HUBUNGAN GERAKAN REVOLUSI BOLIVARIAN TER

HUBUNGAN GERAKAN REVOLUSI BOLIVARIAN TERHADAP
NASIONALISASI PERUSAHAAN MINYAK SWASTA DI VENEZUELA

Oleh
FADHIL AKBAR KURNIAWAN
1110852004
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

Hubungan Revolusi Bolivarian Terhadap Nasionalisasi Perusahaan
Minyak di Venezuela
Latar Belakang
Jatuhnya rezim komunis pasca Cold War membawa perubahan yang begitu signifikan
terhadap tatanan sistem internasional. Uni Soviet yang menjadi representasi dari negara super
power dengan ideologi komunis harus mengakui kedigdayaan Amerika Serikat yang keluar
sebagai pemenang dalam Cold War. Amerika Serikat mulai meperluas pegaruhnya terhadap
bekas bekas negeri komunis melalui invasi dan operasi operasi intelijen rahasia. Kekuasaan
Amerika Serikat saat ini hampir mencapai 50% dari 500 (Multi national Coorporation) dan bank
bank terbesar di seluruh dunia dan juga ratusan misi-misi militernya 1. Namun, dominasi
kekuasaan imperialism Amerika Serikat mulai ditentang oleh beberapa negara, seperti di Irak dan

Afghanistan mulai bermunculan perlawanan oleh gerakan rakyat terhadap invasi invasi yang
dilakukan oleh Amerika Serikat dengan terjadinya konflik konflik bersenjata. Saat ini,
gelombang perlawanan rakyat terhadap globalisasi neoliberal diseluruh dunia mulai semakin
meningkat.
Gelombang perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap hegemoni AS juga terjadi di
beberapa negara di kawasan Amerika Latin, khususnya Venezuela. Dibawah kepemimpinan
Hugo Chavez yang belakangan menjadi sangat popular di kalangan rakyat jelata Venezuela mulai
terang-terangan menentang segala bentuk imperialis yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Trry
Lyn Karl mengemukakan bahwa pada kasus Venezuela, minyak merupakan faktor yang paling
penting dalam menjelaskan pembentukan kondisi struktural bagi kehancuran otoriterisme militer
dan kelangsungan suatu sistem yang demokratis2. Hal tersebut disebabkan minyak merupakan
komoditi vital yang secara universal paling dibutuhkan dalam menjalankan mekanisme pasar.
1

SERIAL, Perubahan Sejati Terbukti Bisa, Institut for Global of Justice, Jakarta 2006, hal 7

2

Terry Lyn Karl, “Minyak dan Fakta Politik: Transisi Menuju Demokrasi di Venezuela”, dalam Guilermo O’Donnell, et.Al,


Jakarta :LP3ES, 1993,hal.300

Venezuela merupakan salah satu negara di kawasan Amerika Latin dengan sumber
kekayaan alam yang melimpah, terutama dalam komoditi minyak bumi. Minyak bumi menjadi

salah satu sumber pendapatan devisa terbesar bagi Venezuela. Pada tahun 2003, Venezuela
menjadi negara pengekspor minyak bumi terbesar ke lima di dunia dan terbesar ketiga bagi
Amerika Serikat3. Selama dua dekade pelaksanaan agenda neoliberalisme yang dilakukan oleh
Amerika Serikat di Venezuela berdampak terhadap semakin terpuruknya perekonomian
Venezuela. Hal tersebut berdampak terhadap semakin meningkatnya pengangguran akibat dari
banyaknya perusahaan yang bangkrut dan melakukan PHK besar-besaran.
Hugo Chavez yang didukung oleh rakyat yang rata-rata berasal dari golongan menengah
ke bawah, menerapkan sebuah kebijakan ekonomi yang anti terhadap neoliberalisme. Organisasi
gerakan rakyat yang menentang kebijakan kapitalisme di kawasan Amerika Latin, khususnya di
Venezuela disebut dengan Lingkaran Bolivarian. Kebijakan yang diterapkan oleh Hugo Chavez
diantaranya yaitu dengan melakukan kontrol terhadap nilai tukar, prioritas ekonomi yang
berlandaskan terhadap nilai nilai keadilan4.
Chavez juga menerapkan kebijakan yang controversial yaitu dengan melakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan minyak PDVSA (Petroleos de Venezuela SA) yang merupakan
salah satu asset negara yang sebelumnya dikuasai oleh pemodal asing khususnya Amerika

Serikat. Venezuela menaikkan royalti terhadap setiap barel minyak yang diekspor Venezuela dari
1% menjadi 17%, dan juga pajak atas laba yang sebelumnya hanya 34% dinaikkan menjadi 50%
serta mengajukan tagihan pajak yang belum dibayar kepada perusahaan minyak asing.
Keuntungan yang berlipat ganda dari sektor migas tersebut dialokasikan untuk program-program
kesejahteraan sosial terhadap kaum miskin penduduk serta untuk membangun infrastruktur
seperti jalan raya dan juga rel kereta api yang ada di Venezuela5.
Pada akhir Desember 2012, Hugo Chavez melakukan nasionalisasi terhadap dua
perusahaan minyak asing yang beroperasi di Venezuela, yaitu ENI (Italia) dan TOTAL SA
(Perancis)6.
3

Mathew Riemer, Economic Welfare’s New Resistance, dalam www.yellowtime.org,
Wahid, Solahudin, Bangkitnya Kekuatan Amerika Latin Melawan AS, “The Jakarta Post”, edisi : Jakarta, 15 Agustus 2006
5
Swhartz, Nelson D. “Oil’s Mr. Big”, 3 Oktober, 2005. Hal. 55-60
6
Michelle Billig, “The Venezuela Oli Crisis: How To Secure America’s Energy”, in Foreign Affairs, Vol. 83, No.5, August 27,
2004, hal. 4
4


Nasionalisasi terhadap lapangan minyak yang dikelola oleh pihak asing tersebut
dijalankan oleh Venezuela dengan menerapkan sistem manajemen baru yang mengandung unsur
politik didalamnya, yaitu meliputi perjanjian politik antara negara dengan perusahaan7.

Selain itu, Pemerintahan Hugo Chavez juga mengharuskan beberapa puluh perusahaan
asing yang beroperasi di Venezuela untuk meninjau kembali atau memperbaharui kontraknya.
Chavez mengancam, apabila maskapai-maskapai asing tersebut tidak menyetujui perubahan
perubahan kontrak yang diusulkan oleh pemerintah, maka maskapai maskapai tersebut lebih baik
mencari keuntungan di negara lain. Sumber-sumber energi di Venezuela mulai dicengkram
secara ketat oleh Pemerintahan Hugo Chavez, dan juga mengancam para maskapai internasional
yang melawan kontrol pemerintah atas sumber-sumber minyak yang menjadi milik bangsa,
sehingga menyebabkan tidak satupun perusahaan asing yang memiliki saham mayoritas.
Untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya tersebut, Pemerintah Venezuela siap
menghadapi berbagai konfrontasi dan kecaman dari berbagai perusahaan-perusahaan asing yang
tidak menyetujui kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Venezuela. Venezuela
mengeluarkan ancaman terhadap perusahaan asing yang terlibat dalam konfrontasi semacam itu
agar mereka tidak dilibatkan dalam proyek-proyek minyak yang akan dating di Venezuela.
Sehingga pada akhirnya perusahaan-perusahaan Amerika Serikat seperti Exxon, Chevron,
Conoco Philips), juga perusahaan Eropa (British Petroleum dan Statoil), serta sekitar 20
perusahaan asing lainnya, secara sukarela menyetujui tawaran pemerintah Venezuela tersebut8.

