Menggugat Revolusi Hijau Sebuah Dekontru
Menggugat Revolusi Hijau:
Sebuah Dekontruksi Materi Ajar Kebijakan Ekonomi Orde Baru dalam
Pembelajaran Sejarah
Oleh
Ika Ningtyas Unggraini
Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstrak
As an agrarian country, the history school textbooks in Indonesia, do not give
space to study the agriculture problems. That's because history textbooks
contained anthropocentrism ideology which placed human beings as the central
control of history. So, the face of history textbook contain mostly about wars,
power struggles and political elites. While abaout the destruction of nature,
including agriculture exploitation as human effects never explained. Even though,
the nature is the living space for humans, and degradation in environmental has
threaten the human life. Such as, the threat of a food crisis in Indonesia, as a
result of agricultural policy that ignores environmental conservation. One way to
encourage awareness of leaners on the agriculture management, the teacher can
use a green history approach in the historical learning that change from
anthropocentrism to ecocentrism. Teacher can deconstruct the teaching material
in textbooks that anthropocentrism ideology, like about Green Revolution, one of
the economic policy in the New Order era. The Green Revolution that is claimed
to be success in New Order era, that have affect the degradation of agricultural
land, environmental pollution, declining yields and changes in social life in rural
communities.
Keyword: agriculture, historical learning, green revolution
PENDAHULUAN
Sebagai negara agraris, pembelajaran sejarah di sekolah belum
menyediakan ruang untuk mengkaji kebijakan atas pangan dan nasib petani
(peasant) Indonesia. Padahal pangan adalah kebutuhan pokok setiap manusia dan
setiap bangsa, yang kebutuhannya terus meningkat seiring bertambahnya jumlah
penduduk. Materi ajar sejarah yang selama ini terlalu politik sentris dan berkisah
tentang para elit, telah mereduksi fakta-fakta historis penting lain seperti persoalan
pangan dan petani.
Materi ajar sejarah di sekolah hingga sekarang masih bertumpu pada buku
teks sejarah, sebagai bagian penting dalam kurikulum yang dibuat pemerintah.
Padahal apa yang tersaji dalam buku teks di sekolah seperti yang disampaikan
Sartono Kartodirjo (1976:66): “Buku sejarah penuh dengan cerita tentang perang
dan perebutan kekuasaan, tindakan manusia yang penuh dengan kekerasan dan
kekejaman, kepahlawanan atau penghianatan”. Sejarah konvensional yang
berpusat pada politik, selama satu abad lebih, dianggap sebagai bentuk tertinggi
pemikiran historis, bahkan sejarah juga diberi definisi sebagai politik masa
lampau. Meski dalam perkembangannya, terjadi tren penelitian sejarah sosial dan
ekonomi, namun belum terakomodasi dalam kurikulum sejarah.
Ada berbagai permasalahan dalam pertanian yang mengancam Indonesia
ke kondisi krisis pangan. Salah satunya ditunjukkan oleh survey Badan Pusat
Statistik (2014), bahwa rumah tangga usaha tani turun 5,04 juta keluarga (16
persen) selama 10 tahun, dari 31,17 juta di tahun 2003 menjadi 26,13 juta
keluarga di tahun 2013. Dari jumlah tersebut, 60,8% persen petani berusia lebih
dari 45 tahun dengan 73,97 % berpendidikan SD dan akses teknologi rendah
(Mongabay, 2016).
Para petani beralih ke sektor non-pertanian karena penghasilannya kecil
sekitar Rp 200 ribu per bulan. Penyebab lainnya, alih fungsi lahan pertanian
menjadi kawasan industri dan pemukiman juga cukup besar yakni 80 ribu hektar
per tahun (Pikiran Rakyat, 2013). Alih fungsi tanah pertanian menyebabkan
konflik agraria antara petani versus pemerintah dan swasta. Konsorsium
Pembaruan Agraria (2015) mencatat dalam 11 tahun terakhir terjadi 1.772 konflik
pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga
(berdikarionline,2015). Terpinggirkannya perhatian kita pada dunia agraris
berdampak pada hilangnya gairah generasi muda menjadi petani.
Padahal berbagai persoalan pada dunia pertanian saat ini merupakan
produk kebijakan di masa lalu. Peserta didik, terutama yang berasal dari keluarga
petani, tidak mendapatkan penjelasan memadai dari buku teks sejarah mengenai
kebijakan pertanian, perubahan dan bagaimana dampaknya. Dari proses
kelahirannya, buku teks sejarah dilandasi oleh ideologi antroposentrisme yakni
menempatkan manusia sebagai pelaku utama dalam sejarah. Selain penaklukan
terhadap sesama manusia, pendidikan sejarah yang antroposentris dianggap
menjadi sarana melegitimasi peserta didik untuk melakukan eksploitasi terhadap
bumi, termasuk tanah pertanian.
