Sastra Poskolonial Sastra Pembebasan Sastra Poskolonial Sastra Pembebasan
Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan
Posted on June 3, 2010 by ginonjing
Oleh: Muhammad Ridha
Penulis, adalah Pustakawan di rumah buku carabaca Makassar
Sehari semalam lalu aku masih diliputi kemegahan Eropa, kini kudapati diriku dikelilingi orangorang Melayu berbaju norak, berparfum memeningkan kepala, di atas kapal besi besar bau
minyak bak rongsokan hanyut. Kawan, inilah aku, berpeluh-peluh di bawah cerobong asap, baru
saja ditinggalkan masa-masa jaya. Keluh Andrea Hirata dalam Mariama Karpov Mimpi-Mimpi
Lintang (2008).
Wacana sastra Indonesia masih belum beranjak dari sekedar pergumulan simbolis yang minim
makna pembebasan. Yang berkembang hanya berputar di sekitar wilayah ‘sastra perempuan’
(karya-karya yang dituliskan oleh perempuan dekade terakhir ini yang dianggap sebagai
kebangkitan baru pengarang perempuan), sastra koran (kritik dan karya sastra yang biasa terbit
setiap minggu di koran-koran Indonesia), ‘sastra wangi’ (karya dari pengarang perempuan yang
biasanya bertema seks), atau misalnya perdebatan antara sastra realis (seperti karya-karya
Pramudya) atau eksperimental (diwakili paling tidak oleh Iwan Simatupang dan Putu Wijaya).
Di antara semuanya, ‘realisme’lah yang kemudian melahirkan tokoh sastra terkemuka kelas
dunia, Pramudya Ananta Tuor. Berkali-kali ia menjadi nominator peraih nobel sastra. Ia
menunjukkan kualitasnya dari karya-karya yang ia sebut sendiri sebagai ‘realisme sosialis’.
Selain Pramudya nampaknya belum ada karya yang lahir dari penulis-penulis berikutnya yang
bisa ‘diperhitungkan’.
Tetapi dalam tulisan ini kita tidak akan ‘mengukur’ kualitas-kualitas karya itu. Bukan
kompetensi penulis. Lagi pula kualitas itu adalah subjektifitas yang mengalami (membacanya).
Tulisan ini hanya mempertanyakan betapa banyak tren sastra yang telah silih berganti memasuki
ruang sastra kita di Indonesia namun demikian sedikit yang coba bermain di wilayah sosial yang
lebih membebaskan. Juga mempertanyakan pendirian sastra yang selalu hanya menunjukkan
wataknya yang ‘borjuis’, jauh dari problem-problem sosial masyarakat banyak. Mengapa tidak
berkembang model sastra yang lebih menyuarakan persoalan-persoalan sosial, penindasan atau
kemiskinan? Mengapa yang berkembang justru ‘sastra wangi’ atau ‘sastra koran’ yang
menunjukkan eksistensinya sebagai pengetahuan elitis di tengah masyarakat Indonesia yang
sedang didera kebangkrutan pada banyak hal? Tidak adakah alternatif sastra yang bisa
dikembangkan untuk problem sastra dan sosial di Indonesia sekarang?
Pemikir Poskolonial Awal
Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan terakhir di atas. Untuk menjawab pertanyaan terakhir
ini saya akan memberikan satu jawaban alternatif yang nampaknya minimal; sastra poskolonial.
Sebentuk wacana sastra yang mencoba mengkaji masalah kolonialisme dan apa yang telah
ditinggalkannya dalam struktur kebudayaan masyarakat pascakolonial. Alternatif kajian ini
banyak dikembangkan utamanya oleh intelektual dari negara-negara pascakolonial. Seperti India
ada Gayatri Spivak, Leela Ghandi, Ania Loomba, Homi Bhaba, dll. Palestina, dan inilah yang
dianggap menyediakan basis untuk kritik nalar kolonialisme melalui karya babonnya,
Orientalisme, Edward Said. Dari afrika ada Frantz Fanon. Edwar Said, Spivak, Bhaba dan Frantz
Fanon dianggap banyak kalangan sebagai faunding father’s dari kajian baru ini. Edward Said
menggemparkan dunia intelektual dengan karyanya orientalisme pada 1978. Selang sepuluh
tahun setelah terbitnya buku Frants Fanon, Black skin ad white mask (1960-an). Orientalisme
adalah buku yang mengkaji orientalisme sebagai bagian dari proyek penguasaan (kolonialisme
dan imperialisme) barat yang tertuang dalam teks-teks barat tentang dunia timur (oriental).