Orinoco Belt Project yang sebelumnya dikontrol oleh enam perusahaan asing (Conoco
Philips, Chevron dan Exxon Mobile dari Amerikas Serikat bekerjasama dengan BP dari Inggris,
Statoil dari Norwegia dan Total dari Perancis), pengelolaanya kemudian dialihkan kepada
perusahaan minyak negara Venezuela yaitu PDVSA, yang akan mengendalikan sekurangkurangnya 60% dari proyek tersebut, dan keuntungan atas proyek tersebut akan dikembalikan ke
Venezuela. Orinoco Belt Project ini merupakan sebuah program yang bertujuan untuk
membangun salah satu cadangan minyak terbesar dunia ang berada di Venezuela9.
8

Ngadidjo, “Kebijakan Nasionalisasi di Venezuela di Bawah Hugo Chavez”, dalam www.itmiwordpress.com, edisi 7 November
2007

9

James Ingham,”Nationalization Sweep Venezuela”, dalam www.bbcnews.co.us, edisi 15 Mei 2007

Langkah

nasionalisasi

yang


dilakukan

Chavez

merupakan

upayanya

dalam

mengembalikan semua aset strategis negara yang dijual melalui proyek privatisasi oleh rezim
pemerintahan pro-liberalisme sebelum Chavez. Pada masa pemerintahan sebelum Chavez,

Venezuela dikenal sebagai negara yang sangat kooperatif dengan negara negara maju, khususnya
dengan Amerika Serikat (AS). Pada masa jabatan Carlos A. Perez sebagai presiden Venezuela,
hubungan dengan AS berjalan dengan baik dikarenakan Venezuela masih bergantung dalam soal
persenjataan bagi angkatan bersenjatanya. Sampai jatuhnya pemerintahan Perez dikarenakan
kasus korupsi, maka ditunjuklah Ramon Velasquez sebagai presiden sementara di Venezuela,
ternyata ia juga menjalin hubungan baik dengan AS terutama dalam pemberantasan jalur

perdagangan narkotika. Tidak berbeda dengan pendahulunya, Caldera Rodriguez juga
meningkatkan hubungan dengan AS, yang terlihat dengan adanya berbagai pertemuan antara
kedua negara untuk membahas upaya peningkatan hubungan bilateral, khususnya dalam bidang
ekonomi dan perdagangan. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan keadaan Venezuela
pada pemerintahan Hugo Chavez.
Dalam menjalankan politik luar negerinya yang anti-amerikanisme Presiden Hugo
Chavez menggariskan politik luar negeri dengan prinsip independensi Venezuela dan melawan
campur tangan Amerika Serikat dan turut berpartisipasi dalm pembentukan dunia yang berdasar
multipolar yaitu pendekatan dengan Eropa10. Chavez menawarkan minyak pemanas murah
kepada warga Eropa berpenghasilan rendah untuk membantu mereka melewati musim dingin.
Chavez menyampaikan tawaran tersebut dalam pidato kepada lebih dari seribu aktivis sayap-kiri
di Wina. Dalam rangka terciptanya dunia yang multipolar inilah Hugo Chavez mendorong
terbentuknya komunitas Amerika Latin dan menganjurkan perlawanan terhadap neo-liberalisme.
Dalam rangka ini pula Venezuela memainkan peran aktif dalam proyek pembangunan sistem
penyiaran televise Amerika Latin yang diberi nama “Telesur” yang berpusat di Caracas. Stasiun
tersebut menjadi corong penting untuk gagasan integrasi Amerika Latin yang dicita-citakan
Hugo Chavez dengan Bolivarianismenya11.

10


Bangkitnya Sosialisme di Amerika Latin http://amerikalatin.blogspot.com/206/06/bangkitnya-sosialisme-di-amerika-latin.html

11

Robert E. Qurik, Poros Setan: Kisah Empat Presiden Revolusioner, hal.191

Pada dasarnya modal yang dimiliki Venezuela dalam menentang pengaruh As,
dikarenakan Venezuela memiliki ccadangan minyak terbesar di belahan bumi barat, Sikap keras
Chavez menentang kebijakan AS yang merugikan rakyat Venezuela didukung luas tidak hanya

dari rakyat Venezuela saja, bahkan beberapa negara kawasan Amerika Latin lainnya seperti Kuba
dan Bolivia.
Rumusan Masalah
Revolusi Bolivarian semakin bergema di dunia internasional semenjak munculnya Hugo
Chavez dengan kebijakan kebijakannya yang menentang hegemoni Amerika Serikat di
Venezuela, khususnya dalam hal menasionalisasikan perusahaan perusahaan minyak swasta
milik Amerika Serikat. Dimana kebijakan politik yang diambil Hugo Chavez dilandaskan
terhadap upaya dalam mengembalikan hak-hak ekonomi, politik, dan kebudayaan pada rakyat
Venezuela. Dengan merebut kembali aset-aset dan sumber daya ekonomi dari tangan pemodal
asing, yang selama ini digunakan untuk menumpuk kekayaan dan kepentingannya sendiri. Hal

ini menjadi sangat menarik bagi penulis untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari
Bolivarianism yang dianut oleh Hugo Chavez dalam mengubah keadaan yang ada di Venezuela.

Pertanyaan Penelitian
Apa pengaruh dari Revolusi Bolivarian terhadap kebijakan Chavez untuk menasionalisasi
Perusahaan Minyak Swasta di Venezuela ?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguak kebenaran dan faktor yang
mempengaruhi mengapa muncul tindakan Hugo Chavez menasionalisasikan perusahaan minyak
swasta di Venezuela dan mengetahui andil dari Hugo Chavez atas kemajuan dari Venezuela
dengan gerakan Revolusi Bolivariannya.

Kajian Pustaka

Dalam Jurnal Ilmiah SERIAL (Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika
Latin) yang bertemakan “Perubahan Sejati Terbukti Bisa” Institute for Global Justice, tahun
2006, yang menjelaskan mengenai perubahan kebijakan Amerika Latin khususnya Venezuela
yang melakukan perlawanan terhadap Amerika Serikat. Selain itu, juga dijelaskan mengenai
permasalahan internasional mengenai kawasan Amerika Latin, dengan dipelopori oleh Kuba,