Cara pandang antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku
sejarah harus dibongkar dan dikonstruksi kembali menjadi cara pandang baru
yaitu ekosentrisme, cara pandang yang menempatkan alam sebagai bagian penting
dari kehidupan manusia. Menurut Nana Supriatna (2016:106), dalam sejarah,
perubahan cara pandang ini memakai pendekatan green history, yang memaparkan
data historis mengenai perubahan perjalanan sejarah manusia dari waktu ke waktu
dalam mengembangkan kehidupannya serta dampaknya bagi lingkungan.
Agar pembelajaran sejarah dapat dikembalikan dalam posisinya sebagai
sarana belajar dari nilai-nilai humanistik masa lalu, sarana merefleksikan dari
tindakan-tindakan historis, dan pemberi inspirasi tentang kesadaran historis dalam
berempati pada sesama manusia dan semua makhluk hidup serta fisik alam, maka
diperlukan dekonstruksi. Menurut Sallis (1987) dalam Nana Supriatna (2016: 117118), dekonstruksi dapat digunakan untuk membongkar tatanan lama, cara
berpikir dan berpandangan serta berparadigma yang tidak selaras dengan
pelestarian alam.
Salah satu materi yang bisa didekontruksi adalah tentang kebijakan
pertanian selama era Orde Baru (Kompetensi Dasar 4.5). Selama rezim otoritarian
Soeharto tersebut, diberlakukan program Revolusi Hijau (1970-1988) yang
dikritik banyak pihak sebagai titik awal permasalahan pertanian saat ini.
Sementara dalam buku teks pelajaran Sejarah Indonesia, menampilkan klaim
keberhasilan program Revolusi Hijau yang membawa Indonesia ke dalam
swasembada pangan. Dalam penelitian ini menjawab dua hal yakni Revolusi
Hijau dalam buku teks sekolah dan dekonstruksi materi ajar kebijakan pertanian di
era Orde Baru.
PEMBAHASAN
Revolusi Hijau dalam Buku Teks Sekolah
Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1966-1998)
diperkenalkan sebuah pendekatan pembangunan yang otoriter yang bertujuan
mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan stabilitas politik.
Negara dilihat sebagai satu-satunya pelaksana yang sah dari proses yang
terkendali yang akan membawa Indonesia ke sebuah era baru ke arah kemajuan
dan kemakmuran. Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang
juga sentralistis dan eskatologis (Nordholt dkk, 2013:11).
Historiografi yang sentralistik ini akhirnya diakomodasi dalam kurikulum
sekolah dan buku teks pelajaran. Menurut Nordholt dkk (2013), hal itu tercermin
dalam penggunaan yang luas buku pelajaran sejarah untuk SMU yang mengikuti
kurikulum 1994. Mengikuti model jilid enam buku sejarah nasional edisi 1993,
buku pelajaran sekolah itu menguraikan pada bagian pertamanya mengenai
kelahiran Orde Baru yang muncul dari kekacauan tahun 1950-an dan awal tahun
1960-an. Pada bagian ketiga digunakan sepenuhnya untuk menguraikan
perkembangan teknologi di bawah Orde Baru. Inovasi-inovasi ini mencakup
Revolusi Hijau, perkembangan dalam bidang komunikasi, angkutan, industri dan
teknologi. Setelah rezim Soeharto jatuh, klaim-klaim keberhasilan pembangunan
Orde Baru tak banyak berubah dalam buku pelajaran sejarah, tetapi dalam materi
berikutnya diingatkan bahwa pemerintahan Soeharto akhirnya kandas oleh
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang setelahnya diikuti oleh krisis ekonomi
1997.
Pemerintah Orde Baru melaksanakan Revolusi Hijau dengan investasi
sekitar $ 725.000.000. Dana
tersebut untuk pembentukan stasiun penelitian
nasional, perbaikan sistem irigasi, ekstensi pertanian, bersama subsidi agrokimia,
dan sekitar 40 persen dialokasikan untuk pestisida (Barbier 1989 dalam Mariyono,
2015). Revolusi Hijau mengganti bibit padi lokal dengan varietas unggul padi IR8, hasil persilangan variestas padi Taiwan dengan Indonesia yang dibuat oleh DR
Te-Tzu Chang di IRRI, Filipina. Kebijakan Revolusi Hijau lainnya seperti
tertuang dalam buku teks Sejarah Indonesia yang diterbitkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2015: 130-131):
“Soeharto juga mengembangkan institusi-institusi yang mendukung
pertanian lainnya seperti institusi penelitian seperti BPTP (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian) yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk
pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah satu produknya
yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW).
Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk
untuk
penyediaan pupuk bagi petani. Para petani diberi kemudahan memperoleh
kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin
dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga
manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi
Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan
produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia
adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih
unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik
pupuk yang dibangun antara lain adalah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk
Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Jaringan irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program
pembibitan ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan
sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam
rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan
produksi pangan terutama beras.”