Dengan meminjam analisis Fuchoult tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, Said,
menemukan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme,
dengan kuasa kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti gerakan
ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi
dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan
Nyoman Kuta Ratna dalam buku Poskolonialisme Indonesia relevansi sastra menyebutkan
‘orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu sendiri’ (2008;27). Kata
Said ‘orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan, antropolog, sosiolog,
sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior’
(kuta Ratna; 2008;32). Konstruksi itulah yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan
pengetahuan tentang ‘inferioritas’ timur oleh orientalisme dalam bentuk mental, meminjam
Vissia Ita Yulianto dalam pesona barat (2007)sebagai mental Inlander. Kolonialisme membentuk
orientalisme ini seperti mengerahkan ‘aparatus ideologis’ negara kolonial untuk menundukkan
warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, ‘prilaku
layak’, dan secara jangka pajang mengkonstruksi nalar pribumi.
Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori pengetahuan barat yang
ternyata tidak pernah ‘netral’, namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan
data-data (pseudo) ilmiah. Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia (kususnya
dunia yang dikatakan timur, dunia ketiga atau negara berkembang) membuka mata akan
kepalsuan metodologis barat. Dibanding melulu memuja barat, akan lebih baik meletakkannya
dalam diskursus yang lebih kritis.
Bila Said melalui orientalisme, sebuah buku rumit yang ditulis melalui riset serius atas naskahnaskah kolonial, maka Spivak mengenalkan dirinya masuk menjadi intelektual poskolonial
melalui artikel pendeknya berjudul ‘can the subaltern speak?’ dan bukunya A Critique of
postkolonial reason. Naskah ini telah banyak dikutip sebagai contoh teks teori poskolonial
(Stephen K Morton;2008).
Tulisan-tulisan Spivak yang terpenting adalah konsepsi yang berkisar pada kajian subaltern.
Berangkat dari pengamatan tentang bagaimana perempuan-perempuan selatan terpinggirkan dan
tidak bisa bersuara. Perempuan, petani desa, kaum terpinggirkan lainnya inilah yang disebut oleh
Spivak sebagai subaltern. Konsepsi ini sebenarnya pernah disebutkan oleh Gramsci untuk
merujuk petani desa di Italia yang tersubordinasi oleh kekuatan negara. Spivak sendiri
menganggap bahwa suara dan perwakilan perempuan dimarjinalkan (Morton;2008;194).
Asumsi ini lahir dari pengamatannya tentang kasus bunuh diri janda di India selatan lalu kasus
bunuh diri Bhubaneswari Bhaduri di Calcutta. Kasus perempuan terakhir ini lain dari kasus
bunuh diri biasanya di India. Bunuh diri biasanya disebabkan oleh hamil di luar nikah yang bagi
warga India itu dianggap tabu. Tetapi bunuh diri yang dilakukan ini tidak memperlihatkan ia
hamil karena saat ditemukan ia sedang menstruasi. Tetapi dia tetap diduga bunuh diri karena
hamil. Dugaan ini sepenuhnya salah setelah sepuluh tahun. Bukti ditemukan bahwa perempuan
ini seorang anggota samitis, organisasi yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan India. Dia
dipercaya melakukan pembunuhan politis yang gagal dilaksanakannya. Mungkin inilah yang
menyebabkan Bhubaneswari bunuh diri. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tetapi tidak bisa
disuarakan. Dalam tubuhnya yang mati seolah merupakan ‘teks sastra’ yang bercerita
‘perempuan membunuh diri adalah sebuah resistensi yang tidak dikenal’. (Morton;197)
Berangkat dari tidak adanya ruang bersuara bagi subaltern inilah Spivak memulai kajiannya
dalam lingkup poskolonial. Sebuah awal yang suci untuk melakukan dekolonisasi di dunia
selatan agar semua elemen bisa berbicara dan bisa bersuara, termasuk perempuan subaltern.
