PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI pelangg

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS
KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH
PERAIRAN INTERNASIONAL

JURNAL

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
OLEH:
ELISA APRILIA
NIM: 110200194
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS
KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INTERNASIONAL


ABSTRAKSI
Elisa Aprilia*
Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H**
Arif, S.H., M.Hum***

Perkembangan teknologi di bidang eksplorasi laut dalam telah memicu
timbulnya upaya manusia untuk mencari dan menyelamatkan kapal-kapal yang
sudah karam serta muatannya dari dasar laut internasional. Peningkatan jumlah
penemuan bangkai kapal ini kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum
mengenai status kepemilikan atas penemuan tersebut karena banyaknya
kepentingan dari berbagai pihak didalamnya, keberagaman instrumen hukum
internasional, serta wilayah penemuan yang berada diluar yurisdiksi negara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan
harta karun dalam hukum internasional, konsep kepemilikan harta karun, serta
bagaimana bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang ditemukan di
perairan internasional.
Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku,
jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya

yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilimiah ini.
Hukum internasional memang tidak secara rinci mengatur dalam berbagai
konvensi internasional mengenai kepemilikan harta karun yang ditemukan di
wilayah perairan internasional. Konvensi internasional seperti UNCLOS 1982 dan
Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah
Air lebih mengedepankan isu perlindungan harta karun, tanpa menjelaskan lebih
lanjut mengenai isu kepemilikan. Namun dengan adanya bentuk/model perjanjian
kerjasama di bidang penyelamatan harta karun, seperti Sussex Agreement tahun
2002, seluruh kekurangan dari kerangka hukum yang berlaku saat ini dapat
terselesaikan, dapat menampung seluruh kepentingan pihak – pihak terkait dengan
cara yang lebih praktis, serta dapat menghindari proses litigasi yang rumit dan
menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Kata kunci: Harta Karun, Kepemilikan, Perairan Internasional

* Peneliti
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS

KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INTERNASIONAL

ABSTRACT
Elisa Aprilia*
Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H**
Arif, S.H., M.Hum***

The improvement of deep seabed exploration technology has triggered the
efforts to find and salvage the shipwrecks as well as its cargo from the
international seabed. The increasing number of the wrecks discoveries thus
caused the legal uncertainty regarding the ownership of the shipwrecks since
there are several competing interests of various parties therein.
The issues discussed in this paper are an overview of international
regulation of underwater cultural heritage, the concepts of ownership regarding
the underwater cultural heritage, and how to solve the disputes of ownership of
shipwrecks found in international waters.
The research method used in this paper is normative legal research method,
by collecting the materials from books, journals, internet, international law
instruments and another scientific papers which in line with the purpose of the

accomplishment of this paper.
International law actually does not regulate specifically in international
conventions regarding the ownership of underwater cultural heritage found in
international waters. International conventions such as UNCLOS 1982 and
UNESCO Convention 2001 on the Protection of Underwater Cultural Heritage
only emphasize the issue of protection without elaborated the ownership issues in
advance. However, with a new innovation of cooperation agreement in the
underwater cultural heritage salvation such as Sussex Agreement in 2002, the
deficiency of the current legal framework can be resolved, accomodated all the
competing interest in a practical way as well as avoided the complex litigation
procces.

Key Words: Underwater Cultural Heritage, Ownership, International Waters.

* Peneliti
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II

PENDAHULUAN
Kapal-kapal karam yang berada di dasar laut perairan internasional

merupakan situs penemuan yang sangat berharga pada saat ini.1 Hal ini
dikarenakan, bangkai-bangkai kapal tersebut mengandung berbagai macam
muatan yang memiliki nilai budaya, historis, serta arkeologis.2
Karena bangkai-bangkai kapal berada di dasar laut, sudah tentu
keberadaannya sangat rentan mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh
peristiwa alam maupun akibat perbuatan manusia. Gunung berapi dan gempa
bumi bawah laut merupakan contoh peristiwa alam yang berpotensi menimbulkan
bahaya. Sementara perbuatan manusia yang berpotensi mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran bagi bangkai-bangkai kapal misalnya pembuangan limbah serta
aktivitas pencarian ikan yang menggunakan bahan-bahan peledak.3
Perkembangan teknologi di bidang eksplorasi dasar laut kemudian
menimbulkan usaha dari berbagai pihak untuk mencari dan menemukan bangkaibangkai kapal yang telah karam di dasar laut selama beberapa waktu.4 Keadaan
inilah yang memicu para penyelamat (salvors) untuk kemudian
memperjualbelikan hasil penemuannya dengan maksud untuk mengganti seluruh
biaya serta usaha yang telah mereka lakukan.5
Kebanyakan salvors ini berasal dari perusahaan-perusahaan komersil yang
bergerak khusus dibidang eksplorasi laut dalam maupun kapal karam. Karena
salvors merupakan perusahaan, tentunya mereka harus memperoleh keuntungan
atas usaha yang telah mereka jalankan tanpa memperhatikan nilai dan standar
arkeologis dari penemuan tersebut.6 Kebutuhan akan dana yang besar dan waktu

yang sangat lama dalam menemukan serta memulihkan bangkai kapal serta
muatannya, membuat negara serta para arkeolog tidak dapat memainkan peran
signifikan dalam upaya penyelamatan seperti yang dilakukan oleh salvors dari
perusahaan komersil.7
Keberadaan nilai komersil dari muatan bangkai-bangkai kapal ini kemudian
menimbulkan isu mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal beserta
muatannya di perairan internasional. Namun sampai saat ini belum ada
pengaturan internasional yang mengatur lebih lanjut mengenai status kepemilikan
atas penemuan tersebut.

1

David J. Bederman, Historic Salvage and the Law of the Sea , 30 U. Miami Inter-Am. L.
Rev. 99 (1998), hal. 102
2
David Gibbins and Jonathan Adams, Shipwrecks and Maritime Archaeology, (United
Kingdom: Taylor & Francis, Ltd., 2001), hal. 280
3
Sean A. Kingsley, Deep-Sea Fishing Impacts on the Shipwrecks of the English Channel &
Western Approaches, Odyssey Marine Exploration (2009), dapat diakses pada

http://shipwreck.net/pdf/OmePapers4Final_000. pdf [diakses tanggal 31 Februari 2015]
4
Amber Crossman Cheng, All In The Same Boat? Indigenous Property Rights in
Underwater Cultural Heritage , 32 Hous. J. Int‟l L. (2010), hal. 698
5
Jean F Rydstrom, Annotation, Nature and Extent of Peril Necessary to Support Claim for
Marine Salvage, 26 A.L.R. Fed. 858 (2002), part 2
6
Jeremy Neil, Sifting Through the Wreckage: An Analysis and Proposed Resolution
Concerning the Disposition of Historic Shipwrecks Located in International Waters , 55 N.Y. L.
Sch. L. Rev. 895 (2010), hal. 904
7
Elizabeth S. Greene, et al., Mare Nostrum? Ethics and Archaeology in Mediterranean
Water , 115 Am. J. Of Archaelogy 311 (2011), hal. 314