Revolusi Hijau di Indonesia merupakan agenda ketahanan pangan yang
banyak diimplementasikan di banyak negara. Konsep ketahanan pangan dianggap
ideal untuk mencegah kelaparan di dunia setelah Perang Dunia II. Konsep itu
kemudian diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dan
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966.
Badan Pangan Dunia atau FAO (2008) memberikan definisi bahwa ketahanan
pangan adalah ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial dan
ekonomi untuk makanan yang cukup, aman dan bergizi yang memenuhi
kebutuhan makanan mereka dan preferensi makanan untuk hidup aktif dan sehat.
Dalam perkembangannya, praktik ketahanan pangan mendapat banyak
kritik seperti yang dilontarkan McMichael (2004) dan Patel (2010b). Menurut
mereka dari definisi tersebut ketahanan pangan menjadikan makanan ansich
sebagai masalah perdagangan, daripada memperkuat kontrol atas sistem produksi
dan konsumsi. Dalam konsepsi ini, makanan adalah komoditas yang
diperdagangkan daripada hak setiap orang dan kelaparan hanya masalah distribusi
pangan. Secara cepat revolusi hijau mampu menaikkan produksi beras, namun
perubahan teknologi dalam pertanian bukannya tanpa konsekuensi terhadap
lingkungan dan petani. Selain kerusakan lingkungan, konsepsi ini menjadikan
sebuah negara hanya berfokus bagaimana memenuhi pangan dan pengembangan
teknologi untuk meningkatkan produksi pangan global, yang dampaknya, sumbersumber pangan dikendalikan oleh korporasi atau rezim pangan neoliberal, dan
meminggirkan petani sebagai produsen pangan.
Degradasi pertanian Akibat Revolusi Hijau : Sebuah Dekonstruksi
Banyak penelitian yang melaporkan dampak Revolusi Hijau bagi
lingkungan dan kesejahteraan petani. Kebijakan tersebut direplikasi hingga saat
ini sehingga memberikan dampak yang tak kunjung berakhir. Gelombang kritik
terhadap revolusi hijau yang lahir dalam konsep ketahanan pangan muncul pada
1996 oleh La Via Campesina, -sebuah organisasi yang merepresentasikan
komunitas-komunitas petani kecil dari 56 negara yang terbentuk sejak tahun 1993.
Via Campesina memunculkan kosep tandingan bernama kedaulatan pangan (food
soveringty) pada World Food Summit di Roma tahun 1996. Istilah kedaulatan
pangan mengacu pada hak masyarakat atas makanan sehat, yang dihasilkan sesuai
budaya, ekologi serta metode yang berkelanjutan. Serta hak masyarakat untuk
menentukan makanan dan sistem pertanian mereka sendiri (Wittman, 2011: 87105).
Dalam kacamata kedaulatan pangan, kontrol atas pangan dan kebijakan
pertanian itu berada di tingkat lokal. Kedaulatan pangan menekankan pada
bingkai etika atas kontrol dan akses atas makanan sebagai pertemuan antara hak
ekonomi, sosial, budaya,politik dan lingkungan (Anderson 2008; Gonzales 2010).
Konsep kedaulatan pangan juga menuntut penyediaan tanah bagi petani kecil dan
buruh tani, perlindungan bagi sumber daya alam berkelanjutan seperti tana, air
dan benih; serta menolak dominansi control perusahaan multinasional teradap
kebijakan pertanian yang difasilitasi oleh organisasi seperti WTO, Bank Dunia
dan IMF (Bernstein & Bachriadi, 2014).
Dampak Revolusi Hijau bagi lingkungan menyangkut pemakaian pupuk
dan pestisida kimia yang berlebihan pada pertanian. Amonia yang dihasilkan dari
pupuk nitrogen berkontribusi terjadinya hujan asam, sedangkan kandungan nitrat
dapat mencemari air di dalam tanah dan penipisan ozon karena gas rumah kaca
(Cabanillas et al, 2013.; FAO, 2009). Pestisida beracun karena melalui proses
sintesis sehingga menyebabkan kematian atau membahayakan organisme hidup.
Dioksin adalah salah satu polutan lingkungan yang potensial dari pestisida.
Penelitian bahaya pestisida pada manusia telah dilakukan di Cina, Indonesia dan
Vietnam. Studi menunjukkan bahwa petani yang menyemprot pestisida lebih
mungkin untuk menderita keracunan pestisida seperti sakit kepala, muntah dan
iritasi kulit.
Sementara praktek irigasi telah menyebabkan salinitas tanah, tingkat air
tanah menurun di daerah yang lebih banyak air kaena dipompa untuk irigasi
daripada yang dapat diisi ulang oleh hujan, akhirnya besarnya ketergantungan
pada varietas padi tertentu menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di
pertanian (Mariyono, 2015). Pada periode awal, rata-rata produksi padi di Asia
memang meningkat. Akan tetapi, kerusakan lingkungan dan mahalnya pupuk,
akhirnya menurunkan laju pertumbuhan produksi padi secara cepat dalam kurun
10 tahun, dari 3 persen pada 1970an jatuh ke 2,2 persen pada tahun 1980an
(Notohadiprawiro, 1993).