Konsepsi subaltern ini adalah pandangannya yang kritis tentang kondisi poskolonial. Utamanya
nasionalisme poskolonial. Dia berpendapat bahwa kemerdekaan politik banyak bekas koloni
Eropa pada abad ke-20 gagal mengarahkan kelompok-kelompok subaltern yang tertindas, seperti
kaum perempuan, kaum tani, kaum miskin desa atau orang buta huruf pada kemerdekaan sosial
(Morton;9). Tentunya ini sebuah kegelisahan eksistensial yang mengagumkan dari seorang anak
yang lahir dari tanah yang juga pernah dijajah kolonial Eropa tetapi mampu bangkit melakukan
proses dekolonisasi. Dia adalah contoh intelektual yang memiliki nafas panjang terus melakukan
kritik-kritik teoritis atas konsepsi teoritis barat yang mengandung secara inheren narasi kolonial
dan imperialisme. Begitu mengagumkannya seorang sastrawan yang menulis dengan kritis dan
substantif bagi sebuah makna pembebasan manusia.
Fanon menulis dengan nada yang marah. Bumi berantakan (2000), buku karyanya, disebut
sebagai pegangan bagi revolusi hitam yang sukses di negerinya; Aljazair. Buku ini adalah
kecaman bagi kulit putih dan barat agar sadar bahwa kolonalisme telah berakhir. Bukunya telah
menginspirasi praktik-praktik revolusi dan reorganisasi sosial. Fanon adalah seorang psikiater
kulit hitam yang sukses keluar dari kolonisasi mental yang dikonstruksi oleh kolonialisme,
bahkan mengorganisir dan menginspirasi gerakan-gerakan dekolonisasi Afrika.
Sastra Poskolonial
Tokoh-tokoh yang diceritakan dengan singkat disini kira-kira telah memberi harapan bagi
bangkitnya kesadaran intelektual negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk bergegas
dan berusaha menyadarkan dirinya dari kooptasi pengetahuan kolonial. Orang-orang ini telah
membuktikan bahwa pengetahuannya terbukti benar. Bahwa kolonialisme belum pernah
berakhir. Dia masih terus ada, terutama di dalam batok kepala oang-orang pascakolonial di
Negara-negara berkembang.
Dalam ranah sastra pendekatan poskolonial ini banyak digunakan oleh sastrawan terkemuka.
Sebut misalnya V.S Naipaul dalam Sebuah Rumah Untuk Tuan Biswas, Naguib Mahfus dengan
Harafisy, Kantapura karya Raja Rao dari India, dan mungkin karya-karya Jumpha Lahiri yang
belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tentunya ini sebuah kemajuan. Novelnovel raksasa yang memiliki kekuatan berbicara dan bersuara tentang posisi poskolonialitas yang
demikian kompleks. Pendeknya narasi-narasi ini ingin menyampaikan perlawanan kepada politik
sastra kolonial. Pertanyaannya, sudah adakah penulis Indonesia yang mulai memakai pendekatan
poskolonial dalam karyanya? Menurut Katrin Bandel dalam Sastra, Perempuan, Seks (2006)
bahwa dalam novel cantik itu luka karya Eka Kurniawan terdapat unsur-unsur poskolonialitas.