Venezuela dan Bolivia. Ketiga negara tersebut menjadi pusat perhatian dunia dalam perjuangan
bersama-sama menentang neo-liberalisme, dan neo-kolonialisme yang dilakukan oleh Amerika
Serikat terhadap negara-negara berkembang yang mempunyai sumber daya alam yang
melimpah. Dominasi imperialisme Amerika Serikat ini mulai ditentang dan dilawan oleh
ebebrapa negara di dunia, seperti Afghanistan dan Irak.
Gelombang perlawanan rakyat di dunia terhadap globalisasi neoliberal mulai semakin
meningkat sehingga menimbulkan konflik konflik bersenjata. Di Amerika Latin saja terjadi
beberapa perlawanan yaitu di Venezuela pada tahun 2001-2001, di Argentina tahun 2001, di Peru
tahun 2002, di Bolivia tahun 2000, 2003, dan 2000, dan di Equador pada tahun 2000 dan 2005.
Gelobang perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap hegemoni AS juga terjadi pada masa
kepemimpinan Chavez yang sangat popular di kalangan rakyat jelata Venezuela. Ia secara terangterangan menentang segala bentuk imperialis yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Sangat
bertolak belakang dengan kepemimpinan sebelum Chavez, yang dipimpin oleh Carlos Andrea
Perez yang dikenal sangat dekat dengan Amerika Serikat.
Pihak oposisi pemerintah Perez menyebut Perez sebagai komperador atau sebutan bag
seseorang yang menjadi kaki tangan/mengikuti kebijakan orang lain. Segala kebijakan ternyata
tidak berpihak terhadap rakyat Venezuela, melainkan lebih tunduk dalam segala desakan atau
kebijakan dari pemerintah AS.
Tulisan selanjutnya, Steve Ellener dalam “Rethinking Venezuelan Politics, Class,
Conflict, and the Chavez Phenomenon, Lynne Rienner Publisher”, yang membahas mengenai
upaya yang dilakukan oleh Hugo Chavez dalam melakukan nasionalisasi di Venezuela. Chavez

mengorganisir Pergerakan Bolivarian Revolusioner (Revolutionary Bolivarian Movement-MBR
200). Pemberontakan yang dipicu oleh peristiwa Caracazo 1989 yaitu pemogokan rakyat
melawan kenaikan harga BBM dan kebijakan pendidikan yang merugikan rakyat yang hanya
menjadi agenda kebijakan dari neo-liberal. Gerakan ini mengalami kegagalan, yang disebabkan

pada saat itu rakyat belum terpimpin. Chavez pada saat itu ditangkap, namun menjadi sosok yang
popular di tengah tengah rakyat. Gerakan tersebut menjadi salah satu investasi olitik bagi
perubahan untuk kedepannya, terutama dalam hal menyatukan massa untuk bergerak. Selepas
Chavez keluar dari penjara dan semakin populer di kalangan masyarakat Venezuela, partainya
yaitu “Pergerakan untuk Republik ke Lima” (The Movement for a Fifth Republic) memenangkan
pemilu pada tahun 199912.
Di Amerika Latin, rakyat selalu memahami satu prinsip, yaitu “El pueblo unidohama
serra fencido”, yang berarti rakyat bersatu tidak dapat dikalahkan. Dengan semangat kerjasama,
lingkaran Bolivarian di bawah Chavez memberikan tempat bagi solidaritas dalam hubungan
antar manusia dan antar kelompok. Mereka membangun kesatuan ekonomi baru, dibiayai oleh
negara untuk menciptakan pembangunan.
Tulisan selanjutnya, Harold Molineu dalam U.S Policy Toward Latin America; From
Regionalism to Globalism Westview Press, San Fransisco 1990, yang menjelaskan kepentingan
Amerika Serikat di wilayah Amerika Latin. Wilayah Amerika Latin memiliki nilai-nilai yang
sangat strategis dan menguntungkan bagi Amerika Serikat. Adapun beberapa poin yang dinilai di
Amerika Latin, antara lain, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

12

Letak geografis wilayah Amerika Latin
Pengaruh Amerika Latin bagi posisi Amerika Serikat di dunia Internasional
Hasil-hasil sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh negara-negara Amerika Latin
Ikatan tradisional dan keterikatan terhadap wilayah
Tingginya tingkat investasi dan perdagangan terhadap wilayah ini
Nilai-nilai kemanusiaan

Steve Ellener, Rethinking Venezuelan Politics, “Class, Conflict, and the Chavez Phenomenon”, Lynne Rienner Publisher, 2005

Dari poin-poin tersebut dapat dilihat kepentingan Amerika Serikat, yang terdiri atas:
1. Letak geografis wilayah Amerika Latin merupakan kepentingan keamanan.
2. Pengaruh Amerika Latin bagi posisi Amerika Serikat di dunia Internasional adalah
kepentingan politik, dan
3. Sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh negara-negara Amerika Latin merupakan
kepentingan ekonomi.

Bagi negara yang memiliki pengaruh besar seperti Amerika Serikat, wilayah Amerika
Latin merupakan kawasan yang memiliki nilai-nilai strategis dan menguntungkan. Hubungan
Amerika Serikat dan Amerika Latin telah terjalin sejak lama, hal ini terlihat dari dukungan
Amerika Serikat terhadap perjuangan kemerdekaan Amerika Latin yang dilakukan oleh Simon
Bolivar13.
Selanjutnya, Michelle Billig dalam bukunya “The Venezuelan Crisis: How To Secure
America’s Energy in foreign Affairs”, August 27, 2004, yang menjelaskan bahwa nasionalisasi
Perusahaan Minyak Asing di Venezuela oleh Hugo Chavez. Pada tahun 2001 menasionalisasi
PDVSA (Petroleos de Venezuela SA) yang awalnya dikuasai oleh konglomerat swasta. Dengan
nasionalisasi PDVSA semakin mengukuhkan eksistensi Hugo Chavez dalam politik di Amerika
Latin khususnya dan di dunia umumnya. Hugo Chavez melakukan tindakan yang sangat berani
mengenai optimalisasi potensi minyak yang dimiliki negara Venezuela. Keyakinan bahwa
Venezuela merupakan negara penghasil minyak terbesar kelima dunia dan diperkuat dengan
pendapat dari berbagai kalangan dalam industry minyak, bahwa Venezuela akan melampaui
Saudi Arabia, mendorong Chavez untuk melakukan nasionalisasi terhadapa perusahaan minyak
asing yang beroperasi di Venezuela. Pada akhir Desember 2002, Hugo Chavez melakukan
nasionalisasi terhadap 2 lapangan minyak di Venezuela yang dikelola oleh investor asing, yaitu :
TOTAL SA (Perancis) dan ENI (Italia)14.

13

Harold Molineu, U.S Policy Toward Latin America; From Regionalism to Globalism Westview Press, San Fransisco. 1990
Michelle Billing dalam bukunya “The Venezuelan Oil Crisis: How To Secure America’s Energy in foreign Affairs”, Vol. 83
No.5, August 27, 2004

14

Kebijakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Hugo Chavez membawa dampak yang
positif terhadap masyarakat Venezuela, dengan pemberlakukan nasionalisasi pemerintah
Venezuela dapat mengelola sendiri sumber daya minyak yang dimilikinya demi kebutuhan
masyarakat. Dengan dana dari hasil nasionallisasi Chavez mampu membangun sebuah gerakan
ekonomi rakyat mandiri dengan 70.000 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dari jumlah semula
yang hanya sebanyak 762 BUMN ketika Chavez baru pertama kalinya naik menjadi presiden
Venezuela.