Selain menyebabkan degradasi lingkungan, Revolusi Hijau memberikan
pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat pedesaan. Kim Hyung-Jun (2012)
dalam penelitiannya di Kolojonggo, sebuah dusun yang terletak 9 kilometer di
barat Yogyakarta, menuliskan, bahwa revolusi hijau mengurangi lapangan kerja di
sektor pertanian. Penggunaan teknologi baru seperti sabit yang menggantikan aniani, pemakaian huller untuk merontokkan dan menggiling padi, serta traktor, telah
menggeser kultur sebelumnya. Perubahan tersebut lebih besar menggeser peran
perempuan dari aksesnya terhadap pertanian.
Berkurangnya keterlibatan generasi muda dalam sektor pertanian juga
menjadi salah satu imbas revolusi hijau. Penelitian Kim Hyung Jun menunjukkan
di awal 1970an, orang-orang desa terbiasa melibatkan para pemuda atau anakanak mereka ke sawah pada usia 10-13 tahun. Para pemuda itu bekerja dalam
proporsi waktu yang sama dengan orang dewasa. Namun di akhir 1970an atau
1980an, keterlibatan para pemuda ke sawah mulai jarang hingga 1993-1994.
KESIMPULAN
Sejarah pertanian dan petani belum terakomodasi dalam buku teks Sejarah
Indonesia yang menjadi rujukan utama di sekolah. Materi ajar sejarah dalam buku
teks yang berideologi antroposentrisme membuat sejarah hanya menampilkan
perebutan kekuasaan, elit politik, dan peperangan serta melegitimasi tindakan
manusia mengeksploitasi lingkungan, termasuk pertanian. Dengan pendekatan
green history, mengubah cara pandang antroposentrisme menjadi ekosentrisme, di
mana hubungan manusia menjadi sejajar dengan alam. Dalam pembelajaran
sejarah di sekolah, green history bisa diaplikasikan dengan mendekonstruksi
materi ajar di buku teks yang mengabaikan pelestarian lingkungan. Salah satu
materi yang bisa didekontruksi dalam konteks pertanian adalah Revolusi Hijau,
kebijakan pertanian masa Orde Baru yang diajarkan untuk siswa kelas XII.
Revolusi Hijau yang hanya mengejar produktivitas beras, ternyata berdampak
serius pada perusakan lingkungan dan mengubah kehidupan sosial masyarakat
pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bernstein, Henry dan Bachriadi, Dianto. 2014. Tantangan Kedaulatan Pangan.
Bandung: ARC Books.
FAO. 2008. An Introduction to the Basic Concepts of Food Security, Food
Security Information for Action: Practical Guides. Rome: EC-FAO Food Security
Programme.
Kartodirjo, Sartono. 1976. Sejarah Pedesaan dan Pertanian dalam Pemahaman
Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Reformasi penyunting William H
Frederick dan Soeri Soeroto, Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Sejarah Indonesia untuk
SMA/MA Kelas XII, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
McMichael, Philip. 2004. Development and Social Change: A Global Perspective.
Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press
Nordholt, Henk Schulte dkk. 2013. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta
Patel, Raj. 2010b. “What Does Food Sovereignty Look Like?” Pp. 186–196 in
Food Sovereignty: Reconnecting Food, Nature and Community, ed. Hannah
Wittman, Annette Aurelie Desmarais, and Nettie Wiebe. Halifax: Fernwood
Supriatna, Nana. 2016. Ecopedagogy: Membangun Kecerdasan Ekologis dalam
Pembelajaran IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jurnal:
Hyung-Jun, Kim. 2002. Agrarian and Social Change in a Javanese Village,
Journa of Contemporary Asia, 2002; 32, 4; Social Science Database
Mariyono, Joko. 2015. Green Revolution and wetland linked technological
change of rice agriculture in Indonesia, Management of Environmental Quality:
An International Journal Vol. 26 No. 5, 2015 pp. 683-700
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1993. Konservasi Tanah dalam Revolusi Hijau,
makalah Pelatihan Konservasi Hutan, Tanah dan Air. PPLH UGM, Yogyakarta 113 November 1993.
Wittman, Hanna. 2011. Environment and Society: Advances in Research 2: 87–
105.
