PANCASILA JALAN TERANG MENEMBUS HIRUK PI

PANCASILA, JALAN TERANG MENEMBUS HIRUK PIKUK
DISHARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
(Disharmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
dalam Paradigma Pancasila)
Oleh:
Mia Kusuma Fitriana, S.H.,M.Hum
Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kaltim
Email; miakusuma2001@yahoo.com
I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gugatan atau permohonan uji materi atas Undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Peraturan
Daerah terhadap Undang-undang atau Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
tinggi adalah kasus-kasus yang paling marak diajukan ke Mahkamah Konstitusi
RI (MK).Praktek empiris yang terjadi adalah banyak Peranturan PerundangUndangan, baik dalam bentuk Undang-undang maupun Peraturan Daerah yang di
gugat ke Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Konstitusi.
Ketua MK periode 2008-2011 Mahfud MD mengatakan, sebanyak 29 persen
produk undang-undang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi selama 2012.1
Pembatalan ini dinilai sebagai buruknya kualitas undang-undang yang

diproduksi.2 Bahkan pada Januari 2013 dinyatakan bahwa,

tahun 2012,

permohonan pengujian UU yang dikabulkan meningkat menjadi 31 persen dari
tahun sebelumnya (2011) yang mencapai 22,3 persen, dengan selisih kenaikan
pembatalan UU sebanyak 8,7 persen.3Pengajuan permohonan uji materi atas
undang-undang sepanjang 2003 sampai dengan 2014 (tahun berjalan) sebanyak
1

Ary, Ketua MK: 29% UU Dibatalkan Karena Tak Berkualitas ,http://news.liputan6.com/read/475147/ketuamk- 29-uu-dibatalkan-karena-tak-berkualitas, 26-12-2012, Tanggal Access 30 September 2014
2
Ibid
3
Has, Banyak dibatalkan MK, kualitas legislasi 2012 menurun, http://www.merdeka.com/peristiwa/banyakdibatalkan-mk-kualitas-legislasi-2012-menurun.html, 2 Januari 2013, Tanggal Acces 30 September 2014

1

946 kasus, dan 141 dari 946 kasus tersebut dikabulkan gugatannya oleh MK.4
Dengan dikabulkannya gugatan tersebut maka materi muatan atau pasal atau

bahkan keseluruhan Undang-undang yang diajukan uji materi tersebut dibatalkan.
Perda-perda yang diterbitkan sejak 2001 sampai dengan 2009 telah terdapat
4000 (empat ribu) Peraturan Daerah dari 13 (tiga belas) ribu peraturan daerah di
seluruh Indonesia dibatalkan karena tidak memenuhi kualifikasi untuk diterapkan
di masyarakat.5 Pembatalan sebanyak 4.000 perda yang diterbitkan sejak 2001
hingga 2009 memang sangat di sayangkan karena Pembentukan Perda sendiri
menyedot dana yang tidak sedikit, bahkan jumlahnya mencapai triliunan.Kerugian
atas pembatalan perda tersebut dapat dikalkulasi kebutuhan anggaran saat
dilakukan pembahasan yang jumlahnya tak kurang Rp 300 juta setiap perda.
Gugatan uji materiil atas Undang-Undang maupun Peraturan Daerah ini
adalah indikator ketidakpuasan atau bahkan kekecewaan rakyat atas produkproduk legislasi yang dihasilkan pemerintah dan parlemen. Suatu produk
perundang-undangan
pembentukan

seyogyanya

peraturan

harus


berpedoman

perundang-undangan,

yaitu;

kepada
kejelasan

asas-asas
tujuan;

kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan;
kejelasan rumusan; dan keterbukaan.6Sehingga dapat efektif berlaku dimasyarakat
sekaligus sebagai bentuk pemenuhan hak konstitusi masyarakat.
Terlepas dari segala hal terkait teknis pembentukan maupun asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, pada dasarnya tidak

4

5

6

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU, Tanggal Acces 30 September 2014
WDA AT, Patrialis Akbar,-Empat Ribu Perda di Indonesia Dibatalkan,
http://www.tempo.co/read/news/2011/05/22/078335876/Empat-Ribu-Perda-di-Indonesia-Dibatalkan, 22 Mei
2011, Di Akses Senin 22 September 2014
Lihat...Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

2

perlu terlalu metodis dalam membentuk suatu produk hukum yang tidak lagi perlu
ditakutkan akan bertentangan dengan UUD 1945 ataupun peraturan perundangundangan dibawahnya asalkan kita kembalikan lagi kepada Jiwa dan kepribadian ,
Pandangan Hidup , Perjanjian Luhur, Sumber dari segala sumber tertib hukum,
Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia.
Disharmonisasi terjadi selain terkait masalah yang sangat teknis dan politis,
sesungguhnya terjadi karena pembentuk undang-undang yang mengenyampingkan
nilai-nilai asli dan nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh
karena itu penulis ingin menggugah lagi kesadaran seluruh komponen pembentuk

undang-undang bahwa Disharmonisasi yang berujung pada pemborosan keuangan
negara,

ketidakpuasan

dan

kekecewaan

rakyat,

pengabaikan

hak-hak

konstitusional rakyat tidak akan terjadi apabila kita melibatkan Paradigma
Pancasila dalam proses maupun evaluasinya. Selain itu, sistem hukum yang
berlaku di negara kita juga paling tidak ada 3, yaitu sistem hukum adat, hukum
Islam, dan hukum barat.7 Dengan 3 sistem hukum yang masih berlaku dan
dihormati di negara tersebut maka potensi untuk terjadi ketidakharmonisan antar

hukum yang masih berlaku tersebut sangat tinggi .8 Belum lagi apabila kita lihat
lembaga/instansi yang berwenang dalam pembentukan peraturan perundangundangan juga banyak. Membentuk suatu peraturan perundang-undangan
melibatkan kewenangan-kewenagan dari kementerian-kementerian , komisi atau/
dewan di DPR ataupun DPRD, Pemerintah Daerah Provinsi ataupun
Kota/kabupaten yang ada di Indonesia.