Selanjutnya, tulisan dari Jurnal Sosial Demokrasi yang berjudul “Belajar dari Sosialisme
Baru Amerika Latin: INDONESIA BARU”, edisi Oktober – Desember 2008, Vol.4, No.1.
Bangkitnya kekuatan rakyat dan tampilnya para pemimpin berhaluan “kiri” dan “kiri-tengah” di
kawasan ini, kerap disebut para pengamat sebagai jalan “sosialisme baru” Amerika latin. Dimana
slogan yang disampaikan Hugo Chavez yang mengemuka ketika masyarakat dunia menyaksikan
dinamika politik dan perubahan sosial berlangsung intens di negara-negara kawasan Amerika
Latin, yang berbunyi “Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan,
pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada si miskin” (Hugo Chavez, 2005)15.
Ted Sprague (2008), memaknai sosialisme abad ke 21 yang dipopulerkan oleh Chavez
tersebut sebagai versi baru sosialisme yang telah terbebas dari distorsi Stalinisme. Perspektif lain
menyebutkan, sosialisme abad 21 yang tampil di kawasan Amerika Latin adalah sosialisme
demokratik, dimana perjuangan untuk mencapai panggung politik kekuasaan negara dilakukan
melalui arena politik electoral, bukan melalui sebuah revolusi proletariat seperti yang dianjurkan
oleh Marx. Ada pula sebagian pengamat yang menyatakan bahwa sosialisme abad 21 ala
Amerika Latin merupakan gerakan sosialisme genuine, yan bercirikan tradisi penduduk asli
Amerika Latin, bukan praktik sosialisme yang diimpor dari Eropa, dank arena itu terbebas dari
kecongkakan ras kulit putih.
Terpilihnya beberapa politisi dan aktivis politik “kiri” di berbagai negara di kawasan
Amerika Latin yang mempromosikan agenda anti-neoliberalisme sebagai presiden merupakan
bukti nyata kebangkitan sosialisme Amerika Latin. Mayoritas politisi dan aktivis politik di
negara-negara ini memenangkan suara dalam mekanisme politik electoral, dengan perolehan
suara rata-rata di atas 40 persen. Maereka yang naik ke panggung kekuasaan negara-negara di
Amerika Latin, antara lain adalah Presiden Venezuela, Hugo Chavez (1998), Presiden Brazil,
Luis Ignacio “Lula” da Silva (2001); Presiden Argentina Nestor Kirchner (2003, yang beberapa
waktu setelahnya digantikan isterinya, Christina Fernandez); Presiden Uruguay, Tabarez Vasquez
(2005); Evo Morales, Petani koka miskin yang terpilih sebagai Presiden Bolivia (2006); Michelle
Bachelet, aktivis Partai Sosialis, menjadi Presiden Chili (2006); tokoh revolusioner lama
Nikaragua, Daniel Ortega, yang kemballi ke panggung kekuasaan negara sebagai Presiden
Nikaragua (2006), Rafael Correra, ekonom dan doctor ekonomi lulusan Amerika Serikat, yang
terpilih sebagai Presiden Ekuador (2007), dan Fernando Lugo, Presiden Paraguay (2008). Dan,

dalam gembong tersebut, terdapat tokoh “kiri” yang menjadi kuncen Amerika Latin, presiden
Kuba, Fidel Castro. Pemimpin revolusioner Kuba yang telah lebih dari 30 tahun menghadapi
berbagai “serangan” AS terhadap diri dan pemerintahannya ini, kini secara resmi telah
digantikan oleh adiknya, Raul Castro15.
Para pemimpin Amerika Latin yang berhaluan “kiri” yang terpilih melalui pemilu
demokratis di masing-masing negaranya, kini terus berjuang untuk memperkuat bangunan blok
oposisi terhadap Washington yang mempromosikan kebijakan “pasar bebas”. Konsensus
Washington yang berisi kebijakan pengetatan anggaran publik, liberalisasi keuangan dan
perdagangan, mendorong investasi langsung asing, privatisasi BUMN, reformasi pajak, disiplin
fiscal, pengendalian deficit anggaran, dan seterusnya, dianggap sebagai salah satu biang keladi
dari kian terperosoknya kehidupan ekonomi dan sosial negara-negara di kawasan Amerika Latin
ked alam kubangan kemiskinan, pengangguran, dan tumpukan utang luar negeri. Ada 3 elemen
utama dari “Kiri” Amerika Latin yang bisa kita catat, yakni; (a) adanya komitmen yang kuat,
baik secara ideologis maupun politis, upaya untuk mempromosikan egalitarianism; (b) ada
keinginan yang besar untuk menjadikan “negara” sebagai pengimbang kekuatan pasar; dan (c)
penekanan pada partisipasi rakyat (popular participation).

15

Jurnal Sosial Demokrasi, “Belajar dari Sosialisme Baru Amerika Latin: Indonesia Baru”, edisi Oktober – Desember 2008,

Vol.4, No.1, hal 1

Kerangka Dasar Teori
Nasionalisasi
Dalam usaha peningkatan kesejahteraan, negara perlu melakukan nasionalisasi
‘expropriation’, yang sudah tentu menimbulkan pertanggung jawaban negara. Nasionalisasi
merupakan pengambilalihan perusahaan asing yang kemudian menjadi milik nasional atau
negara yang dikuasai oleh pemerintah untuk penerapan kebijaksanaan ekonomi negara.

Nasionalisasi merupakan tindakan yang sangat penting dan berpengaruh terhadap negara.
Nasionalisasi dulu sering dilakukan oleh negara negara komunis yang dipelopori Uni Soviet,
Negara negara Asia-Afrika dan negara negara Eropa Barat. Hal ini dianggap sebagai syarat
esensial untuk pelaksanaan pembangunan dan dalam kepentingan ekonomi dan kepentingan
sosial Negara16.
Ada beberapa alasan mengapa nasionalisasi dilakukan, dikutip dari buku Hukum dan
Hubungan Internasional, oleh M. Burhan Tsani, yaitu :
1. Nasionalisasi adalah untuk memenuhi dana Negara guna melangsungkan aktifitas
kesejahteraan sosial yang disebabkan tidak adanya penghasilan negara yang memadai.
2. Kebijakan negara menghendaki dilakukan nasionalisasi.
3. Perusahaan asing dianggap hanya merupakan pengaliran devisa kenegara asing, dan
reatriasi keuntungan kenegaranya.
4. Kecurangan terhadap aktifitas bisnis dan menggunakan hal itu sebagai pijakan. Negara
penjajah dalam menguasai jajahan, perusahaan asing, perusahaan multinasional.
5. Nasionalisme sebagai uapaya untuk menghasilkan pemerintahan yang colonial, sebagai
perusahaan asing merupakan wujud terakhir kolonialisme.
Sebuah negara yang berdaulat mempunyai hak yang sah atas pengambilan kebijakan
nasionalisasi dan mempunyai hak inheren alam penanganan harta maupun usaha yang ada di
wilayahnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika tidak ada perjanjian internasional atau
jaminan pemerintah terhadap modal asing, negara bebas menasionalisasi harta kekayaan asing
16

M. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional (Yogyakarta: Liberty,1990)halm.51

Manapun dengan pembayaran kompensasi. Dalam kasus ini, yang paling berkenan dalam alasan
nasionalisasi adalah kebijakan negara yang menghendakinya. Negara bebas menasionalisasi
sehingga apaun alasannya, keputusan itu bisa dilaksanakan, baik oleh pemimpin atau presiden,
ataupun pemerintah.