Website:
http://www.mongabay.co.id/2016/08/14/sektor-pangan-terancam-kala-generasimuda-enggan-jadi-petani/
dan
Statistik
Tenaga
Kerja
2014
di
http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik_tenaga_kerja
_2014_1.pdf
http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2013/12/25/263653/alih-fungsi-lahanpertanian-di-indonesia-80-ribu-hektar-tahun
http://www.berdikarionline.com/kpa-ada-252-konflik-agraria-di-tahun-2015/
Sebuah Dekontruksi Materi Ajar Kebijakan Ekonomi Orde Baru dalam
Pembelajaran Sejarah
Oleh
Ika Ningtyas Unggraini
Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstrak
As an agrarian country, the history school textbooks in Indonesia, do not give
space to study the agriculture problems. That's because history textbooks
contained anthropocentrism ideology which placed human beings as the central
control of history. So, the face of history textbook contain mostly about wars,
power struggles and political elites. While abaout the destruction of nature,
including agriculture exploitation as human effects never explained. Even though,
the nature is the living space for humans, and degradation in environmental has
threaten the human life. Such as, the threat of a food crisis in Indonesia, as a
result of agricultural policy that ignores environmental conservation. One way to
encourage awareness of leaners on the agriculture management, the teacher can
use a green history approach in the historical learning that change from
anthropocentrism to ecocentrism. Teacher can deconstruct the teaching material
in textbooks that anthropocentrism ideology, like about Green Revolution, one of
the economic policy in the New Order era. The Green Revolution that is claimed
to be success in New Order era, that have affect the degradation of agricultural
land, environmental pollution, declining yields and changes in social life in rural
communities.
Keyword: agriculture, historical learning, green revolution
PENDAHULUAN
Sebagai negara agraris, pembelajaran sejarah di sekolah belum
menyediakan ruang untuk mengkaji kebijakan atas pangan dan nasib petani
(peasant) Indonesia. Padahal pangan adalah kebutuhan pokok setiap manusia dan
setiap bangsa, yang kebutuhannya terus meningkat seiring bertambahnya jumlah
penduduk. Materi ajar sejarah yang selama ini terlalu politik sentris dan berkisah
tentang para elit, telah mereduksi fakta-fakta historis penting lain seperti persoalan
pangan dan petani.
Materi ajar sejarah di sekolah hingga sekarang masih bertumpu pada buku
teks sejarah, sebagai bagian penting dalam kurikulum yang dibuat pemerintah.
Padahal apa yang tersaji dalam buku teks di sekolah seperti yang disampaikan
Sartono Kartodirjo (1976:66): “Buku sejarah penuh dengan cerita tentang perang
dan perebutan kekuasaan, tindakan manusia yang penuh dengan kekerasan dan
kekejaman, kepahlawanan atau penghianatan”. Sejarah konvensional yang
berpusat pada politik, selama satu abad lebih, dianggap sebagai bentuk tertinggi
pemikiran historis, bahkan sejarah juga diberi definisi sebagai politik masa
lampau. Meski dalam perkembangannya, terjadi tren penelitian sejarah sosial dan
ekonomi, namun belum terakomodasi dalam kurikulum sejarah.
Ada berbagai permasalahan dalam pertanian yang mengancam Indonesia
ke kondisi krisis pangan. Salah satunya ditunjukkan oleh survey Badan Pusat
Statistik (2014), bahwa rumah tangga usaha tani turun 5,04 juta keluarga (16
persen) selama 10 tahun, dari 31,17 juta di tahun 2003 menjadi 26,13 juta
keluarga di tahun 2013. Dari jumlah tersebut, 60,8% persen petani berusia lebih
dari 45 tahun dengan 73,97 % berpendidikan SD dan akses teknologi rendah
(Mongabay, 2016).
Para petani beralih ke sektor non-pertanian karena penghasilannya kecil
sekitar Rp 200 ribu per bulan. Penyebab lainnya, alih fungsi lahan pertanian
menjadi kawasan industri dan pemukiman juga cukup besar yakni 80 ribu hektar
per tahun (Pikiran Rakyat, 2013). Alih fungsi tanah pertanian menyebabkan
konflik agraria antara petani versus pemerintah dan swasta. Konsorsium
Pembaruan Agraria (2015) mencatat dalam 11 tahun terakhir terjadi 1.772 konflik
pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga
(berdikarionline,2015). Terpinggirkannya perhatian kita pada dunia agraris
berdampak pada hilangnya gairah generasi muda menjadi petani.
Padahal berbagai persoalan pada dunia pertanian saat ini merupakan
produk kebijakan di masa lalu. Peserta didik, terutama yang berasal dari keluarga
petani, tidak mendapatkan penjelasan memadai dari buku teks sejarah mengenai
kebijakan pertanian, perubahan dan bagaimana dampaknya. Dari proses
kelahirannya, buku teks sejarah dilandasi oleh ideologi antroposentrisme yakni
menempatkan manusia sebagai pelaku utama dalam sejarah. Selain penaklukan
terhadap sesama manusia, pendidikan sejarah yang antroposentris dianggap
menjadi sarana melegitimasi peserta didik untuk melakukan eksploitasi terhadap
bumi, termasuk tanah pertanian.