PEMBAHASAN
A. PENGATURAN HARTA KARUN DALAM HUKUM INTERNASIONAL
1. Ruang Lingkup Harta Karun
Definisi harta karun dalam hukum internasional saat ini telah dikodifikasi ke
dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi UNESCO tentang

Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001. Konvensi ini
mendefinisikannya sebagai berikut:
Underwater cultural heritage means all traces of human existence having a
cultural, historical or archaeological character which have been partially or
totally under water, periodically or continuously, for at least 100 years such as:
(i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their
archaeological and natural context; (ii) vessels, aircraft, other vehicles or any
part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and
natural context; and (iii) objects of prehistoric character.8
(Warisan Budaya Bawah Air merupakan seluruh jejak eksistensi manusia
yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang sebagian atau
seluruhnya berada di dalam air, secara berkala, terus-menerus, setidaknya selama
seratus tahun, seperti: (i) situs, struktur, bangunan, artefak – artefak dan sisa – sisa
manusia yang bersifat arkeologis dan alamiah; (ii) kapal, pesawat terbang,
transportasi lain atau bagian daripadanya, muatannya atau isi lainnya yang bersifat
arkeologis dan alamiah; (iii) barang-barang yang bersifat prasejarah.)
Ruang lingkup harta karun dalam karya tulis ini sendiri membahas secara
spesifik warisan budaya bawah air yaitu mencakup kapal beserta muatannya yang
memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang karam di dasar laut
perairan internasional.

2. Sejarah Penemuan Harta Karun di Dunia
Banyak orang yang mengidentikkan harta karun dengan sosok sekumpulan
bajak laut yang tengah mengarungi lautan dengan menggengam botol minuman,
burung beo di pundak, serta sebuah peta letak harta karun yang lambangkan
dengan simbol “X” sebagai tempat terkuburnya harta karun tersebut.9 Meskipun
karakter tersebut merupakan fiktif belaka, namun keberadaan harta karun tersebut
masih tetap ada sampai saat ini dalam sekitar tiga juta kapal karam yang berada
didasar laut dan masih belum ditemukan. 10
Pada periode awal zaman modern, upaya penyelamatan sendiri dilakukan
dengan melakukan penyelaman menggunakan diving bells.11 Pada 1658, Albrecht
von Treileben dikontrak oleh Raja Gustavus Adolphus dari Swedia untuk
8

UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001 [UCH
Convention], pasal 1 ayat 1(a)
9
Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In
International Waters, 19 U. Miami Int'l & Comp. L. Rev. 141 (2012), hal. 142
10
Ulrike Guérin & Katrin Köller, Of Shipwrecks, Lost Worlds and Grave Robbers, A

World Of Sci., April – June 2009, hal 19 dan 22, dapat diakses pada http://portal.unesco.org
/science/en/ev.php [diakses pada tanggal 31 Februari 2014]
11
Diving bell merupakan ruang yang kaku digunakan untuk mengangkut penyelam untuk
kedalaman di laut, dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Diving_bell [diakses tanggal 04
Maret 2015]

menyelamatkan kapal perang Vasa , yang tenggelam di pelabuhan Stockholm pada
pelayaran perdananya pada tahun 1628. Antara tahun 1663-1665 penyelam dari
Von Treileben berhasil menyelamatkan sebagian besar meriam menggunakan
diving bells.12 Pada tahun 1687, Sir William Phipps menggunakan wadah terbalik
untuk memulihkan £ 200.000 nilai harta dari kapal Spanyol yang tenggelam di
lepas pantai San Domingo.
Pada zaman modern, upaya penyelamatan adalah menggunakan diving
helmets yang ditemukan oleh Charles Deane, John Deane dan Augustus Siebe, di
tahun 1830-an. Diving helmets sendiri merupakan alat yang dipakai oleh
penyelam profesional dengan menggunakan peralatan/helm yang diisi dengan
udara untuk bernapas yang disediakan dari pusat penyelam dari permukaan,
pinggir pantai atau kapal pendukung penyelam, kadang menggunakan diving bell
secara tidak langsung.13

Royal George, kapal angkatan laut kerajaan Inggris memiliki 100 buah
senjata, tenggelam saat menjalani tugas rutinnya tahun 1782, dan Deane
bersaudara dengan menggunakan diving helmets barunya, berhasil memulihkan
sekitar dua lusin meriam.
Beberapa operasi penyelamatan penting dalam sejarah diantaranya 14:
1) Pemulihan dan konservasi lebih lanjut dari Mary Rose, kapal angkatan laut
Raja Henry VII yang tenggelam pada tahun 1545 di Solent, bagian utara Isle
of Wight. Penyelamatan Mary Rose pada tahun 1982 merupakan operasi
penyelamtan yang kompleks dan merupakan pencapaian utama di bidang
arkeologi laut.
2) Pada tahun 1968 Shipwrecks Inc., yang dikepalai by E. Lee Spence, berhak
atas penyelamatan berlisensi dari South Caroline terhadap bangkai kapal
Perang Saudara, SS. Georgiana yang ditemukan pada tahun 1965. Usaha ini
merupakan penyelamatan arkeologi pertama yang terjadi di Amerika
Serikat.15 Spence beserta anak buahnya berhasil memulihkan sekitar
1.000.000 artefak, yang nilainya berkisar US$12.000.000.
3) Penemuan kapal Nuestra Señora de las Mercedes pada tahun 2007, diklaim
sebagai penemuan harta karun terbesar karena kapal tersebut membawa
muatan yang diperkirakan bernilai US$500 million (£314 million).
3. Pengaturan Harta Karun Dalam Hukum Internasional
a. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations
Convention on the Law of the Sea/UNCLOS )
UNCLOS merupakan satu – satunya konvensi internasional yang mengatur
seluruh aspek hukum laut secara umum, namun pengaturan tentang kapal karam
dalam konvensi ini hanya dimuat dalam dua pasal yakni pasal 149 dan 303.
12

Vasa Museet, dapat diakses pada http://www.vasamuseet.se/en/The-Ship/Importantdates/ [diakses tanggal 03 Maret 2015]
13
Gernhardt, ML, Biomedical and Operational Considerations for Surface-Supplied
Mixed-Gas Diving to 300 FSW, dalam Lang, MA and Smith, NE (eds). Proceedings of Advanced
Scientific Diving Workshop (Washington, DC: Smithsonian Institution, 2006)
14
Dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Marine_salvage [diakses tanggal 28
Februari 2015]
15
E. Lee Spence, Underwater Archeology in South Carolina , The Conference on Historic
Site Archeology Papers 1970, (1971), Volume 5, Part 1