7

Wicipto Setiadi, Proses Pengharmonisasian sebagai upaya meningkatkan kualitas Peraturan PerundangUndangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisasian-sebagaiupaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.html, tanggal akses 6 Oktober 2014

8

Ibid

3

Telah menjadi kesepakatan kita bersama sebagai bangsa Indonesia bahwa
Pancasila dalam istilah Hans Kelsen adalah Grundnorm, begitupun dalam istilah
Hans


Nawiasky

bahwa

sesungguhnya

Pancasila

juga

merupakan

Staatfundamentanorm. Dalam Tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2011, menyatakan bahwa Kekuatan
hukum

Peraturan

Perundang-undangan


sesuai

dengan

hierarki

tersebut.

Begitupula, Stufentheorie yang dikembangkan oleh Adolf Merkel menerangkan
bahwanorma-norma hukum itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber,
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.
Oleh karena itu penulis akan memaparkan lebih dalam lagi pentingnya
Paradigma Pancasila dalam mengatasi ataupun menjadi solusi dari segala bentuk
Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia khususnya.
Walaupun mengkaji Pancasila dalam pembentukan peraturan perundangundangan sesungguhnya bukan hal aktual ,terkini, atau malah jauh dari
fenomenal. Mengkaji Pancasila dalam pembentukan peraturan perundangundangan sebenarnya hanya mempertanyakan hal-hal yang sudah diketahui
dengan pasti kebenarannya. Akan tetapi akan lebih bermanfat sebagai pengingat
bagi kita dan seluruh kompenen bangsa bahwa banyak nilai-nilai mendasar dari
bangsa ini yang kita lupakan , tinggalkan bahkan acapkali kita korbankan hanya

demi suatu agenda khusus yang bersembunyi dibalik kepentingan – kepentingan
tertentu yang diwujudkan dalam regulasi. Hal in iyang perlu disadari jangan
sampai hukum sebagai saran mencapai tujuan negara justru di isi dengan normanorma penghambat perwujudan tujuan negara.

4

B. Rumusan Masalah
Terkait Disharmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam
Paradigma Pancasila maka kajian dan telaah lanjut mengenai peranan Pancasila
berikut jawaban sekaligus solusi yang dapat diberikan oleh Pancasila untuk
mengatasi Dishamonisasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut;
1. Bagaimana Pancasila berperan dalam Harmonisasi Peraturan Perundangundangan ?
2. Mengapa Pancasila sebagai jawaban atas kekisruhan pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga berakibat pada
munculnya Disharmonisasi?

II.

TEORI – TEORI PENDUKUNG
A. Pancasila selaku Asas Hukum Umum bagi perundang-undangan.

1. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Mengkaji

Pancasila

sebagai

Pandangan hidup Bangsa, maka

memahami apa arti Bangsa terlebih dahulu. Menurut Ernest Renan,
Bangsa adalah soal perasaan, soal kehendak (tekad) semata-mata untuk
tetap hidup bersama yang timbul antara segolongan besar manusia yang
nasibnya sama dalam masa yang lampau, terutama dalam penderitaanpenderitaan bersama.9 Bung Karno meminjam kata-kata dari Ki Bagoes
Hadikoesoemo dan Moenandar bahwa bangsa adalah manusia yang
menyatu dengan tanah airnya.10 Pandangan Hidup dapat didefinisikan

9

Ernest Renan (alih bahasa oleh: Prof.Mr.Sunario), 1994, Bandung, Alumni, hlm. xvii - xviii
Tim Penyunting, 1992, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, hlm. 62-63


10

5

sebagai segenap prinsip dasar yang dipegang teguh oleh suatu bangsa guna
memecahkan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapinya.11
Pandangan hidup mempunyai arti penting bagi suatu bangsa yang ingin
mewujudkan cita-citanya sebagai bangsa.

Karena suatu bangsa tanpa

pandangan hidup akan tersesat, terombang – ambing tidak tahu bagaimana
atau dengan apa menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi dalam masyarakatnya sendiri ataupun persoalan-persoalannya
sebagai bagian dari masyarakat dunia. Pandangan hidup adalah suatu
panduan, pakem, atau kontrol bagi suatu bangsa dalam rangka
mewujudkan cita-citanya.
Dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua
kegiatan dan aktifitas bangsa Indonesia. Semua tingkah laku dan tindak
perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan memancarkan
kelima sila yang ada dalam Pancasila.
2. Pancasila sebagai Dasar Negara RI
Pancasila dalam pengertian ini sering pula disebut sebagai dasar
Falsafah Negara, Philosofische Gronslag dari Negara, Ideologi Negara,
Staatsidee.