Cara pandang antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku
sejarah harus dibongkar dan dikonstruksi kembali menjadi cara pandang baru
yaitu ekosentrisme, cara pandang yang menempatkan alam sebagai bagian penting
dari kehidupan manusia. Menurut Nana Supriatna (2016:106), dalam sejarah,
perubahan cara pandang ini memakai pendekatan green history, yang memaparkan
data historis mengenai perubahan perjalanan sejarah manusia dari waktu ke waktu
dalam mengembangkan kehidupannya serta dampaknya bagi lingkungan.
Agar pembelajaran sejarah dapat dikembalikan dalam posisinya sebagai
sarana belajar dari nilai-nilai humanistik masa lalu, sarana merefleksikan dari
tindakan-tindakan historis, dan pemberi inspirasi tentang kesadaran historis dalam
berempati pada sesama manusia dan semua makhluk hidup serta fisik alam, maka
diperlukan dekonstruksi. Menurut Sallis (1987) dalam Nana Supriatna (2016: 117118), dekonstruksi dapat digunakan untuk membongkar tatanan lama, cara
berpikir dan berpandangan serta berparadigma yang tidak selaras dengan
pelestarian alam.
Salah satu materi yang bisa didekontruksi adalah tentang kebijakan
pertanian selama era Orde Baru (Kompetensi Dasar 4.5). Selama rezim otoritarian
Soeharto tersebut, diberlakukan program Revolusi Hijau (1970-1988) yang
dikritik banyak pihak sebagai titik awal permasalahan pertanian saat ini.
Sementara dalam buku teks pelajaran Sejarah Indonesia, menampilkan klaim
keberhasilan program Revolusi Hijau yang membawa Indonesia ke dalam
swasembada pangan. Dalam penelitian ini menjawab dua hal yakni Revolusi
Hijau dalam buku teks sekolah dan dekonstruksi materi ajar kebijakan pertanian di
era Orde Baru.
PEMBAHASAN
Revolusi Hijau dalam Buku Teks Sekolah
Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1966-1998)
diperkenalkan sebuah pendekatan pembangunan yang otoriter yang bertujuan
mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan stabilitas politik.
Negara dilihat sebagai satu-satunya pelaksana yang sah dari proses yang
terkendali yang akan membawa Indonesia ke sebuah era baru ke arah kemajuan
dan kemakmuran. Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang
juga sentralistis dan eskatologis (Nordholt dkk, 2013:11).
Historiografi yang sentralistik ini akhirnya diakomodasi dalam kurikulum
sekolah dan buku teks pelajaran. Menurut Nordholt dkk (2013), hal itu tercermin
dalam penggunaan yang luas buku pelajaran sejarah untuk SMU yang mengikuti
kurikulum 1994. Mengikuti model jilid enam buku sejarah nasional edisi 1993,
buku pelajaran sekolah itu menguraikan pada bagian pertamanya mengenai
kelahiran Orde Baru yang muncul dari kekacauan tahun 1950-an dan awal tahun
1960-an. Pada bagian ketiga digunakan sepenuhnya untuk menguraikan
perkembangan teknologi di bawah Orde Baru. Inovasi-inovasi ini mencakup
Revolusi Hijau, perkembangan dalam bidang komunikasi, angkutan, industri dan
teknologi. Setelah rezim Soeharto jatuh, klaim-klaim keberhasilan pembangunan
Orde Baru tak banyak berubah dalam buku pelajaran sejarah, tetapi dalam materi
berikutnya diingatkan bahwa pemerintahan Soeharto akhirnya kandas oleh
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang setelahnya diikuti oleh krisis ekonomi
1997.
Pemerintah Orde Baru melaksanakan Revolusi Hijau dengan investasi
sekitar $ 725.000.000. Dana
tersebut untuk pembentukan stasiun penelitian
nasional, perbaikan sistem irigasi, ekstensi pertanian, bersama subsidi agrokimia,
dan sekitar 40 persen dialokasikan untuk pestisida (Barbier 1989 dalam Mariyono,
2015). Revolusi Hijau mengganti bibit padi lokal dengan varietas unggul padi IR8, hasil persilangan variestas padi Taiwan dengan Indonesia yang dibuat oleh DR
Te-Tzu Chang di IRRI, Filipina. Kebijakan Revolusi Hijau lainnya seperti
tertuang dalam buku teks Sejarah Indonesia yang diterbitkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2015: 130-131):
“Soeharto juga mengembangkan institusi-institusi yang mendukung
pertanian lainnya seperti institusi penelitian seperti BPTP (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian) yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk
pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah satu produknya
yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW).
Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk
untuk
penyediaan pupuk bagi petani. Para petani diberi kemudahan memperoleh
kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin
dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga
manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi
Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan
produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia
adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih
unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik
pupuk yang dibangun antara lain adalah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk
Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Jaringan irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program
pembibitan ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan
sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam
rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan
produksi pangan terutama beras.”