Dependence Theory
Dalam konteks global, teori ini hendak menjelaskan mengenai persoalan kemunduran
dari negara-negara bekas jajahan yang berada di Dunia Ketiga. Teori ini berbeda dengan teori

imperialism yang melihat hubungan antar negara kuat dan lemah dari segi perspektif negara
penjajah, sedangkan teori dependensi memandang persoalan dari perspektif negara yang dijajah.
Teori dependensi melihat dengan adanya pembagian negara oleh Wallerstein dalam “Worl
System Theroy” yaitu core, semi phery phery dan phery phery, terjadi sebuah eksploitasi oleh
elite lit negara phery phery yang menyebabkan negara negara tersebut ketergantungan terhadap
negara maju.
Dependence theory mengajukan argument bahwa para penanam modal asing hanya
tertarik pada sektor-sektor ekonomi yang dinamis di negara pinggiran. Teori ini juga
menawarkan agar negara negara pinggiran tersebut menjalankan strategi sendiri, tanpa adanya
campur tangan asing. Teori ini juga menginterpretasikan fenomena pembangunan yang
mengalami distorsi yaitu, membandingkan pola perkembangan ini dengan suatu model ekonomi
yang tumbuh lambat tapi merata, berimbang, terintegrasi dan homogen. Bukannya dalam bentuk
kediktatoran, penetrasi asing dalam bentuk investasi yang padat modal yang mengurangi
kebutuhan akan tenaga buruh dalam jumlah yang besar. Semakin besar jumlah tenaga kerja yang
menganggur, maka semakin besardesakan merendahkan tingkat upah buruh, karena buruh yang
menuntut terlalu banyak akan mudah diganti.

Neo Gramscian
Robert Cox dan Stephen Gill yang merupakan penganut Neo-Gramscian menjelaskan
mengenai dua bentuk hegemoni menurut Gramsci, yaitu Dominasi dan Intelektual. Dominasi
menggunakan kekuatan secara fisik, sedangkan Intelektual dengan membangun kesadaran.
Konsep intelektual menurut Gramsci sendiri yaitu “Semua manusia adalah intelektual tetapi tdak
semua manusia di masyarakat memiliki fungsi intelektual”.
Gramsci membagi fungsi sosial intelektual kedalam dua kelompok, yaitu :
1. Tradisional Intelektual

Merupakan orang-orang yang hanya berada pada role mereka sendiri dalam masyarakat.
Orang-orang tersebut menerima begitu saja nilai-nilai yang telah ada dan menjalankan sistem
yang telah ada.
2. Organic Intelektual
Bagi Gramsci, Intelektual Organik merupakan para intelektual yang tidak hanya sekedar
menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah kaidah saintifik, namun juga
memakai bahsa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak
bisa diekspresikan masyarakat sendiri. Intelektual Organik adalah mereka yang mampu
merasakan emosi, semangat, dan apa yang dirasakan kaum buruh, memihak kepada mereka dan
mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.
Menurut Gramsci, perubahan sosial bukanlah semata mata upaya menyangkut masalah
kekuatan ekonomi dan fisik, tapi juga melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideology.
Suatu upaya masyarakat bawah untuk mebebaskan diri mereka dari budaya kaum borjuis dan
untuk membangun nilai budaya mereka sendiri bersama sama dengan kaum tertindas dan lapisan
intelektual yang berpihak.
Dalam

upaya

upaya

perubahan

sosial,

sangat

diperlukan

penyusunan

dan

pengorganisasian suatu lapisan intelektual yang mengekspresikan pengalaman aktual masyarakat
dengan keyakinan dan bahasa terpelajar. Artinya, kaum intelektual organik ini menghadirkan
suara suara kepentingan masyarakat bawah dengan bahasa budaya tinggi, sehingga pandangan
dunia, nilai-nilai, dan kepercayaan kelas bawah meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi
bahwasa universal. Pandangan Neo Gramsci menilai bahwasanya perubahan dapat dilakukan
dengan menggunakan ide dan pikiran.
Hal tersebut dapat terlihat dari apa yang dilakukan Hugo Chavez yang menggunakan ide
ide

Bolivarianism

yang

dicetuskan

oleh

Simon

Bolivar.

Sehingga

Chavez

mulai

merepresentasikan kepentingan masyarakat kelas bawah Venezuela dengan membentuk
Lingkaran Bolivarian yang membuat tidak ada lagi kelas yang dimarginalkan.

Gerakan Revolusi Bolivarian yang dijalankan Hugo Chavez

Hugo Chavez merupakan seorang mantan ketnan colonel militer, yang pergerakannya
didasarkan pada filosofi dan ideology dari Simon Bolivar. Simon Bolivar merupakan seorang
pembebas besar di Amerika Selatan, yang berusaha untuk menyatukan benua agar menjadi
kekuatan besar melawan kekuatan kapitalisme. Gerakan Chavez berusaha untuk menerapkan ideide serupa dengan mendorong unifikasi politik di kawasan Amerika Selatan melalui penciptaan
yang berdaulat dan blok ekonomi yang kuat. Konsep tersebut diterima dengan baik oleh rakyat
dikarenakan penderitaan rakyat akibat dari sebuah agenda neoliberal yang telah melumpuhkan

ekonomi dan peningkatan kemiskinan secara drastic. Sehingga konsep tersebut dinamakan
Revolusi Bolivarian.
Dalam mengimplementasikan gerakan Revolusi Bolivarian, Chavez dan para
pendukungnya melakukan perubahan undang-undang (konstitusi) Venezuela guna menjamin
berjalannya revolusi di Venezuela. Dibawah kepemimpinannya, Revolusi Bolivarian telah
melahirkan konstitusi baru yang menjadi landasan konstitusional bagi kebijakan-kebijakan yang
membawa perubahan structural di Venezuela.
Konstitusi Venezuela disusun pada tahun 1999 oleh Majelis Konstitusional yang dipilih
melalui referendum rakyat. Konstitusi 1999 diadopsi pada bulan Desember 1999 yang
menggantikan konstitusi 1961. Konsekuensi pertama dari konstitusi 1999 adalah perubahan
nama resmi Venezuela menjadi “Republik Bolivarian Venezuela”17. Perubahan signifikan terlihat
dari upaya pemisahan kekuasaan (separation power). Hal ini menggantikan tiga cabang
pemerintahan dalam bentuk republik lama, dimana Republik Bolivarian Venezuela memiliki lima
cabang pemerintahan, yaitu cabang eksekutif (the Presidency), cabang legislatif

17

Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal (Yogyakarta: Resist Book, 2007), hlm.105

(The National Assembly), cabang yudisial (the judiciary), cabang pemilihan (electoral power),
cabang kewarganegaraan (citizens’ power).
Chavez melakukan reformasi struktur pemerintahan melalui Konstitusi 1999 dengan
menambah lama masa jabatan presiden dari 4 tahun menjadi 6 tahun dan masa jabantan presiden
paling lama dua kali periode. Reformasi juga dilakukan pada Majelis Nasional yang sebelumnya
bersifat bikameral menjadi unicameral dengan menghilangkan kekuatan lembaga legislative
sebelumnya. Sehingga Majelis Nasional yang baru mempunyai satu kamar (singe chamber)
dengan merubah susunan lama sebelumnya yang memiliki dua kekuatan (bidang) kekuasaan
legislatif antara Bidang Deputi (Chamber Of Deputies) dan Senat. Selain itu, kekuasaan cabangcabang legislative dikurangi dan diberikan kepada presiden. Perubahan konstitusi yang dilakukan