Novel ini, katanya, menggunakan perspektif baru tentang sejarah dan tentang realisme. Apa yag
kemudian disebut oleh Bandel (2006) sebagai ‘realisme magis’. Teks ‘realisme magis’ sudah
lama ditenggelamkan oleh kolonialisme dalam prakteknya menumpas kelompok-kelompok
tarekat dan azimat di seluruh Hindia Belanda. Mungkin ini yang coba diangkat oleh Eka
Kurniawan dalam Cantik itu luka. Bahwa sejarah tidak mesti linier dan positifis seperti dalam
ilmu sosial Eropa pada umumnya, ada ruang untuk yang magis dan real.
Yang lain mudah-mudahan menyusul dengan karya yang lebih kuat, lebih banyak dibaca dan
lebih membangun proses dekolonisasi nalar, dan melakukan pembebasan dari keterjajahan.
Sastra poskolonial sudah memperlihatkan dirinya dengan niat tulus untuk melaksanakan proyek
dekolonisasi dalam nalar teks-teks negeri pascakolonial. Poskolonialitas yang, kata Bhaba,
sebagai ‘ruang antara’ atau kondisi liminalitas menuju merdeka sepenuhnya. Diintrodusir dari
istilah psikologi untuk menunjukkan ruang antara alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam
konsepsi sastra poskolonial, nalar kita berada dalam ‘ruang antara’, ruang liminalitas, antara pra
kemerdekaan menuju kemerdekaan sepenuhnya.
Kita berharap untuk segera merdeka sepenuhnya. Tidak melulu terjebak dalam kubangan
pascakolonial yang tak selesai-selesai. Harus ada dekolonisasi agar tidak terjangkit inferiority
complex seperti karya Andrea Hirata tetralogi Laskar Pelangi yang tidak pernah merasa bisa apaapa terkecuali dia masuk bergabung dalam kafilah modernitas yang selalu hanya ada di Eropa, di
desa Edensor atau di kampus Sorbonne, Paris. Andrea, mungkin, termakan, meminjam isilah
Said, teks-teks predatoris kolonialisme yang menanam penyakit inferiority complex jauh di
dalam ‘batok kepalanya’. Mungkin inilah yang ingin dilakukan oleh teoritisi
sastravissiposkolonial; membebaskan nalar inlander yang ada dalam batok kepala kita.
Advertisements
Posted on June 3, 2010 by ginonjing
Oleh: Muhammad Ridha
Penulis, adalah Pustakawan di rumah buku carabaca Makassar
Sehari semalam lalu aku masih diliputi kemegahan Eropa, kini kudapati diriku dikelilingi orangorang Melayu berbaju norak, berparfum memeningkan kepala, di atas kapal besi besar bau
minyak bak rongsokan hanyut. Kawan, inilah aku, berpeluh-peluh di bawah cerobong asap, baru
saja ditinggalkan masa-masa jaya. Keluh Andrea Hirata dalam Mariama Karpov Mimpi-Mimpi
Lintang (2008).
Wacana sastra Indonesia masih belum beranjak dari sekedar pergumulan simbolis yang minim
makna pembebasan. Yang berkembang hanya berputar di sekitar wilayah ‘sastra perempuan’
(karya-karya yang dituliskan oleh perempuan dekade terakhir ini yang dianggap sebagai
kebangkitan baru pengarang perempuan), sastra koran (kritik dan karya sastra yang biasa terbit
setiap minggu di koran-koran Indonesia), ‘sastra wangi’ (karya dari pengarang perempuan yang
biasanya bertema seks), atau misalnya perdebatan antara sastra realis (seperti karya-karya
Pramudya) atau eksperimental (diwakili paling tidak oleh Iwan Simatupang dan Putu Wijaya).
Di antara semuanya, ‘realisme’lah yang kemudian melahirkan tokoh sastra terkemuka kelas
dunia, Pramudya Ananta Tuor. Berkali-kali ia menjadi nominator peraih nobel sastra. Ia
menunjukkan kualitasnya dari karya-karya yang ia sebut sendiri sebagai ‘realisme sosialis’.
Selain Pramudya nampaknya belum ada karya yang lahir dari penulis-penulis berikutnya yang
bisa ‘diperhitungkan’.