Revolusi Hijau di Indonesia merupakan agenda ketahanan pangan yang
banyak diimplementasikan di banyak negara. Konsep ketahanan pangan dianggap
ideal untuk mencegah kelaparan di dunia setelah Perang Dunia II. Konsep itu
kemudian diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dan
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966.
Badan Pangan Dunia atau FAO (2008) memberikan definisi bahwa ketahanan
pangan adalah ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial dan
ekonomi untuk makanan yang cukup, aman dan bergizi yang memenuhi
kebutuhan makanan mereka dan preferensi makanan untuk hidup aktif dan sehat.
Dalam perkembangannya, praktik ketahanan pangan mendapat banyak
kritik seperti yang dilontarkan McMichael (2004) dan Patel (2010b). Menurut
mereka dari definisi tersebut ketahanan pangan menjadikan makanan ansich
sebagai masalah perdagangan, daripada memperkuat kontrol atas sistem produksi
dan konsumsi. Dalam konsepsi ini, makanan adalah komoditas yang
diperdagangkan daripada hak setiap orang dan kelaparan hanya masalah distribusi
pangan. Secara cepat revolusi hijau mampu menaikkan produksi beras, namun
perubahan teknologi dalam pertanian bukannya tanpa konsekuensi terhadap
lingkungan dan petani. Selain kerusakan lingkungan, konsepsi ini menjadikan
sebuah negara hanya berfokus bagaimana memenuhi pangan dan pengembangan
teknologi untuk meningkatkan produksi pangan global, yang dampaknya, sumbersumber pangan dikendalikan oleh korporasi atau rezim pangan neoliberal, dan
meminggirkan petani sebagai produsen pangan.
Degradasi pertanian Akibat Revolusi Hijau : Sebuah Dekonstruksi
Banyak penelitian yang melaporkan dampak Revolusi Hijau bagi
lingkungan dan kesejahteraan petani. Kebijakan tersebut direplikasi hingga saat
ini sehingga memberikan dampak yang tak kunjung berakhir. Gelombang kritik
terhadap revolusi hijau yang lahir dalam konsep ketahanan pangan muncul pada
1996 oleh La Via Campesina, -sebuah organisasi yang merepresentasikan
komunitas-komunitas petani kecil dari 56 negara yang terbentuk sejak tahun 1993.
Via Campesina memunculkan kosep tandingan bernama kedaulatan pangan (food
soveringty) pada World Food Summit di Roma tahun 1996. Istilah kedaulatan
pangan mengacu pada hak masyarakat atas makanan sehat, yang dihasilkan sesuai
budaya, ekologi serta metode yang berkelanjutan. Serta hak masyarakat untuk
menentukan makanan dan sistem pertanian mereka sendiri (Wittman, 2011: 87105).
Dalam kacamata kedaulatan pangan, kontrol atas pangan dan kebijakan
pertanian itu berada di tingkat lokal. Kedaulatan pangan menekankan pada
bingkai etika atas kontrol dan akses atas makanan sebagai pertemuan antara hak
ekonomi, sosial, budaya,politik dan lingkungan (Anderson 2008; Gonzales 2010).
Konsep kedaulatan pangan juga menuntut penyediaan tanah bagi petani kecil dan
buruh tani, perlindungan bagi sumber daya alam berkelanjutan seperti tana, air
dan benih; serta menolak dominansi control perusahaan multinasional teradap
kebijakan pertanian yang difasilitasi oleh organisasi seperti WTO, Bank Dunia
dan IMF (Bernstein & Bachriadi, 2014).
Dampak Revolusi Hijau bagi lingkungan menyangkut pemakaian pupuk
dan pestisida kimia yang berlebihan pada pertanian. Amonia yang dihasilkan dari
pupuk nitrogen berkontribusi terjadinya hujan asam, sedangkan kandungan nitrat
dapat mencemari air di dalam tanah dan penipisan ozon karena gas rumah kaca
(Cabanillas et al, 2013.; FAO, 2009). Pestisida beracun karena melalui proses
sintesis sehingga menyebabkan kematian atau membahayakan organisme hidup.
Dioksin adalah salah satu polutan lingkungan yang potensial dari pestisida.
Penelitian bahaya pestisida pada manusia telah dilakukan di Cina, Indonesia dan
Vietnam. Studi menunjukkan bahwa petani yang menyemprot pestisida lebih
mungkin untuk menderita keracunan pestisida seperti sakit kepala, muntah dan
iritasi kulit.
Sementara praktek irigasi telah menyebabkan salinitas tanah, tingkat air
tanah menurun di daerah yang lebih banyak air kaena dipompa untuk irigasi
daripada yang dapat diisi ulang oleh hujan, akhirnya besarnya ketergantungan
pada varietas padi tertentu menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di
pertanian (Mariyono, 2015). Pada periode awal, rata-rata produksi padi di Asia
memang meningkat. Akan tetapi, kerusakan lingkungan dan mahalnya pupuk,
akhirnya menurunkan laju pertumbuhan produksi padi secara cepat dalam kurun
10 tahun, dari 3 persen pada 1970an jatuh ke 2,2 persen pada tahun 1980an
(Notohadiprawiro, 1993).