Chavez memperlihatkan bahwa Chavez ingin mempertahankan kekuasaannya dan menjamin
berjalannya proses Bolivarian di Venezuela.
Masyarakat Venezuela melihat kontradiksi yang timbul dari imperialis yang menjadi
sebab-sebab ketertindasan ekonomi, ketidakadilan, yang membuat masyarakat memandang
sistem ini penuh dengan masalah, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa neoliberalisme AS
memang masih sangat berkuasa di dunia saat ini. Penggunaan cara-cara perang (hard power)
yang merupakan cara Amerika Serikat dalam mencapai tujuannya menjadikan pemikiran bagi
banyak negara. Gelombang anti Amerikanisme ditandai dengan berbagai macam gerakan yang
dilakukan oleh para aktivis. Sentimen anti Amerikanisme paling kuat salah satunya berasal dari
Amerika Latin, khususnya Venezuela.
Revolusi Venezuela ingin membuat perubahan positif, membuat suatu (sistem) alternatif
menjadi mustahil dan menggugat apa yang dianggap oleh perspektif dominan sebagai akhir dari
sejarah. Seiring perlawanan terhadap neoliberalisme di banyak tempat di dunia, perluasan
alternative Venezuela telah menjadi sebuah isu besar diantara gerakan sosial: suatu alternative
yang mengembalikan revolusi dan sosialisme ke dalam agenda perjuangan rakyat18.
Revolusi Venezuela dilakukan melalui proses pemindahan kekuasaan ke tangan rakyat
(dengan demokrasi langsung dan partisipatif) serta mendistribusi kepemilikan pribadi (baik
secara bertahap maupun simultan) yang membuka jalan bagi sosialisme abad 21.
18

Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal (Yogyakarta: Resist Book, 2007), hlm.158.

Sosialisme ini harus sanggup member jawaban kongkret bagi kemajuan tenaga produktif
yang telah dihancurkan oleh kapitalisme di banyak negeri di dunia ketiga; meningkatkan
produktivitas rakyat yang selaras dengan keberlanjutan lingkungan, memperjuangkan suatu
demokrasu langsung yang partisipatif untuk membangkitkan kesadaran rakyat atas kekuatannya
sendiri untuk mengatur negara dalam kehidupannya.
Proses revolusioner yang menempatkan Chavez di Venezuela dengan konsep Sosialisme
Abad 21 nya sebagai suatu pilihan tandingan dari Bush di Washington dengan konsep
Neoliberalismenya,, bersamaan dengan kemajuan di Kuba, Bolivia, dan Ekuador, yang telah

menginspirasi banyak kekuatan demokratik dan revolusioner di seluruh dunia yang harus dibela
oleh kaum kiri dan gerakan sosial di seluruh dunia.
Revolusi sosialis dalam pengertian kongkritnya berupa sosialisasi kepemilikan pribadi,
transformasi kesadaran dan kebudayaan, serta peningkatan tenaga produktif, yang sedang
berkembang di Venezuela. Melalui apa yang disebut dengan “revolusi damai”. Dimana proses
tersebut terus berlanjut dan membuat yang dianggap mustahil menjadi kenyataan. Momenmomen penting dan menentukan dalam tahap revolusi adalah 13 April 2002 ketika mobilisasi
jutaan rakyat miskin Venezuela berhasil mengalahkan kudeta ooposisi sayap kanan serta
keberhasilan perjuangan melawan pemogokan para pemilk bisnis di akhir tahun yang sam. Sejak
saat itu, proses revolusioner semakin ditingkatkan, meski beberpaa pendapat menganggapnya
masih terlalu lamban. Karena sosialisme tidak terjadi lewat dekrit atau deklarasi walau Chavez
sudah mendeklarasinya di akhir Desember 2005.
Hugo Chavez dan gerakannya, didukung oleh kepercayaan rakyat Venezuela dan terpilih
sebagai presiden Venezuela pada tahun 1988. Sosialisme merupakan jalan yang dipilih oleh
Hugo Chavez sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialism. Sosialisme tersebut untuk
mengatasi adanya pertentangan antara dua kelas, digantikan dengan hubungan kesetaraan. Saat
ini, sosialisme disebut bukan sebagai sosialisme yang sudah lama ada, melainkan sosialisme
abad 21 yang menekankan tentang demokratis dan humanis. Salah satu sikap Hugo Chavez
dalam melawan neoliberalisme adalah kebijakan nasionalisasi perusahaan minyak swasta di
Venezuela, hal ini sangay didukung oleh rakyatnya dimana para buruh di Venezuela sangat
antusias akan kebijakan tersebut.
Sosialisme abad 21 merujuk pada Revolusi Bolivarian pada tingkat perkembangan dunia
sekarang ini. Konsep baru presiden Hugo Chavez diimplementasikan dengan menarik sejarah
sosialisme yang kaya teoritik dengan menganalisa pengalaman yang baik dan buruk. Revolusi ini
berdasarkan semangat solidaritas dan kerjasama yang dianggap oleh Hugo Chavez sebagai
pembangunan. Ini membuka gerak solidaritas hubungan antar manusia dan kelompok. Revolusi
Bolivarian ini mengedepankan pembangunan kesatuan ekonomi baru yang dibiayai negara yang
berkelebihan dengan model kapitalis19.
Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode analisis deskriptif, yakni
suatu bentuk penulisan dengan cara memaparkan dan menjelaskan mengenai masalah yang
diangkat secara jelas. Tujuan analisis ini ialah untuk membuat deskriptif atau gambaran secara
sstematis, factual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
yang diselidiki20.
Metode ini ditunjang dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan, yaitu berupa
buku-buku yang menyangkut dan berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dalam
penulisan ini. Terdapat pula jurnal, tulisan, buku, dan media cetak lainnya, baik yang terbit
harian, mingguan, maupun bulanan. Kemudian data juga diperoleh dari media internet.
Setelah tahap pencarian data, selanjutnya dilakukan pengolahan data. Penulis
menggunakan metode dedukasi, yaitu dengan menguraikan masalah-masalah yang bersifat
umum dan kemudian dilanjutkan dengan menguraikan masalah yang bersifat khusus.
Berdasarkan data-data yang telah diseleksi sebelumnya, penulis melakukan pengklasifikasian
data, disesuaikan dengan tema yang dibahas. Data-data tersebut digunakan untuk menjawab
pokok permaslaahan dengan menggunakan teori sebagai laat analisisnya, sehingga dari analisis
tersebut dapat diambil suatu kesimpulan.
19
20

Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal (Yogyakarta: Resist Book, 2007).
Moh. Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hal.63

Sistematika Penulisan
Penulisan proposal ini dimulai dengan Bab I yang berisikan latar belakang, maslaah,
rumusan masalah, kerangka dasar teori, metode analisis dan sistematika penulisan.
Setelah itu, masuk ke Bab kedua yang berisi mengenai gambaran umum Venezuela, yang
dijelaskan dengan lengkap mengenai data-data kondisi alam, profil Venezuela, ekonomi dan
politik Venezuela saat sebelum dan sesudah Hugo Chavez terpilih sebagai presiden Venezuela
pada tahun 1998. Ketergantungan dunia akan minyak Venezuela dan Tinjauan Historis Venezuela
dalam kondisi kesengsaraan oleh imperialisme dan kapitalisme global sebagai bentuk pejajahan
dengan berbagai keuntungan.