Tetapi dalam tulisan ini kita tidak akan ‘mengukur’ kualitas-kualitas karya itu. Bukan
kompetensi penulis. Lagi pula kualitas itu adalah subjektifitas yang mengalami (membacanya).
Tulisan ini hanya mempertanyakan betapa banyak tren sastra yang telah silih berganti memasuki
ruang sastra kita di Indonesia namun demikian sedikit yang coba bermain di wilayah sosial yang
lebih membebaskan. Juga mempertanyakan pendirian sastra yang selalu hanya menunjukkan
wataknya yang ‘borjuis’, jauh dari problem-problem sosial masyarakat banyak. Mengapa tidak
berkembang model sastra yang lebih menyuarakan persoalan-persoalan sosial, penindasan atau
kemiskinan? Mengapa yang berkembang justru ‘sastra wangi’ atau ‘sastra koran’ yang
menunjukkan eksistensinya sebagai pengetahuan elitis di tengah masyarakat Indonesia yang
sedang didera kebangkrutan pada banyak hal? Tidak adakah alternatif sastra yang bisa
dikembangkan untuk problem sastra dan sosial di Indonesia sekarang?
Pemikir Poskolonial Awal
Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan terakhir di atas. Untuk menjawab pertanyaan terakhir
ini saya akan memberikan satu jawaban alternatif yang nampaknya minimal; sastra poskolonial.
Sebentuk wacana sastra yang mencoba mengkaji masalah kolonialisme dan apa yang telah
ditinggalkannya dalam struktur kebudayaan masyarakat pascakolonial. Alternatif kajian ini
banyak dikembangkan utamanya oleh intelektual dari negara-negara pascakolonial. Seperti India
ada Gayatri Spivak, Leela Ghandi, Ania Loomba, Homi Bhaba, dll. Palestina, dan inilah yang
dianggap menyediakan basis untuk kritik nalar kolonialisme melalui karya babonnya,
Orientalisme, Edward Said. Dari afrika ada Frantz Fanon. Edwar Said, Spivak, Bhaba dan Frantz
Fanon dianggap banyak kalangan sebagai faunding father’s dari kajian baru ini. Edward Said
menggemparkan dunia intelektual dengan karyanya orientalisme pada 1978. Selang sepuluh
tahun setelah terbitnya buku Frants Fanon, Black skin ad white mask (1960-an). Orientalisme
adalah buku yang mengkaji orientalisme sebagai bagian dari proyek penguasaan (kolonialisme
dan imperialisme) barat yang tertuang dalam teks-teks barat tentang dunia timur (oriental).
Dengan meminjam analisis Fuchoult tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, Said,
menemukan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme,
dengan kuasa kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti gerakan
ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi
dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan
Nyoman Kuta Ratna dalam buku Poskolonialisme Indonesia relevansi sastra menyebutkan
‘orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu sendiri’ (2008;27). Kata
Said ‘orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan, antropolog, sosiolog,
sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior’
(kuta Ratna; 2008;32). Konstruksi itulah yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan
pengetahuan tentang ‘inferioritas’ timur oleh orientalisme dalam bentuk mental, meminjam
Vissia Ita Yulianto dalam pesona barat (2007)sebagai mental Inlander. Kolonialisme membentuk
orientalisme ini seperti mengerahkan ‘aparatus ideologis’ negara kolonial untuk menundukkan
warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, ‘prilaku
layak’, dan secara jangka pajang mengkonstruksi nalar pribumi.
Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori pengetahuan barat yang
ternyata tidak pernah ‘netral’, namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan
data-data (pseudo) ilmiah. Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia (kususnya
dunia yang dikatakan timur, dunia ketiga atau negara berkembang) membuka mata akan
kepalsuan metodologis barat. Dibanding melulu memuja barat, akan lebih baik meletakkannya
dalam diskursus yang lebih kritis.