Pada dasarnya UNCLOS tidak mengatur dengan jelas terkait dengan
penemuan harta karun di wilayah perairan internasional. Pasal 149 menyatakan:
“All objects of an archaeological and historical nature found in the Area shall be
preserved or disposed of for the benefit of mankind as a whole, particular regard
being paid to the preferential rights of the State or country of origin, or the State
of cultural origin, or the State of historical and archaeological origin” yang
artinya “seluruh objek yang bersifat arkeologis dan historis yang ditemukan di
Kawasan harus dilestarikan ataupun dilepaskan untuk kepentingan seluruh umat
manusia, khususnya terhadap hak – hak istimewa negara atau negara asal (country
of origin), atau negara asal budaya, atau negara asal historis dan arkeologis.”16
Sementara pasal 303 UNCLOS lebih mengatur secara umum mengenai
objek-objek arkeologis maupun historis yang ditemukan di laut. Pasal ini
menyatakan “States have the duty to protect objects of an archaeological and
historical nature found at sea and shall cooperate for this purpose ”, yang artinya
“negara-negara memiliki kewajiban untuk melindungi objek-objek arkeologis dan
historis yang ditemukan di laut”.17
Pada dasarnya, UNCLOS 1982 ini sendiri mengatur masalah perlindungan
warisan budaya bawah air dalam komunitas internasional secara umum, sehingga
dibutuhkan instrumen hukum internasional yang baru untuk secara khusus
merumuskan perlindungan maupun kepemilikan secara spesifik atas penemuan
bangkai-bangkai kapal beserta muatannya.
b. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah
Air 2001 (UNESCO Convention on the Protection of the Underwater
Cultural Heritage/UCH Convention )
Dalam struktur hukum laut yang sangat luas dan bersesuaian dengan
keseimbangan kepentingan yang terdapat dalam UNCLOS, konvensi ini muncul
sebagai instrumen umum baru, yaitu sebagai lex specialis dari warisan budaya
bawah air dan perlindungannya, dimana UNCLOS sebagai lex generalis dari
seluruh hukum laut.
Tujuan awal UNESCO dalam perlindungan warisan budaya bawah air lebih
bersifat ke substansi dan lebih ekstensif dari hukum internasional sebelumnya.
Pencapaian terbesar konvensi UNESCO ini adalah bahwa konvensi ini
merupakan instrumen universal pertama dengan standar perlindungan terhadap
warisan budaya bawah air yang ditawarkan kepada komunitas internasional. Satu
hal yang menarik dari UCH Convention ini adalah larangan eksploitasi komersial
terhadap warisan budaya bawah air. Salah satu tujuan dan prinisp umum konvensi
ini adalah “Underwater cultural heritage shall not be commercially exploited ”
yang artinya “bahwa warisan budaya bawah air tidak boleh dieksploitasi secara
komersial.”18
Konvensi ini mengharuskan negara pihak bekerja sama dalam perlindungan
warisan budaya bawah air,19 melestarikan warisan budaya bawah air untuk
kepentingan kemanusiaan, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk
16

United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 1833 U.N.T.S. 3 [UNCLOS],
pasal 149
17
Ibid., pasal 303
18
UCH Convention , op. cit., pasal 2(7)
19
Ibid., pasal 2(2)

melindungi warisan budaya bawah air berdasarkan konvensi dan hukum
internasional.
c. International Convention on Salvage 1989
Konvensi ini menggantikan Brussels Convention on Salvage tahun 1910,
yang sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai kapal karam bersejarah.
Konvensi ini mempunyai pengaturan yang berbeda terhadap harta karun,
dimana konvensi ini berfokus pada upaya penyelamatan terhadap bangkai kapal
beserta muatannya dalam ruang lingkup yang lebih spesifik dibanding konvensikonvensi lain. Upaya penyelamatan dimaksudkan sebagai tindakan atau kegiatan
untuk membantu kapal berserta muatannya yang sedang dalam bahaya.20
Ketentuan dalam konvensi ini mengatur mengenai imbalan bagi salvor yang
berhasil melakukan pemulihan atas bangkai kapal beserta muatannya21, kriteria
pemberian imbalan,22 serta pemberian imbalan khusus.23
Konvensi ini memiliki istilah no cure, no pay, yang berarti salvor hanya
akan diberi penghargaan/imbalan atas jasanya menemukan bangkai kapal, dengan
kata lain jika upaya pemulihan berhasil dilakukan.
Konvensi ini juga mengatur mengenai pemberian imbalan khusus, yaitu jika
salvor melakukan upaya untuk mencegah terjadinya polusi di lingkungan laut
namun tidak berhasil melakukan upaya penyelamatan, konvensi ini memberikan
sedikit imbalan bagi salvor tersebut, meskipun hanya memiliki sedikit
keberhasilan pemulihan bangkai kapal beserta muatannya.

B. KONSEP KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI
PERAIRAN INTERNASIONAL
1. Pengertian Perairan Internasional
Lokasi dan status dari bangkai kapal adalah hal penting dalam menentukan
siapa yang memiliki hak untuk menemukan kapal. Misalnya, sebuah bangkai
kapal ditemukan di wilayah suatu negara akan tunduk kepada hukum domestik
negara tersebut.24
Namun isu mengenai bangkai kapal yang ditemukan di perairan
internasional tidaklah jelas pengaturannya, terkadang ada berbagai klaim
kepentingan antara salvors, pemilik asli, pihak asuransi, negara, dan pemerintah
negara.25
Perairan internasional merupakan perairan yang berada di luar yurisdiksi
nasional suatu negara.26 Dalam hukum internasional, perairan yang berada diluar
20

International Convention on Salvage 1989, 1953 UNTS 193, S. Treaty Doc. No. 102-12,
102d Cong., 1st Sess. (1991), pasal 1(1)
21
Ibid., pasal 12
22
Ibid., pasal 13
23
Ibid., pasal 14
24
Louis B. Sohn & John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea 2nd ed.,
(Leiden, Netherlands: Traansnational Publishers Inc., 2004), hal. 645
25
Craig Forrest, Historic Wreck Salvage: An International Perspective , 33 Tul. Mar. L.J.
347 (2009), hal. 348
26
Dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/International_waters [diakses tanggal 31
Maret 2015]

yurisdiksi negara disebut dengan laut lepas. Laut lepas sendiri merupakan wilayah
yang terbuka bagi seluruh negara27, sehingga tidak ada satu negarapun yang dapat
mengklaim wilayah laut lepas sebagai wilayah kedaulatannya.28
Bangkai kapal beserta muatannya sendiri tidak mengambang di atas laut,
khususnya di laut lepas, namun berada didasar laut atau disebut dengan kawasan
(area ). Kawasan sendiri merupakan dasar laut atau samudera dan lapisan tanah
dibawahnya yang berada diluar batas yurisdiksi nasional suatu negara, 29 yaitu di
luar batas-batas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang berada di
bawah yurisdiksi negara pantai. Sama seperti laut lepas, negara juga tidak dapat
mengklaim kedaulatan di wilayah kawasan ini.30
2. Kepemilikan Berdasarkan
Nations)/Jus Gentium