Selanjutnya dilanjutkan pembahasan Bab Ketiga. Dalam Bab ini penulis akan membahas
mengenai Hugo Chavez dengan gerakan Bolivariannya. Disini penulis ingin menjelaskan siapa
Hugo Chavez dengan menurut sejarah riwayat hidup Chavez, motivasi Chavez sejak awal hingga
menjadi presiden Venezuela.
Pada Bab Keempat akan membahsa mengenai lahirnya kebijakan nasionalisasi
perusahaan minyak swasta asing oleh presiden Venezuela, Hugo Chavez. Disamping membahsa
mengenai tujuan kebijakan itu dibuat, juga akan dibahas mengenai sosialisme abad 21 yang
diusung oleh Chavez yang sangat berhubungan dengan lahirnya nasionalisasi perusahaan minyak
swasta asing tersebut.
Setelah membahas Bab Keempat, maka penulis akan melanjutkan pembahsannya dengan
menyimpulkan seluruh rangkaian bahsan sebelumnya (Bab I – IV), dimana bahsan ini akan
terangkum dalam Bab Kelima.

Daftar Pustaka
SERIAL, Perubahan Sejati Terbukti Bisa, Institut for Global of Justice, Jakarta 2006
Terry Lyn Karl, “Minyak dan Fakta Politik: Transisi Menuju Demokrasi di Venezuela”, dalam
Guilermo O’Donnell, et.Al, Jakarta :LP3ES, 1993
Mathew Riemer, Economic Welfare’s New Resistance, dalam www.yellowtime.org,
Wahid, Solahudin, Bangkitnya Kekuatan Amerika Latin Melawan AS, “The Jakarta Post”,
edisi : Jakarta, 15 Agustus 2006

Swhartz, Nelson D. “Oil’s Mr. Big”, 3 Oktober, 2005.
Michelle Billig, “The Venezuela Oli Crisis: How To Secure America’s Energy”, in Foreign
Affairs, Vol. 83, No.5, August 27, 2004
Ngadidjo, “Kebijakan Nasionalisasi di Venezuela di Bawah Hugo Chavez”, dalam
www.itmiwordpress.com, edisi 7 November 2007
James Ingham,”Nationalization Sweep Venezuela”, dalam www.bbcnews.co.us, edisi 15 Mei
2007
Ellener, Rethinking Venezuelan Politics, “Class, Conflict, and the Chavez Phenomenon”, Lynne
Rienner Publisher, 2005
Jurnal Sosial Demokrasi, “Belajar dari Sosialisme Baru Amerika Latin: Indonesia Baru”, edisi
Oktober – Desember 2008
Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal (Yogyakarta: Resist
Book, 2007), hlm.105, Vol.4, No.1
. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional (Yogyakarta: Liberty,1990)

BAB II
KONDISI PEREKONOMIAN DAN POLITIK SEBELUM DAN SESUDAH HUGO
CHAVEZ MENJABAT SEBAGAI PRESIDEN VENEZUELA
Venezuela, selaku salah satu negara di Amerika Latin, yang pada awalnya merupakan
negara yang mampu menopang perekonomian sendiri tanpa bantuan kekuatan luar. Hal ini tidak
terlepas dari begitu besarnya cadangan minyak bumi yang dalam kuantitas besar mendominasi
perekonmian di Venezuela. Pemerintah Venezuela menyadari betapa besarnya potensi sumber
daya ala mini. Upaya untuk memaksimalkan keuntungan atas bisnis minyak bumi kemudian
ditempuh di tahun 1971 dengan mengeluarkan ketentuan mengenai pajak sebesar 70% bagi

perusahaan-perusahaan minyak bumi dan Undang-Undang Reversi Hidrocarbon (Hydrocarbon
Reversion Law). Periode yang penting dalam pembangunan ekonomi di Venezuela dtandai
dengan kenaikan harga minyak di pasar dunia berkat desakan negara-negara pengeksor minyak
bumi. Kenaikan harga tersebut berlangsung dalam dua tahap. Semula negara-negara Arab
menaikkan harga minyak mentah dari US$3 menjadi US$ 5 per barel di pertengahan Oktober
1973 sebagai reaksi terhadap konflik Israel-Mesir (ditambah Suriah). Hanya dalam hitungan tiga
bulan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berhasil melipatgandakan harga
hingga mencapai angka sekitar US$ 12 per barel. Lonjakan kenaikan harga minyak di pasar
internasional ini membuat Venezuela mendapatkan keuntungan yang besar hingga mampu
melakukan peningkatan gaji, kontrol atas harga-harga barang, melakukan subsidi impor, dan
memutihkan utang rakyat di bidang pertanian sebesar $350 juta.21
Dalam upaya untuk mempercepat nasionalisasi industri minyak, Pemerintah Venezuela
pada tahun 1976 membentuk PDVSA (Petroleos De Venezuela) selakua BUMN di bidang
pertambangan minyak dan gas bumi. Secara formal perusahaan minyak negara ini berfungsi
untuk mengumpulkan penerimaan minyak, mengkoordinasi kontrak kerja dan bagi hasil dan
mengalokasikan konsensi-konsensi pengeboran. PDVSA juga menjadi mesin penggerak dan
penyandang dana untuk proyek-proyek pembangunan raksasa yang berkenaan dengan strategi
industrialisasi terpadu.

21

Soyomukti, Nurani, 2007, Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik Radikal, hal.78, Yogyakarta: Resist Book.

Namun bagi institusi militer, para perwira, para figure politik, dan penjabat PDVSA,
perusahaan ini bisa menjadi sumber kekayaan dan basis financial. PDVSA juga menjadi sumber
utama kontrak-kontrak pembangunan bagi para kapitalis swasta yang memungkinkan para
penjabat untuk mengontrol perusahaan ini sekaligus menguasai patronase yang bernilai tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, industri minyak menjadi bidang investasi yang besar,
disamping merupakan sektor produksi untuk ekspor yang terbesar. Perusahaan-perusahaan asing
tersebut menyediakan modal dan teknologi, sedangkan perusahaan minyak enagra PDVSA
menyediakan lading-ladang konsesi yang sedang ditambang. Pemerintah mengikat para
kontraktor asing melalui Kontrak Production Sharing. KPS ini merupakan kontrak yang telah

dibakukan sehingga salah satu pihak tidak memiliki kekuatan tawar menawar. Dalam
pelaksanaannya pemerintah (diwakili PDVSA) tinggal menyodorkan isi kontrak tersebut kepada
badan usaha maupun badan usaha tetap. Pemerintah mulai memanfaatkan sumber dana yang
melimpah tersebut dengan berekspansi mendirikan banyak BUMN disertai dengan suntika dana
besar-besaran ke BUMN-BUMN tersebut untuk melakukan industrialisasi dengan investasi pada
bidang-bidang strategis. Pemerintah sangat yakin bahwasanya negara merupakan agen penting
pembangunan yang mampu menyusun suatu rencana nasional dalam mencapai tujuan-tujuan
khusus, seperti industrialisasi, pertumbuhan produksi, distribusi ekonomi, dan sebagainya.
Langkah ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tahun 1960-an saat pemerintah mulai
mendorong industrilisasi atas hamper seluruh barang yang digunakan di Venezuela untuk
mencegah ketergantungan ekonomi atas minyak. Beberpaa industry yang didirikan meliputi:
pengolahan makanan, tekstil, baja, bahan kimia, kayu, barang logam jadi, dan perakitan
kendaraan bermotor. Pemerintah juga menyadari bahwa cadangan minyak akan habis bila
dieksplotasi tanpa kendali. Sehingga, pemerintah berupaya menurunkan tingkat produksi minyak
dari sekitar 3.200.000 barel perhari pada tahun 1972 menjadi 2.200.000 barel per hari pada tahun
1980.22