Selain menyebabkan degradasi lingkungan, Revolusi Hijau memberikan
pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat pedesaan. Kim Hyung-Jun (2012)
dalam penelitiannya di Kolojonggo, sebuah dusun yang terletak 9 kilometer di
barat Yogyakarta, menuliskan, bahwa revolusi hijau mengurangi lapangan kerja di
sektor pertanian. Penggunaan teknologi baru seperti sabit yang menggantikan aniani, pemakaian huller untuk merontokkan dan menggiling padi, serta traktor, telah
menggeser kultur sebelumnya. Perubahan tersebut lebih besar menggeser peran
perempuan dari aksesnya terhadap pertanian.
Berkurangnya keterlibatan generasi muda dalam sektor pertanian juga
menjadi salah satu imbas revolusi hijau. Penelitian Kim Hyung Jun menunjukkan
di awal 1970an, orang-orang desa terbiasa melibatkan para pemuda atau anakanak mereka ke sawah pada usia 10-13 tahun. Para pemuda itu bekerja dalam
proporsi waktu yang sama dengan orang dewasa. Namun di akhir 1970an atau
1980an, keterlibatan para pemuda ke sawah mulai jarang hingga 1993-1994.
KESIMPULAN
Sejarah pertanian dan petani belum terakomodasi dalam buku teks Sejarah
Indonesia yang menjadi rujukan utama di sekolah. Materi ajar sejarah dalam buku
teks yang berideologi antroposentrisme membuat sejarah hanya menampilkan
perebutan kekuasaan, elit politik, dan peperangan serta melegitimasi tindakan
manusia mengeksploitasi lingkungan, termasuk pertanian. Dengan pendekatan
green history, mengubah cara pandang antroposentrisme menjadi ekosentrisme, di
mana hubungan manusia menjadi sejajar dengan alam. Dalam pembelajaran
sejarah di sekolah, green history bisa diaplikasikan dengan mendekonstruksi
materi ajar di buku teks yang mengabaikan pelestarian lingkungan. Salah satu
materi yang bisa didekontruksi dalam konteks pertanian adalah Revolusi Hijau,
kebijakan pertanian masa Orde Baru yang diajarkan untuk siswa kelas XII.
Revolusi Hijau yang hanya mengejar produktivitas beras, ternyata berdampak
serius pada perusakan lingkungan dan mengubah kehidupan sosial masyarakat
pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bernstein, Henry dan Bachriadi, Dianto. 2014. Tantangan Kedaulatan Pangan.
Bandung: ARC Books.
FAO. 2008. An Introduction to the Basic Concepts of Food Security, Food
Security Information for Action: Practical Guides. Rome: EC-FAO Food Security
Programme.
Kartodirjo, Sartono. 1976. Sejarah Pedesaan dan Pertanian dalam Pemahaman
Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Reformasi penyunting William H
Frederick dan Soeri Soeroto, Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Sejarah Indonesia untuk
SMA/MA Kelas XII, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
McMichael, Philip. 2004. Development and Social Change: A Global Perspective.
Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press
Nordholt, Henk Schulte dkk. 2013. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta
Patel, Raj. 2010b. “What Does Food Sovereignty Look Like?” Pp. 186–196 in
Food Sovereignty: Reconnecting Food, Nature and Community, ed. Hannah
Wittman, Annette Aurelie Desmarais, and Nettie Wiebe. Halifax: Fernwood
Supriatna, Nana. 2016. Ecopedagogy: Membangun Kecerdasan Ekologis dalam
Pembelajaran IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jurnal:
Hyung-Jun, Kim. 2002. Agrarian and Social Change in a Javanese Village,
Journa of Contemporary Asia, 2002; 32, 4; Social Science Database
Mariyono, Joko. 2015. Green Revolution and wetland linked technological
change of rice agriculture in Indonesia, Management of Environmental Quality:
An International Journal Vol. 26 No. 5, 2015 pp. 683-700
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1993. Konservasi Tanah dalam Revolusi Hijau,
makalah Pelatihan Konservasi Hutan, Tanah dan Air. PPLH UGM, Yogyakarta 113 November 1993.
Wittman, Hanna. 2011. Environment and Society: Advances in Research 2: 87–
105.
Website:
http://www.mongabay.co.id/2016/08/14/sektor-pangan-terancam-kala-generasimuda-enggan-jadi-petani/
dan
Statistik
Tenaga
Kerja
2014
di
http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik_tenaga_kerja
_2014_1.pdf
http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2013/12/25/263653/alih-fungsi-lahanpertanian-di-indonesia-80-ribu-hektar-tahun
http://www.berdikarionline.com/kpa-ada-252-konflik-agraria-di-tahun-2015/