Bila Said melalui orientalisme, sebuah buku rumit yang ditulis melalui riset serius atas naskahnaskah kolonial, maka Spivak mengenalkan dirinya masuk menjadi intelektual poskolonial
melalui artikel pendeknya berjudul ‘can the subaltern speak?’ dan bukunya A Critique of
postkolonial reason. Naskah ini telah banyak dikutip sebagai contoh teks teori poskolonial
(Stephen K Morton;2008).
Tulisan-tulisan Spivak yang terpenting adalah konsepsi yang berkisar pada kajian subaltern.
Berangkat dari pengamatan tentang bagaimana perempuan-perempuan selatan terpinggirkan dan
tidak bisa bersuara. Perempuan, petani desa, kaum terpinggirkan lainnya inilah yang disebut oleh
Spivak sebagai subaltern. Konsepsi ini sebenarnya pernah disebutkan oleh Gramsci untuk
merujuk petani desa di Italia yang tersubordinasi oleh kekuatan negara. Spivak sendiri
menganggap bahwa suara dan perwakilan perempuan dimarjinalkan (Morton;2008;194).
Asumsi ini lahir dari pengamatannya tentang kasus bunuh diri janda di India selatan lalu kasus
bunuh diri Bhubaneswari Bhaduri di Calcutta. Kasus perempuan terakhir ini lain dari kasus
bunuh diri biasanya di India. Bunuh diri biasanya disebabkan oleh hamil di luar nikah yang bagi
warga India itu dianggap tabu. Tetapi bunuh diri yang dilakukan ini tidak memperlihatkan ia
hamil karena saat ditemukan ia sedang menstruasi. Tetapi dia tetap diduga bunuh diri karena
hamil. Dugaan ini sepenuhnya salah setelah sepuluh tahun. Bukti ditemukan bahwa perempuan
ini seorang anggota samitis, organisasi yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan India. Dia
dipercaya melakukan pembunuhan politis yang gagal dilaksanakannya. Mungkin inilah yang
menyebabkan Bhubaneswari bunuh diri. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tetapi tidak bisa
disuarakan. Dalam tubuhnya yang mati seolah merupakan ‘teks sastra’ yang bercerita
‘perempuan membunuh diri adalah sebuah resistensi yang tidak dikenal’. (Morton;197)
Berangkat dari tidak adanya ruang bersuara bagi subaltern inilah Spivak memulai kajiannya
dalam lingkup poskolonial. Sebuah awal yang suci untuk melakukan dekolonisasi di dunia
selatan agar semua elemen bisa berbicara dan bisa bersuara, termasuk perempuan subaltern.
Konsepsi subaltern ini adalah pandangannya yang kritis tentang kondisi poskolonial. Utamanya
nasionalisme poskolonial. Dia berpendapat bahwa kemerdekaan politik banyak bekas koloni
Eropa pada abad ke-20 gagal mengarahkan kelompok-kelompok subaltern yang tertindas, seperti
kaum perempuan, kaum tani, kaum miskin desa atau orang buta huruf pada kemerdekaan sosial
(Morton;9). Tentunya ini sebuah kegelisahan eksistensial yang mengagumkan dari seorang anak
yang lahir dari tanah yang juga pernah dijajah kolonial Eropa tetapi mampu bangkit melakukan
proses dekolonisasi. Dia adalah contoh intelektual yang memiliki nafas panjang terus melakukan
kritik-kritik teoritis atas konsepsi teoritis barat yang mengandung secara inheren narasi kolonial
dan imperialisme. Begitu mengagumkannya seorang sastrawan yang menulis dengan kritis dan
substantif bagi sebuah makna pembebasan manusia.
Fanon menulis dengan nada yang marah. Bumi berantakan (2000), buku karyanya, disebut
sebagai pegangan bagi revolusi hitam yang sukses di negerinya; Aljazair. Buku ini adalah
kecaman bagi kulit putih dan barat agar sadar bahwa kolonalisme telah berakhir. Bukunya telah
menginspirasi praktik-praktik revolusi dan reorganisasi sosial. Fanon adalah seorang psikiater
kulit hitam yang sukses keluar dari kolonisasi mental yang dikonstruksi oleh kolonialisme,
bahkan mengorganisir dan menginspirasi gerakan-gerakan dekolonisasi Afrika.