22

Soyomukti, Nurani, 2007, Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik Radikal, hal.73-74, Yogyakarta: Resist Book

Dalam upaya untuk mendapatkan pengaruh di tingkat regional, Venezuela mulai
memberikan bantuan pinjaman internasonal bagi impor minyak negara-negara Amerika Latin
melalui Venezuelan Investment Fund (VIF). Venezuela juga menghutangkan uang melalui InterAmerican Development Bank (IADB). Langkah ini mampu menempatkan Venezuela sebagai
pemimpin negara-negara Amerika Latin, dan memberikan dukungan bagi independensi AMerika
Latin dari hegemoni Amerika Serikat. Hal ini bersamaan dengan ketegangan yang berkaitan
dengan embargo minyak OPEC, krisis di Terusan Panama, dan juga keterlibatan Amerika Serikat
dalam menggulingkan Presiden Chili Salvador Allende.
PERUBAHAN POLITIK DAN KRISIS EKONOMI MELANDA VENEZUELA

Perubahan politik di Venezuela mulai dirasakan ketika pendapatan minyak mulai
menurun pada tahun 1976 dan akhirnya merosot hingga pada tahun 1978. Berkurangnya
pendapatan minyak bumi yang notabene merupakan ladang pendapatan terbesar dan paling
diandalkan oleh Venezuela di tengah pengeluaran yang ceroboh, inkompetensi, capital flight, dan
korupsi yang terjadi di neagara tersebut menempatkan Venezuela sebagai negara yang
penghutang. Kebijakan Presiden Carlos Andre Perez dalam masa jabatan selam lima tahun
dinilai telah menghabiskan banyak dana dan memperburuk keadaan yang terjadi di negara itu.
Hal ini membuat kekuasaannya jatuh dan digantikan oleh Luis Herrera Campins.
Presiden Luis Herrera Campins pada awal jabatannya berusaha untuk mengambil kembali
momentum harga minyak yang kembali membaik pada tahun 1980. Ia berusaha untuk
meningkatkan kontrol atas minyak dan menaikkan gaji atas pegawai. Sebagai pemerintahan yang
baru, pemerintahannya tidak bisa menghindari pengeluaran yang besar yang sama seperti yang
dialami oleh pemerintahan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan tingkat inflasi tetap tinggi.
Namun, sejak tahun 1979 hingga tahun 1982, Venezuela mengalami deficit sebesar $ 8 milyar.
Selain itu, kinerja ekonomi makro ditandai dengan penurunan GDP dari rata-rata 6,1% selama 4
tahun terakhir menjadi 1,2% antara tahun 1979 dan 1983, serta angka pengangguran kurang lebih
20% pada tahun 1980.23

23

Soyomukti, Nurani, 2007, Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik Radikal, hal.79, Yogyakarta: Resist Book

Harga minyak kembali turun pada tahun 1981 dan membuat keadaan di Venezuela
kembali memburuk sehingga membuat Venezuela memiliki hutang sebesar $3 milyar menjelang
tahun 1983. Pemerintah mengalokasikan milyaran dollar cadangannya di PDVSA untuk
membayar hutang-hutang negara. Tindakan ini direspon oleh serikat pekerja (CTV) dengan
melakukan berbagai macam tindakan pemogokan sepanjang pertengahan tahun 1980-an. Situasi
ini membuat perekonomian Venezuela pada tahun 1983 berada dalam keadaan kacau dan
menyebabkan kemiskinan rakyat menjadi semakin berlanjut. Presiden Carlos Andres Peres yang
terpilih kembali pada tahun 1989 berusaha untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya
mealui pencapaian prestasi di bidang ekonomi. Pengekangan politik secara ketat sebagai metode
untuk mengamankan pemabangunan ekonomi telah diberlakukan. Namun, apabila kinerja sistem
perekonomian terus memburuk, kekangan tersebut bisa dengan mudah lepas dan terurai menjadi

ancaman atas stabilitas kekuasaan. Berbagai permaslahan ekonomi tersebut sangat membatasi
ruang gerak pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai agen pembangunan. Untuk
mempertahankan legitimasi dan stabilitas yang telah dicapainya, pemerintah harus mengkaji
ulang kembali berbagai kebijakan ekonomi yang telah diterapkan serta mencari jalan keluar baru
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang menghadang.
Carlos Andres Perez harus mewarisi krisis yang ditinggalkan oleh masa pemerintahan
Luis Herrera Campins. Hal ini membuat ia meminta pertolongan bantuan keuangan serta sara
strategi kepada International Monetary Fund (IMF). Untuk memenuhi permintaan pemerintahan
Venezuela, IMF mensyaratkan perubahan yang fundamental dalam hubungan antara negara dan
pasar. Persyaratan ini disebut sebagai IMF conditionality yang dituangkan kedalam Letter OF
Intent (LoI), berupa program-program yang disepakati oleh kedua belah pihak (pemerintah
Venezuela dengan IMF) untuk melakukan perubahan ekonomi secara fundamental. Hal ini
membuat Presiden Perez mengumumkan restrukturisasi ekonomi dengan resep neoliberal
sebagai dasar kerangka perekonmian baru Venezuela. Ia mengeluarkan berbagai kebijakan suku
bungan mengambnag, kenaikan pajak di sektor pelayanan public, kenaikan upah hanya sebesar
5%, penghapusan tarif impor secara progresif, pengurangan 4% dalam defisit anggaran dan
pendapatan negara, pelemahan buruh melalui sistem ikatan kerja yang lebih fleksibel,
pencabutan subsidi pupuk, dan privatisasi BUMN. Dekrit eksekutif mengijinkan perusahaan
asing untuk membayarkan 100% keuntungan mereka ke negara asal. Akibat kebijakan-kebijakan
neoliberal ini, inflasi mencapai 80,7%, upah riil menurun hingga 40%, penggaguran mencapai
14%, angka kemiskinan meningkat dari 43,9% pada tahun 1988 menjadi 66,5% pada tahun 1989,
dan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat hingga 84%. Dalam
waktu tiga tahun pada masa kekuasaan Perez, sekitar 600 ribu penduduk pindah ke kota-kota dan
mengakibatkan jumlah tenaga kerja pertanian meorsot sampai 90%.24
Krisis ekonomi ini kemudian berkembang menjadi krisis p