Hukum

Bangsa-Bangsa

(Law

of

a. Hukum Penyelamatan (Law of Salvage)
Secara umum, law of salvage merujuk kepada konsep upaya penyelamatan
terhadap nyawa dan harta dari bahaya-bahaya yang terjadi di laut.31 Prinsipnya
adalah bahwa pihak tertentu yang berhasil menyelamatkan seseorang atau
kekayaan dari laut berhak atas sebuah penghargaan dari pemilik kekayaan yang
diselamatkan.32
Pada dasarnya, law of salvage adalah bentuk imbalan yang diberikan oleh
hukum maritim dalam menyelamatkan kekayaan maritim yang berisiko oleh
mereka yang tidak memiliki kewajiban hukum untuk membantu.33
Pada umumnya, para penyelamat (salvagers) tidak memperoleh hak atas
kekayaan yang diselamatkan dan pemilik asli tetap mempertahankan haknya
sampai kekayaan tersebut diabaikan.34 Kapal penyelamat (salvor ) memegang hak
jaminan atas kekayaan tersebut, sehingga memungkinkan untuk melakukan
gugatan terhadap kapal kargo yang diselamatkan (in rem action). Salvor juga
memiliki hak kepemilikan atas kekayaan tersebut sampai imbalan atas upaya
penyelamatan tersebut diadili (possessory right).35
Ketika tidak ada kontrak/perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang
terkait mengenai upaya penyelamatan, ada tiga unsur untuk mengklaim upaya
penyelamatan yang sah, yaitu kekayaan tersebut harus:
27

UNCLOS pasal 87
Ibid., pasal 89; Malcolm N. Shaw, International Law, 6th ed., (United Kingdom:
Cambridge University Press, 2008), hal. 492
29
UNCLOS, op. cit., pasal 1 (1); UCH Convention , op. cit., pasal 1 (5)
30
Ibid, pasal 137 (1)
31
Rob Regan, When Lost Liners Become Found: An Examination of the Effectiveness of
Present Maritime Legal and Statutory Regimes for Protecting Historic Wrecks in International
Waters With Some Proposals for Change , 29 Tul. Mar. L.J. 313 (2005), hal. 321; Simon W.
Tache, The Law of Salvage: Criteria for Compensation of Public Service Vessels , 9 Mar. Law. 79,
(1984), hal. 82 – 84
32
Edgar Gold, et al, Maritime Law (Essential of Canadian Law), (Toronto, Canada: Irwin
Law, 2003), hal. 594
33
Jean F. Rydstrom, loc. cit
34
Kevin Berean, Sea Hunt, Inc. v. Unidentified Shipwrecked Vessel or Vessels: How The
Fourth Circuit Rocked the Boat, 67 Brook. L. Rev. 1249 (2002), hal. 1254
35
Justin S. Stern, Smart Salvage: Extending Traditional Maritime Law to Include
Intellectual Property Rights in Historic Shipwrecks , 68 Fordham L. Rev. 2489 (2000), hal. 2498
28

1) dalam risiko/bahaya laut (marine peril);
2) berhasil diselamatkan secara keseluruhan atau sebagian;
3) dilakukan dengan sukarela oleh salvagers.36
Ketiga unsur tersebut telah dikodifikasi sebagai bagian dari 1910 Assistance and
Salvage Convention yaitu pada pasal 7 dan 8, dan dalam perkembangannya
konvensi ini telah digantikan oleh Salvage Convention 1989.
Ketika menentukan penghargaan atas penyelamatan yang telah dilakukan,
Salvage Convention 1989 menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi 37,
diantaranya:
1. Nilai kapal yang diselamatkan dan kekayaan lainnya
2. Keterampilan serta usaha dari salvors dalam mencegah atau
meminimalisir kerusakan lingkungan
3. Ukuran keberhasilan yang diperoleh salvors
4. Sifat dan tingkat bahaya yang dihadapi
5. Kemampuan serta usaha dari salvors dalam menyelamatkan kapal,
kekayaan lain dan nyawa
b. Hukum Penemuan (Law of Finds)
Konsep lama tentang „penemu, penjaga‟ (finders, keepers) diwujudkan
dalam law of finds. Jika kekayaan diabaikan oleh pemiliknya, law of finds
memperlakukannya seolah-olah kekayaan tersebut kembali ke keadaan awal tanpa
ada pemilik sebelumnya.38 Bahkan jika ada pemilik kekayaan tersebut, pengadilan
menganggap bahwa pemilik tersebut tidak ada lagi, sehingga salvager diberikan
hak penuh atas kapal bukan sekedar possessory rights seperti dalam law of
salvage.39
Pengadilan telah menyatakan bahwa untuk memperoleh hak atas bangkai
kapal dalam law of finds, salvor haruslah penemu yang pertama, untuk:
1) menunjukkan niat/maksud untuk mendapatkan kekayaan dan memperoleh
kepemilikan atau pengawasan yang sebenarnya; dan
2) menunjukkan bahwa kekayaan tersebut diabaikan.40
Untuk menentukan bahwa kekayaan telah diabaikan, pengadilan memiliki
tiga cara berbeda untuk menentukan pengabaian, termasuk:
1) penolakan atas kepemilikan oleh pemilik;
2) implikasi dari tidak aktifnya seorang pemilik; atau
3) berlalunya waktu dan kurangnya identifikasi pemilik.41
Namun, penggunaan law of finds ini dapat meningkatkan kekhawatiran
tentang perilaku dari penemu. Calon pencari didorong oleh aturan-aturan ini untuk
bertindak diam-diam, dan untuk menyembunyikan tindakan pemulihan yang

36

Thomas J. Schoenbaum, Admiralty and Maritime Law 4th ed., (United States:Thomson
West, 2004), section 16 – 1
37
International Convention on Sa lvage 1989, op. cit., pasal 13
38
Hener v. United States, (1981) 525 F. Supp. 350 (United State District Court New York),
hal. 354
39
James Paul, Salvaging Sunken Shipwrecks: Whose Treasure Is It? A Look at the
Competing Interests for Florida’s Underwater Riches, 9 J. Land Use & Envt‟l. L. 347 (1994), hal.
349
40
Kevin Berean, loc. cit
41
Ibid., hal. 1254