Pancasila

dijadikan

dasar

pengaturan

pemerintahan/

penyelenggaraan negara. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 pada alinea keempat, yang menyatakan bahwa susunan negara
Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada kelima sila
Pancasila.12
Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai Dasar Negara, hal ini tertuang
dalam

Ketetapan

MPRS

No.XX/MPRS/1966

jo

Tap.MPR

11

Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 5
12
Lihat... Alinea keempat Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945

6

No.V/MPR/1973 dan Tap.MPR NO IX/MPR/1978. Pada hakikatnya
fungsi pokok pancasila sebagai dasar negara adalah sebgai sumber dari
segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum.13 Dengan demikian
Pancasila

bersifat

imperatif,

mengikat

dan

memaksa.

Pancasila

mengandung norma-norma hukum yang tidak boleh dikesampingkan
apalagi dilanggar.
Pancasila adalah Jiwa Bangsa, Kepribadian, Perjanjian Luhur, Cita-cita
dan Tujuan, Falsafah dan Ideologi Bangsa Indonesia. Dari aspek hukum
tata negara, Pancasila adalah dasar negara yang mengandung arti sebagai
sumber dari segala sumber hukum. Sedangkan dari aspek sosiologis,
fungsi Pancasila adalah pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya.
Dalam pengertian etis dan filosofis adalah Pancasila berfungsi pengatur
tingkah laku pribadi dan cara-cara dalam mencari kebenaran atau disebut
juga sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system.
3. Asas-asas dalam Pancasila selaku Cita Hukum
Pancasila adalah norma fundamental sehingga Pancasila berfungsi
sebagai cita-cita dan ide.14 Sebagai cita-cita, semestinyalah kalau ia selalu
diusahakan untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga citacita itu bisa terwujud menjadi suatu kenyataan.15
Kelima sila dalam Pancasila mempunyai kedudukan selaku Cita
Hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pancasila sebagai Cita hukum memberikan pedoman dan
panduan mengenai materi muatan tiap peraturan perundang-undangan,

13

Darji Darmodiharjo;Nyoman Dekker; AG.Pringgodigdo; M.Mardojo; Kuntjoro Purbopranoto; Sulandra,
1991, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, hlm.20
14
Ibid, hlm. 16
15
Ibid, hlm. 20

7

sekaligus membatasi ruang gerak materi muatan peraturan perundangundangan tersebut. Terhadap semua isi peraturan perundang-undangan ,
sila-sila pancasila baik sendiri maupun bersama-sama , baik tunggal
maupun berpasangan, merupakan asas hukum umum.16
4. Norma-norma dalam Pancasila sebagai Staatfundamentalnorm
Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatfundamentalnorm karena
didalamnya terkandung empat pokok pikiran yang tidak lain adalah
Pancasila itu sendiri, serta pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum maka dapat disimpulkan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah
Filsafat Hukum Indonesia.17
Pancasila adalah norma dasar atau norma tertinggi bagi berlakunya
semua norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan rakyat
Indonesia.

Mengikuti teori Hans Nawiasky, Staatfundamentalnorm

Indonesia adalah Pembukaan UUD 1945 karena didalamnya dimuat
rumusan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
B. Stufentheorie
Menurut Adolf Merkel dan Hans Kelsen, setiap tata kaedah hukum merupakan
suatu susunan daripada kaedah-kaedah tersebut.

Dalam Stufentheorie-nya

tersebut Hans Kelsen mengemukakan bahwa, dipuncak ‘stufenbau’ terdapat
kaedah dasar dari suatu tata hukum nasional yang merupakan suatu kaedah
fundamental disebut dengan grundnorm yang bersifat abstrak, umum atau
hipotesis.18

16

Hamid S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Disertasi, Tidak di publikasikan, Jakarta, hlm. 333
17
Darji Darmodiharjo, Shidarta,2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 230
18
Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
hlm.26

8

Dalam teori ini , dijelaskan bahwa semua norma merupakan satu kesatuan
Piramida, yang dasar keabsahannya ditentukan oleh norma yang paling tinggi
kedudukannya. Norma yang berada diatas merupakan sumber dari semua norma
dibawahnya, norma dibawah tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada
lebih tinggi tingkatannya. Theori Hans Kelsen ini selanjutnya dikembangkan oleh
Hans Nawiasky yang menyatakan bahwa norma-norma hukum dalam negara
adalah berjenjang dimulai dari Grundnorm sebagai yang tertinggi, kemudian
Staatgrundgesetz

atau

Aturan-aturan

Dasar

Negara,selanjutnya

adalah

Formellegesetz atau Undang-Undang, dan terakhir adalah Verordnungen atau
Peraturan Pelaksana di bawa Undang-Undang.19
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indosia mengikuti theori
Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dari Hukum yang tertinggi hingga yang paling
rendah yang dirumuskan sebagai berikut:20
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah kabupaten/Kota.

19
20

Ibid, hlm. 27
Lihat ...Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan

9

III.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian pada Tulisan ini bersifat eksplanatoris menggunakan
pendekatan Normatif dan Conseptual approach. Teori-teori, asas-asas maupun
peraturan perundang-undangan adalah yang menjadi kerangka dalam penelitian
ini.
Sumber data yang diperoleh adalah data sekunder yang berupa:
1. Bahan hukum primer, yaitu; Pancasila, UUD 1945, Peraturan PerundagUndangan, Doktrin, Traktat, Yurisprudensi maupun Adat dan kebiasaan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu ; Rancangan Undang-Undang, Buku-buku
para sarjana, Jurnal, Makalah, Hasil penelitian dan sejenisnya.
3. Bahan hukum tersier, yaitu ; Kamus Besar Bahasa Indonesia, Black’s Law
Dictionary, Koran, Majalah, Internet dan sebagainya.