Sastra Poskolonial
Tokoh-tokoh yang diceritakan dengan singkat disini kira-kira telah memberi harapan bagi
bangkitnya kesadaran intelektual negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk bergegas
dan berusaha menyadarkan dirinya dari kooptasi pengetahuan kolonial. Orang-orang ini telah
membuktikan bahwa pengetahuannya terbukti benar. Bahwa kolonialisme belum pernah
berakhir. Dia masih terus ada, terutama di dalam batok kepala oang-orang pascakolonial di
Negara-negara berkembang.
Dalam ranah sastra pendekatan poskolonial ini banyak digunakan oleh sastrawan terkemuka.
Sebut misalnya V.S Naipaul dalam Sebuah Rumah Untuk Tuan Biswas, Naguib Mahfus dengan
Harafisy, Kantapura karya Raja Rao dari India, dan mungkin karya-karya Jumpha Lahiri yang
belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tentunya ini sebuah kemajuan. Novelnovel raksasa yang memiliki kekuatan berbicara dan bersuara tentang posisi poskolonialitas yang
demikian kompleks. Pendeknya narasi-narasi ini ingin menyampaikan perlawanan kepada politik
sastra kolonial. Pertanyaannya, sudah adakah penulis Indonesia yang mulai memakai pendekatan
poskolonial dalam karyanya? Menurut Katrin Bandel dalam Sastra, Perempuan, Seks (2006)
bahwa dalam novel cantik itu luka karya Eka Kurniawan terdapat unsur-unsur poskolonialitas.
Novel ini, katanya, menggunakan perspektif baru tentang sejarah dan tentang realisme. Apa yag
kemudian disebut oleh Bandel (2006) sebagai ‘realisme magis’. Teks ‘realisme magis’ sudah
lama ditenggelamkan oleh kolonialisme dalam prakteknya menumpas kelompok-kelompok
tarekat dan azimat di seluruh Hindia Belanda. Mungkin ini yang coba diangkat oleh Eka
Kurniawan dalam Cantik itu luka. Bahwa sejarah tidak mesti linier dan positifis seperti dalam
ilmu sosial Eropa pada umumnya, ada ruang untuk yang magis dan real.
Yang lain mudah-mudahan menyusul dengan karya yang lebih kuat, lebih banyak dibaca dan
lebih membangun proses dekolonisasi nalar, dan melakukan pembebasan dari keterjajahan.
Sastra poskolonial sudah memperlihatkan dirinya dengan niat tulus untuk melaksanakan proyek
dekolonisasi dalam nalar teks-teks negeri pascakolonial. Poskolonialitas yang, kata Bhaba,
sebagai ‘ruang antara’ atau kondisi liminalitas menuju merdeka sepenuhnya. Diintrodusir dari
istilah psikologi untuk menunjukkan ruang antara alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam
konsepsi sastra poskolonial, nalar kita berada dalam ‘ruang antara’, ruang liminalitas, antara pra
kemerdekaan menuju kemerdekaan sepenuhnya.
Kita berharap untuk segera merdeka sepenuhnya. Tidak melulu terjebak dalam kubangan
pascakolonial yang tak selesai-selesai. Harus ada dekolonisasi agar tidak terjangkit inferiority
complex seperti karya Andrea Hirata tetralogi Laskar Pelangi yang tidak pernah merasa bisa apaapa terkecuali dia masuk bergabung dalam kafilah modernitas yang selalu hanya ada di Eropa, di
desa Edensor atau di kampus Sorbonne, Paris. Andrea, mungkin, termakan, meminjam isilah
Said, teks-teks predatoris kolonialisme yang menanam penyakit inferiority complex jauh di
dalam ‘batok kepalanya’. Mungkin inilah yang ingin dilakukan oleh teoritisi
sastravissiposkolonial; membebaskan nalar inlander yang ada dalam batok kepala kita.
Advertisements