mereka lakukan, untuk menghindari klaim dari pemilik sebelumnya atau calon
pencari lain yang bisa menghalangi mereka untuk memiliki kekayaan tersebut.
3. Kepemilikan Menurut Konvensi – Konvensi Internasional
a. Warisan Bersama Umat Manusia (Principle of Common Heritage
of Mankind)
Salah satu sumber hukum internasional yang harus dipertimbangkan ketika
menentukan hak kepemilikan suatu pihak dalam kaitannya dengan kapal karam
bersejarah yang berada di perairan internasional adalah UNCLOS. Terdapat 167
negara yang telah meratifikasi UNCLOS.42 Bagaimanapun, UNCLOS telah
diterima secara luas dan merupakan hukum kebiasaan serta telah menjadi rujukan
dalam konstitusi komprehensif untuk hukum laut.43
UNCLOS sendiri menjelaskan dan mendukung bahwa objek – objek historis
dan arkeologis yang ditemukan di perairan internasional diperuntukkan bagi
kepentingan umat manusia.
Begitu juga dengan UCH Convention yang menyatakan bahwa negara pihak
konvensi dimana harta karun tersebut secara fisik berada padanya, harus
memastikan kedudukannya untuk kepentigan umum, begitu juga untuk keperluan
konservasi dan penelitian, untuk kepentingan koleksi, kemudahan akses oleh
masyarakat untuk pendidikan.44
b. Hak-Hak Istimewa Negara Asal (Preferential Rights of State of
Origin )
Rezim hukum warisan bersama umat manusia warisan budaya bawah air di
wilayah Kawasan pasal 149 UNCLOS, pasal 12(6) dan pasal 18(4) UCH
Convention juga merujuk kepada hak-hak istimewa dari negara tertentu dan
menghendaki agar perhatian khusus harus diberikan terhadap hak ini dalam
menentukan nasib objek – objek tersebut.
Hak istimewa pada akhirnya dirundingkan dan dikodifikasi dalam pasal 149
UNCLOS dan pasal 12(6) UNESCO Convention 2001. Konvensi - konvensi ini
berkaitan dengan hak negara asal sehingga memiliki kewenangan atas warisan
budaya bawah air.
Fakta bahwa pasal 149 merujuk kepada hak istimewa dari ketiga kategori
negara, yaitu: negara asal (country of origin); negara asal budaya (state of cultural
origin); dan negara asal historis dan arkeologis (state of historical and
archeological origin); tidak berarti bahwa istilah-istilah ini dilihat sebagai pilihan
yang terpisah.
Konvensi UNESCO 2001 menggunakan istilah verifiable link untuk
menyatakan adanya tiga jenis kepentingan negara dalam warisan budaya bawah
air yaitu hubungan budaya, historis, ataupun arkeologis. Rumusan yang tepat dari
konsep verifiable link digunakan dalam konvensi tersebut menyarankan bahwa
42

Terdapat 167 negara yang menandatangani sampai tanggal 07 Januari 2015 dapat diakses
pada http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm (diakses
tanggal 03 Maret 2014)
43
Tommy T.B. Koh, A Constitution for the Oceans, dalam Myron H. Nordquist,
Connvention on the Law of the Sea 1982: A Commentary (Leiden, Netherlands:Martinus Nijhoff,
1985), hal. 11
44
UCH Convention , op. cit., pasal 18

setidaknya ada potensi negara untuk menyatakan bahwa mereka memiliki
hubungan yang memiliki kulifikasi dan dapat diverifikasi, sesuatu diluar budaya,
historis, dan arkeologis.45
c. Kekebalan Berdaulat (Sovereign Immunity)
Sepanjang sejarah, kapal perang dan kapal lainnya dalam dinas
pemerintahan sudah diberikan perlindungan khusus dalam konsep sovereign
immunity, yang mengecualikan sebuah kapal perang atau kapal pemerintah
lainnya yang dalam dinas yang bersifat non komersil dari yurisdiksi negara lain.46
Doktrin kekebalan kapal perang (warship immunity) pertama sekali di
kodifikasi secara internasional dalam 1910 Brussels Salvage Convention.47 Kapal
perang berhak atas kekebalan terhadap negara-negara yang bukan negara bendera
kapal (non-flag states) berdasarkan UNCLOS, dimana pasal 32 memberikan
kekebalan terhadap kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang digunakan
untuk tujuan-tujuan non-komersial. Berdasarkan UCH Convention, kapal yang
memiliki sovereign immunity juga dikecualikan dari penemuan warisan budaya
bawah air.48
Pasal 95 menyatakan bahwa kapal perang yang ada di laut lepas memiliki
kekebalan penuh dari yurisdiksi negara lain selain dari negara bendera. Hak
kekebalan dapat didefinisikan sebagai doktrin hukum yang menyangkut
perlindungan yang diberikan suatu negara dari gugatan yang diajukan di
pengadilan negara lain. Sebuah kapal, yang mungkin saja kapal karam, dimiliki
oleh negara akan dilindungi dengan kekebalan, dan untuk itu kebal dari bentuk
penangkapan maupun yurisdiksi pengadilan negara lain.
Kekebalan sering kali ditentang oleh kepentingan lain misalnya kepentingan
umum untuk melindungi warisan budaya kapal tersebut beserta muatannya. Selain
itu, meskipun negara memiliki hak kekebalan atas sebuah kapal karam, hal ini
tidak meniadakan pemilikan pribadi atas kapal beserta kargonya.49
C. PENYELESAIAN ISU KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG
DITEMUKAN DI PERAIRAN INTERNASIONAL
1. Latar Belakang Munculnya Isu Kepemilikan Terhadap Harta Karun
yang Ditemukan di Perairan Internasional
Upaya penyelamatan merupakan bisnis yang sangat membutuhkan modal
yang sangat intensif. Upaya ini tidak dapat berjalan tanpa peralatan seperti kapal
penarik yang besar, dan seperangkat peralatan yang mahal. Dalam industri dengan
modal besar kebanyakan investasinya didasarkan pada analisis pengembalian
modal yang digunakan. Dalam pasar ekonomi klasik, jika modal berinvestasi di
Patrick J. O‟Keefe, Shipwrecked Heritage: A Commentary on the UNESCO Convention
on Underwater Cultural Heritage , (United Kingdom: Institute of Art and Law, 2002), hal. 70
46
Geoffrey Brice, Maritime Law of Salvage 3rd ed., (London : Sweet and Maxwell, 1999),
hal. 148-152
47
Frederic A. Eustis, The Glomar Explorer Incident: Implications for the Law of Salvage ,
16 Va. J. Int'l. L. 177, (1975), hal. 179
48
UCH Convention , op. cit., pasal 13
49
Craig Forrest, An International Perspective on Sunken State Vessels as Underwater
Cultural Heritage, Ocean Development and International Law, Vol. 34, Issue 1 (2003), hal. 41-57
45