IV.

ANALISIS
A. Peran Pancasila dalam proses Harmonisasi Peraturan PerundangUndangan
Pancasila sebagai norma fundamental negara menjadi dasar, pemandu dan
pengarah dalam mencapai tujuan dan cita-cita negara. Untuk mewujudkan tujuan
dan cita-cita negara tersebut, Pancasila memelukan sarana untuk mencapai tujuan
dan cita-cita tersebut. Sarana yang dimaksud atau sarana yang digunakan untuk
mencapai tujuan dan cita-cita negara adalah melalui hukum nasional.21 Hukum
nasional menjadi sarana untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa
sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.

21

Lihat penjelasan yang lebih sempurna pada Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah
Konstitusi RI dan Gadjah Mada, oleh Sudjito bin Atmoredjo Guru Besar Fakultas Hukum UGM,
tanggal 30,31 Meni dan 1 Juni 2009 di Balai Senat UGM ,Yogyakarta

10

Hukum nasional yang dimaksud adalah semua hukum yang berlaku di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia baik berupa hukum tertulis maupun tidak
tertulis. Peraturan perundang-undangan adalah salah satu bentuk hukum tertulis
yang

ada.

Peraturan

perundang-undangan

dan

proses

pembentukannya

memerankan fungsi signifikan dalam pembangunan hukum nasional. Di
Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan
hukum, peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum
nasional. Selain itu, Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang
sangat efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) karena kekuatan
hukumnya yang mengikat dan memaksa. Peraturan perundang-undangan juga
memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum
adat, atau hukum yurisprudensi.
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam UU
nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri adalah
pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaa,
penyususan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Oleh karena itu sebagai salah satu instrumen hukum nasional, maka peraturan
perundangan-undangan yang efektif harus melalui proses formal maupun materiil
dalam pembentukkannya. Di antara rangkaian proses di atas terdapat proses yang
tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting, yaitu
proses pengharmonisasian.22 Dengan demikian, pengharmonisasian merupakan

22

Lihat juga...Op.Cit UU Nomor 12 tahun 2011, pasal 46 ayat (2), 47 ayat (3) dan 58

11

salah satu dari rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Proses harmonisasi dimaksudkan agar tidak terjadi atau mengurangi tumpang
tindih antar peraturan perundang-undangan.

Proses pengharmonisasian ini

dilakukan terhadap rancangan peraturan perundang-undangan, bukan terhadap
peraturan perundang-undangan yang sudah jadi. Karena pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan yang sudah jadi adalah melalui mekanisme
judicial review.
Proses pengharmonisasian bisa dilakukan di tingkat mana pun, dari tahap
perencanaan hingga pada tahap pembahasan, baik di tingkat pembahasan
internal/antardepartemen maupun di tingkat koordinasi pengharmonisasian yang
diselenggarakan di Kementerian Hukum dan HAM, bahkan sejak penyusunan
Naskah Akademik pun proses harmonisasi sudah dapat dilakukan.
Sehubungan dengan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan
dengan Pancasila , terdapat kaidah penuntun yang dijadikan pedoman. Pedoman
tersebut adalah :23
1. Konsiderans

menimbang

mencantumkan

unsur

filosofis

sebagai

pencerminan nilai-nilai Pancasila;
2. Penjelasan umum menjelaskan lebih lanjut unsur filosofis Pancasila secara
benar;
3. Materi muatan dalam pasal-pasal memuat asas, maksud dan tujuan yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila baik sendiri maupun berpasangan;
4. Pasal-pasal atau materi muatan yang terkandung di dalamnya tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

23

Lihat pada ...Qomaruddin & Nasrudin, 2014, Modul Diklat Perancang Perundang-Undangan,
Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Kosepsi Peraturan Perundag-Undangan, BPSDM
Kementerian Hukum dan HAM RI, Depok, hlm. 54

12

Kaidah-kaidah tersebut yang dipergunakan dalam proses harmonisasi
rancangan peraturan perundang-undangan sebelum disahkan atau ditetapkan
menjadi peraturan perundang-undangan. Terhadap semua isi peraturan perundangundangan sebagaimana dijelaskan dalam pedoman pengharmonisasian peraturan
perundang-undangan tersebut, sila-sila pancasila secara sendiri-sendiri maupun
keseluruhan telah menjadi asas hukum umum yang telah digunakan.
Arah harmonisasi peraturan perundang-undangan terhadap Pancasila sejatinya
sudah jelas dimaktub dalam pedoman pengharmonisasian, yaitu agar peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan adalah suatu produk hukum yang benarbenar mencerminkan bangsa Indonesia.

