakan
terpaku dibibirku. beberapa saat kami saling menatap, lalu dia menunduk. Aku
mengira dia akan bertanya sesuatu, namun dia hanya melihat kearahku sesaat dan
pergi keluar kelas. Mungkin dia akan bertanya pada temanku, jadi hanya aku sendiri
sekarang.

Aku teringat sms-nya tadi pagi sebelum aku berangkat, dia bilang akan
menugguku dikantin, namun aku terlambat datang, Dan tidak ada ucapan marah atau
kesal darinya, justru dia tersenyum melihatku diambang pintu bersama Andi, dan
wajahnya menjadi pucat ketika melihatku ditampar dengan buku. Yang kuperhatikan
sedari tadi adalah wajah lugunya, persis seperti gadis yang kutemui tadi pagi.
Elisa masuk kelas, wajahnya sedikit cemberut, dia kembali duduk disampingku.
Tatapannya sendu memandang wajahku.
“kok cemberut?” ujarku menggoda.
“aku sudah tau semuanya dari Andi. Ya. Kamu memang perhatian pada siapa
saja.”
“apa kamu cemburu?” tanyaku penuh selidik. Dia tertunduk. Mungkin merasa
malu.
“Kamu dak lapar ?” ucapku sembari mengambil tepak nasi dalam tas.
“sebenarnya dari pagi aku belum makan, nungguin kamu tidak kunjung
datang.”

“Aku suapin ya.” Satu sendok nasi goreng kudekatkan pada bibirnya yang tipis
merah merona. Ketika dia membuka mulut, kuputar arah sendoknya dan melahapnya
sendiri. Tak ayal dia semakin cemberut, lalu memalingkan wajah.
“Ehm. Ngambek nie.”

“Siapa yang ngambek.” Jawabnya kesal. Rambut bergelombangnya tertiup
angin seakan menari perlahan, keningnya mengkusut. Ingin kuambil gambarnya saat
ekspresinya seperti itu. Kucari hp dalam tas. Tapi tidak ada.
“cari apa ?” Tanya Elisa masih kesal.
“hp-ku. sepertinya tertinggal dirumah perempuan itu.”
“Rumahnya dimana?”
“Dipertigaan keutara, kiri jalan, rumahnya menghadap keselatan. Apa kamu
mengenalnya?”
Elisa seperti mengingat sesuatu, “Namanya Maulina. Sekarang dia mondok.
Beberapa tahun silam ayah, ibu dan adiknya meninggal dunia karena kecelakaan.”
Aku terkejut. Pantas saja dia pingsan tadi ketika kutanyakan ayah dan ibunya.
Tiba-tiba aku teringat pada abi, umi, dan fahri, adikku. Bayang-bayang mereka sangat
jelas. Aku selalu menduakan cinta mereka pada seorang perempuan. Atau bahkan
aku tidak mencintai mereka, mungkin cinta itu hanya dulu ketika aku masih SD,
sekarang cintaku sudah dibekukan dalam lemari es, hingga rasanya sangat dingin dan
sulit untuk dicerna.
“abi, umi. Jerih payahmu, tetesan keringatmu, adalah kekuatan dalam
langkahku. Maafkan, jika selama ini, aku terlalu banyak menghabiskan uang
pemberianmu. Abi, umi. Hari ini, aku ingin melihat kalian senang dan bangga.
Maafkan aku abi, jika selama ini, aku tidak bisa membuat abi tersenyum. Maafkan aku

umi, jika selama ini, aku selalu membuat engkau susah dan payah.”
4 - 5 shofar 1438
4 - 5 november 2016
Gubahan : MIFTAHUL ANAM

Dokumen yang terkait

Perancangan Sarana Praktikum Prestasi Mesin Pendingin Pembuat Es Batu

10 135 1

PROSES PENCARIAN JATI DIRI SEORANG REMAJA (Analisis Semiotik pada Film Realita, Cinta dan Rock n Roll karya Upi)

3 48 2

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

UNSUR KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM FILM INDONESIA (Analisis Isi Pada Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Karya Robby Ertanto)

1 72 50

Identifikasi Bakteri Escherichia coli Pada Es Batu yang Dijual Warung Nasi di Kelurahan Pisangan Tahun 2015

4 32 61

Daya Tarik Isi Pesan Acara Program Rase Cinta Indonesia di Radio Rase 102,3 FM Bandung (Studi Deskriptif Tentang Daya Tarik Isi Pesan Acara Program Rase Cinta Indonesia Di Radio Rase 102,3 FM Bandung Dalam Meningkatkan Minat Dengar Khususnya di Kalangan K

0 57 205

Representasi Makna Wanita Korban Kekerasan Seksual Suami Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Makna Wanita Korban Kekerasan Seksual Suami Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita)

2 12 1

Pengaruh Citra Merek Dan Iklan Menggunakan Selebriti Endorser Afgan Dan Cinta Laura Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pada Motor Honda Beat Di PT. Sinar Rejeki Lembang

3 87 173

Perancangan Poster Acara Majelis Ta'aruf Bersama Ustadz Cinta Di PT. Salamadani Pustaka Semesta

0 10 1

Pengaruh perluasan Lini Es Krim Wall's Terhadap Citra Merek Magnum Mini di Bandarlampung

5 44 58