suatu perusahaan tidak menghasilkan lebih banyak uang daripada sektor lain maka
tidak ada insentif untuk berinvestasi di sektor tersebut.50
Karena adanya insentif keuntungan yang akan diperoleh, hal itu mendorong
terjadinya kompetisi, menyebabkan ledakan teknologi, yang berakibat terhadap
tingkat penemuan yang belum pernah terjadi.51 Hal itu berarti tanpa insentif
tersebut akan sedikit kompetisi diantara perusahaan/penyelamat, sedikit
perkembangan teknologi, dan untuk itu sedikit kapal karam dan muatannya yang
akan ditemukan.52
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, timbulnya isu kepemilikan terhadap
harta karun juga tidak terlepas dari berbagai kepentingan yang saling bersaing
dalam memperolah hak kepemilikan yang sah atas penemuan bangkai kapal
beserta muatannya.
2. Berbagai Kepentingan (Competing Interest) Dalam Isu Kepemilikan
Harta Karun
a. Kepentingan Arkeologi (Archeological Interest)
Pandangan arkeolog dalam hal ini adalah mulai dari menganjurkan
pemeliharaan bangkai kapal yang ditemukan dan muatannya sampai kepada
keyakinan bahwa penyelamatan dewasa ini memperlihatkan perlindungan terbaik
atas warisan budaya bawah air dari aktivitas manusia di laut. Namun, komunitas
arkeologi sangat memperhatikan perolehan pengetahuan tentang masa lalu.53
Mereka memperhatikan pertanyaan penelitian terkemuka mengenai masa lalu
manusia pada satu sisi dan pertanggungjawaban pengaturan warisan nasional
maupun internasional di sisi lain.54
Negara – negara berdaulat dan para arkeolog tidak menyetujui penerapan
hukum penyelamatan dalam perbandingannya dengan rezim hukum baru yang
secara khusus dibuat untuk melindungi kapal – kapal karam bersejarah sebagai
warisan budaya.55
b. Kepentingan Komersil (Commercial Interest)
Perusahaan eksplorasi kapal karam komersil berpendapat bahwa hukum
penyelamatan saat ini dibutuhkan untuk melindungi kapal karam yang sedang
dalam bahaya penghancuran. Perusahaan ini memiliki teknologi, kemampuan, dan
alasan untuk menemukan kapal-kapal yang tengah dalam kedaan bahaya sebelum
dihancurkan.

50

Andreas Tsavliris, President of International Salvage Union Paper for International Tug
Salvage and OSV Convention, The Challenges Facing The Salvage Industry (2012), dapat diakses
pada http://www.marine-salvage.com/media-information/conference-papers/the-challenges-facingthe-salvage-industry/ [diakses tangggal 28 Februari 2015]
51
Amber Crossman Cheng, loc. cit
52
Christopher R. Bryant, The Archaeological Duty of Care: The Legal, Professional, and
Cultural Struggle Over Salvaging Historic Shipwrecks , 65 Alb. L. Rev. 97 (2001), hal 106
53
James P. Delgado, The Trouble With Treasure, Naval History: Augustus 2010, Vol. 24
Issue 4, hal. 21
54
Elizabeth S. Greene, op. cit., hal. 313
55
Ole Varmer, The Case Against the “Salvage” of the Cultural Heritage, 30 J. Mar. L. &
C0m. 279 (1999), hal. 280

Perusahaan eksplorasi kapal karam komersil lebih lanjut menyatakan bahwa
motif berbasis profit sangat penting karena menyelamatkan kapal karam, terutama
yang bernilai sejarah, sangat mahal. Karena perusahaan telah menghabiskan
banyak waktu untuk penelitian dan peralatan yang bernilai jutaan dollar serta
penempatan tenaga ahli, keuntungan ekonomi sangatlah penting untuk
keberlangsungan perusahaan semacam itu..
Mereka yang memiliki kepentingan komersil berpendapat bahwa
perusahaan berbasis keuntungan harus diperbolehkan dan didukung untuk
menyelamatkan bangkai kapal karena industri semacam itu memiliki modal dan
pengalaman yang cukup untuk melaksanakan upaya penyelamatan, sementara
banyak pemerintahan dan akademik arkeologi tradisional tidak dapat
melakukannya. Menempatkan tugas semacam itu pada negara untuk menemukan
dan memulihkan bangkai kapal dapat menyebabkan pembekuan pemulihan dan
potensi kerugian kapal terancam semakin besar.56
c. Kepentingan Umum (Public Interest)
Akhir dari perdebatan antara kepentingan arkeologi dan kepentingan
komersil perusahaan eksplorasi kapal karam adalah kepentingan publik.
Kepentingan yang dipergunakan untuk umum dapat disimpulkan sebagai
kepentingan bagi pembelajaran implikasi sejarah dan budaya yang ada pada
bangkai kapal. Kepentingan ini memiliki kecenderungan untuk saling
bertentangan yaitu antara para arkeolog dan perusahaan eksplorasi kapal karam.
Sebagai contoh, ketika kapal karam bersejarah ditemukan, para arkeolog mungkin
tidak menginginkan artefak tersebut untuk dipindahkan atau diganggu.
Para arkeolog memiliki kecenderungan untuk menjadi pihak tunggal untuk
melindungi artefak dan melupakan alasan awal mengapa perlindungan tersebut
diperlukan.57 Sebaliknya, penyelamat tentu saja ingin menjual artefak yang telah
diselamatkan untuk mengganti biaya operasi penyelamatan dan menerima
kompensasi atas waktu dan usahanya.58
Sejalan dengan itu, perusahaan eksplorasi kapal karam komersial harus
diizinkan untuk mendapatkan keuntungan dari kapal karam bersejarah jika mereka
mampu menambah dokumentasi sejarah dengan menyediakan informasi artefak
budaya atau sejarah lainnya kepada publik.
3. Bentuk Penyelesaian Isu Kepemilikan Atas Harta Karun di Perairan
Internasional
a. Melalui Pengadilan/Litigasi
Hukum internasional saat ini mengatur bahwa perairan internasional
merupakan wilayah dimana tidak satu negarapun dapat secara sah mengklaim
bagian dari laut lepas menjadi kedaulatannya.59

Jeremy Neil, op.cit., hal. 906 – 908
Ibid., hal. 907
58
Allison Leigh Richmond, Scrutinizing the Shipwreck Salvage Standard: Should A Salvor
Be Rewarded For Locating Historic Treasure? 23 N.Y. Int'l L. Rev (2010), hal.118
59
UNCLOS, op cit., pasal 89
56