Peraturan perundang-undangan yang

dihasilkan haruslah mencerminkan cita-cita, tujuan, nilai-nilai asli yang dimiliki
bangsa Indonesia yang kesemuanya dapat ditemukan dalam sila-sila Pancasila
secara utuh dan satu kesatuan.
Unsur filososfis merupakan ruh bagi setiap peraturan perundang-undangan
yang ada, karena Pancasila sebagai falsafah bangsa tumbuh dan berkembang
bersama bangsa Indonesia. Prinsip-prinsip yang ada didalamnya bersumber pada
budaya dan pengalaman bangsa Indonesia yang berkembang bersama dengan
persoalan – persoalan bangsa yang dalam perjalanannya mencari penyelesaian atas
permasalahan yang dihadapi. Sehingga sudah selayaknyanya Pancasila dijunjung
tinggi oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab, karena didalam
Pancasila itulah terkandung nilai-nilai dasar bangsa.
Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar negara, cita hukum sekaligus norma
fundalmental bangsa telah di konkritisasi melalui kaidah/pedoman harmonisasi
peraturan perundang-undangan. Pedoman / kaidah pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut sejalan dengan teori penjenjangan oleh Hans Kelsen.

13

Sebagai norma fundamental, norma dasar tertinggi maka semua hukum
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma dasar tertinggi tersebut.
Pancasila sebagai norma fundamental bangsa Indonesia menjadi dasar acuan bagi
hukum dibawahnya, sehingga dalam menciptakan ataupun menemukan hukum
melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, harus sejalan
dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.

Sebagaimana sila-sila dalam

pancasila itu sendiri, susunan sila yang bersifat sistematis-hierarkis, yang
menunjukkan suatu rangkaian urutan-urutan yang bertingkat-tingkat, dimana tiaptiap sila mempunyai tempatnya sendiri di dalam rangkaian susunan kesatuan itu
sehingga tidak dapat dipindahkan.
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa pun sangat diperlukan, mengingat
sistem hukum yang berlaku di negara kita, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam,
dan hukum barat. Dengan 3 sistem hukum yang masih berlaku dan dihormati di
negara tersebut maka potensi untuk terjadi ketidakharmonisan antar hukum yang
masih berlaku tersebut sangat tinggi . Terlebih lagi apabila kita tenggok kewengan
yang ada terkait lembaga/instansi dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Membentuk suatu peraturan perundang-undangan terkait dengan
kewenangan-kewenangan dari 34 kementerian-kementerian, 28 lembaga negara
non departemen , 11 komisi atau/ dewan di DPR ataupun DPRD, 33 Pemerintah
Daerah Provinsi, 414 Pemerintah Kabupaten dan 97 Pemerintah Kota yang ada di
Indonesia.

Sehingga dapat dipastikan terdapat singgungan-singgungan dan

gesekkan-gesekkan kepentingan. Dengan demikian harmonisasi memegang
peranan yang sangat penting untuk tetap menjaga asas, maksud dan tujuan
dibentuknya suatu rancangan peraturan perundang-undangan.

14

Dalam proses pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan dengan Pancasila, Nilai-nilai Pancasila harus menjadi sumber
dalam setiap peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan agar nilai-nilai
pancasila tersebut menjadi aktual dan memberikan batasan terhadap materi muatan
yang termuat dan yang tidak seharusnya dimuat dalam materi muatan peraturan
perundang-undangan. Secara substansial

setiap peraturan perundang-undangan

harus menjabarkan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan sosial, sebagaimana Pancasila yang merupakan cita hukum bangsa
Indonesia yang sekaligus menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak.
Sehingga dalam kaitannya tersebut, pelaksanaan Pancasila mempunyai sifat
yang mengikat dan wajib atau keharusan atau bahkan dapat disebut bersifat
imperatif. Hal ini dikarenakan nilai-nilai Pancasila yang merupakan norma-norma
hukum yang tidak dapat dikesampingkan apalagi dilanggar.

B. Pancasila sebagai jawaban atas kekisruhan pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang berakibat pada Disharmonisasi
Peraturan perundang-undangan yang tertinggi yaitu, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 harus bersumber dan berdasar pada
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Begitupula Undang-Undang harus
berdasar dan bersumber pada UUD 1945, Peraturan Pemerintah harus berdasar dan
bersumber pada UU, dan seterusnya, sebagaimana terjemahan Hans Kelsen atas
Stufentheori nya. Sehingga secara konstitusional suatu peraturan perundangundangan gugur (dalam arti batal/dicabut) karena bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan Undang –
Undang Dasar

1945.

Dengan demikian terkait dengan uji materi yang
15

diselenggarakan di Mahkamah Konstitusi pun haruslah didasarkan pada konsistensi
isi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hirarkinya masing-masing.
Pertentangan diantara peraturan perundang-undangan baik secara vertikal
maupun horizontal inilah yang disebut dengan Disharmonisasi. Akan tetapi
adapula undang-undang yang dimohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi
karena dinilai akan merugikan rakyat karena jauh dari rasa keadilan. Logikanya,
jika rakyat senang dan puas dengan peraturan perundang-undangan yang ada pasti
tidak akan ditentang ataupun keberatan sehingga perlu untuk meminta uji materi
kepada Mahkamah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Perorangan warga negara
Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, Badan hukum Publik atau privat,
dan/ atau Lembaga negara 24 yang mempunyai hak untuk mengajukan uji materi ke
MK. Sebagai contoh; Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang
dibatalkan oleh MK. Masyarakat menolak konsep otonomi badan pendidikan
karena dirasakan tidak adil dan merugikan masyarakat. Unsur keadilan dalam UU
BHP itu tidak bisa dirasakan masyarakat sehingga timbul penentanganpenentangan publik atas materi muatan UU BHP tersebut. Permohonan uji materi
tersebut dikabulkan dan UU BHP dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 31 Maret
2010.

Hal tersebut menunjukkan bahwa produk undang-undang hanya dibuat

untuk mengakomodasi kepentingan tertentu dan berpotensi merugikan rakyat atau
bahkan telah merugikan rakyat.

24

Lihat Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

16

Secara numerik akan sulit menilai apakah isi peraturan perundang-undangan
di bawah UUD itu benar-benar merupakan penuangan Pancasila atau bukan.
Mengingat jumlah peraturan perundang-undangan di bawah UUD yang mencapai
ribuan. Akan tetapi dapat dikatakan sudah ada instrumen hukum dan politik yang
mengatur agar semua peraturan perundang-undangan memuat isi yang secara
berjenjang konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
pada tataran puncaknya harus bersumber pada Pancasila sebagai rechtside yang
menjadi sumber dan kaidah penuntun hukum.25
Namun pada dasarnya, pembatalan oleh MK dilakukan karena kesalahan isi
dan muatan yang bertentangan dengan konstitusi sehingga sangat mutlak untuk
dibatalkan. Sedangkan dalam Konstitusi kita, yaitu pada Pembukaan UUD 1945
terdapat pokok – pokok pikiran yang merupakan pengejawantahan dari kelima sila
Pancasila. Dengan demikian disharmonisasi ini terjadi antara materi muatan
peraturan perundang-undangan dengan nilai –nilai pancasila yang terdapat di
dalam kelima sila nya.
Perlu kita ketahui bahwa proses harmonisasi ini terjadi secara internal dari
pemrakarsa rancangan peraturan perundang-undangan. Suatu rancangan undangundangan yang berasal dari inisiatif DPR pengharmonisasiannya dilakukan oleh
alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi (Badan Legislasi).
Sedangkan suatu rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintah/eksekutif
pengharmonisasiannya dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.

25

Lihat penjelasan lebih mendalam pada ...Mahfud MD, dalam Seminar Nasional “Aktualisasi Nilai-Nilai
Pancasila dalam Pendidikan Ilmu Hukum dan Perundang-undangan Indonesia,” yang diselenggarakan
oleh Fakultas Hukum UGM dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya Pancasila di Yogyakarta, 30–31
Mei 2007

17

Bagaimana disharmonisasi ini dapat terjadi, sedangkan dalam proses formal
rancangan peraturan perundangan-undangan untuk dapat menjadi peraturan
perundang-undangan telah melalui harmonisasi ? Terkadang, undang- undang
sengaja dibuat atas kesepakatan-kesepakatan politik yang secara langsung tidak
sesuai konstitusi. Sedangkan pada hakikatnya, pembentukan undang-undang yang
tidak kredibel dan inkonstitusional adalah pengkhianatan terhadap Pancasila. Hal
ini acapkali dilakukan secara sengaja oleh pembuat kebijakan baik legislatif
bersama eksekutif demi kepentingan-kepentingan terselubung. Pengingkaran
terhadap norma fundamental dalam membuat undang-undang adalah sebuah
kejahatan terhadap cita hukum dan tujuan bangsa Indonesia. Indonesia tidak akan
menjadi negara yang makmur dan sejahtera apabila undang-undang yang menjadi
sarana

mewujudkan tujuan negara justru dibuat untuk digadaikan kepada

kepentingan-kepentingan pemilik modal dengan jalan deregulasi.
Logika

berpikir

kita

akan

mempertanyakan,

bagaimana

kita

dapat

mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa, apabila hukum yang menjadi sarana
mencapai tujuan bangsa masih dikebiri oleh kepentingan-kepentingan yang tidak
mementingkan kepentingan rakyat untuk menjadi hukum yang sesungguhsungguhnya membela rakyat. Hukum yang dapat memberikan pengayoman kepada
rakyat, adalah hukum yang dibentuk dan dibuat sesuai dengan norma fundamental
bangsa yaitu hukum yang dibentuk seiring sejalan dengan Pancasila. Proses
harmonisasi perundang-undangan telah mensyaratkan bahwa sebuah rancangan
peraturan perundang-undangan harus melewati harmonisasi dengan Pancasila. Hal
ini benar dilakukan, tetapi apakah proses harmonisasi ini mempunyai kekuatan
hukum mengikat ? Yang penulis maksud dengan mengikat adalah, apakah ada
sanksi atau konsekuensi hukum apabila hasil dari harmonisasi ini tidak dirumuskan

18

dalam rancangan tersebut ? Mengingat harmonisasi dilakukan secara internal
pemrakarsa rancangan peraturan perundang-undangan, yang pasti akan berjuang
agar kepentingan tertentu yang menjadi agenda khusus dapat diakomodasi dalam
rancangan tersebut.

Kenyataan yang terjadi selama ini, harmonisasi yang

dilakukan hanyalah sebagai syarat formil hanya sebagai formalitas tanpa
mendalami makna mendalam dari harmonisasi peraturan perundang-undangan
dengan Pancasila.
Hal miris dan ironis bahwa Pancasila dianggap tidak populer dan semakin
dikesampingkan dan bahkan ditinggalkan. Pancasila dianggap sebagai simbolisme
nasional saja tanpa perlu terlalu dalam digali kebenarannya sebagai nilai-nilai asli
bangsa yang tidak dapat digantikan dengan paham atau idiologi apapun yang ada di
dunia. Bahkan kaum – kaum legislator yang mana rakyat mempercayakan nasib
nya dan nasib bangsa melalui produk-produk legislasi yang mereka hasilkan pun
mampu menggadaikan kepercayaan tersebut untuk kepentingan tertentu dengan
agenda

terselubung.