57

Namun yurisdiksi pengadilan suatu negara dapat memperluas otoritas
yurisdiksinya atas bangkai kapal yang terletak di perairan internasional melalui
teori constructive in rem jurisdiction.60
In rem jurisdiction digunakan ketika kapal berada di wilayah perairan
teritorial pengadilan tertentu, dan "res" atau properti berada dalam yurisdiksi yang
pengadilan tersebut.61 Dengan demikian, constructive in rem jurisdiction
merupakan perpanjangan dari in rem jurisdiction, digunakan ketika kapal berada
di luar batas-batas teritorial suatu negara.62 Berdasarkan constructive in rem
jurisdiction, bagian dari kapal harus dibawa ke dalam batas-batas geografis
yurisdiksi suatu pengadilan. Diasumsikan bahwa "res" secara hukum merupakan
suatu keseluruhan yang terpisahkan, dan dengan demikian doktrin ini
memungkinkan bagian dari kapal tersebut untuk memenuhi persyaratan yurisdiksi
dalam mewakili seluruh bangkai kapal.63
Beberapa penyelesaian kasus kepemilikan bangkai kapal yang ditemukan di
perairan internasional oleh pengadilan nasional suatu negara diantaranya:
1) Penyelesaian Kasus Bangkai Kapal Black Swan
Pada Maret 2007, sebuah perusahaan Amerika yang bergerak di bidang
eksplorasi kapal karam, Odyssey Marine Exploration, Inc. (OME) menemukan
bangkai kapal yang disebut sebagai Black Swan, di wilayah perairan internasional
sekitar 100 mil dari sebelah barat Selat Gibraltar. OME memulihkan sekitar
500.000 koin perak dan emas dari Black Swan seberat 17 ton dan diperkirakan
bernilai 500 juta dollar Amerika.64
Selama penggunaannya, kapal tersebut melaksanakan baik misi resmi
pemerintahan maupun misi yang bersifat komersil.65 Misalnya, kapal tersebut
berpartisipasi dalam pertempuran, mengangkut pasukan, muatan/barang dan
pejabat tinggi pemerintah.66 Sebaliknya, Mercedes juga melaksankan misi untuk
mengantarkan surat, penumpang pribadi, dan pengiriman barang-barang
dagangan.
Pengadilan Distrik Florida kemudian pada tanggal 03 Juni 2009
menyimpulkan bahwa kapal tersebut adalah Mercedes, yang tunduk pada
sovereign immunity Kerajaan Spanyol, sehingga pengadilan distrik tidak memiliki
yurisdiksi untuk mengadili klaim ini dan bahwa koin – koin tersebut harus
dikembalikan kepada Spanyol.67
60

Jeremy Neil, op. cit., hal. 903
Ibid., hal. 902
62
Ibid; Craig Forrest, op cit., hal. 354 – 355
63
California v. Deep Sea Research (1998), 523 U.S. 491 (United States 9th Cir.), hal. 499 –
61

500
64

Odyssey Marine Exploration, Inc. v. Unidentified, Shipwrecked Vessel (2009), 675
F.Supp.2d 1126 (Middle District of Florida.), [OME I] hal. 1134; Amber Crossman Cheng, op.
cit., hal. 700; Craig Forrest, op. cit., hal. 352; Press Release, Odyssey Marine Exploration,
Odyssey to Request En Banc Hearing in Black Swan Case to Address Contradictions in Eleventh
Circuit's Ruling (Sept. 21, 2011) dapat diakses pada http://www.shipwreck.net/pr231.php [Press
Release II] [diakses tanggal 03 Maret 2015]
65
Ibid.,
66
Press Release, Odyssey Marine Exploration, Odyssey Will Object to Magistrate's
Recommendation to Dismiss Black Swan Case (June 3, 2009) dapat diakses pada
http://www.shipwreck.net/prl 80.php [Press Release I] [diakses tanggal 03 Maret 2015]
67
OME I, op. cit., hal. 1126, 1148

Pada bulan September 2011, Pengadilan Banding Amerika Serikat di
Atlanta (11th Circuit of Appeals) setuju dengan putusan pengadilan distrik bahwa
kapal tak dikenal itu sebenarnya Nuestra Senora de las Mercedes dan
memutuskan bahwa OME harus mengembalikan 17 ton koin perak dan harta
lainnya yang telah dipulihkan untuk pemerintah Spanyol.
2) Penyelesaian Kasus Bangkai Kapal SS Central America
SS Central America dan muatan emasnya tidak pernah diketahui mulai dari
tahun 1857 sampai tahun 1988, sampai pada bulan September 1988, setelah
banyak usaha dan biaya, Columbus-America Discovery Group berhasil
menemukan bangkai kapal tersebut, 160 mil dari lepas pantai South Carolina,
8000 meter di bawah permukaan Samudera Atlantik.68 Kemudian ColumbusAmerica memulai operasi penyelamatan pada tahun 1989 dengan memulihkan
emas bernilai jutaan dollar dengan estimasi total kargo senilai satu miliar dolar.
Akibatnya, muncullah proses litigasi untuk menentukan hak kepemilikan
atas emas yang sudah dipulihkan. Pihak-pihak yang mengklaim kepemilikan
diantaranya Columbus-America , yang menyatakan pengabaian atas kapal tersebut
dan Atlantic Mutual Insurance Company yang terdiri dari penjamin asli dari emas
yang hilang tersebut yaitu pengawas asuransi New York, dan mewakili
perusahaan asuransi lainnya, termasuk salvors lain.
4th Circuit of Appeals membatalkan putusan tersebut. Pilihan yang
ditentukan oleh pengadilan dalam kasus terhadap penerapan law of salvage
daripada law of finds diadopsi oleh 4th Circuit dalam Columbus-America
Discovery Group v. Atlantic Mutual Insurance Co.69 Pengadilan menyimpulkan
law of salvage harus diterapkan, bahwa SS. Central America tidak diabaikan, dan
bahwa Columbus-America hanya berhak atas penghargaan penyelamatan.
3) Penyelesaian Kasus Bangkai Kapal RMS Ttitanic
Kapal penyelamat pertama yang mulai penggalian artefak adalah sebuah
perusahaan Amerika, Titanic Ventures, Ltd (yang kemudian mengalihkan saham
mereka ke RMS Titanic, Inc.).
Pada tahun 1993, RMS Titanic Inc. (salvor ) memohon agar Eastern District
of Virginia melaksankan constructive in rem jurisdiction terhadap Titanic. RMS
Titanic Inc. membawa serta botol minuman anggur dan barang-barang dari
bangkai kapal ke dalam wilayah Virginia untuk membantu pengadilan
memperoleh yurisdiksi tersebut.
Pengadilan banding, 4th Circuit Appeals kemudian memutuskan pada
tanggal 28 April 1999 bahwa pengadilan distrik telah keliru menerapkan
perluasan law of salvage untuk memberikan RMS Titanic Inc. hak eksklusif untuk
mengunjungi, melihat, mengambil foto bangkai kapal, dan lokasi bangkai kapal di
perairan internasional.
Perluasan hak penyelamatan oleh pengadilan distrik untuk memberikan hak
eksklusif untuk mengambil foto begitu juga merekam gambar bangkai kapal
dengan tujuan untuk memberikan kompensasi kepada salvor atas usahanya
68