Hal

inilah

menjadi

kontributor

terbesar

maraknya

disharmonisasi peraturan perundang-undangan. Sangat mudah membuat peraturan
perundang-undangan tanpa berpikir keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
yang harus didapatkan oleh masyarakat melalui hukum yang diciptakan tersebut.
Sangat mudah membuang – buang anggaran negara untuk membentuk produk
legislasi yang tidak mempunyai kemanfaatan bagi rakyat, dan akhirnya dibatalkan
oleh MK. Watak/karakter pembuat legislasi seperti inilah yang hanya akan
membuat keropos mental bangsa, yang dapat dengan mudah menggagalkan upaya
pencapaian tujuan hukum bangasa Indonesia. Terlepas dari itu semua, belum
adanya persamaan persepsi tentang peraturan perundang-undangan juga menjadi
penyebab timbulnya egosektoral menurut kepentingan masing-masing pihak

19

/instansi pembuat peraturan perundang-undangan. Ego sektoral yang timbul inilah
yang mengakibatkan pembahasan maupun harmonisasi peraturan perundangundangan tidak dapat bersifat menyeluruh.
Salah satu terobosan yang telah dibuat untuk meminimalisir banyaknya
peraturan perundang-undangan yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat dan
hanya merupakan produk hukum pemborosan anggaran negara, maka diadakan
suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah
(Prolegda). Prolegnas yakni penyusunan rencana pembuatan UU di tingkat
nasional dan Prolegda adalah penyusunan rencana pembuatan Perda di tingkat
daerah. Prolegnas dan Prolegda ini dibuat untuk periode lima tahun melalui
prosedur dan mekanisme pembuatan yang ketat. Prolegnas dan Prolegda dibuat
dengan tujuan agar pembuatan UU dan Perda materi muatannya konsisten dengan
Pancasila dan UUD 1945. Prolegnas dan prolegda dapat memberikan penilaian
awal mengenai kesesuaian UU dan Perda yang akan dibuat dengan Pancasila dan
UUD 1945. Sehingga Prolegnas dan Prolegda menjadi penuangan isi dari Pancasila
dan UUD 1945 di dalam UU dan Perda.
Mengenai instrumen, metode ataupun tata cara agar nilai-nilai Pancasila
dijamin dapat tertuang kedalam peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia telah ada, salah satunya melalui Prolegnas dan Prolegda. Hanya saja,
mengapa disharmonisasi masih acapkali terjadi dan gugatan – gugatan uji materiil
ke MK baik dari Perorangan warga negara Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum
adat, Badan hukum Publik atau privat, dan/ atau Lembaga negara masih saja
terjadi? Penggunaan instrumen, metode dan tata cara yang telah ada tersebut belum
terlaksana secara optimal, belum dapat di manfaatkan secara maksimal untuk

20

mengawal nilai-nilai dan kaidah penuntun hukum Pancasila sehingga benar-benar
tertuang dan menjadi materi muatan di setiap peraturan perundang-undangan.
Bila kembali lagi menilik carut marut, tumpang tindih, pertentanganpertentangan yang terjadi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
sesungguhnya tidak akan terjadi dan tidak akan pernah terjadi apabila sepenuhnya
kita kembalikan kepada nilai-nilai bangsa yang terkandung dalam Pancasila.
Bagaimana hiruk pikuk perkara di MK yang materi gugatannya adalah menggugat
konsistensi

materi

muatan

UU

terhadap

UUD

1945

yang merupakan

pengejawantahan dari sila-sia pancasila, Bagaimana perang kepentingan yang ada
dalam panggung parlemen yang tidak mempedulikan nilai-nilai Pancasila dalam
membuat produk legislasinya, Bagaimana kekisruhan hukum yang ditimbulkan
akibat tumpang tindih dan carut marutnya peraturan perundang-undangan yang
ada, semuanya terjadi karena mengenyampingkan atau bahkan melupakan
Pancasila sebagai norma fundamental sekaligus sebagai asas hukum umum.
Bagaimanapun bangsa ini ber-evolusi, ber-revolusi bahkan ber-reformasi
secara kodrati tidak dapat meninggalkan Pancasila beserta nilai-nilai yang
terkandung didalamnya. Era pemerintahan yang berubah hingga mekanisme
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berubah pun tidak akan dapat
menyingkirkan Pancasila dari aspek kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini seringkali
tidak disadari oleh mayoritas komponen bangsa yang terlalu sibuk mencari-cari
kelemahan Pancasila dan ingin menggabungkannya dengan paham-paham barat
yang sudah seringkali teruji tidak sesuai dengan keaslian bangsa Indonesia. Metode
harmonisasi, Prolegnas dan Prolegda hingga uji materi di MK pun tidak perlu
terjadi apabila secara moral, mental dan spiritual pembentuk peraturan
perundangan-undangan selalu berpegang pada nilai-nilai Pancasila.

21

V.

KESIMPULAN
Oleh karena itu penulis dapat menyimpulkan bahwa;
1. Pancasila berperan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
melalui metode harmonisasi, pemantapan hingga pembulatan konsepsi materi
muatan rancangan peraturan perundanga-undangan yang dapat dilaksanakan
mulai dari tahap perencanaan hingga pembahasan rancangan tersebut.
2. Pancasila menjawab kekisruhan pembentukan peraturan perundang-undangan
di Indonesia yang berupa Dishamonisasi melalui mekanisme harmonisasi
materi muatan peraturan perundang-undangan, uji materi di MK, Prolegnas
dan Prolegda. Akan tetapi meode paling efektif atas jawaban Pancasila
terhadap carut marutnya peraturan perundang-undangan yang ada adalah
melalui moral, mental dan spiritual pembentuk peraturan perundanganundangan yang selalu berpegang pada nilai-nilai Pancasila.

VI.

REKOMENDASI
1. Proses harmonisasi sebaiknya tidak hanya dilaksanakan secara internal, tetapi
perlu adanya instrumen pelaksana cross harmonisasi peraturan perundangundangan. Dengan demikian apabila harmonisasi internal telah selesai harus
dilanjutkan dengan cross harmonisasi dengan pihak mitra. Sebagai contoh;
rancangan perundangan-undangan dengan prakarsa DPR setelah selesai
harmonisasi di Badan Legislatif, selanjutnya di lakukan cross harmonisasi
kepada eksekutif dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI, dan
begitupun sebaliknya apabila prakarsa RUU dari Eksekutif maka perlu di cross
harmonisasi kepada Badan Legislatif. Sehingga mekanisme check and
balances dapat berjalan efektif, sekaligus dapat mengawal dan menjamin

22

kandungan nilai-nilai Pancasila di setiap Rancangan Peraturan PerundangUndangan.
2. Individu-idividu yang terlibat dalam pembuatan peraturan perundangundangan, haruslah yang mempunyai pemahaman kuat dan mendasar
mengenai Pancasila sebagai falsafah bangasa Indonesia. Hal ini dilakukan
dengan seleksi-seleksi ketat sehingga hanya individu-individu yang memenuhi
persyaratan tersebut yang dapat terlibat dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan. Sebagai contoh harus ada seleksi tertulis maupun
wawancara mengenai Nilai-nilai Pancasila bagi anggota DPR yang akan
menjadi bagian Badan Legislatif.
3. Intrumen Judicial Preview atas nilai-nilai Pancasila terhadap rancangan
peraturan perundang-undangan sangat diperlukan, sehingga rancangan
peraturan perundang-undangan tidak dapat disahkan atau ditetapkan menjadi
Peraturan perundang-undangan apabila tidak lulus uji Judicial Preview.

23

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Al Marsudi, Subandi, 2001, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma
Reformasi, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Darmodiharjo, Darji; Dekker, Nyoman; Pringgodigdo,A.G ; Mardojo ,M ;
Purbopranoto, Kuntjoro; Sulandra, 1991, Santiaji Pancasila, Surabaya,
Usaha Nasional.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Qomaruddin & Nasrudin, 2014, Modul Diklat Perancang Perundang-Undangan,
Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Kosepsi Peraturan
Perundag-Undangan, Depok, BPSDM Kementerian Hukum dan HAM RI.
Ranggawidjaja, Rosjidi, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia,
Bandung, Mandar Maju.
Renan Ernest, 1994, Apakah bangsa itu ? (alih bahasa oleh: Prof.Mr.Sunario),
editor oleh Prof. Dr. C. F. G. Sunaryati Hartono Bandung, Alumni.
Tim Penyunting, 1992, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Jakarta, Sekretariat
Negara RI.
Perundang-Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan

Internet
Ary (2014),
Ketua MK: 29% UU Dibatalkan Karena Tak Berkualitas
,http://news.liputan6.com/read/475147/ketua-mk- 29-uu-dibatalkan-karenatak-berkualitas, 26-12-2012, Di unduh pada tanggal 30 September 2014
Has (2014), Banyak dibatalkan MK, kualitas legislasi 2012 menurun,
http://www.merdeka.com/peristiwa/banyakdibatalkan-mk-kualitaslegislasi-2012-menurun.html, 2 Januari 2013, Di unduh pada tanggal 30
September 2014
24

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU,
unduh Tanggal 30 September 2014

Di

Setiadi, Wicipto (2014), Proses Pengharmonisasian sebagai upaya meningkatkan
kualitas Peraturan Perundang-Undangan,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/232-prosespengharmonisasian-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturanperundang-undangan.html, Diunduh tanggal 6 Oktober 2014
WDA AT (2014) , Patrialis Akbar,-Empat Ribu Perda di Indonesia Dibatalkan,
http://www.tempo.co/read/news/2011/05/22/078335876/Empat-Ribu-Perda-diIndonesia-Dibatalkan, 22 Mei 2011, Di unduh Tanggal 22 September 2014

Penelitian, Jurnal, Makalah
Attamimi, Hamid S. (1990), Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Tidak di
publikasikan, Jakarta.
MD, Mahfud (2007) ,dalam Seminar Nasional “Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila
dalam Pendidikan Ilmu Hukum dan Perundang-undangan Indonesia,” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM dalam rangka Peringatan Hari
Lahirnya Pancasila di Yogyakarta, 30–31 Mei 2007
Sudjito bin Atmoredjo Guru Besar Fakultas Hukum UGM (2009), Makalah untuk
Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada
di Balai Senat UGM, Yogyakarta tanggal 30,31 Mei dan 1 Juni 2009

25