Drew F. T. Horrell, Note, Telepossession is Nine-Tenths of the Law: The Emerging
Industry of Deep Ocean Discovery, 3 Pace Y.B. Int'l L. 309 (1991), hal.328 – 329
69
Todd B. Siegler, Finders Keepers Revised for the High Seas: Columbus-America
Discovery Group v. Atlantic Mutual Insurance, 17 Tul. Mar. L.J. 353 (1993), hal. 354

menyelamatkan dan memulihkan kekayaan Titanic dapat dikatakan aneh.
Pengadilan banding tidak setuju atas penggunaan law of salvage untuk
memberikan salvor hak eksklusif pada harta yang belum dipulihkan.
Singkatnya, pengadilan banding membatalkan perintah pengadilan distrik
untuk melarang kunjungan, pencarian, kegiatan penelitian, pengambilan gambar
bangkai kapal maupun lokasi bangkai kapal selama hal itu tidak menggangu hak
penyelamatan RMS Titanic Inc.
b. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama
Suatu perjanjian memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan kerangka
hukum yang berlaku saat ini.
Pertama, perjanjian akan menghindari kerumitan proses pengadilan dan
membiarkan para pihak untuk mengatur hasilnya.
Kedua, suatu bentuk kerjasama akan terhindar dari masalah dalam UCH
Convention. Konvensi ini berlaku untuk menghilangkan motif keuntungan dari
perusahaan eksplorasi kapal karam komersil, memberi beban pada negara untuk
menginvestasikan keperluan untuk penelitian, pencarian, dan mengeksplorasi
kapal, dengan demikian menghambat kemampuan dunia untuk menemukan,
melindungi, melestarikan dan mempelajari kapal karam bersejarah tersebut.
Ketiga, suatu perjanjian kerjasama akan menghilangkan masalah kekeliruan
saat ini, ketiadaan teknik dan standar penyelamatan yang seragam, dan kebutuhan
partisipasi komunitas arkeologi.
Contoh terbaik dalam bentuk perjanjian kerjasama dalam penemuan harta
karun di perairan internasional adalah Sussex Agreement.
Pada tahun 2001, OME menemukan sebuah bangkai kapal (yang diyakini
sebagai HMS Sussex) di perairan internasional dari pesisir pantai Gibraltar.70
Pada tahun berikutnya, OME membuat Sussex Agreement, sebuah perjanjian
kerjasama penggalian arkeologi pertama yang pernah ada.71
Sussex Agreement merupakan suatu perjanjian penting dan inovatif karena
menciptakan sebuah contoh yang mengakui pentingnya pendidikan budaya,
memberikan ruang pengawasan oleh pemerintah dan arkeolog, dan tetap
mempertahankan rangsangan nilai komersil bagi perusahaan. Sussex Agreement
menyatukan kepentingan seluruh kelompok, dengan menghindari biaya dan waktu
yang lama dalam suatu pengadilan.

70

Craig Forrest, op. cit., hal. 351; HMS Sussex Project Overview, Odyssey Marine
Exploration dapat diakses pada http://www.shipwreck.net/hmssussex.php [diakses tanggal 04
Februari 2015]
71
Jeremy Neil, op. cit., hal. 917

PENUTUP
Kesimpulan
1. Harta karun telah dikodifikasi ke dalam pengaturan internasional, yakni
terdapat dalam ketentuan UNCLOS, UCH Convention 2001, serta
International Convention on Salvage 1989. Pengaturan hukum internasional
mengenai harta karun menjadikan perlindungan dan pelestarian harta karun
itu sendiri menjadi hal prioritas dalam daftar kewajiban masyarakat
internasional khususnya terhadap bangkai kapal beserta muatannya yang
berada di perairan internasional.
2. Terdapat keberagaman konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di
perairan internasional baik dalam lingkup nasional maupun internasional,
yakni law of finds, law of salvage, dan warisan bersama umat manusia, hak
istimewa negara asal, dan kedaulatan berdaulat.
3. Proses pengadilan yang memakan waktu yang lama dan biaya yang sangat
mahal memunculkan gagasan untuk dapat menghidari kerugian yang lebih
banyak nantinya, yaitu dengan cara melakukan perjanjian kerjasama antara
penemu bangkai kapal dengan pemilik/negara asal bangkai kapal berserta
muatannya tersebut untuk mewakili seluruh kepentingan dan menyelesaikan
banyak kekurangan – kekurangan pada kerangka hukum saat ini.
Saran
1. Bagi hukum internasional positif, sebaiknya perlu diadakan penambahan
konsep kepemilikan yang jelas, diantaranya pengaturan yang lebih rinci
mengenai kepemilikan privat dan kepemilikan publik terhadap kapal – kapal
yang karam di dasar laut lepas internasional, sehingga para penegak hukum
dapat memutus berdasarkan peraturan yang seragam di setiap negara tanpa
adanya penafsiran yang berbeda – beda.
2. Sudah saatnya bagi perusahaan eksplorasi kapal karam yang melakukan
operasi penyelamatan harta karun untuk mencegah timbulnya sengketa atas
penemuannya dengan cara mengadakan perjanjian kerjasama dengan pihak
lain yang sudah teridentifikasi memiliki hubungan dengan objek temuan
tersebut. Begitu juga sebaliknya agar negara melakukan upaya pendekatan
serupa kepada perusahaan komersil untuk bersama-sama mengadakan
perjanjian kerjasama.
3. Perlu adanya kewenangan/yurisdiksi yang jelas dalam memutus sengketa
yang berkaitan dengan penemuan harta karun di perairan internasional.
Seperti yang diketahui bahwa pengadilan nasional setiap negara memiliki
derajat yang sama, sehingga belum tentu putusan pengadilan suatu negara
dapat diterima diterima di negara lain. Untuk itu perlu adanya kehadiran
suatu lembaga/badan khusus yang bertugas untuk menyelesaikan klaim
kepemilikan terhadap harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Brice, Geoffrey, Maritime Law of Salvage, 3rd ed ., London: Sweet and Maxwell,
1999
Gold, Edgar, et al, Maritime Law (Essential of Canadian Law), Toronto, Canada:
Irwin Law, 2003
Koh, Tommy T.B., A Constitution for the Oceans, in: Connvention on the Law of
the Sea 1982: A Commentary, Myron H. Nordquist, eds., Leiden,
Netherlands:Martinus Nijhoff, 1985
L., Gernhardt M., Biomedical and Operational Considerations for SurfaceSupplied Mixed-Gas Diving to 300 FSW, in: Proceedings of Advanced
Scientific Diving Workshop, Lang M.A and Smith N.E eds., Washington,
DC: Smithsonian Institution, 2006
Schoenbaum, Thomas J., Admiralty and Maritime Law 4th ed., United States:
Thomson West, 2004
Shaw, Malcolm N., International Law, 6th ed., United Kingdom: Cambridge
University Press, 2008
Sohn, Louis B. dan John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea
2nd ed., Leiden, Netherlands: Transnational Publishers Inc., 2004
Jurnal
Allison Leigh Richmond, Scrutinizing the Shipwreck Salvage Standard: Should A
Salvor Be Rewarded For Locating Historic Treasure? 23 N.Y. Int'l L. Rev
(2010)
Amber Crossman Cheng, All In The Same Boat? Indigenous Property Rights in
Underwater Cultural Heritage, 32 Hous. J. Int‟l L. (2010)
Brooke Wright. Keepers, Weepers, or No Finders at All: The Effect of
International Trends on the Exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive
Law in the Salvage ofHistoric Wrecks, 33 Tul. Mar. L.J. 285 (2008)
Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In
International Waters, 19 U. Miami Int'l & Comp. L. Rev. 141 (2012)
Christopher R. Bryant, The Archaeological Duty of Care: The Legal,
Professional, and Cultural Struggle Over Salvaging Histori